Minggu, 19 Oktober 2014

Sungkalabasa



Sungkalabasa



Pernahkah kalian mendengar cerita tentang seorang lelaki yang akhirnya terkena tulah ucapannya sendiri? Mungkin cerita semacam ini sudah pernah mampir ke telinga kalian. Mungkin, kalian bahkan pernah melihat orang yang terkena tulah semacam itu. Namun, luangkanlah waktu sejenak untuk mendengarkan kisahku ini. Kisah dari negeri antah berantah. Juga kisah tentang seseorang yang terkena tulah lidahnya sendiri.
Kisah ini dimulai dari seorang lelaki yang telah dikuasai sedih dan amarah yang amat sangat. Terlebih ketika melihat tangannya yang telah berlumuran darah Begawan Sekutrem—yang ia anggap sumber dari segala malapetaka ini.
“Kaulah yang mencari mautmu sendiri, hai Bambang Sekutrem! Jangan salahkan diriku!” laksana guntur suaranya, menggelegar di sepanjang jalan pulang yang dilaluinya. Membuat orang-orang langsung sembunyi ke dalam rumah begitu mendengarnya.
“Kau pikir dirimu itu ksatria, ha?! Bukankah sudah kubilang, kesaktian yang kuminta itu demi untuk menjaga negaraku?!” teriaknya lagi, membantah ujaran-ujaran Begawan Sekutrem yang tak mau pergi dari telinganya.
“Aku tak punya watak penyabar?! Kaulah yang telah menyebabkan kematianmu sendiri! Kau juga yang telah menyebabkan aku jadi seperti ini! Masih juga kau persalahkan diriku?!”
Amarah lelaki itu semakin menjadi-jadi ketika tanpa sengaja terlihat bayang wajahnya di bening air. Setiap ia jumpa sungai, kemarahannya meledak-ledak. Dihantamnya jernih air itu hingga tak berani lagi menampakkan tampan wajah yang kini hilang berganti rupa mengerikan.
Hingga sampailah lelaki itu di pintu gerbang kerajaan yang pernah dipimpinnya. Ia pikir negara Batareta masih menunggu kepulangannya. Namun yang terjadi kemudian justru membuatnya semakin dikuasai kemarahan. Beberapa prajurit mengepungnya!
“Aku ini Wijaksandi raja kalian! Jangan halangi langkahku untuk menemui Pursada anakku!” gelegar suaranya dipenuhi rasa jengkel.
“Raja kami terkenal bijak dan lembut perangai, bukannya raksasa kasar dan pemarah seperti kau!” teriak seorang prajurit.
“Akulah Wijaksandi raja kalian itu!” teriaknya lagi seraya menghantam prajurit bermulut lancang tadi. “Panggilkan juga Bambang Sakri ke sini!  Jangan buat api dalam dadaku semakin membesar!”
“Jangan ngawur! Jangan-jangan kau telah membunuh dan memangsa raja kami! Dan sekarang kau menginginkan putra mahkota dan menantu raja kami? Jangan harap bisa dengan mudah kau menguasai negeri kami!” sahut prajurit lainnya.
Pertempuran sengit tak terelakkan lagi. Amarah lelaki itu pun semakin menjadi-jadi. Seperti ada sosok lain yang kembali merasukinya ketika kejadian beberapa hari lalu itu kembali melintas dalam kepalanya.
Hari itu cahaya begitu cerah menerangi Pertapaan Teja Geni—tempat tinggal Begawan Sekutrem menikmati sisa-sisa hari sembari terus melatih ilmu batin. Lelaki itu berpikir hari itu akan semakin cerah ke depannya setelah ia berhasil menemui besannya. Takkan ada lagi kekalahan yang memalukan seperti kemarin.
“Saat itu benar-benar tak ada yang sanggup mengalahkan Dulprenggi dengan Aji Petak Gelap Ngampar-nya. Semua satriaku dibuatnya tak berdaya. Tapi aku tak mau memiliki menantu berwatak raksasa seperti dia. Suka memaksakan keinginan padahal telah tahu bahwa Sungkeli putriku menolak lamarannya. Maka sengaja kubuatlah sayembara itu; barangsiapa bisa mengalahkan Dulprenggi, maka ia berhak menyunting putriku juga separuh kerajaanku akan kuberikan padanya,” menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan cerita.
“Mestinya Dulprenggi bisa mengambil Sungkeli dari istana Keputrenku dengan cara paksa. Tapi sengaja kubuat rencana semacam itu karena aku sudah pernah mendengar berita tentang kesaktian anakmu, wahai Begawan.”
“Benarkah begitu?” coba menemui mata Prabu Wijaksandi. “Seingatku, Sakri anakku bukanlah siapa-siapa,” dari tutur kalimat tadi, ia telah mengerti bahwa kedatangan lelaki ini membawa maksud tersembunyi.
“Ah, janganlah merendah begitu, Begawan. Bukankah Bambang Sakri adalah anak yang dipercaya Bathara Narada untuk menggunakan pusaka Arga Dedali guna membantu ayahnya menghadapi Prabu Kalimantara yang membuat geger kahyangan Repat Kepanasan saat berniat melamar Bathari Sadat Wati? Lagipula, siapa pula yang tak tahu ayah Bambang Sakri itu, yang di masa mudanya pernah mengalahkan Patih Naga Pratala?”
“Apakah kedatangan Prabu ke sini hanya untuk memuji-muji saya dengan cerita masa lalu?”
Tersenyum malu, “Sebenarnya…, sudikah Begawan mengajarkan Aji Walat yang digdaya itu kepada saya? Semuanya demi negara Batareta agar tak ada pengacau yang berani menyambangi lagi.”
“Bukankah ada Sakri anakku?” membalik logika.
“Sakri bilang akan pulang ke sini, wahai Begawan. Aku relakan Sungkeli tinggal di sini karena aku yakin dia akan aman di sisi suaminya yang sakti mandraguna. Separuh kerajaan Batareta yang dimenangkannya bahkan akan diserahkan Sakri kepada Pursada putra mahkotaku. Jadi…”
“Kalau begitu, jikalau ada apa-apa di Batareta nanti, panggil saja Sakri ke istana.”
“Tapi, Begawan…?”
“Ketahuilah, Aji Walat itu tak bagus dikuasai oleh seorang raja yang setiap harinya selalu berhubungan dengan masalah-masalah kerajaan. Bahkan tak semua pertapa kuat menguasainya.”
“Saya hanya …,” mulai terlihat bias kekecewaan di wajahnya.
“Rupanya Paduka masih belum paham alasan Sakri menolak kekuasaan yang Paduka tawarkan.”
“Kenapa?”
“Orang yang merasa telah memiliki kekuasaan, kepintaran, kesaktian, merasa lebih dari orang lain, biasanya akan sulit mengendalikan lidahnya. Orang seperti ini sangat tidak dianjurkan menguasai Aji Walat. Mintalah ilmu yang lain, maka akan saya ajarkan kepada Paduka.”
“Bukankah aku telah bermurah hati memberikan sebagian milikku kepada Begawan? Kenapa Begawan tak mau bermurah hati kepada saya?”
“Memaksa adalah perbuatan para kala[1], wahai Paduka.”
Bersamaan detik itulah Prabu Wijaksandi merasakan keanehan tengah terjadi pada tubuhnya. Panas yang meletup-letup dalam dadanya mulai terasa meledak-ledak, semua otot meregang, semua tulang berderak, semakin dan semakin membesar. Semuanya tiba-tiba terlihat kecil, termasuk seorang pertapa di hadapannya.
“Apa yang telah kau lakukan padaku? Apa yang telah kau lakukan kepadaku, Begawan?!” suaranya terdengar seperti gemuruh guntur. Sosok nan tinggi besar itu nampak kebingungan dengan perubahan dirinya.
“Saya tidak melakukan apapun, wahai Paduka. Semua yang terjadi sekarang adalah ulah Paduka sendiri akibat tidak mau mendengar saran orang lain.”
“Maafkanlah aku, Begawan. Maafkanlah aku. Tolong kembalikan diriku ke wujud asalku …,” memohon-mohon, sampai rela bersujud.
“Saya tak bisa, Paduka. Semua ini akibat perbuatan Paduka sendiri. Bisakah Paduka menarik ucapan Paduka yang telah terlontar?”
Panas, sesak, dan sakit itu akhirnya sampailah ke ubun-ubun. Serasa ada yang merasuki. Lelaki itu telah dikuasai amarah. Hasrat itu membuat tangannya gemetar. Tak terbendung lagi. Ia pun berteriak sekeras-kerasnya, agar langit robek, bumi rekah, dan segalanya turut berkeping-keping seiring harapannya yang telah kandas.
Saat tersadar dari kenangan buruk itu, alangkah terkejutnya ia karena di sekelilingnya telah dipenuhi ratusan mayat prajurit kerajaan yang bergelimpangan di sana-sini. Terlebih ketika ia melihat sosok pemuda yang kini tengah meregangkan busur panah ke arahnya. Dia adalah Pursada, putra mahkotanya!
Ratusan prajurit juga telah berdatangan lagi. Dibiarkannya puluhan anak panah menancap di tubuhnya ketika ia berusaha meyakinkan Pursada bahwa dirinya memang benar Wijaksandi yang kini amat membutuhkan pertolongan Bambang Sakri.
*          *          *

Keputren Batareta yang semula hening dan tenteram berubah haru biru. Setelah berhasil meyakinkan Pursada, anaknya, raksasa yang dikuasai kesedihan itu pun bertatap muka menceritakan musibah yang menimpa dirinya di hadapan Bambang Sakri beserta Dewi sungkeli yang saat itu tengah hamil tua.
“Cuma kaulah satu-satunya harapanku, wahai menantuku. Bukankah kau juga menguasai Aji Walat? Aku yakin kau pasti bisa mengembalikanku ke wujud semula,” mohonnya, seraya merahasiakan bahwa ia telah membunuh ayah Bambang Sakri.
Bambang Sakri terdiam, cukup lama. Dewi Sungkeli meremas jemari tersebab cemas.
“Ayolah, aku tak bisa hidup dalam wujud seperti ini selamanya. Cuma kau satu-satuya harapanku…,” kalimat itu segera terhenti oleh gelengan kepala Bambang Sakri.
“Maksudmu …?”
“Seperti yang dikatakan oleh romo[2]ku, semua kesalahan ini bersumber dari lidah Paduka sendiri. Itulah sebabnya romoku menolak mengajarkan Aji Walat, sebab Paduka belum mampu menguasai lidah sendiri.”
“Sabda romomulah yang menyebabkanku jadi seperti ini!” mulai membentak.
“Tapi lidah Padukalah yang menyebabkan romoku mengucap itu. Sebenarnya itulah kuasa Aji Walat, Paduka.”
“Kau …!” wajahnya memerah. Tajam menatap Bambang Sakri. Seperti ada yang kembali bangun. Panas, sesak, dan sakit itu kembali memenuhi dadanya. Gemeretuk gigi. Tangan mengepal. Ketika suara-suara Begawan Sekutrem kembali semakin jelas terdengar di telinganya, “Dasar Sungkalabasa! Dasar Sungkalabasa[3]…!” lelaki yang mulai dikuasai amarah itu pun berteriak lantang seolah ingin kembali merobek-robek langit dan merekahkan bumi!*****
Keterangan:
1) Kala: raksasa
2) Sungkalabasa: celaka karena ucapannya sendiri


Note: Bambang Sakri dan Dewi Sungkeli adalah ayah dan ibu Bambang Palasara—eyang Pandhawa Lima. Bambang Sakri akhirnya juga terbunuh oleh kemarahan Prabu Sungkalabasa. Sementara Dewi Sungkeli meninggal saat melahirkan Bambang Palasara dan dalam kondisi pelarian diri.


                                                                Kalinyamatan – Jepara, 2012.


(Adi Zamzam, Bali Post, Minggu 1 Juli 2012)


[1] Raksasa
[2] Ayah
[3] Celaka karena ucapannya sendiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar