Kamis, 18 September 2014

Belajar dari Filosofi Warisan Tiongkok Kuno



Belajar dari Filosofi Warisan Tiongkok Kuno



Judul Buku  :  Filosofi-Filosofi Warisan Tiongkok Kuno
Penulis        :  Emsan
Penerbit       :  Penerbit Laksana
Cetakan       :  Pertama, September  2014
Tebal           :  276 halaman
Harga          :  45.000
ISBN           :  978-602-255-646-6


Melihat laju pertumbuhan ekonomi Cina yang berkembang sedemikian pesatnya dalam beberapa dekade terakhir, rasanya kurang lengkap jika kita tak mempelajari  dan menganalisa rahasia apa sebenarnya yang dimiliki bangsa terbesar di Asia Timur ini. Kebijakan reformasi Deng Xiaoping (1978-1990) membawa perekonomian Cina berkembang pesat dari tahun ke tahun, dan kini GDPnya bahkan tercatat menduduki peringkat ke-2 setelah Amerika Serikat. Laurence Brahm bahkan menahbiskan hal itu dalam bukunya yang berjudul China’s Century: The Awakening of the Next Economic Powerhouse. Buku ini berusaha membuka seberapa besar pengaruh filosofi-filosofi dan kebudayaan kuno mereka terhadap kondisi di era kekinian.
Terbentuk dari jatuh bangunnya berbagai dinasti; tercatat ada 17, sejak Dinasti Xia (2100SM–1600SM) hingga Dinasti Qing (1644M-1912M), Cina tampaknya banyak belajar dari catatan sejarah yang ditinggalkan (hal. 31). Kaum intelektual menjadi mata pertama yang mengabadikan baik kemajuan maupun kemunduran yang terjadi pada zamannya.lewat petuah-petuah filososfis mereka. Dilatarbelakangi keadaan yang seperti itu, falsafah Cina pun kemudian lebih banyak memusatkan perhatian pada persoalan politik, kenegaraan, etika individu dan omunitas, adat istiadat, serta konsep diri. Cenderung mengarahkan diri pada persoalan-persoalan duniawi dan bukan persoalan surga neraka, bersangkutan dengan kehidupan manusia saat ini, bukannya dengan tentang peri kehidupan di dunia yang akan datang (hal. 70).
Tercatat, Dinasti Zhou adalah masa yang paling banyak melahirkan para pemikir besar. Sejarah mencatatnya sebagai masa ‘Seratus Aliran Pemikiran’ (770-221M) yang melahirkan beberapa aliran pemikiran paling berpengaruh hingga kini. Konfusianisme merupakan pemikiran utama yang menjadi identitas orang Tiongkok. Dipelopori oleh Kong Hu Tzu—seorang filsuf sekuler yang menitik beratkan ajarannya pada urusan moral politik dan pribadi serta tingkah laku. Dia percaya bahwa dunia ini dibangun atas dasar-dasar moral; jika masyarakat secara moral rusak, maka tatanan alam juga akan terganggu sehingga timbullah berbagai bencana. Dia juga percaya bahwa sifat dasar manusia itu baik dan akan kembali ke sifat baik (hal. 85). Taoisme adalah aliran utama berikutnya. Aliran yang lebih bersifat empiris praktis ini dipelopori oleh Lao Tze.  Empiris, karena konsepsi kefilsafatannya merujuk pada fenomena alam yang mudah ditangkap dan diamati manusia, misalnya bagaimana sifat air dan matahari dapat memberi makna simbolik bagi kehidupan manusia. Praktis, karena berisi ajaran hidup etis atau yang seharusnya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya kasih sayang antarsesama, keadilan, dan kejujuran, tidak rakus dan egois, selalu mendahulukan kepentingan orang lain (hal. 98). Selanjutnya adalah Meng Tse, yang mengajarkan bahwa manusia mewarisi empat sifat mulia; hati (jen), ketulusan (yi), sopan santun (li), dan kebijaksanaan (chih) (hal.105). Lalu mohisme yang dibawa oleh Mo Tse, mengajarkan bahwa yang terpenting adalah ‘cinta universal’, kemakmuran untuk semua orang, dan perjuangan bersama untuk memusnahkan kejahatan (hal. 117).
Buku ini kemudian juga menjabarkan bagaimana nilai-nilai filosofi dari ajaran-ajaran kuno tersebut dapat memberi inspirasi untuk kehidupan di masa kini. Bagaimana konfusianisme bisa diterapkan pada sistem manajemen modern, bagaimana konfusianisme bisa dimanfaatkan oleh para manajer, bahkan perannya sebagai pilar kemajuan bangsa. Pemikiran-pemikiran Sun Tzu, master taktik perang yang melahirkan buku strategi militer Sun Zi Bing Fa (The Art of War), kini bahkan telah diimplementasikan dalam bidang bisnis dan manajemen (hal. 165), di mana perang diibaratkan sebagai ekspansi bisnis yang tak bisa dihindari. Dari banyaknya orang Tionghoa yang sukses dalam bidang bisnis, seolah terbentuk sebuah kesimpulan bahwa mereka memiliki bakat alam dalam hal bisnis. Padahal tidak demikian, karena mereka pada mulanya juga belajar, seperti yang tertera dalam pepatah dan kata-kata bijak mereka bahwa orang yang dapat mencapai seribu langkah pasti memulainya dari langkah pertama. Tentu kita pun bisa menirunya!*

(Nur Hadi, Versi ke-1 Suara Merdeka, Selasa 16 September 2014) 



Dari banyaknya orang Tionghoa yang sukses dalam bidang bisnis, seolah terbentuk sebuah kesimpulan bahwa mereka memiliki bakat alam dalam hal bisnis. Padahal tidak demikian, karena mereka pada mulanya juga belajar, seperti yang tertera dalam pepatah dan kata-kata bijak mereka bahwa orang yang dapat mencapai seribu langkah pasti memulainya dari langkah pertama. Buku ini hadir memberikan penjelasan tentang rahasia apa sebenarnya yang dimiliki bangsa terbesar di Asia Timur ini sehingga mampu mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang seperti sekarang; GDPnya tercatat menduduki peringkat ke-2 setelah Amerika Serikat (2010). Laurence Brahm bahkan menahbiskan hal itu dalam bukunya yang berjudul China’s Century: The Awakening of the Next Economic Powerhouse.
Terbentuk dari jatuh bangunnya berbagai dinasti; tercatat ada 17, sejak Dinasti Xia (2100SM–1600SM) hingga Dinasti Qing (1644M-1912M), Cina tampaknya banyak belajar dari catatan sejarah yang ditinggalkan (hal. 31). Kaum intelektual menjadi mata pertama yang mengabadikan baik kemajuan maupun kemunduran yang terjadi pada zamannya.lewat petuah-petuah filososfis mereka. Dilatarbelakangi keadaan yang seperti itu, falsafah Cina pun kemudian lebih banyak memusatkan perhatian pada persoalan politik, kenegaraan, etika individu dan omunitas, adat istiadat, serta konsep diri. Cenderung mengarahkan diri pada persoalan-persoalan duniawi dan bukan persoalan surga neraka, bersangkutan dengan kehidupan manusia saat ini, bukannya dengan tentang peri kehidupan di dunia yang akan datang (hal. 70).
Misalkan saja dari pemikiran-pemikiran Sun Tzu, master taktik perang yang melahirkan buku strategi militer Sun Zi Bing Fa (The Art of War), kini bahkan telah diimplementasikan dalam bidang bisnis dan manajemen (hal. 165), di mana perang diibaratkan sebagai ekspansi bisnis yang tak bisa dihindari, pasar diibaratkan sebagai medan laga, pesaing serta manajemen diri diibaratkan sebagai musuh yang harus dilawan.  Nilai-nilai konfusianisme, taoisme, mohisme, legalisme, konsep yin yang, benar-benar telah mengakar dan menjadi karakteristik orang Tionghoa modern.*
  

(Nur Hadi, versi ke-2 SOLOPOS, Minggu 15 Februari 2015)

3 komentar: