Selasa, 25 Agustus 2015

Demokrasi ala karang Kedempel



Demokrasi ala Karang Kedempel




Judul Buku  : Arus Bawah
Penulis        : Emha Ainun Nadjib
Penerbit       : Penerbit Bentang
Cetakan       : Kedua, Februari 2015
Tebal           : 238 halaman
ISBN           : 978-602-291-068-8


Kiai Semar menghilang. Gareng, si filsuf desa, bingung alang-kepalang sampai kesurupan. Namun Petruk malah senyam-senyum melihat kakaknya blingsatan. Ia yang terlihat tenang sebenarnya juga geram lantaran Semar-lah yang dulu menyeret Gareng, Petruk, dan Bagong ke Karang Kedempel untuk menemani dan menggembalakan kaum penguasa menuju kebenaran. Padahal tugas ke-Punakawanan mereka masih jauh dari purna. Ketiga Punakawan ini pun kemudian menafsirkan alasan mengapa Semar menghilang dengan kacamata tafsir mereka sendiri-sendiri.
Novel esai ini sungguh menarik, lantaran diciptakan pada masa-masa Orde Baru masih manabalkan kuku-kuku kekuasaannya (pernah dimuat secara bersambung di Harian Berita Buana, 28 Januari sampai 31 Maret 1991). Desa Karang Kedempel merupakan analogi dari ‘desa besar’ bernama Indonesia yang saat itu sedang memelihara kehati-hatian luar biasa pada setiap suara dari rakyat. Orang tidak bisa sembarangan beropini atau berpolitik tanpa waswas akan diciduk aparat. Media massa dibungkam. Aparat juga punya kekuasaan yang hampir tanpa kontrol sehingga bisa sewenang-wenang kepada rakyat. Dengan memanfaatkan sifat Punakawan yang ceplas-ceplos, terkesan tak memiliki tatakrama, dan tanpa tedheng aling-aling, Emha Ainun Nadjib melontarkan beberapa kritik terhadap karakteristik penguasa saat itu.
Saat menengok hubungan Bagong dengan Semar, kita bisa melihat bagaimana feodalisme itu mengungkung kebebasan berpendapat. Berbagai kritik Bagong ini jelas tertuju langsung kepada Pemerintah yang kerap menyengsarakan, menginjak-injak, dan membodohi rakyat. Gareng dan Petruk mempermasalahkan adiknya ketika memanggil sang bapak dengan hanya panggilan Semar saja. Beragam pertanyaan protes pun dilontarkan Bagong; ‘Apakah yang tua tidak harus menghormati yang muda?’, ‘Semar boleh memanggilku Gong, kenapa aku tak boleh memanggilnya Mar?’, ‘Apakah Semar juga tidak harus berterima kasih kepadaku?’ Hingga kemudian berujung pada, ‘Orangtua harus dijunjung? Dijunjung ke mana? Ke kuburan? Tak ada ceritanya bayi menggendong ibunya. Justru orangtua yang harus menjunjung dan menggendong anaknya untuk diantar ke masa depan.’ (hal. 17).
Feodalisme itu pulalah yang menyebabkan kemandekan bahkan ketakutan dalam berdemokrasi. Orang makin merasa asing terhadap sikap ‘tidak’. Tak seorang pun yang tak merasa takut. Penduduk takut kepada Pak RT, Pak RT takut kepada Pak RW, Pak RW takut kepada Pak Kades, Pak Kades sendiri begitu takut kepada penduduk atau setidak-tidaknya pada kemungkinan tertentu yang dikandung rahim rakyatnya. Ketakutan itu terkadang nyata, terkadang semu. Semua itu lantaran kebergantungan masing-masing terhadap jabatan, keamanan status, kelancaran asap dapur, atau segala sesuatu yang sesungguhnya bisa dinomorduakan apabila mereka mendidik diri untuk memiliki kemandirian dan kepribadian kukuh (hal. 26). Di Karang Kedempel orang pun jadi tertatar dan terlatih untuk menampilkan diri tidak sebagai diri sendiri. Kemampuan yang paling penting dikembangkan adalah kemampuan untuk menjadi palsu. Kemampuan memalsukan—setidaknya membungkus—bunyi pendapat, suara kebenaran, surat, uang dan cek, kejutan, juga memalsukan diri sendiri (hal. 116).
Emha benar-benar memanfaatkan dunia wayang sebagai kerangka teori untuk melucuti realitas kala itu. Diamnya Semar atas kematian Bambang Ekalaya oleh siasat Prabu Kresna yang demi melancarkan skenario Mahabharata, serta aib Raden Arjuna yang ditutup-tutupi, seolah menggambarkan ketakberdayaan demokrasi di hadapan kekuasaan yang meminta ‘tumbal keselarasan’. Gong raksasa itu diciptakan dengan bahan darah daging Bambang Ekalaya. Beberapa ratus anak ditangkap dan satu dua diadili, seolah dijadikan gong yang ditabuh untuk memperingatkan masyarakat tentang perlunya keselarasan (hal. 177). Maka wajarlah ketika para warga sudah tak tahan dengan kelakuan para petinggi Karang Kedempel, huru-hara untuk menggulingkan kekuasaan pun tak bisa dihindari. Sementara demokrasi hanya bisa terdiam, seperti Kiai Semar yang sebenarnya sedang sembunyi di atas pohon menyaksikan semua kerusuhan yang sedang terjadi.
Hilangnya Kiai Semar seolah menjadi chaos sebagai akibat masih kurangnya kemandirian masyarakat akan bimbingan seorang kiai yang sekaligus berperan sebagai bapak, psikolog, bahkan terkadang hakim. Sosok kiai tampaknya tak bisa lepas dari sistem feodalisme masyarakat kita.*

(Nur Hadi, Jawa Pos, Minggu 9 Agustus 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar