Selasa, 18 Agustus 2015

Perjalanan dalam Kabut



Perjalanan dalam Kabut




Seperti buih yang pasrah dengan air, perahu itu terapung-apung tak tahu harus ke mana. Kehilangan pengemudi, mesin diesel yang seharusnya menjadi penyelamat pun telah mati. Sementara kabut mengepungnya dari segala penjuru.
Wirya coba mengingat-ingat sesuatu. Yang masih ia ingat, pemilik perahu berjanji akan mengantarkannya ke kepulauan Karimun. Seperti juga halnya orang-orang yang ada dalam perahu ini. Selebihnya ingatannya terhalang pening tak tertanggung.
Wirya sempat bertanya kepada mereka yang senasib dengannya. Tentang kabut, tentang di mana pemilik perahu. Tapi, entah mengapa orang-orang itu tak pernah jawab. Membisu atau entah memang bisu. Hanya mata mereka seolah mengatakan, “Aku tak tahu. Aku juga bingung dengan keadaan ini.”

Seorang remaja tanggung duduk mencangkung di ujung perahu. Seperti tengah menunggu. Mulutnya pun mengatup rapat saat Wirya menyapanya. Hanya mata beningnya yang seolah berkata, “Aku yakin bapakku akan kembali. Jadi Mister tenanglah. Kembalilah ke tempat dudukmu. Dan janganlah seperti anak kecil.” Ah, Wirya ingat. Anak itu, bapaknya pernah memanggil dengan nama Sahir.
Kabut ini pun kemudian membuat rindu Wirya menjadi. Perlahan Wirya mulai ingat tujuan. Gadis itu, Kartini! Dulu, Kartini pernah cerita tentang kabut ini. Tentang sejarah tanah kelahirannya.
Dimulai dari Sunan Kudus yang suatu hari mendapat undangan Raden Patah. Ternyata Sunan mendapat kepercayaan memimpin jamaah haji ke Mekah. Agar proses belajar mengajar di pesantren sepeninggalnya tetap jalan, Sunan menunjuk putranya yang bernama Amir Hasan untuk memimpin. Tapi apa yang terjadi? Setelah Sunan berangkat, para santri tak diajari masalah agama, namun justru dibiarkan sesuka-sukanya.
Sepulang Sunan dari tanah suci, beberapa santri melaporkan tindakan Amir Hasan. Sunan pun marah, menganggap Amir Hasan abai  nasihat orangtua. Amir Hasan  pun diusir. Dengan sedih Amir Hasan  meninggalkan tanah kelahiran menuju rumah bibinya, Dewi Sujinah, isteri  Sunan Muria di Gunung Muria. Dia menetap beberapa bulan di sana. Sunan Muria sangat senang, bahkan mengangkatnya sebagai murid sekaligus putera. Setiap hari dia dididik ilmu agama dan kesaktian, sehingga tumbuh menjadi pemuda alim berilmu tinggi.
Beberapa tahun setelah dianggap mampu, Amir mendapatkan perintah untuk menyebarkan ilmu yang sudah didapat. Ditemani dua murid Sunan Muria, ketiga orang tersebut menuju Barat, sampai akhirnya tiba di pantai Jung Poro (sekarang bernama Jepara). Di sini mereka menyiapkan perahu. Ketiganya pun berlayar menuju Barat Laut. Sampai akhirnya mendarat di sebuah pulau asing.
Di Pulau itu mereka bertemu gerombolan orang liar yang adalah para bajak laut. Dengan ramah Amir Hasan menjalin perkenalan. Namun justru kemudian mendapatkan tantangan berkelahi.
Untunglah para bajak laut itu dapat dikalahkan. Mereka tunduk dan justru menjadi murid setia Amir Hasan. Lantas Amir Hasan pun menyuruh kedua temannya untuk melaporkan perihal  keberadaannya kepada Sunan Muria. Betapa senangnya Sunan Muria mendengar berita itu. Sunan Muria pun meminta tolong untuk ditunjukkan pulau tempat Amir Hasan berada.
Ketika dua santri itu menunjuk ke arah pulau yang terlihat kremun-kremun (samar) dari pantai Jung Poro, dari kisah itulah kemudian nama Karimun  lahir. Sebuah pulau yang seolah tertutup kabut jika dilihat dari Jawa. Dan kini, sepertinya kisah itu menjadi nyata. Kabut itu telah mengepung perahu yang Wirya tumpangi.
Ibu Wirya berdarah Bali. Masa kecilnya lekat dengan tanah pulau dewata itu. Karena menginginkan pendidikan yang lebih baik, ketika beranjak remaja Wirya diboyong  ayahnya yang berdarah Belanda. Setelah beberapa tahun barulah takdir membawa Wirya kembali ke tanah kelahirannya. Ia diminta sang ayah untuk memegang bisnis meubel yang saat itu masih sangat menjanjikan. Dengan darah mudanya yang menyukai seni, motif-motif ukir yang unik terus bermunculan di galeri tokonya.
Kemudian di kota itulah ia menemukan cinta. Di kota asal motif ukir yang pernah ia kagumi keindahannya. Rupa elok itu bernama Kartini. Gadis pemberani yang merantau ke pulau seberang karena tuntutan sebagai tulang punggung keluarga. Di pantai Pungkruk. Ketika ia kelelahan sehabis memanjakan diri dengan berselancar. Dia muncul di hadapannya, menawarkan menu lokal pengusir lapar dari rumah makan tradisional tempatnya bekerja. Jumpa pertama yang mengesankan. Seperti ada yang tertinggal ketika Wirya harus meninggalkan kota itu demi membawa pulang barang dagangan ke Bali.
Sang ayah sempat menentang ketika Wirya usul akan membangun gudang di Jepara demi memperkecil bea produksi. Berbagai alasan demi tercapainya niat itupun gigih Wirya desakkan. Tanpa sepengetahuan biang[1] dan aji[2]nya, bahwa ia sebenarnya menyimpan niat lain. Demi gadis itu.
Lalu pada pertemuan yang entah keberapa, ketika kedekatan mereka semakin menjadi, di pantai Pungkruk, sepasang camar menukik memamerkan keserasiannya. Alun ombak terdengar merdu. Senja jingga memantulkan warna emas di seluruh permukaan pantai. Membius mata. Dua sejoli itu larut dalam buai suasana. Lalu terjadilah yang seharusnya tak boleh terjadi.
Wirya tersadar dari lamun ketika telinganya menangkap suara yang tak asing. Suara si pemilik perahu. Sahir pun terlihat bangkit dan pandangannya nyalang mencari ke segala arah. Ketika suara itu semakin terdengar jelas memanggil-manggil Sahir, tiga orang penumpang langsung gegas menarik-narik kaus Sahir.
Namun Sahir masih bergeming. Bahkan hingga salah seorang penumpang nekat terjun ke laut dan berenang ke arah yang diyakininya sebagai muasal suara.
Hingga suara yang memanggil-manggil Sahir tak terdengar lagi. Yang nekat mencebur ke laut tak kunjung kembali. Beberapa penumpang saling pandang tanpa suara. Seperti tengah menanyakan nasib yang akan menimpa mereka selanjutnya.
Mulut Sahir masih terkunci rapat saat Wirya menghampirinya. Hanya kedua matanya yang seperti berbicara, “Aku juga sudah memanggil-manggil Bapak. Mister lihat sendiri kan? Tak ada yang datang. Hanya ada kabut, dan orang-orang yang tidak sabar itu.”
*             *          *

Sejak mendengar cerita Hendri, rindu yang sudah beku itu tiba-tiba bertunas dan tumbuh dengan begitu cepatnya.
“Pasti benar itu Kartini yang Pak Wirya maksud. Tubuhnya kecil ramping, alis sebelah kanannya berantakan, punya tahi lalat di sudut mulut sebelah kiri, rambutnya bergelombang, dan… dia punya seorang anak laki-laki yang mirip  anak bule. Satu-satunya anak yang mirip anak bule di kampung kami,” cerita Hendri terdengar jelas meski laut tak pernah diam.
Hendri adalah pekerja di gudang meubelnya yang mengaku berasal dari Pulau Kemujan. Ia memang pernah sengaja mencari pekerja yang berasal dari kepulauan Karimun. Ia juga sengaja menjadikan Hendri sebagai anak buah kesayangan, tentu saja dengan maksud tertentu. Dan ketika Hendri akhirnya bercerita perihal seorang perempuan bernama Kartini, o, betapa. Ia yakin Hendri tak sedang berusaha menjilat. Meski beberapa waktu lalu lelaki muda itu sempat membujuk Wirya untuk membangun gudang di Jepara—tentu saja dengan Hendri sebagai mandor kepercayaannya. Hendri belum tahu, bahwa dulu Wirya pernah memiliki sebuah gudang meubel di sana.
“Teman-temannya sering memanggilnya Pieter. Umurnya sekitar empatbelasan. Ah, andai saja Bapak tak pernah cerita pernah punya kekasih yang sekampung halaman dengan saya. Ini namanya takdir berbicara. Pak Wirya harus menengoknya sendiri,” lanjut Hendri antusias.
Rindu jadi tak terbendung. Biang dan ajinya akhirnya mengangguk ketika ia mengajukan niat hendak menjemput Kartini. Mereka seperti sudah tak punya kuasa lagi untuk mencampuri kehidupan Wirya.
Sejak peristiwa kelam empat belas tahun silam, Wirya memang tak pernah berniat menghapus semua kenangan tentang Kartini. Lima tahun sejak dipaksa hengkang dari Jepara, biangnya pernah menjodohkan dengan beberapa gadis Bali. Perempuan itu khawatir andai Wirya menghancurkan diri sendiri pascaperpisahan.
“Kalau cinta, kenapa dia tak mau ikut denganmu?” suara biangnya terdengar kemudian. “Cintanya hanya tersebab kau punya harta di sana. Aaah, apalah itu orang-orang. Katanya toleran, simpatik, suka kerukunan, tapi kau juga dengar kan nasib para Tionghoa di Jakarta?” getir suara biangnya ketika itu. Tahun itu di Jakarta tengah terjadi kerusuhan hebat pascalengsernya Presiden Suharto.
Ia tersungkur dalam  kesedihan. Tak bisa bertahan. Hatinya remuk ketika dengan mata kepala sendiri melihat gudang yang ia bangun dengan jerih payah, yang turut menjadi penghidupan mereka, justru mereka hancurkan sendiri dengan alasan tak masuk akal.
Wirya sempat mendengar desas-desus itu. Dirinya dan beberapa warga asing yang mendirikan usaha di kota itu dicurigai sebagai biangkerok merosotnya perekonomian warga. Ia heran. Benarkah selama ini ia hanya menjadi parasit? Mungkin, satu dua memang ada yang seperti itu, menekan bea produksi semurah mungkin di tempat asal, lalu mencari keuntungan sebesar mungkin ketika barang telah di luar. Tapi Wirya tak seperti itu. Mereka selalu turut menikmati hasilnya, entah itu dalam bentuk tunjangan-tunjangan pekerja maupun santunan-santunan yang rutin ia berikan. Lagipula, ia tak pernah merasa sebagai orang asing!
“Kenapa kau tak ingin ikut?” siang yang mengharukan di Bandara Ahmad Yani Semarang.
Wajah ayunya kusut dan murung. Wirya menebak-nebak sendiri kemelut yang dialami gadisnya itu. “Kita duduk dulu. Kamu pasti capek,” mengajaknya menepi ke kursi tunggu. Wirya sendiri masih merasakan lelah yang luar biasa. Gudangnya yang telah abu ia tinggalkan begitu saja. Rencananya, ia akan menjualnya kepada siapapun yang berminat. Tentang itu akan diurus oleh salah seorang (mantan) anak buahnya, yang mengantar Kartini ke bandara ini.
“Apa kamu marah?” akhirnya Kartini menemui mata Wirya. Di pelupuk  matanya, seperti ada mendung yang hendak turun menjadi hujan.
“Marah? Kepada siapa?” Wirya berusaha mengendalikan emosi dalam nada suara.
“Kepada mereka yang telah menghancurkan gudangmu, mengusirmu…”
“Aku malah justru kasihan dengan mereka. Aku yakin suatu saat nanti mereka akan menyesal. Mereka hanya tak bisa membaca masa depan, bahwa orang-orang sepertiku akan amat dibutuhkan.”
“Juga kepada emak bapakku…,” gadis itu tertunduk.
“Jadi kamu memang tidak mau ikut denganku?”
“Bukannya tak mau, tapi tak bisa,” suara itu gemetar.
“Kalau hanya masalah uang untuk biang dan ajimu, itu bisa diatur,” kejar Wirya.
“Aku sudah menceritakan semuanya kepadamu, Piet…”
Terdiam dalam jeda lama. Meski bandara lumayan ramai, namun Wirya serasa terdampar di sebuah negeri asing. Ia masih bisa melihat bagaimana cara orang-orang memandangnya. Fisik Wirya menuruni fisik ajinya. Pieter Putu Wirya, berkulit putih, tinggi gagah, dengan rambut pirang. Hanya mata yang merupakan titisan biangnya. Mereka sering menyangka bahwa ia adalah turis asing. Padahal bahasa Indonesia dan bahasa Balinya medok.
Dan di sinilah Wirya sekarang berada. Di atas sebuah perahu, dalam sebuah perjalanan hendak menengok masa lalu. Hendri sudah memberinya referensi agar lebih baik menunggu kapal ekspres atau kapal resmi lainnya yang bertolak dari Pantai Kartini Jepara. Tapi Wirya lebih memilih perahu ini. Sebuah perjalanan yang ia sangka akan menjadi kenangan manis.
Menurut cerita Hendri, Kartini begitu tabah membesarkan anaknya seorang diri. Ia pernah menikah sekali, tapi gagal di tengah jalan. Setelah itu ia tidak pernah menikah lagi. Betapa Wirya menyesali keputusannya saat itu.
Kata Hendri, kota itu kemudian terpuruk. Perekonomiannya mengalami kemunduran drastis pascakerusuhan. Hutan lokal banyak yang rusak akibat penjarahan. Tanpa sadar, mereka menyakiti diri sendiri. Seperti juga Wirya, mereka tampaknya juga butuh waktu lama untuk bisa melihat kesalahan di masa lalu.
*             *          *

Malam tampak mengerikan. Bintang-bintang entah sembunyi di mana. Hamparan gelap dan kabut yang mengepung, entah kapan akan membebaskan perahu itu dari sanderanya. Entah sudah berapa hari. Ingatan Wirya benar-benar gelap. Perahu ini seperti harapan yang hampir mati. Orang-orangnya menggila. Setelah lama bertahan tanpa makan dan minum, pikiran mereka mulai tak waras. Mula-mula tiga orang nekat terjun ke laut. Lalu bertambah empat orang. Hingga  suatu malam, ketika perahu tiba-tiba saja menabrak dua benda terapung yang ternyata mayat! Kondisinya sudah sebegitu rusaknya. Dari pakaian yang dikenakan, Wirya yakin itu adalah mereka yang telah terjun ke laut.
Sisa delapan orang di atas perahu. Enam orang gila yang telah tega memangsa bangkai saudaranya sendiri. Lalu Sahir, termasuk Wirya di atasnya, yang masih berusaha keras mengingat bagaimana kronologi hingga mereka terjebak dalam kabut ini.
Wirya melihat sepasang mata itu. Sepasang mata lapar setelah kemarin hanya menelan kausnya sendiri. Wirya pun berjalan pelan ke arah Sahir. Setelah dua mayat itu, entah mengapa perasaan Wirya amat tak enak. Sepasang mata yang lapar itu tak lepas memandangi Sahir, seperti tengah mengincar mangsa. Wirya takkan membiarkannya. Sebab hanya bocah itu yang akan mengantarkannya kepada kisah masa lalu yang pernah ditinggalkannya.
Brukk!
Wirya mendengar itu. Benda keras beradu benda keras. Ia tak tahu siapa. Yang ia tahu ia harus melawan. Karena ternyata tak hanya seorang. Ia digumuli dua orang. Mereka berusaha melumpuhkan Wirya. Dan ternyata ia juga mendengar teriakan Sahir!
Wirya berteriak. Sekeras-kerasnya. Ia harus bertahan. Ia harus menang. Demi  cintanya yang telah lama menunggu. Demi sebaris kalimat yang belum sempat terucap empatbelas tahun silam…
“Mister, bangun, Mister, kita sudah sampai,” sebuah suara yang tak asing. Dan ia merasakan tubuhnya diguncang-guncang.
Cahaya langsung menyeruak begitu kelopak matanya bergerak. Seraut wajah yang amat ia kenal menyambut dengan senyum, membuat keningnya berkerut. Sahir?
Dengan kepala yang masih terasa pening Wirya melangkah dari tempatnya berbaring. Langit tampak biru. Seperti wajah yang tak pernah bersedih. Bersih berseri dengan sesaput awan putih tipis di sana-sini. Tak ada kabut. Tak ada badai. Di ujung arah yang dituju perahu, sebuah daratan dengan jajaran cemara tampak melambai-lambai memanggil-manggil.
“Ombaknya sudah lewat, Mister. Untunglah tadi ada perahu lain yang juga setujuan. Akhirnya Bapak mengurangi delapan penumpang demi keamanan perahu…,” Sahir yang membuntuti Wirya terus saja berceloteh. “Mister sudah mendingan kan? Mungkin karena tidak terbiasa dengan ombak besar, makanya Mister mabuk berat,” tertawa kecil, seolah mengejek.
Ah, anak itu. Bisa-bisanya dia menertawakan kondisi Wirya sekarang. Padahal dalam mimpi berkabut itu, maut hampir memangsanya.
Orang-orang menyapa Wirya dengan senyum ramah. Membuat bayangan buruk dalam mimpi itu perlahan surut. Mungkin karena efek mabuk laut yang terlalu, yang kemudian menyulut kenangan buruk belasan tahun silam. Wirya tahu zaman sudah berubah. Kota itu sudah berubah. Semua orangnya pun sudah berubah.
Sahir turut melompat dari perahu ketika bapaknya mulai menambatkan perahu di sebuah dermaga kecil. Debaran dalam dada Wirya semakin terasa. Seperti ada yang tumbuh di dalamnya. Harapan. Ia sungguh berharap Kartini akan menerimanya kembali. Sebagai lelaki yang bertanggungjawab. Sebagai seorang ayah. Meskipun terlambat. Wirya yakin, kabut yang menyelimuti masa lalunya akan segera sirna. Sebentar lagi….***


(Adi Zamzam, Majalah KARTINI  No. 2365 / 09-23 Januari 2014)


[1] (Bhs. Bali) Ibu
[2] (Bhs. Bali) Ayah

2 komentar: