Rabu, 08 Oktober 2014

Simbolisme dalam Ritual Jawa



Simbol dalam Ritual Jawa



Orang (khususnya) Jawa memang senang mengungkap sesuatu dengan perlambang, dengan simbol-simbol. Bahkan hampir semua suku di dunia dalam berbagai situs yang ditemukan, selalu menyatakan sesuatu dengan perlambang dan simbol-simbol. Termasuk dalam upacara tradisi yang masih mereka jalankan. Bisa dipastikan mereka menggunakan tata aturan (ubo rampe) tersendiri yang sebenarnya mencerminkan hubungan mereka dengan diri sendiri, Sang Pencipta Semesta, juga alam sekitarnya.
Masyarakat Jawa misalnya. Dari sejak lahir hingga mati, kesemuanya memiliki tata aturan sedemikian rupa, seolah setiap fase dalam kehidupan adalah sesuatu yang istimewa yang harus diatur sebaik-baiknya. Meski ujung dari segala fase itu adalah ketragisan, yakni menjemput maut. Dari tata laku hingga tata pikir juga diberi ancer-ancer (batasan-batasan) agar tidak kesasar dan menjadi ‘manusia hilang’.
Beberapa tradisi yang berkaitan dengan kelahiran, kita mengenal semisal; tingkeban, krayanan, selapanan, mitoni, tedak siten, dan lain sebagainya. Dari semua tradisi itu, nenek moyang kita seolah ingin agar keturunannya sudah dikenalkan dengan alam sekitar sejak usia dini. Beberapa tradisi yang berkaitan dengan pernikahan, kita mengenal; nembung, pasang tarub, midodareni, balangan suruh, ngidak endhok, wiji dadi, kacar-kucur, dulangan, sungkeman, kirab, dan lain sebagainya. Dari semua tradisi itu mengajarkan bahwa manusia hendaknya bisa saling melengkapi, rukun, saling menjaga, untuk kemudian sama-sama menjadi bagian dari sebuah masyarakat. Beberapa tradisi yang berkaitan dengan kematian, kita mengenal; ngesur tanah/bedah bumi, mitung dinten, matang puluh, nyatus, mendhak, khol, dan lain sebagainya. Semua tradisi itu memiliki maksud dan tujuan tertentu demi menyejahterakan, menyeimbangkan, menyelaraskan, memperingatkan, bahkan terkadang bersifat menyembuhkan atau menyelamatkan si pelaku dari marabahaya atau penyakit seperti misalnya dalam upacara ruwatan.
Dalam hal lagu, orang Jawa pun senang mengungkapkannya dalam simbolisasi. Dari Maskumambang, Mijil, Kinanthi, Sinom, Asmaradana, Gambuh, Dandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, sampai Pucung. Kesebelas lagu itu sebenarnya adalah urut-urutan fase kehidupan manusia. Sejak dari alam kandungan (urip kang tasih kumambang), kelahiran (mijil saking guwo garbonipun ibu, lahir dari kandungan ibu), masa kanak (yang berarti masih memerlukan tuntunan orangtua agar bisa berjalan sendiri), masa muda (nom-noman), masa jatuh cinta (mengenal asmara, yang sudah menjadi kodrat alamiah), fase perjodohan (kalau sudah jumbuh/sarujuk/cocok, maka kedua insan itupun sebaiknya disatukan dalam sebuah ikatan suci), fase pencapaian cita-cita (memiliki keluarga, rumah, materi), fase darma (mendarmakan hidupnya yang sudah mapan), fase puasa (mungkur/menghindar dari segala nafsu duniawi), fase kematian (megat ruh/berpisahnya raga dengan ruh), sampai fase pulang ke asal (dipucung sakdurunge dikubur).
Dalam tata laku, orang Jawa pun memiliki pantangan-pantangan dan anjuran-anjuran yang tersirat dalam ribuan paribasan, bebasan, juga saloka, yang hampir seluruhnya diungkapkan dalam bahasa simbolis.
Mengapa di kanan kiri pintu masuk ke rumah mempelai (dalam adat pernikahan Jawa) harus ada setundun pisangnya? Mengapa harus selalu janur yang digunakan, kenapa tidak daun waru(lambang hati) atau yang lainnya saja? Pernahkah Anda berpikir, mengapa dalam setiap jadah, berkat, atau  sesajen, hampir selalu kita temukan bubur merah putih? Apakah itu ada kaitannya dengan warna bendera kebangsaan? Ataukah simbolisasi agar orang selalu ingat bahwa hidup itu lebih banyak rasa asinnya ketimbang rasa manisnya? Mengapa pula selalu apem (sejenis kue yang bentuknya selalu dikait-kaitkan dengan kelamin perempuan) dan pisang (buah yang selalu dikaitkan dengan kelamin laki-laki) yang tak boleh ditinggalkan dalam setiap suguhan selamatan?
Semua uba rampe, upacara tradisi, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan adat itu, sebenarnya adalah semacam pengingat meski terkadang ada juga yang mengecapnya sebagai kebudayaan primitif yang tak layak untuk dipertahankan. Mungkin kita pernah mendengar cerita turun-temurun tentang keangkeran suatu tempat. Tempat itupun kemudian menjadi selalu terjaga tanpa ada yang berani menjamahnya (apalagi sampai merusaknya). Lalu bayangkanlah ketika akhirnya cerita itu diketahui hanya isapan jempol belaka. Tentu bisa diketahui akibatnya.
Coba kita bandingkan dengan hasil-hasil kebudayaan (yang katanya) modern. Bandingkanlah antara tari/dance modern dengan tari-tarian tradisional kita. Nilai-nilai yang ditawarkan hanya melulu soal kebebasan dan bahkan kadang kosong belaka karena tereduksi oleh kepentingan kapitalisme yang sifatnya hanya berpusar pada materi. Rasanya kita seperti diajak terbang keluar angkasa di mana kemudian kita malah mengambang tanpa tujuan.
Masalah yang patut kita pikir sekarang adalah bagaimana agar semua tradisi itu tetap langgeng dan dimengerti makna/maksudnya, terutama oleh generasi penerus. Apakah akan kita kemas dalam bentuk baru, ataukah kita bertahan saja dengan bentuk atau model yang dianggap sudah kuno dan terlihat primitif? Seharusnya kita mengawal, agar kemudian kita dikawal (oleh nilai-nilai dalam adat/tradisi itu). Agar bisa tetap hidup, ruh tidak boleh dipisahkan dari raga, makna tidak boleh dipisahkan dari ritual. Dan semua itu akan tetap ada jika kita mempertahankannya.
Yang paling esensi adalah bagaimana caranya agar simbol-simbol itu tetap terpahami maknanya, dan bagaimana agar ritual-ritual itu tetap memiliki nyawa di raga masyarakatnya. Simbol-simbol yang dipertontonkan dalam berbagai upacara adat tak hanya akan jadi semacam tontonan tahunan yang menguras dana belanja pemerintah.  Jangan lagi ada kata, memang adatnya memang begitu kok! Padahal dalam setiap ritual, dalam setiap simbol yang diperkenalkan oleh leluhur kita, selalu terkandung ajaran yang tak ternilai harganya.*****

(Nur Hadi, Suara Merdeka, Minggu 16 Maret 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar