Sungkalabasa
Pernahkah
kalian mendengar cerita tentang seorang lelaki yang akhirnya terkena tulah
ucapannya sendiri? Mungkin cerita semacam ini sudah pernah mampir ke telinga
kalian. Mungkin, kalian bahkan pernah melihat orang yang terkena tulah semacam
itu. Namun, luangkanlah waktu sejenak untuk mendengarkan kisahku ini. Kisah
dari negeri antah berantah. Juga kisah tentang seseorang yang terkena tulah
lidahnya sendiri.
Kisah
ini dimulai dari seorang lelaki yang telah dikuasai sedih dan amarah yang amat
sangat. Terlebih ketika melihat tangannya yang telah berlumuran darah Begawan
Sekutrem—yang ia anggap sumber dari segala malapetaka ini.
“Kaulah
yang mencari mautmu sendiri, hai Bambang Sekutrem! Jangan salahkan diriku!”
laksana guntur
suaranya, menggelegar di sepanjang jalan pulang yang dilaluinya. Membuat
orang-orang langsung sembunyi ke dalam rumah begitu mendengarnya.
“Kau
pikir dirimu itu ksatria, ha?! Bukankah sudah kubilang, kesaktian yang kuminta
itu demi untuk menjaga negaraku?!” teriaknya lagi, membantah ujaran-ujaran
Begawan Sekutrem yang tak mau pergi dari telinganya.
“Aku
tak punya watak penyabar?! Kaulah yang telah menyebabkan kematianmu sendiri!
Kau juga yang telah menyebabkan aku jadi seperti ini! Masih juga kau
persalahkan diriku?!”
Amarah
lelaki itu semakin menjadi-jadi ketika tanpa sengaja terlihat bayang wajahnya
di bening air. Setiap ia jumpa sungai, kemarahannya meledak-ledak. Dihantamnya
jernih air itu hingga tak berani lagi menampakkan tampan wajah yang kini hilang
berganti rupa mengerikan.
Hingga
sampailah lelaki itu di pintu gerbang kerajaan yang pernah dipimpinnya. Ia
pikir negara Batareta masih menunggu kepulangannya. Namun yang terjadi kemudian
justru membuatnya semakin dikuasai kemarahan. Beberapa prajurit mengepungnya!
“Aku
ini Wijaksandi raja kalian! Jangan halangi langkahku untuk menemui Pursada
anakku!” gelegar suaranya dipenuhi rasa jengkel.
“Raja
kami terkenal bijak dan lembut perangai, bukannya raksasa kasar dan pemarah
seperti kau!” teriak seorang prajurit.
“Akulah
Wijaksandi raja kalian itu!” teriaknya lagi seraya menghantam prajurit bermulut
lancang tadi. “Panggilkan juga Bambang Sakri ke sini! Jangan buat api dalam dadaku semakin
membesar!”
“Jangan
ngawur! Jangan-jangan kau telah membunuh dan memangsa raja kami! Dan sekarang
kau menginginkan putra mahkota dan menantu raja kami? Jangan harap bisa dengan
mudah kau menguasai negeri kami!” sahut prajurit lainnya.
Pertempuran
sengit tak terelakkan lagi. Amarah lelaki itu pun semakin menjadi-jadi. Seperti
ada sosok lain yang kembali merasukinya ketika kejadian beberapa hari lalu itu
kembali melintas dalam kepalanya.
Hari
itu cahaya begitu cerah menerangi Pertapaan Teja Geni—tempat tinggal Begawan
Sekutrem menikmati sisa-sisa hari sembari terus melatih ilmu batin. Lelaki itu
berpikir hari itu akan semakin cerah ke depannya setelah ia berhasil menemui
besannya. Takkan ada lagi kekalahan yang memalukan seperti kemarin.
“Saat
itu benar-benar tak ada yang sanggup mengalahkan Dulprenggi dengan Aji Petak
Gelap Ngampar-nya. Semua satriaku dibuatnya tak berdaya. Tapi aku tak mau
memiliki menantu berwatak raksasa seperti dia. Suka memaksakan keinginan
padahal telah tahu bahwa Sungkeli putriku menolak lamarannya. Maka sengaja
kubuatlah sayembara itu; barangsiapa bisa mengalahkan Dulprenggi, maka ia
berhak menyunting putriku juga separuh kerajaanku akan kuberikan padanya,”
menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan cerita.
“Mestinya
Dulprenggi bisa mengambil Sungkeli dari istana Keputrenku dengan cara paksa.
Tapi sengaja kubuat rencana semacam itu karena aku sudah pernah mendengar
berita tentang kesaktian anakmu, wahai Begawan.”
“Benarkah
begitu?” coba menemui mata Prabu Wijaksandi. “Seingatku, Sakri anakku bukanlah
siapa-siapa,” dari tutur kalimat tadi, ia telah mengerti bahwa kedatangan
lelaki ini membawa maksud tersembunyi.
“Ah,
janganlah merendah begitu, Begawan. Bukankah Bambang Sakri adalah anak yang
dipercaya Bathara Narada untuk menggunakan pusaka Arga Dedali guna membantu
ayahnya menghadapi Prabu Kalimantara yang membuat geger kahyangan Repat
Kepanasan saat berniat melamar Bathari Sadat Wati? Lagipula, siapa pula yang
tak tahu ayah Bambang Sakri itu, yang di masa mudanya pernah mengalahkan Patih
Naga Pratala?”
“Apakah
kedatangan Prabu ke sini hanya untuk memuji-muji saya dengan cerita masa lalu?”
Tersenyum
malu, “Sebenarnya…, sudikah Begawan mengajarkan Aji Walat yang digdaya itu
kepada saya? Semuanya demi negara Batareta agar tak ada pengacau yang berani
menyambangi lagi.”
“Bukankah
ada Sakri anakku?” membalik logika.
“Sakri
bilang akan pulang ke sini, wahai Begawan. Aku relakan Sungkeli tinggal di sini
karena aku yakin dia akan aman di sisi suaminya yang sakti mandraguna. Separuh
kerajaan Batareta yang dimenangkannya bahkan akan diserahkan Sakri kepada
Pursada putra mahkotaku. Jadi…”
“Kalau
begitu, jikalau ada apa-apa di Batareta nanti, panggil saja Sakri ke istana.”
“Tapi,
Begawan…?”
“Ketahuilah,
Aji Walat itu tak bagus dikuasai oleh seorang raja yang setiap harinya selalu
berhubungan dengan masalah-masalah kerajaan. Bahkan tak semua pertapa kuat
menguasainya.”
“Saya
hanya …,” mulai terlihat bias kekecewaan di wajahnya.
“Rupanya
Paduka masih belum paham alasan Sakri menolak kekuasaan yang Paduka tawarkan.”
“Kenapa?”
“Orang
yang merasa telah memiliki kekuasaan, kepintaran, kesaktian, merasa lebih dari
orang lain, biasanya akan sulit mengendalikan lidahnya. Orang seperti ini
sangat tidak dianjurkan menguasai Aji Walat. Mintalah ilmu yang lain, maka akan
saya ajarkan kepada Paduka.”
“Bukankah
aku telah bermurah hati memberikan sebagian milikku kepada Begawan? Kenapa
Begawan tak mau bermurah hati kepada saya?”
“Memaksa
adalah perbuatan para kala[1],
wahai Paduka.”
Bersamaan
detik itulah Prabu Wijaksandi merasakan keanehan tengah terjadi pada tubuhnya.
Panas yang meletup-letup dalam dadanya mulai terasa meledak-ledak, semua otot
meregang, semua tulang berderak, semakin dan semakin membesar. Semuanya
tiba-tiba terlihat kecil, termasuk seorang pertapa di hadapannya.
“Apa
yang telah kau lakukan padaku? Apa yang telah kau lakukan kepadaku, Begawan?!” suaranya
terdengar seperti gemuruh guntur.
Sosok nan tinggi besar itu nampak kebingungan dengan perubahan dirinya.
“Saya
tidak melakukan apapun, wahai Paduka. Semua yang terjadi sekarang adalah ulah
Paduka sendiri akibat tidak mau mendengar saran orang lain.”
“Maafkanlah
aku, Begawan. Maafkanlah aku. Tolong kembalikan diriku ke wujud asalku …,”
memohon-mohon, sampai rela bersujud.
“Saya
tak bisa, Paduka. Semua ini akibat perbuatan Paduka sendiri. Bisakah Paduka
menarik ucapan Paduka yang telah terlontar?”
Panas,
sesak, dan sakit itu akhirnya sampailah ke ubun-ubun. Serasa ada yang merasuki.
Lelaki itu telah dikuasai amarah. Hasrat itu membuat tangannya gemetar. Tak
terbendung lagi. Ia pun berteriak sekeras-kerasnya, agar langit robek, bumi rekah,
dan segalanya turut berkeping-keping seiring harapannya yang telah kandas.
Saat
tersadar dari kenangan buruk itu, alangkah terkejutnya ia karena di sekelilingnya
telah dipenuhi ratusan mayat prajurit kerajaan yang bergelimpangan di
sana-sini. Terlebih ketika ia melihat sosok pemuda yang kini tengah meregangkan
busur panah ke arahnya. Dia adalah Pursada, putra mahkotanya!
Ratusan
prajurit juga telah berdatangan lagi. Dibiarkannya puluhan anak panah menancap
di tubuhnya ketika ia berusaha meyakinkan Pursada bahwa dirinya memang benar Wijaksandi
yang kini amat membutuhkan pertolongan Bambang Sakri.
* * *
Keputren
Batareta yang semula hening dan tenteram berubah haru biru. Setelah berhasil
meyakinkan Pursada, anaknya, raksasa yang dikuasai kesedihan itu pun bertatap
muka menceritakan musibah yang menimpa dirinya di hadapan Bambang Sakri beserta
Dewi sungkeli yang saat itu tengah hamil tua.
“Cuma
kaulah satu-satunya harapanku, wahai menantuku. Bukankah kau juga menguasai Aji
Walat? Aku yakin kau pasti bisa mengembalikanku ke wujud semula,” mohonnya,
seraya merahasiakan bahwa ia telah membunuh ayah Bambang Sakri.
Bambang
Sakri terdiam, cukup lama. Dewi Sungkeli meremas jemari tersebab cemas.
“Ayolah,
aku tak bisa hidup dalam wujud seperti ini selamanya. Cuma kau satu-satuya
harapanku…,” kalimat itu segera terhenti oleh gelengan kepala Bambang Sakri.
“Maksudmu
…?”
“Seperti
yang dikatakan oleh romo[2]ku,
semua kesalahan ini bersumber dari lidah Paduka sendiri. Itulah sebabnya romoku menolak mengajarkan Aji Walat, sebab
Paduka belum mampu menguasai lidah sendiri.”
“Sabda
romomulah yang menyebabkanku jadi
seperti ini!” mulai membentak.
“Tapi
lidah Padukalah yang menyebabkan romoku
mengucap itu. Sebenarnya itulah kuasa Aji Walat, Paduka.”
“Kau
…!” wajahnya memerah. Tajam menatap Bambang Sakri. Seperti ada yang kembali
bangun. Panas, sesak, dan sakit itu kembali memenuhi dadanya. Gemeretuk gigi.
Tangan mengepal. Ketika suara-suara Begawan Sekutrem kembali semakin jelas
terdengar di telinganya, “Dasar
Sungkalabasa! Dasar Sungkalabasa[3]…!”
lelaki yang mulai dikuasai amarah itu pun berteriak lantang seolah ingin
kembali merobek-robek langit dan merekahkan bumi!*****
Keterangan:
1)
Kala: raksasa
2)
Sungkalabasa: celaka karena ucapannya sendiri
Note: Bambang Sakri dan Dewi Sungkeli
adalah ayah dan ibu Bambang Palasara—eyang Pandhawa Lima. Bambang Sakri
akhirnya juga terbunuh oleh kemarahan Prabu Sungkalabasa. Sementara Dewi
Sungkeli meninggal saat melahirkan Bambang Palasara dan dalam kondisi pelarian
diri.
Kalinyamatan
– Jepara, 2012.
(Adi Zamzam,
Bali Post, Minggu 1 Juli 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar