Demokrasi ala Karang Kedempel
Judul Buku : Arus Bawah
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Penerbit Bentang
Cetakan : Kedua, Februari 2015
Tebal : 238 halaman
ISBN : 978-602-291-068-8
Kiai Semar menghilang. Gareng, si filsuf desa,
bingung alang-kepalang sampai kesurupan. Namun Petruk malah senyam-senyum
melihat kakaknya blingsatan. Ia yang terlihat tenang sebenarnya juga geram
lantaran Semar-lah yang dulu menyeret Gareng, Petruk, dan Bagong ke Karang
Kedempel untuk menemani dan menggembalakan kaum penguasa menuju kebenaran.
Padahal tugas ke-Punakawanan mereka masih jauh dari purna. Ketiga Punakawan ini
pun kemudian menafsirkan alasan mengapa Semar menghilang dengan kacamata tafsir
mereka sendiri-sendiri.
Novel esai ini sungguh menarik, lantaran diciptakan
pada masa-masa Orde Baru masih manabalkan kuku-kuku kekuasaannya (pernah dimuat
secara bersambung di Harian Berita Buana, 28 Januari sampai 31 Maret 1991).
Desa Karang Kedempel merupakan analogi dari ‘desa besar’ bernama Indonesia
yang saat itu sedang memelihara kehati-hatian luar biasa pada setiap suara dari
rakyat. Orang tidak bisa sembarangan beropini atau berpolitik tanpa waswas akan
diciduk aparat. Media massa
dibungkam. Aparat juga punya kekuasaan yang hampir tanpa kontrol sehingga bisa
sewenang-wenang kepada rakyat. Dengan memanfaatkan sifat Punakawan yang
ceplas-ceplos, terkesan tak memiliki tatakrama, dan tanpa tedheng aling-aling, Emha Ainun Nadjib melontarkan beberapa kritik
terhadap karakteristik penguasa saat itu.
Saat menengok hubungan Bagong dengan Semar, kita
bisa melihat bagaimana feodalisme itu mengungkung kebebasan berpendapat. Berbagai
kritik Bagong ini jelas tertuju langsung kepada Pemerintah yang kerap
menyengsarakan, menginjak-injak, dan membodohi rakyat. Gareng dan Petruk
mempermasalahkan adiknya ketika memanggil sang bapak dengan hanya panggilan
Semar saja. Beragam pertanyaan protes pun dilontarkan Bagong; ‘Apakah yang tua
tidak harus menghormati yang muda?’, ‘Semar boleh memanggilku Gong, kenapa aku
tak boleh memanggilnya Mar?’, ‘Apakah Semar juga tidak harus berterima kasih
kepadaku?’ Hingga kemudian berujung pada, ‘Orangtua harus dijunjung? Dijunjung
ke mana? Ke kuburan? Tak ada ceritanya bayi menggendong ibunya. Justru orangtua
yang harus menjunjung dan menggendong anaknya untuk diantar ke masa depan.’
(hal. 17).
Feodalisme itu pulalah yang menyebabkan kemandekan
bahkan ketakutan dalam berdemokrasi. Orang makin merasa asing terhadap sikap
‘tidak’. Tak seorang pun yang tak merasa takut. Penduduk takut kepada Pak RT,
Pak RT takut kepada Pak RW, Pak RW takut kepada Pak Kades, Pak Kades sendiri
begitu takut kepada penduduk atau setidak-tidaknya pada kemungkinan tertentu
yang dikandung rahim rakyatnya. Ketakutan itu terkadang nyata, terkadang semu.
Semua itu lantaran kebergantungan masing-masing terhadap jabatan, keamanan
status, kelancaran asap dapur, atau segala sesuatu yang sesungguhnya bisa
dinomorduakan apabila mereka mendidik diri untuk memiliki kemandirian dan
kepribadian kukuh (hal. 26). Di Karang Kedempel orang pun jadi tertatar dan
terlatih untuk menampilkan diri tidak sebagai diri sendiri. Kemampuan yang
paling penting dikembangkan adalah kemampuan untuk menjadi palsu. Kemampuan
memalsukan—setidaknya membungkus—bunyi pendapat, suara kebenaran, surat, uang dan cek,
kejutan, juga memalsukan diri sendiri (hal. 116).
Emha benar-benar memanfaatkan dunia wayang sebagai
kerangka teori untuk melucuti realitas kala itu. Diamnya Semar atas kematian Bambang
Ekalaya oleh siasat Prabu Kresna yang demi melancarkan skenario Mahabharata,
serta aib Raden Arjuna yang ditutup-tutupi, seolah menggambarkan ketakberdayaan
demokrasi di hadapan kekuasaan yang meminta ‘tumbal keselarasan’. Gong raksasa
itu diciptakan dengan bahan darah daging Bambang Ekalaya. Beberapa ratus anak
ditangkap dan satu dua diadili, seolah dijadikan gong yang ditabuh untuk
memperingatkan masyarakat tentang perlunya keselarasan (hal. 177). Maka
wajarlah ketika para warga sudah tak tahan dengan kelakuan para petinggi Karang
Kedempel, huru-hara untuk menggulingkan kekuasaan pun tak bisa dihindari.
Sementara demokrasi hanya bisa terdiam, seperti Kiai Semar yang sebenarnya
sedang sembunyi di atas pohon menyaksikan semua kerusuhan yang sedang terjadi.
Hilangnya Kiai Semar seolah menjadi chaos sebagai akibat masih kurangnya
kemandirian masyarakat akan bimbingan seorang kiai yang sekaligus berperan
sebagai bapak, psikolog, bahkan terkadang hakim. Sosok kiai tampaknya tak bisa
lepas dari sistem feodalisme masyarakat kita.*
(Nur Hadi, Jawa Pos, Minggu 9 Agustus 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar