Belajar dari Filosofi Warisan Tiongkok Kuno
Judul Buku : Filosofi-Filosofi
Warisan Tiongkok Kuno
Penulis :
Emsan
Penerbit :
Penerbit Laksana
Cetakan :
Pertama, September 2014
Tebal :
276 halaman
Harga :
45.000
ISBN :
978-602-255-646-6
Melihat laju pertumbuhan
ekonomi Cina yang berkembang sedemikian pesatnya dalam beberapa dekade terakhir,
rasanya kurang lengkap jika kita tak mempelajari dan menganalisa rahasia apa sebenarnya yang
dimiliki bangsa terbesar di Asia Timur ini. Kebijakan reformasi Deng Xiaoping
(1978-1990) membawa perekonomian Cina berkembang pesat dari tahun ke tahun, dan
kini GDPnya bahkan tercatat menduduki peringkat ke-2 setelah Amerika Serikat. Laurence
Brahm bahkan menahbiskan hal itu dalam bukunya yang berjudul China’s Century: The Awakening of the Next
Economic Powerhouse. Buku ini berusaha membuka seberapa besar pengaruh
filosofi-filosofi dan kebudayaan kuno mereka terhadap kondisi di era kekinian.
Terbentuk dari jatuh
bangunnya berbagai dinasti; tercatat ada 17, sejak Dinasti Xia (2100SM–1600SM)
hingga Dinasti Qing (1644M-1912M), Cina tampaknya banyak belajar dari catatan
sejarah yang ditinggalkan (hal. 31). Kaum intelektual menjadi mata pertama yang
mengabadikan baik kemajuan maupun kemunduran yang terjadi pada zamannya.lewat
petuah-petuah filososfis mereka. Dilatarbelakangi keadaan yang seperti itu,
falsafah Cina pun kemudian lebih banyak memusatkan perhatian pada persoalan
politik, kenegaraan, etika individu dan omunitas, adat istiadat, serta konsep
diri. Cenderung mengarahkan diri pada persoalan-persoalan duniawi dan bukan
persoalan surga neraka, bersangkutan dengan kehidupan manusia saat ini,
bukannya dengan tentang peri kehidupan di dunia yang akan datang (hal. 70).
Tercatat, Dinasti Zhou
adalah masa yang paling banyak melahirkan para pemikir besar. Sejarah
mencatatnya sebagai masa ‘Seratus Aliran Pemikiran’ (770-221M) yang melahirkan
beberapa aliran pemikiran paling berpengaruh hingga kini. Konfusianisme merupakan
pemikiran utama yang menjadi identitas orang Tiongkok. Dipelopori oleh Kong Hu
Tzu—seorang filsuf sekuler yang menitik beratkan ajarannya pada urusan moral
politik dan pribadi serta tingkah laku. Dia percaya bahwa dunia ini dibangun
atas dasar-dasar moral; jika masyarakat secara moral rusak, maka tatanan alam
juga akan terganggu sehingga timbullah berbagai bencana. Dia juga percaya bahwa
sifat dasar manusia itu baik dan akan kembali ke sifat baik (hal. 85). Taoisme adalah
aliran utama berikutnya. Aliran yang lebih bersifat empiris praktis ini
dipelopori oleh Lao Tze. Empiris, karena
konsepsi kefilsafatannya merujuk pada fenomena alam yang mudah ditangkap dan
diamati manusia, misalnya bagaimana sifat air dan matahari dapat memberi makna
simbolik bagi kehidupan manusia. Praktis, karena berisi ajaran hidup etis atau
yang seharusnya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya kasih sayang antarsesama,
keadilan, dan kejujuran, tidak rakus dan egois, selalu mendahulukan kepentingan
orang lain (hal. 98). Selanjutnya adalah Meng Tse, yang mengajarkan bahwa
manusia mewarisi empat sifat mulia; hati (jen),
ketulusan (yi), sopan santun (li), dan kebijaksanaan (chih) (hal.105). Lalu mohisme yang
dibawa oleh Mo Tse, mengajarkan bahwa yang terpenting adalah ‘cinta universal’,
kemakmuran untuk semua orang, dan perjuangan bersama untuk memusnahkan
kejahatan (hal. 117).
Buku ini kemudian juga
menjabarkan bagaimana nilai-nilai filosofi dari ajaran-ajaran kuno tersebut
dapat memberi inspirasi untuk kehidupan di masa kini. Bagaimana konfusianisme
bisa diterapkan pada sistem manajemen modern, bagaimana konfusianisme bisa
dimanfaatkan oleh para manajer, bahkan perannya sebagai pilar kemajuan bangsa. Pemikiran-pemikiran
Sun Tzu, master taktik perang yang melahirkan buku strategi militer Sun Zi Bing Fa (The Art of War), kini bahkan telah diimplementasikan dalam bidang
bisnis dan manajemen (hal. 165), di mana perang diibaratkan sebagai ekspansi
bisnis yang tak bisa dihindari. Dari banyaknya orang Tionghoa yang sukses dalam
bidang bisnis, seolah terbentuk sebuah kesimpulan bahwa mereka memiliki bakat
alam dalam hal bisnis. Padahal tidak demikian, karena mereka pada mulanya juga
belajar, seperti yang tertera dalam pepatah dan kata-kata bijak mereka bahwa
orang yang dapat mencapai seribu langkah pasti memulainya dari langkah pertama.
Tentu kita pun bisa menirunya!*
(Nur Hadi, Versi ke-1 Suara Merdeka, Selasa 16 September 2014)
(Nur Hadi, versi ke-2 SOLOPOS, Minggu 15 Februari 2015)
Dari banyaknya orang
Tionghoa yang sukses dalam bidang bisnis, seolah terbentuk sebuah kesimpulan
bahwa mereka memiliki bakat alam dalam hal bisnis. Padahal tidak demikian,
karena mereka pada mulanya juga belajar, seperti yang tertera dalam pepatah dan
kata-kata bijak mereka bahwa orang yang dapat mencapai seribu langkah pasti
memulainya dari langkah pertama. Buku ini hadir memberikan penjelasan tentang rahasia
apa sebenarnya yang dimiliki bangsa terbesar di Asia Timur ini sehingga mampu
mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang seperti sekarang; GDPnya tercatat
menduduki peringkat ke-2 setelah Amerika Serikat (2010). Laurence Brahm bahkan
menahbiskan hal itu dalam bukunya yang berjudul China’s Century: The Awakening of the Next Economic Powerhouse.
Terbentuk dari jatuh
bangunnya berbagai dinasti; tercatat ada 17, sejak Dinasti Xia (2100SM–1600SM)
hingga Dinasti Qing (1644M-1912M), Cina tampaknya banyak belajar dari catatan
sejarah yang ditinggalkan (hal. 31). Kaum intelektual menjadi mata pertama yang
mengabadikan baik kemajuan maupun kemunduran yang terjadi pada zamannya.lewat
petuah-petuah filososfis mereka. Dilatarbelakangi keadaan yang seperti itu,
falsafah Cina pun kemudian lebih banyak memusatkan perhatian pada persoalan
politik, kenegaraan, etika individu dan omunitas, adat istiadat, serta konsep
diri. Cenderung mengarahkan diri pada persoalan-persoalan duniawi dan bukan
persoalan surga neraka, bersangkutan dengan kehidupan manusia saat ini, bukannya
dengan tentang peri kehidupan di dunia yang akan datang (hal. 70).
Misalkan saja dari pemikiran-pemikiran
Sun Tzu, master taktik perang yang melahirkan buku strategi militer Sun Zi Bing Fa (The Art of War), kini bahkan telah diimplementasikan dalam bidang
bisnis dan manajemen (hal. 165), di mana perang diibaratkan sebagai ekspansi
bisnis yang tak bisa dihindari, pasar diibaratkan sebagai medan laga, pesaing
serta manajemen diri diibaratkan sebagai musuh yang harus dilawan. Nilai-nilai konfusianisme, taoisme, mohisme,
legalisme, konsep yin yang,
benar-benar telah mengakar dan menjadi karakteristik orang Tionghoa modern.*
(Nur Hadi, versi ke-2 SOLOPOS, Minggu 15 Februari 2015)
jadi pengen baca bukunya nih. sip, keren ulasannya.
BalasHapusTerima kasih sudah mampir ��
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus