Kisah Konspirasi dalam Istana Topkapi
Judul
Buku : Kudeta Pasukan Yeniceri
Penulis :
Jason Goodwin
Penerjemah
: Zia Anshor
Penerbit :
Penerbit Serambi Ilmu Semesta
Cetakan :
Pertama, April
2015
Tebal : 435 halaman
ISBN :
978-602-290-039-9
Mungkin sebagian Anda akan merasa asing ketika
mendengar Pasukan Yeniceri. Yeniceri adalah pasukan elit pengawal pribadi
sultan Turki dari abad ke-14 hingga 1826. Para anggotanya direkrut dari
orang-orang Kristen wilayah Balkan. Korps ini dibubarkan sebagai bagian dari
reformasi Turki pada abad ke-19, atau lebih tepatnya diberangus oleh kesatuan
Garda Baru tepat pada 16 Juni 1826, lantaran kondisi mental pasukan tersebut
yang sudah berkembang menjadi mafia bersenjata, meneror para sultan,
petantang-petenteng di jalan-jalan Istanbul, merusuh, membakar, menjarah, dan
memeras, tanpa tersentuh hukum (hal. 12).
Dengan piawai Jason Goodwin—yang terpukau pengaruh
Turki Utsmani di Eropa Timur—meramu cerita fiktif detektif, fakta historis,
kisah asmara, bumbu humor, serta petualangan seru. Tokoh kasim istana, yang
bernama Yashim, sengaja digunakan demi agar pembaca bisa diajak leluasa keluar
masuk istana kesultanan, melongok bagaimana kondisi kehidupan para penghuninya,
sampai ke kondisi kehidupan di luar istana yang tampak terabaikan oleh pihak
istana. Di samping untuk memasukkan bumbu ‘humor dewasa’, seorang lelaki yang
sudah dikebiri ternyata bisa menjalin hubungan diam-diam dengan istri Duta
Besar Perancis. Dari perempuan inilah Yashim menemukan petunjuk pelengkap
mengenai siapa sesungguhnya yang hendak melakukan makar terhadap kekuasaan
Sultan Mahmud.
Pada mulanya adalah pembunuhan terhadap salah seorang
selir Sultan dan terbunuhnya empat prajurit Garda Baru. Cerita mengalir seiring
penyelidikan Yashim sang kasim istana. Semua petunjuk yang didapatkan Yashim
jelas-jelas menunjuk ke arah Pasukan Yeniceri sebagai tersangka utama. Yashim
mencatat, para anggota korps Yeniceri yang masih tersisa dan sembunyi di balik
status warga biasa, masih menyimpan dendam terhadap pihak Istana. Mereka masih
berkumpul di balik organisasi yang dinamakan serikat para penjual sup. Yashim
sendiri hampir saja terperangkap dalam taktik pengambinghitaman dengan
tersangka utama Pasukan Yeniceri (hal.353). Dalam rentang penyelidikan ini,
Yashim justru diperlihatkan dengan kondisi realita rakyat yang terabaikan.
Tengoklah saja jejak karir sang kadi pasar Karkoporta
yang sudah bekerja selama dua puluh tahun dan terkenal dengan ketegasannya. Seorang
tukang daging yang menggunakan timbangan curang dihukum gantung di depan
tokonya sendiri. Pedagang buah yang berbohong tentang asal buah yang dijualnya
dihukum potong kedua tangan. Para pedagang menganggap sang kadi terlalu banyak
mengatur, tapi dalam memikirkan cara terbaik menghadapi sang kadi, mereka
terpecah. Sekelompok kecil berniat bersekongkol dan mengajukan pengaduan yang
menyangkut sang kadi, dan diharapkan pengaduannya cukup parah sehingga membuat
nama sang kadi tercoreng selamanya. Tapi sebagian besar memilih angkat bahu dan
bersabar dengan polah sang kadi yang sebenarnya sedang ‘menyodorkan harga’. Dan
memang, nasib sang kadi ini pun kemudian takluk oleh suap (hal. 332).
Fakta-fakta historis seperti keroposnya kekuasaan para
penerus kesultanan Turki Utsmani dipotret secara gamblang. Pengkhianatan dari
Kislar Agha—sang kepala kasim—menggambarkan hal itu. Meski kemudian api kecil
ini dapat dipadamkan, tak pelak, sosok Sultan yang tak memiliki wibawa tersingkap
halus (hal. 395). Kemelut yang terjadi di kediaman para harem, seolah menjadi
sebuah penyimbolan bahwa sang Sultan tengah tenggelam dalam ketiak para
perempuan.
Seberapa banyakkah Istanbul berubah setelah lenyapnya
Yeniceri? Benarkah lenyapnya Yeniceri membawa banyak kebaikan, atau justru
sebaliknya? Setelah hilangnya Yeniceri, tak ada lagi yang bisa menahan sultan
selain rasa takut terhadap intervensi asing (hal. 316). Puncaknya ketika
akhirnya Yashim berhasil menemukan dalang di balik semua kerusuhan itu, bahwa
kesultanan Turki sebenarnya sudah diincar oleh pihak-pihak lain dengan
memanfaatkan kondisi istana yang rapuh di dalam.*
(Nur Hadi, Koran TEMPO, Minggu 13 Desember 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar