Bayang-bayang Itu Terus Mengikutinya
Sebuah
pertemuan yang tak bisa ia lupakan. Dekat waktu tengah malam, lampu-lampu di
beberapa losmen kawasan puncak itu dipadamkan, dan akhirnya keadaan menjadi
sunyi senyap. Ia merasa sungguh kehabisan tenaga. Ia masih merasa
berhadap-hadapan dan bercakap-cakap dengan beberapa orang sewaktu ia
membaringkan badan untuk beristirahat. Bahkan ketika kelopak matanya telah
mengatup, percakapan itu tak juga mau pergi dari telinganya.
Dan
beberapa malam sesudah itu, terdengar suara tersedu-sedu memecahkan kedamaian
mimpi yang amat ia inginkan. Ia memasang pendengaran baik-baik, bangun dari
tempat tidur dan mengikuti arah suara itu melalui ruangan-ruangan kosong dan
sunyi, sampai akhirnya ia berdiri di pintu yang membatasi ruang tengah dengan
ruang tamu.
Di
sana, di tengah
ruang tamu rumahnya yang besar itu, terbentang sebuah keranda berisikan mayat
terbungkus kafan putih. Di sekelilingnya, orang-orang yang ia kenal tampak
menangis dan bersedih. Di antara orang-orang itu—dengan penuh rasa heran, ia
mendekati istrinya.
“Siapa
yang meninggal?”
“Suamiku,”
jawab istrinya, tak sedikit pun mengenali dirinya yang tengah bertanya.
Bukan
main terkejutnya ia. Namun belum sempat tangannya meraih kafan yang membungkus
si mayat, terdengar teriakan-teriakan yang amat riuh di luar rumah.
Teriakan-teriakan amarah. Orang-orang yang sedang berduka itu pun buru-buru
melangkah ke luar.
Di
sana, di luar
pagar rumahnya, ratusan orang tampak berteriak-teriak penuh amarah. Di tangan
mereka teracung segala macam senjata. Pentungan, golok, celurit, batu.
Merangsek, mereka berusaha membobol pintu gerbang rumahnya. Pak Min—penjaga
rumahnya—yang semula berniat menghalangi mereka, langsung lintang pukang
menyelamatkan diri.
Amuk
massa itu menuju
ke arahnya. Segala macam senjata telah siap mencincang tubuhnya. Ia berniat
lari. Anehnya kedua kaki tak bisa ia gerakkan. Habislah sudah riwayatnya!
Tapi,
bukankah ia sudah mati?!
Ia
terbangun dengan keringat dingin membanjir. Di sisinya, istrinya masih terlihat
pulas. Ia lalu turun dari pembaringan. Cuci muka. Tak ada suara tersedu-sedu
itu, tak ada keranda di ruang tamu, pun tak ada teriakan-teriakan amarah di
luar rumah. Semuanya masih hening dalam pelukan malam. Namun entah mengapa ada
perasaan takut merayapi hatinya.
Ia
kesulitan memejamkan pikiran setelah kembali ke pembaringan. Suara-suara itu
tak mau pergi dari jendela telinganya.
* * *
Berkali-kali
ia menoleh ke kaca spion mobil. Ia merasa ada mobil lain yang terus
membuntutinya sedari keluar pagar rumah. Ia merasa ada yang memata-matai. Ia
menepikan mobil sejenak untuk memastikan mobil mana yang membuntutinya. Begitu
pula ketika ia telah sampai di kantor, ia berkali menoleh ke belakang mencari
sosok asing yang dirasanya terus membuntuti langkahnya. Namun kegelisahannya
tak juga menemukan penguntit itu. Bahkan hingga ia duduk di kursi kerjanya.
Ada lima
meja di area tempatnya bekerja. Satu cubicle
dibuat dengan ukuran lebih besar dari yang lain. Itulah tempat duduknya
sehari-hari. Di kursi itulah sebagian besar waktunya habis ia gunakan menjadi
pemimpin sebuah divisi yang menjadi pintu gerbang segala macam proyek
pembangunan di sebuah kantor pemerintahan tingkat provinsi.
Ia
duduk dengan perasaan tak tenang. Berkali menoleh empat bawahannya yang tampak
sibuk membenahi berkas-berkas pekerjaan. Siapa tahu salah satu di antara mereka
ada yang tidak puas dengan pembagian amplop kemarin, dan lalu diam-diam
membocorkannya ke pihak lain. Atau bisa juga
salah seorang di antara mereka ada yang menyuruh seseorang untuk terus
memata-matai kesehariannya. Jika ia dicopot dari jabatannya, tentu salah
seorang dari mereka berpeluang menggantikan.
“Ada apa sih, Pak?” tanya
Edi, sekretaris divisi, merasa aneh karena terus diperhatikan.
“Teruskan
saja pekerjaanmu,” jawabnya pendek, tak menemukan alasan yang tepat.
Sepertinya
tak ada yang mencurigakan dari keempat anak buahnya. Sepertinya semua puas
dengan pembagian amplop kemarin. Tapi entah mengapa perasaannya selalu bilang
ada mata lain yang terus mengawasinya. Mata itu menguntit ke manapun ia
melangkah. Saat ke WC, saat ke kantin, saat melaporkan pendanaan sejumlah
proyek yang tengah berjalan, saat beberapa pemborong menanyakan nomor handphonenya, dan terutama saat ia
memeriksa rekening pribadinya melalui ATM.
Entah
berapa kali ia menoleh ke belakang, berharap menemukan orang iseng yang terus
membuntutinya itu.
* * *
“Kenapa
sih, Mas?” tegur istrinya ketika melihat dirinya yang berkali membolak-balik
bantal.
“Sepertinya
ada yang mengganjal.”
“Mas
ini ada-ada saja. Apanya yang mengganjal? Memangnya ada apa di bawah bantalmu?”
“Entahlah,”
lalu menyisihkan bantalnya. Memutuskan tidur tanpa bantal.
Namun
tetap saja ada yang membuatnya tak nyaman sehingga kedua matanya sulit untuk
dipejamkan. Ada
sebuah ketakutan jika kedua matanya terlelap dan lalu ia kembali tenggelam ke
dalam suara-suara itu lagi. Seperti malam-malam kemarin. Suara-suara itu tahu
segalanya. Mereka tahu atas semua yang selama ini ia sembunyikan dari banyak
orang, termasuk istrinya sekalipun. Suara-suara itu bersembunyi di dalam
kepalanya dan akan terbangun saat ia tertidur.
Bahkan
hingga lewat dinihari ketika istrinya terbangun karena haus, kedua matanya
masih juga nyalang.
“Mas
kenapa sih?”
“Aku
tak bisa tidur.”
“Mikir
apa?”
“Enggak
mikir apa-apa. Kadang aku memang sulit tidur.”
“Mas
bohong. Mas pasti punya masalah besar.”
“Masalah
besar apa? Ah sudahlah, ayo kita tidur lagi.”
Dan
kejadian itu sering berulang. Ketika ia berangkat kerja, ketika duduk di meja
kerja, ketika makan di kantin, ketika ia harus memberikan laporan tertulis
perihal semua proyek Pemda dalam setiap bulan, ia merasa ada seseorang yang
terus menguntit dan mengawasinya. Bahkan ketika ia mengajak anak istrinya
liburan akhir pekan.
Kecemasan
itu menjadikannya seseorang yang selalu dipenuhi kecurigaan. Pernah suatu
ketika ia menangkap seorang pemulung, padahal pemulung malang itu hanya
mondar-mandir di luar pagar rumahnya karena bingung melihat banyak ‘barang
berharga’ dalam tempat sampah di halaman rumah. Ia pun pernah mengusulkan
kepada istrinya untuk mencari seorang satpam penjaga rumah, namun istrinya
menolak karena merasa hal itu belum terlalu dibutuhkan. Tak ada barang berharga
yang patut dilindungi. Meski rumahnya berlantai dua, ada satu mobil, dan dua
sepeda motor di dalam garasi, tapi keberadaan Pak Min—suami Mbok Nah, pembantu
rumah tangganya—dirasa sudah cukup untuk menggantikan peran seorang satpam.
Demi
menghindar dari mata yang terus menguntit itu, maka ia pun memutuskan libur
dari pekerjaannya dengan surat
izin dari dokter. Istri dan anak tak diajaknya serta. Ia malah bilang kepada
mereka bahwa ia sedang tugas dinas untuk minimal tiga harian—yang dirasanya
cukup untuk menenangkan kecemasan-kecemasan. Dan yang sebenarnya terjadi, ia
tengah liburan ke sebuah daerah terpencil yang belum banyak diketahui banyak
orang.
Sejenak
ia merasa bisa terbebas dari mata yang terus menguntitnya kemarin. Sejenak ia
merasa terbebas dari segala beban yang selama ini terasa menghimpit dadanya.
Sejenak ia merasa ringan, seringan keinginannya selama ini untuk bisa menikmati
kebahagiaan yang serba berkecukupan.
Sampai
ketika ia berhasil menemukan sebuah rumah penduduk dekat pantai yang disewakan.
Ia melihat kiamat itu di televisi. Ia melihat para polisi menjemput tubuhnya
yang konon tergolek sakit di kediamannya. Mendadak ia ingat, bukankah kemarin
dokter mengatakan tekanan darahnya semakin naik dan semakin mencemaskan?!
*****
Kalinyamatan
– Jepara, 2012.
(Adi Zamzam,
Tabloid Minggu Pagi, 8-14 Juni 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar