Benang Merah antara Jodoh dengan
Tahajjud
Judul Buku : Nyambut
Jodoh Via Tahajjud, Yuk!
Penulis :
Ahfa Waid
Penerbit :
Penerbit DIVA Press
Cetakan :
Pertama, September 2014
Tebal :
204 halaman
ISBN :
978-602-255-673-2
Jodoh, rezeki, dan ajal, adalah tiga hal yang sudah
ditentukan oleh Allah Swt. Untuk dua perkara yang awal, tentu harus ada usaha
untuk menjemputnya. Dengan bahasa yang lincah, cair, dan gaul, buku ini bisa
dijadikan panduan bagi remaja yang ingin menyambut atau mempersiapkan diri
jelang kedatangan jodoh, bagaimana mengelola rasa cinta sebelum hadirnya sang
jodoh, hingga kemudian menata diri setelah pernikahan.
Dimulai dari rasa cinta, yang menurut Erich Fromm
terdapat dua modus bagi seseorang dalam mencintai orang lain, yakni; memiliki
ataukah menjadi (hal.19). Cinta atas dasar modus memiliki, adalah cinta yang
buruk sekaligus menindas. Pada mulanya, mereka akan mati-matian menutupi segala
keburukan dan kekurangan dalam dirinya. Namun setelah pujaan hati dimiliki,
sedikit demi sedikit tabir kegelapan akan tersibak. Berbeda dengan cinta atas
dasar modus menjadi, yang bersifat lebih membebaskan, penuh toleransi, dan
lebih memanusiakan. Saling pengertian terhadap pasangan menjadi modus saling
mencintai. Cinta terakhir ini, lebih dekat kepada ajaran agama jika kita
mengingat bahwa hakikat jodoh itu sendiri adalah amanah, ada tanggungjawab
untuk memelihara sesuatu yang dititipkan kepada kita. Amanah itu kemudian
selayaknya diwujudkan dalam keluarga sakinah,
mawaddah, wa rahmah.
Buku ini mengajak para remaja untuk dengan jernih
memandang sisi-sisi yang wajib diperhatikan dalam hal berumah tangga. Bukan
hanya soal merawat cinta kasih di antara pasangan. Kehadiran anak, juga
disorot, baik dari sisi pertumbuhan fisik, maupun psikologis. Anak adalah
tanggungjawab lainnya yang tak boleh diabaikan. Itulah mengapa kedewasaan di
antara pasangan mutlak diperlukan, karena menikah bukan hanya semata memikirkan
kesenangan pribadi (hal. 33).
Masa-masa menyambut jodoh juga layak dipikirkan,
sebab masa ini sedikit banyak juga memiliki pengaruh untuk masa ke depannya
kemudian. Dari proses ‘melihat’ calon pasangan hingga kemudian benar-benar
muncul niat untuk bersungguh-sungguh melanjutkannya ke jenjang pernikahan.
Agama memberikan batas-batas tertentu dalam setiap prosesnya, dengan tujuan
agar tak terjerumus kepada hal-hal tercela. Penulis menyarankan bentuk ideal
dari perjodohan yang sebaiknya dilakukan, yakni mengacu pada semboyan ‘empat yes’; kita dengan calon kita yes, calon kita dengan kedua orangtua
kita yes, kita dengan orangtua calon
kita yes, dan orangtua kita dengan
orangtua calon kita yes (hal.58). Hal
itu lepas dari perangai buruk calon yang harus dijauhi seorang lelaki yang
ingin mendapatkan istri salehah, yakni sifat ananah (cewek yang terlalu banyak mengeluh), mananah (suka meniadakan usaha dan jasa suami seraya menepuk dada
bahwa dialah yang paling banyak berkorban demi keluarga), hananah (senang menyatakan ksih sayang kepada mantan suami), hadaqah (memiliki penyakit ‘lapar
mata’), basaqah (suka bersolek namun
bukan untuk suami), serta syadaqah
(cewek yang banyak bicara tentang perkara sia-sia).
Lalu apa sih benang merahnya antara jodoh dengan
salat tahajjud? Poin tersebut tersorot pada bab ketiga dan keempat buku ini.
Bagaimana tatacara melaksanakan tahajjud yang tepat, kelebihan apa saja yang
bisa didapat setelah melaksanakannya, serta beberapa analogi yang menggambarkan
keterkaitan antara tahajjud dengan jodoh. Termasuk ketika jodoh tak kunjung
tiba meski kita sudah coba melanggengkan tahajjud. Dengan bahasa yang cair dan
meremaja, buku ini seolah memandang pernikahan bukanlah hal yang jangan terlalu
ditakutkan meski tanggungjawab besar jelas menanti di ujung sana. Pernikahan adalah suatu proses alamiah
yang pasti akan dijalani oleh siapapun yang berniat menyempurnakan separuh
agamanya. Dan tahajjud dipandang sebagai sarana ampuh untuk mendewasakan diri
demi menyambut masa-masa itu.*
(Nur Hadi, Kabar Probolinggo, Jum'at 7 November 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar