Perjalanan dalam Kabut
Seperti buih yang pasrah dengan air, perahu itu terapung-apung tak tahu
harus ke mana. Kehilangan pengemudi, mesin diesel yang seharusnya menjadi penyelamat
pun telah mati. Sementara kabut mengepungnya dari segala penjuru.
Wirya coba mengingat-ingat sesuatu. Yang masih ia ingat, pemilik perahu
berjanji akan mengantarkannya ke kepulauan Karimun. Seperti juga halnya
orang-orang yang ada dalam perahu ini. Selebihnya ingatannya terhalang pening
tak tertanggung.
Wirya sempat bertanya kepada mereka yang senasib dengannya. Tentang kabut,
tentang di mana pemilik perahu. Tapi, entah mengapa orang-orang itu tak pernah
jawab. Membisu atau entah memang bisu. Hanya mata mereka seolah mengatakan,
“Aku tak tahu. Aku juga bingung dengan keadaan ini.”
Seorang remaja tanggung duduk mencangkung di ujung perahu. Seperti tengah
menunggu. Mulutnya pun mengatup rapat saat Wirya menyapanya. Hanya mata
beningnya yang seolah berkata, “Aku yakin bapakku akan kembali. Jadi Mister
tenanglah. Kembalilah ke tempat dudukmu. Dan janganlah seperti anak kecil.” Ah,
Wirya ingat. Anak itu, bapaknya pernah memanggil dengan nama Sahir.
Kabut ini pun kemudian membuat rindu Wirya menjadi. Perlahan Wirya mulai
ingat tujuan. Gadis itu, Kartini! Dulu, Kartini pernah cerita tentang kabut
ini. Tentang sejarah tanah kelahirannya.
Dimulai dari Sunan Kudus yang suatu hari mendapat undangan Raden Patah. Ternyata
Sunan mendapat kepercayaan memimpin jamaah haji ke Mekah. Agar proses belajar mengajar
di pesantren sepeninggalnya tetap jalan, Sunan menunjuk putranya yang bernama
Amir Hasan untuk memimpin. Tapi apa yang terjadi? Setelah Sunan berangkat, para
santri tak diajari masalah agama, namun justru dibiarkan sesuka-sukanya.
Sepulang Sunan dari tanah suci, beberapa santri melaporkan tindakan Amir
Hasan. Sunan pun marah, menganggap Amir Hasan abai nasihat orangtua. Amir Hasan pun diusir. Dengan sedih Amir Hasan meninggalkan tanah kelahiran menuju rumah
bibinya, Dewi Sujinah, isteri Sunan
Muria di Gunung Muria. Dia menetap beberapa bulan di sana. Sunan Muria sangat
senang, bahkan mengangkatnya sebagai murid sekaligus putera. Setiap hari dia
dididik ilmu agama dan kesaktian, sehingga tumbuh menjadi pemuda alim berilmu
tinggi.
Beberapa tahun setelah dianggap mampu, Amir mendapatkan perintah untuk
menyebarkan ilmu yang sudah didapat. Ditemani dua murid Sunan Muria, ketiga
orang tersebut menuju Barat, sampai akhirnya tiba di pantai Jung Poro (sekarang
bernama Jepara). Di sini mereka menyiapkan perahu. Ketiganya pun berlayar
menuju Barat Laut. Sampai akhirnya mendarat di sebuah pulau asing.
Di Pulau itu
mereka bertemu gerombolan orang liar yang adalah para bajak laut. Dengan ramah
Amir Hasan menjalin perkenalan. Namun justru kemudian mendapatkan tantangan berkelahi.
Untunglah
para bajak laut itu dapat dikalahkan. Mereka tunduk dan justru menjadi murid
setia Amir Hasan. Lantas Amir Hasan pun menyuruh kedua temannya untuk
melaporkan perihal keberadaannya kepada
Sunan Muria. Betapa senangnya Sunan Muria mendengar berita itu. Sunan Muria pun
meminta tolong untuk ditunjukkan pulau tempat Amir Hasan berada.
Ketika dua
santri itu menunjuk ke arah pulau yang terlihat kremun-kremun (samar)
dari pantai Jung Poro, dari kisah itulah kemudian nama Karimun lahir. Sebuah pulau yang seolah tertutup
kabut jika dilihat dari Jawa. Dan kini, sepertinya kisah itu menjadi nyata.
Kabut itu telah mengepung perahu yang Wirya tumpangi.
Ibu Wirya
berdarah Bali. Masa kecilnya lekat dengan tanah pulau dewata itu. Karena
menginginkan pendidikan yang lebih baik, ketika beranjak remaja Wirya
diboyong ayahnya yang berdarah Belanda. Setelah
beberapa tahun barulah takdir membawa Wirya kembali ke tanah kelahirannya. Ia
diminta sang ayah untuk memegang bisnis meubel yang saat itu masih sangat
menjanjikan. Dengan darah mudanya yang menyukai seni, motif-motif ukir yang
unik terus bermunculan di galeri tokonya.
Kemudian di
kota itulah ia menemukan cinta. Di kota asal motif ukir yang pernah ia kagumi
keindahannya. Rupa elok itu bernama Kartini. Gadis pemberani yang merantau ke
pulau seberang karena tuntutan sebagai tulang punggung keluarga. Di pantai
Pungkruk. Ketika ia kelelahan sehabis memanjakan diri dengan berselancar. Dia
muncul di hadapannya, menawarkan menu lokal pengusir lapar dari rumah makan
tradisional tempatnya bekerja. Jumpa pertama yang mengesankan. Seperti ada yang
tertinggal ketika Wirya harus meninggalkan kota itu demi membawa pulang barang
dagangan ke Bali.
Sang ayah
sempat menentang ketika Wirya usul akan membangun gudang di Jepara demi
memperkecil bea produksi. Berbagai alasan demi tercapainya niat itupun gigih
Wirya desakkan. Tanpa sepengetahuan biang[1]
dan aji[2]nya,
bahwa ia sebenarnya menyimpan niat lain. Demi gadis itu.
Lalu pada
pertemuan yang entah keberapa, ketika kedekatan mereka semakin menjadi, di
pantai Pungkruk, sepasang camar menukik memamerkan keserasiannya. Alun ombak
terdengar merdu. Senja jingga memantulkan warna emas di seluruh permukaan
pantai. Membius mata. Dua sejoli itu larut dalam buai suasana. Lalu terjadilah
yang seharusnya tak boleh terjadi.
Wirya
tersadar dari lamun ketika telinganya menangkap suara yang tak asing. Suara si
pemilik perahu. Sahir pun terlihat bangkit dan pandangannya nyalang mencari ke
segala arah. Ketika suara itu semakin terdengar jelas memanggil-manggil Sahir,
tiga orang penumpang langsung gegas menarik-narik kaus Sahir.
Namun Sahir
masih bergeming. Bahkan hingga salah seorang penumpang nekat terjun ke laut dan
berenang ke arah yang diyakininya sebagai muasal suara.
Hingga suara
yang memanggil-manggil Sahir tak terdengar lagi. Yang nekat mencebur ke laut
tak kunjung kembali. Beberapa penumpang saling pandang tanpa suara. Seperti
tengah menanyakan nasib yang akan menimpa mereka selanjutnya.
Mulut Sahir
masih terkunci rapat saat Wirya menghampirinya. Hanya kedua matanya yang
seperti berbicara, “Aku juga sudah memanggil-manggil Bapak. Mister lihat
sendiri kan? Tak ada yang datang. Hanya ada kabut, dan orang-orang yang tidak
sabar itu.”
* * *
Sejak
mendengar cerita Hendri, rindu yang sudah beku itu tiba-tiba bertunas dan
tumbuh dengan begitu cepatnya.
“Pasti benar
itu Kartini yang Pak Wirya maksud. Tubuhnya kecil ramping, alis sebelah
kanannya berantakan, punya tahi lalat di sudut mulut sebelah kiri, rambutnya
bergelombang, dan… dia punya seorang anak laki-laki yang mirip anak bule. Satu-satunya anak yang mirip anak
bule di kampung kami,” cerita Hendri terdengar jelas meski laut tak pernah
diam.
Hendri
adalah pekerja di gudang meubelnya yang mengaku berasal dari Pulau Kemujan. Ia
memang pernah sengaja mencari pekerja yang berasal dari kepulauan Karimun. Ia
juga sengaja menjadikan Hendri sebagai anak buah kesayangan, tentu saja dengan
maksud tertentu. Dan ketika Hendri akhirnya bercerita perihal seorang perempuan
bernama Kartini, o, betapa. Ia yakin Hendri tak sedang berusaha menjilat. Meski
beberapa waktu lalu lelaki muda itu sempat membujuk Wirya untuk membangun
gudang di Jepara—tentu saja dengan Hendri sebagai mandor kepercayaannya. Hendri
belum tahu, bahwa dulu Wirya pernah memiliki sebuah gudang meubel di sana.
“Teman-temannya
sering memanggilnya Pieter. Umurnya sekitar empatbelasan. Ah, andai saja Bapak
tak pernah cerita pernah punya kekasih yang sekampung halaman dengan saya. Ini
namanya takdir berbicara. Pak Wirya harus menengoknya sendiri,” lanjut Hendri antusias.
Rindu jadi
tak terbendung. Biang dan ajinya akhirnya mengangguk ketika ia
mengajukan niat hendak menjemput Kartini. Mereka seperti sudah tak punya kuasa
lagi untuk mencampuri kehidupan Wirya.
Sejak
peristiwa kelam empat belas tahun silam, Wirya memang tak pernah berniat
menghapus semua kenangan tentang Kartini. Lima tahun sejak dipaksa hengkang
dari Jepara, biangnya pernah menjodohkan dengan beberapa gadis Bali. Perempuan
itu khawatir andai Wirya menghancurkan diri sendiri pascaperpisahan.
“Kalau cinta,
kenapa dia tak mau ikut denganmu?” suara biangnya terdengar kemudian. “Cintanya
hanya tersebab kau punya harta di sana. Aaah, apalah itu orang-orang. Katanya
toleran, simpatik, suka kerukunan, tapi kau juga dengar kan nasib para Tionghoa
di Jakarta?” getir suara biangnya ketika itu. Tahun itu di Jakarta
tengah terjadi kerusuhan hebat pascalengsernya Presiden Suharto.
Ia
tersungkur dalam kesedihan. Tak bisa
bertahan. Hatinya remuk ketika dengan mata kepala sendiri melihat gudang yang
ia bangun dengan jerih payah, yang turut menjadi penghidupan mereka, justru
mereka hancurkan sendiri dengan alasan tak masuk akal.
Wirya sempat
mendengar desas-desus itu. Dirinya dan beberapa warga asing yang mendirikan
usaha di kota itu dicurigai sebagai biangkerok merosotnya perekonomian warga. Ia
heran. Benarkah selama ini ia hanya menjadi parasit? Mungkin, satu dua memang
ada yang seperti itu, menekan bea produksi semurah mungkin di tempat asal, lalu
mencari keuntungan sebesar mungkin ketika barang telah di luar. Tapi Wirya tak
seperti itu. Mereka selalu turut menikmati hasilnya, entah itu dalam bentuk
tunjangan-tunjangan pekerja maupun santunan-santunan yang rutin ia berikan.
Lagipula, ia tak pernah merasa sebagai orang asing!
“Kenapa kau
tak ingin ikut?” siang yang mengharukan di Bandara Ahmad Yani Semarang.
Wajah ayunya
kusut dan murung. Wirya menebak-nebak sendiri kemelut yang dialami gadisnya
itu. “Kita duduk dulu. Kamu pasti capek,” mengajaknya menepi ke kursi tunggu.
Wirya sendiri masih merasakan lelah yang luar biasa. Gudangnya yang telah abu
ia tinggalkan begitu saja. Rencananya, ia akan menjualnya kepada siapapun yang
berminat. Tentang itu akan diurus oleh salah seorang (mantan) anak buahnya,
yang mengantar Kartini ke bandara ini.
“Apa kamu
marah?” akhirnya Kartini menemui mata Wirya. Di pelupuk matanya, seperti ada mendung yang hendak
turun menjadi hujan.
“Marah?
Kepada siapa?” Wirya berusaha mengendalikan emosi dalam nada suara.
“Kepada
mereka yang telah menghancurkan gudangmu, mengusirmu…”
“Aku malah
justru kasihan dengan mereka. Aku yakin suatu saat nanti mereka akan menyesal.
Mereka hanya tak bisa membaca masa depan, bahwa orang-orang sepertiku akan amat
dibutuhkan.”
“Juga kepada
emak bapakku…,” gadis itu tertunduk.
“Jadi kamu
memang tidak mau ikut denganku?”
“Bukannya
tak mau, tapi tak bisa,” suara itu gemetar.
“Kalau hanya
masalah uang untuk biang dan ajimu, itu bisa diatur,” kejar
Wirya.
“Aku sudah
menceritakan semuanya kepadamu, Piet…”
Terdiam
dalam jeda lama. Meski bandara lumayan ramai, namun Wirya serasa terdampar di
sebuah negeri asing. Ia masih bisa melihat bagaimana cara orang-orang
memandangnya. Fisik Wirya menuruni fisik ajinya. Pieter Putu Wirya,
berkulit putih, tinggi gagah, dengan rambut pirang. Hanya mata yang merupakan
titisan biangnya. Mereka sering menyangka bahwa ia adalah
turis asing. Padahal bahasa Indonesia dan bahasa Balinya medok.
Dan di
sinilah Wirya sekarang berada. Di atas sebuah perahu, dalam sebuah perjalanan
hendak menengok masa lalu. Hendri sudah memberinya referensi agar lebih baik
menunggu kapal ekspres atau kapal resmi lainnya yang bertolak dari Pantai
Kartini Jepara. Tapi Wirya lebih memilih perahu ini. Sebuah perjalanan yang ia
sangka akan menjadi kenangan manis.
Menurut
cerita Hendri, Kartini begitu tabah membesarkan anaknya seorang diri. Ia pernah
menikah sekali, tapi gagal di tengah jalan. Setelah itu ia tidak pernah menikah
lagi. Betapa Wirya menyesali keputusannya saat itu.
Kata Hendri,
kota itu kemudian terpuruk. Perekonomiannya mengalami kemunduran drastis
pascakerusuhan. Hutan lokal banyak yang rusak akibat penjarahan. Tanpa sadar,
mereka menyakiti diri sendiri. Seperti juga Wirya, mereka tampaknya juga butuh
waktu lama untuk bisa melihat kesalahan di masa lalu.
* * *
Malam tampak
mengerikan. Bintang-bintang entah sembunyi di mana. Hamparan gelap dan kabut
yang mengepung, entah kapan akan membebaskan perahu itu dari sanderanya. Entah
sudah berapa hari. Ingatan Wirya benar-benar gelap. Perahu ini seperti harapan
yang hampir mati. Orang-orangnya menggila. Setelah lama bertahan tanpa makan
dan minum, pikiran mereka mulai tak waras. Mula-mula tiga orang nekat terjun ke
laut. Lalu bertambah empat orang. Hingga
suatu malam, ketika perahu tiba-tiba saja menabrak dua benda terapung
yang ternyata mayat! Kondisinya sudah sebegitu rusaknya. Dari pakaian yang
dikenakan, Wirya yakin itu adalah mereka yang telah terjun ke laut.
Sisa delapan
orang di atas perahu. Enam orang gila yang telah tega memangsa bangkai
saudaranya sendiri. Lalu Sahir, termasuk Wirya di atasnya, yang masih berusaha
keras mengingat bagaimana kronologi hingga mereka terjebak dalam kabut ini.
Wirya
melihat sepasang mata itu. Sepasang mata lapar setelah kemarin hanya menelan
kausnya sendiri. Wirya pun berjalan pelan ke arah Sahir. Setelah dua mayat itu,
entah mengapa perasaan Wirya amat tak enak. Sepasang mata yang lapar itu tak
lepas memandangi Sahir, seperti tengah mengincar mangsa. Wirya takkan
membiarkannya. Sebab hanya bocah itu yang akan mengantarkannya kepada kisah
masa lalu yang pernah ditinggalkannya.
Brukk!
Wirya
mendengar itu. Benda keras beradu benda keras. Ia tak tahu siapa. Yang ia tahu
ia harus melawan. Karena ternyata tak hanya seorang. Ia digumuli dua orang.
Mereka berusaha melumpuhkan Wirya. Dan ternyata ia juga mendengar teriakan
Sahir!
Wirya berteriak.
Sekeras-kerasnya. Ia harus bertahan. Ia harus menang. Demi cintanya yang telah lama menunggu. Demi
sebaris kalimat yang belum sempat terucap empatbelas tahun silam…
“Mister,
bangun, Mister, kita sudah sampai,” sebuah suara yang tak asing. Dan ia merasakan
tubuhnya diguncang-guncang.
Cahaya
langsung menyeruak begitu kelopak matanya bergerak. Seraut wajah yang amat ia
kenal menyambut dengan senyum, membuat keningnya berkerut. Sahir?
Dengan
kepala yang masih terasa pening Wirya melangkah dari tempatnya berbaring.
Langit tampak biru. Seperti wajah yang tak pernah bersedih. Bersih berseri
dengan sesaput awan putih tipis di sana-sini. Tak ada kabut. Tak ada badai. Di
ujung arah yang dituju perahu, sebuah daratan dengan jajaran cemara tampak
melambai-lambai memanggil-manggil.
“Ombaknya
sudah lewat, Mister. Untunglah tadi ada perahu lain yang juga setujuan.
Akhirnya Bapak mengurangi delapan penumpang demi keamanan perahu…,” Sahir yang
membuntuti Wirya terus saja berceloteh. “Mister sudah mendingan kan? Mungkin karena
tidak terbiasa dengan ombak besar, makanya Mister mabuk berat,” tertawa kecil,
seolah mengejek.
Ah, anak
itu. Bisa-bisanya dia menertawakan kondisi Wirya sekarang. Padahal dalam mimpi
berkabut itu, maut hampir memangsanya.
Orang-orang
menyapa Wirya dengan senyum ramah. Membuat bayangan buruk dalam mimpi itu perlahan
surut. Mungkin karena efek mabuk laut yang terlalu, yang kemudian menyulut
kenangan buruk belasan tahun silam. Wirya tahu zaman sudah berubah. Kota itu
sudah berubah. Semua orangnya pun sudah berubah.
Sahir turut
melompat dari perahu ketika bapaknya mulai menambatkan perahu di sebuah dermaga
kecil. Debaran dalam dada Wirya semakin terasa. Seperti ada yang tumbuh di
dalamnya. Harapan. Ia sungguh berharap Kartini akan menerimanya kembali. Sebagai
lelaki yang bertanggungjawab. Sebagai seorang ayah. Meskipun terlambat. Wirya
yakin, kabut yang menyelimuti masa lalunya akan segera sirna. Sebentar
lagi….***
(Adi Zamzam,
Majalah KARTINI No. 2365 / 09-23 Januari
2014)
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus