Simbol dalam Ritual Jawa
Orang (khususnya) Jawa memang senang mengungkap sesuatu dengan
perlambang, dengan simbol-simbol. Bahkan hampir semua suku di dunia dalam
berbagai situs yang ditemukan, selalu menyatakan sesuatu dengan perlambang dan
simbol-simbol. Termasuk dalam upacara tradisi yang masih mereka jalankan. Bisa
dipastikan mereka menggunakan tata aturan (ubo rampe) tersendiri yang
sebenarnya mencerminkan hubungan mereka dengan diri sendiri, Sang Pencipta
Semesta, juga alam sekitarnya.
Masyarakat Jawa misalnya. Dari sejak lahir hingga mati, kesemuanya
memiliki tata aturan sedemikian rupa, seolah setiap fase dalam kehidupan adalah
sesuatu yang istimewa yang harus diatur sebaik-baiknya. Meski ujung dari segala
fase itu adalah ketragisan, yakni menjemput maut. Dari tata laku hingga tata
pikir juga diberi ancer-ancer (batasan-batasan) agar tidak kesasar dan
menjadi ‘manusia hilang’.
Beberapa tradisi yang berkaitan dengan kelahiran, kita mengenal semisal; tingkeban,
krayanan, selapanan, mitoni, tedak siten, dan lain sebagainya. Dari semua
tradisi itu, nenek moyang kita seolah ingin agar keturunannya sudah dikenalkan
dengan alam sekitar sejak usia dini. Beberapa tradisi yang berkaitan dengan
pernikahan, kita mengenal; nembung, pasang tarub, midodareni, balangan
suruh, ngidak endhok, wiji dadi, kacar-kucur, dulangan, sungkeman, kirab,
dan lain sebagainya. Dari semua tradisi itu mengajarkan bahwa manusia hendaknya
bisa saling melengkapi, rukun, saling menjaga, untuk kemudian sama-sama menjadi
bagian dari sebuah masyarakat. Beberapa tradisi yang berkaitan dengan kematian,
kita mengenal; ngesur tanah/bedah bumi, mitung dinten, matang puluh, nyatus,
mendhak, khol, dan lain sebagainya. Semua tradisi itu memiliki maksud dan
tujuan tertentu demi menyejahterakan, menyeimbangkan, menyelaraskan, memperingatkan,
bahkan terkadang bersifat menyembuhkan atau menyelamatkan si pelaku dari
marabahaya atau penyakit seperti misalnya dalam upacara ruwatan.
Dalam hal lagu, orang Jawa pun senang mengungkapkannya dalam simbolisasi.
Dari Maskumambang, Mijil, Kinanthi, Sinom, Asmaradana, Gambuh, Dandanggula,
Durma, Pangkur, Megatruh, sampai Pucung. Kesebelas lagu itu sebenarnya adalah
urut-urutan fase kehidupan manusia. Sejak dari alam kandungan (urip kang
tasih kumambang), kelahiran (mijil saking guwo garbonipun ibu,
lahir dari kandungan ibu), masa kanak (yang berarti masih memerlukan tuntunan
orangtua agar bisa berjalan sendiri), masa muda (nom-noman), masa jatuh
cinta (mengenal asmara, yang sudah menjadi kodrat alamiah), fase perjodohan
(kalau sudah jumbuh/sarujuk/cocok, maka kedua insan itupun sebaiknya
disatukan dalam sebuah ikatan suci), fase pencapaian cita-cita (memiliki
keluarga, rumah, materi), fase darma (mendarmakan hidupnya yang sudah mapan),
fase puasa (mungkur/menghindar dari segala nafsu duniawi), fase kematian
(megat ruh/berpisahnya raga dengan ruh), sampai fase pulang ke asal (dipucung
sakdurunge dikubur).
Dalam tata laku, orang Jawa pun memiliki pantangan-pantangan dan anjuran-anjuran
yang tersirat dalam ribuan paribasan, bebasan, juga saloka, yang
hampir seluruhnya diungkapkan dalam bahasa simbolis.
Mengapa di kanan kiri pintu masuk ke rumah mempelai (dalam adat
pernikahan Jawa) harus ada setundun pisangnya? Mengapa harus selalu janur yang
digunakan, kenapa tidak daun waru(lambang hati) atau yang lainnya saja? Pernahkah
Anda berpikir, mengapa dalam setiap jadah, berkat, atau sesajen, hampir selalu kita temukan bubur
merah putih? Apakah itu ada kaitannya dengan warna bendera kebangsaan? Ataukah
simbolisasi agar orang selalu ingat bahwa hidup itu lebih banyak rasa asinnya
ketimbang rasa manisnya? Mengapa pula selalu apem (sejenis kue yang bentuknya
selalu dikait-kaitkan dengan kelamin perempuan) dan pisang (buah yang selalu dikaitkan
dengan kelamin laki-laki) yang tak boleh ditinggalkan dalam setiap suguhan
selamatan?
Semua uba rampe, upacara tradisi, dan lain sebagainya yang
berhubungan dengan adat itu, sebenarnya adalah semacam pengingat meski
terkadang ada juga yang mengecapnya sebagai kebudayaan primitif yang tak layak
untuk dipertahankan. Mungkin kita pernah mendengar cerita turun-temurun tentang
keangkeran suatu tempat. Tempat itupun kemudian menjadi selalu terjaga tanpa
ada yang berani menjamahnya (apalagi sampai merusaknya). Lalu bayangkanlah
ketika akhirnya cerita itu diketahui hanya isapan jempol belaka. Tentu bisa
diketahui akibatnya.
Coba kita bandingkan dengan hasil-hasil kebudayaan (yang katanya) modern.
Bandingkanlah antara tari/dance modern dengan tari-tarian tradisional
kita. Nilai-nilai yang ditawarkan hanya melulu soal kebebasan dan bahkan kadang
kosong belaka karena tereduksi oleh kepentingan kapitalisme yang sifatnya hanya
berpusar pada materi. Rasanya kita seperti diajak terbang keluar angkasa di
mana kemudian kita malah mengambang tanpa tujuan.
Masalah yang patut kita pikir sekarang adalah bagaimana agar semua
tradisi itu tetap langgeng dan dimengerti makna/maksudnya, terutama oleh
generasi penerus. Apakah akan kita kemas dalam bentuk baru, ataukah kita bertahan
saja dengan bentuk atau model yang dianggap sudah kuno dan terlihat primitif? Seharusnya
kita mengawal, agar kemudian kita dikawal (oleh nilai-nilai dalam adat/tradisi
itu). Agar bisa tetap hidup, ruh tidak boleh dipisahkan dari raga, makna tidak
boleh dipisahkan dari ritual. Dan semua itu akan tetap ada jika kita
mempertahankannya.
Yang paling esensi adalah bagaimana caranya agar simbol-simbol itu tetap
terpahami maknanya, dan bagaimana agar ritual-ritual itu tetap memiliki nyawa
di raga masyarakatnya. Simbol-simbol yang dipertontonkan dalam berbagai upacara
adat tak hanya akan jadi semacam tontonan tahunan yang menguras dana belanja
pemerintah. Jangan lagi ada kata, memang
adatnya memang begitu kok! Padahal dalam setiap ritual, dalam setiap simbol yang
diperkenalkan oleh leluhur kita, selalu terkandung ajaran yang tak ternilai
harganya.*****
(Nur Hadi, Suara Merdeka, Minggu 16 Maret 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar