Minggu, 02 November 2014

Mahir Membaca Arab Gundul dengan Metode HIKARI



Mahir Membaca Arab Gundul dengan Metode Hikari




Judul Buku  :  Pintar Membaca Arab Gundul dengan Metode Hikari
Penulis        :  Agus Purwanto
Penerbit       :  Penerbit Mizania
Cetakan       :  Pertama, September 2014
Tebal           :  272 halaman
ISBN           :  978-602-1337-17-2


Hikari adalah nama kereta api cepat di Jepang.  Hiroshima – Tokyo yang berjarak sekitar 1.000 km ditempuh dalam waktu 13 jam oleh kereta api biasa, namun dengan Hikari hanya dibuthkan waktu sekitar 5,5 jam. Dalam Bahasa Jepang sendiri, hikari memiliki makna cahaya, di mana kecepatan cahaya hanya dapat dikalahkan oleh kecepatan pikiran yang sekejap mata. Rupanya, spirit inilah yang digunakan penulis ketika merumuskan metode ini. Menganalogikannya dengan orang yang ingin belajar naik sepeda motor, cara mengajari yang paling efektif adalah menyediakan sepeda motor, memberikan penjelasan seperlunya tentang apa, bagaimana, dan mana yang starter, kopling, dan rem. Beri contoh penggunaannya, dan minta dia mencobanya. Keterangan lain-lain dapat diberikan kemudian bila diperlukan atau dia akan mempelajarinya sendiri sesuai kebutuhan. Begitulah metode yang digunakan Agus. Ia memberikan penjelasan singkat, misalnya tentang kata dalam Bahasa Arab dan jenisnya, contoh, lalu latihan. Istilah-istilah rumit dalam pelajaran Nahwu – Sharaf (gramatikal Bahasa Arab) telah disederhanakan sedemikian rupa tanpa harus kehilangan substansinya (hal. 18). Materi yang semula berasal dari apa yang Agus ajarkan kepada murid-murid Jepang-nya ini, akhirnya dapat disajikan kepada khalayak pembaca setelah ada penerbit yang merasa perlu metode ini disebarkan secara meluas.
Namun Agus sudah mengingatkan, bahwa poin yang dibidiknya hanyalah agar pengguna metodenya ini dapat membaca buku-buku atau tulisan Arab tanpa harakat dengan maknanya (pengguna pasif), bukan membuat kalimat atau berbahasa Arab secara aktif. Dua hal tersebut terkesan sama, namun sebenarnya memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Misi untuk dapat membaca tulisan berarti tulisannya telah tersedia, lalu tinggal menganalisis struktur bahasa dan implikasi maknanya. Sedangkan untuk membuat kalimat, harus berangkat dari nol serta harus menyediakan kata, lalu menyusunnya menurut kaidah dan sesuai dengan makna yang kita inginkan (hal. 19).
Yang menjadi nilai lebih dari buku ini adalah apa yang menurut Agus penting untuk diketahui oleh seseorang yang ingin dapat membaca Arab gundul. Pertama, memahami kaidah tata bahasa Arab (Nahwu- Sharaf). Kelebihan itu bisa dilihat dari cara Agus mengganti beberapa istilah dalam Nahwu atau Sharaf ke dalam Bahasa Indonesia sehingga mudah dipahami, semisal; hukum perubahan kata (i’rab), atau gandengan yang dalam Nahwu terdapat empat jenis yakni, sifat (na’at), pengganti (badal), penegas (taukid), dan sambungan (‘athaf), perubahan-perubahan dalam kata kerja (fi’il) serta bentuk-bentuk lainnya berdasar kedudukan, dsb. Contoh diberikan dalam setiap kasus, sehingga memudahkan untuk memahami secara total. Dalam penyusunan bab demi bab tampaknya Agus juga tak mau bergeser dari metode kitab-kitab klasik, yakni dimulai dari pengenalan kata, pengenalan kalimat, pengenalan perubahan kata, baru kemudian melompat ke pelengkap kalimat secara berurut. Kedua, perbendaharaan kata yang cukup. Agar seseorang dapat membaca tulisan Arab gundul, kira-kira enam puluh persen ditentukan oleh faktor perbendaharaan kata dan empat puluh persen oleh tata bahasa (hal. 27). Buku ini telah mengantisipasinya dengan melengkapi daftar kata disertai makna dalam setiap babnya. Tentu, kamus tak bisa ditinggal. Kaidah-kaidah Nahwu – Sharaf juga telah disesuaikan dengan keadaan dan atmosfer dunia mahasiswa, atau orang dewasa (dengan kemampuan menyerap serta menganalisis secara cepat). Penggabungan cara belajar Nahwu – Sharaf secara langsung begini, membuat materi pembelajaran gramatika bahasa Arab jadi terlihat utuh dan padu. Berbeda dengan sistem pembelajaran di madrasah-madrasah ibtidaiyyah yang memisahkan Nahwu dengan Sharaf, sehingga kadang muncul pertanyaan dari siswa, untuk apakah mereka harus mempelajari dua mata pelajaran itu.*

(Nur Hadi, Kabar Probolinggo, Rabu, 29 Oktober 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar