Senin, 02 Januari 2017

Bayang-bayang Itu Terus Mengikutinya



Bayang-bayang Itu Terus Mengikutinya



Sebuah pertemuan yang tak bisa ia lupakan. Dekat waktu tengah malam, lampu-lampu di beberapa losmen kawasan puncak itu dipadamkan, dan akhirnya keadaan menjadi sunyi senyap. Ia merasa sungguh kehabisan tenaga. Ia masih merasa berhadap-hadapan dan bercakap-cakap dengan beberapa orang sewaktu ia membaringkan badan untuk beristirahat. Bahkan ketika kelopak matanya telah mengatup, percakapan itu tak juga mau pergi dari telinganya.
Dan beberapa malam sesudah itu, terdengar suara tersedu-sedu memecahkan kedamaian mimpi yang amat ia inginkan. Ia memasang pendengaran baik-baik, bangun dari tempat tidur dan mengikuti arah suara itu melalui ruangan-ruangan kosong dan sunyi, sampai akhirnya ia berdiri di pintu yang membatasi ruang tengah dengan ruang tamu.

Di sana, di tengah ruang tamu rumahnya yang besar itu, terbentang sebuah keranda berisikan mayat terbungkus kafan putih. Di sekelilingnya, orang-orang yang ia kenal tampak menangis dan bersedih. Di antara orang-orang itu—dengan penuh rasa heran, ia mendekati istrinya.
“Siapa yang meninggal?”
“Suamiku,” jawab istrinya, tak sedikit pun mengenali dirinya yang tengah bertanya.
Bukan main terkejutnya ia. Namun belum sempat tangannya meraih kafan yang membungkus si mayat, terdengar teriakan-teriakan yang amat riuh di luar rumah. Teriakan-teriakan amarah. Orang-orang yang sedang berduka itu pun buru-buru melangkah ke luar.
Di sana, di luar pagar rumahnya, ratusan orang tampak berteriak-teriak penuh amarah. Di tangan mereka teracung segala macam senjata. Pentungan, golok, celurit, batu. Merangsek, mereka berusaha membobol pintu gerbang rumahnya. Pak Min—penjaga rumahnya—yang semula berniat menghalangi mereka, langsung lintang pukang menyelamatkan diri.
Amuk massa itu menuju ke arahnya. Segala macam senjata telah siap mencincang tubuhnya. Ia berniat lari. Anehnya kedua kaki tak bisa ia gerakkan. Habislah sudah riwayatnya!
Tapi, bukankah ia sudah mati?!
Ia terbangun dengan keringat dingin membanjir. Di sisinya, istrinya masih terlihat pulas. Ia lalu turun dari pembaringan. Cuci muka. Tak ada suara tersedu-sedu itu, tak ada keranda di ruang tamu, pun tak ada teriakan-teriakan amarah di luar rumah. Semuanya masih hening dalam pelukan malam. Namun entah mengapa ada perasaan takut merayapi hatinya.
Ia kesulitan memejamkan pikiran setelah kembali ke pembaringan. Suara-suara itu tak mau pergi dari jendela telinganya.
*          *          *

Berkali-kali ia menoleh ke kaca spion mobil. Ia merasa ada mobil lain yang terus membuntutinya sedari keluar pagar rumah. Ia merasa ada yang memata-matai. Ia menepikan mobil sejenak untuk memastikan mobil mana yang membuntutinya. Begitu pula ketika ia telah sampai di kantor, ia berkali menoleh ke belakang mencari sosok asing yang dirasanya terus membuntuti langkahnya. Namun kegelisahannya tak juga menemukan penguntit itu. Bahkan hingga ia duduk di kursi kerjanya.
Ada lima meja di area tempatnya bekerja. Satu cubicle dibuat dengan ukuran lebih besar dari yang lain. Itulah tempat duduknya sehari-hari. Di kursi itulah sebagian besar waktunya habis ia gunakan menjadi pemimpin sebuah divisi yang menjadi pintu gerbang segala macam proyek pembangunan di sebuah kantor pemerintahan tingkat provinsi.
Ia duduk dengan perasaan tak tenang. Berkali menoleh empat bawahannya yang tampak sibuk membenahi berkas-berkas pekerjaan. Siapa tahu salah satu di antara mereka ada yang tidak puas dengan pembagian amplop kemarin, dan lalu diam-diam membocorkannya ke pihak lain. Atau bisa juga  salah seorang di antara mereka ada yang menyuruh seseorang untuk terus memata-matai kesehariannya. Jika ia dicopot dari jabatannya, tentu salah seorang dari mereka berpeluang menggantikan.
“Ada apa sih, Pak?” tanya Edi, sekretaris divisi, merasa aneh karena terus diperhatikan.
“Teruskan saja pekerjaanmu,” jawabnya pendek, tak menemukan alasan yang tepat.
Sepertinya tak ada yang mencurigakan dari keempat anak buahnya. Sepertinya semua puas dengan pembagian amplop kemarin. Tapi entah mengapa perasaannya selalu bilang ada mata lain yang terus mengawasinya. Mata itu menguntit ke manapun ia melangkah. Saat ke WC, saat ke kantin, saat melaporkan pendanaan sejumlah proyek yang tengah berjalan, saat beberapa pemborong menanyakan nomor handphonenya, dan terutama saat ia memeriksa rekening pribadinya melalui ATM.
Entah berapa kali ia menoleh ke belakang, berharap menemukan orang iseng yang terus membuntutinya itu.
*          *          *

“Kenapa sih, Mas?” tegur istrinya ketika melihat dirinya yang berkali membolak-balik bantal.
“Sepertinya ada yang mengganjal.”
“Mas ini ada-ada saja. Apanya yang mengganjal? Memangnya ada apa di bawah bantalmu?”
“Entahlah,” lalu menyisihkan bantalnya. Memutuskan tidur tanpa bantal.
Namun tetap saja ada yang membuatnya tak nyaman sehingga kedua matanya sulit untuk dipejamkan. Ada sebuah ketakutan jika kedua matanya terlelap dan lalu ia kembali tenggelam ke dalam suara-suara itu lagi. Seperti malam-malam kemarin. Suara-suara itu tahu segalanya. Mereka tahu atas semua yang selama ini ia sembunyikan dari banyak orang, termasuk istrinya sekalipun. Suara-suara itu bersembunyi di dalam kepalanya dan akan terbangun saat ia tertidur.
Bahkan hingga lewat dinihari ketika istrinya terbangun karena haus, kedua matanya masih juga nyalang.
“Mas kenapa sih?”
“Aku tak bisa tidur.”
Mikir apa?”
“Enggak mikir apa-apa. Kadang aku memang sulit tidur.”
“Mas bohong. Mas pasti punya masalah besar.”
“Masalah besar apa? Ah sudahlah, ayo kita tidur lagi.”
Dan kejadian itu sering berulang. Ketika ia berangkat kerja, ketika duduk di meja kerja, ketika makan di kantin, ketika ia harus memberikan laporan tertulis perihal semua proyek Pemda dalam setiap bulan, ia merasa ada seseorang yang terus menguntit dan mengawasinya. Bahkan ketika ia mengajak anak istrinya liburan akhir pekan.
Kecemasan itu menjadikannya seseorang yang selalu dipenuhi kecurigaan. Pernah suatu ketika ia menangkap seorang pemulung, padahal pemulung malang itu hanya mondar-mandir di luar pagar rumahnya karena bingung melihat banyak ‘barang berharga’ dalam tempat sampah di halaman rumah. Ia pun pernah mengusulkan kepada istrinya untuk mencari seorang satpam penjaga rumah, namun istrinya menolak karena merasa hal itu belum terlalu dibutuhkan. Tak ada barang berharga yang patut dilindungi. Meski rumahnya berlantai dua, ada satu mobil, dan dua sepeda motor di dalam garasi, tapi keberadaan Pak Min—suami Mbok Nah, pembantu rumah tangganya—dirasa sudah cukup untuk menggantikan peran seorang satpam.
Demi menghindar dari mata yang terus menguntit itu, maka ia pun memutuskan libur dari pekerjaannya dengan surat izin dari dokter. Istri dan anak tak diajaknya serta. Ia malah bilang kepada mereka bahwa ia sedang tugas dinas untuk minimal tiga harian—yang dirasanya cukup untuk menenangkan kecemasan-kecemasan. Dan yang sebenarnya terjadi, ia tengah liburan ke sebuah daerah terpencil yang belum banyak diketahui banyak orang.
Sejenak ia merasa bisa terbebas dari mata yang terus menguntitnya kemarin. Sejenak ia merasa terbebas dari segala beban yang selama ini terasa menghimpit dadanya. Sejenak ia merasa ringan, seringan keinginannya selama ini untuk bisa menikmati kebahagiaan yang serba berkecukupan.
Sampai ketika ia berhasil menemukan sebuah rumah penduduk dekat pantai yang disewakan. Ia melihat kiamat itu di televisi. Ia melihat para polisi menjemput tubuhnya yang konon tergolek sakit di kediamannya. Mendadak ia ingat, bukankah kemarin dokter mengatakan tekanan darahnya semakin naik dan semakin mencemaskan?! *****



Kalinyamatan – Jepara, 2012.


(Adi Zamzam, Tabloid Minggu  Pagi, 8-14 Juni 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar