Manunggaling Kawulo Gusti: Sebuah Tinjauan Sekilas
Bahwa tujan akhir sufisme sebenarnya bukanlah tentang keakuan dan Yang
Ilahi, meskipun jalan yang dilalui adalah usaha-usaha untuk mencapai kesatuan
hamba dengan Tuhan. Senada dengan apa yang dimaksudkan oleh GBPH H. Joyokusumo (adik kandung Sri Sultan
Hemengkubuwono X) tentang makna manunggaling kawulo gusti, yang adalah
pendekatan dan rasa ketuhanan yang ada dalam diri seseorang, bukannya
bersatunya hamba dengan Tuhan secara harfiah.
Rasa adalah tolok-ukur pragmatis terhadap arti segala usaha mistik orang
Jawa. Rasa membawa maksudnya dalam dirinya sendiri, rasa adalah keadaan yang
puas tenang, ketentraman batin, ketiadaan ketegangan, sehingga memunculkan
kebahagiaan baik bagi sang pelaku, lebih-lebih bagi semesta. Filsafat Yunani
mengenal ini sebagai eudaimonia (Franz Magnis Suseno, 1984:133). Rasa seolah menjadi pokok dari segala laku,
menjadi ruh yang tak terpisahkan dari setiap tindakan.
Dalam kepercayaan Jawa, seseorang harus memperoleh kondisi pikiran tentrem
secara total atau bahkan kosong sebelum menggapai wawasan mistik yang
menggiringnya pada jalan ‘rasa’. Rasa, yang merupakan jembatan antara lahir dan
batin, adalah keseluruhan bentuk-bentuk mental batin yang dipengaruhi iman dan
nafsu (Mark R. Woodward, 1999:104). Jadi, pengendalian segala bentuk nafsu
adalah kunci menuju rasa. Segala macam bentuk konflik akan langsung
menghilangkan ‘rasa’ yang diburu oleh para pelaku mistik Jawa, karena itulah
mereka sering menghindar dari konflik atau justru berusaha mendamaikan konflik
yang terjadi di depan mata.
Franz Magnis Suseno memandang ‘rasa’ sebagai bagian dari sebuah paham religius
(1984:130). Rasa berarti merasakan dalam segala dimensi: perasaan jasmani
inderawi, perasaan akan kedudukannya dalam suatu medan interaksi, perasaan
kesatuan dengan alam semesta, rasa akan penentuan eksistensinya sendiri oleh
takdir. Maka ‘rasa’ itu akan menuntun seorang individu untuk eling(ingat)
akan nasal-usul sendiri. Orang Jawa menyebut istilah ini sebagai kawruh
sangkan-paraning dumadi, pengertian tentang asal dan tujuan segala makhluk.
Rasa, inilah yang kemudian membawa seorang individu memandang segala yang
ada di hadapannya sebagai manivestasi Tuhan, sifat-sifat Tuhan. Manivestasi di
sini bukanlah berarti berarti bersatunya Tuhan dengan ciptaanNya, melainkan
segala yang bisa mengantarkan kepada Tuhan. Baik itu wadah, apalagi isi. Alam,
bentuk, tubuh, dan kesalehan normatif adalah wadah. Allah, sultan, jiwa, iman,
dan mistisisme merupakan isi.
Coba kita tengok pandangan mistik Ibnu Arabi berikut ini; Melalui
Diri-Nya Dia melihat Diri-Nya… Tidak seorangpun melihat-Nya kecuali Dia, tidak
ada nabi yang diutus, tidak ada wali yang menyempurnakan, atau malaikat yang
mendekatkan untuk mengenal-Nya. Nabi-Nya adalah Dia, dan yang diutus-Nya adalah
Dia, kata-kata-Nya adalah dia. Ia mengutus Diri-Nya dengan Diri-Nya untuk
Diri-Nya (Schimmel, 1975:268).
Pandangan mistik yang kerap dituduh sesat oleh orang kebanyakan ini
sebenarnya juga ada ketika Clifford Geertz mempelajari mistik Jawa kaum
priyayi. Geertz menyarankan pandangan itu sebaiknya bukan hanya sebagai teori,
melainkan sebagai praksis kehidupan manusia yang bermakna. Kajian ini jelas tak
bisa lepas dari kondisi awal mula ketika agama-agama(samawi) mulai merambah
tanah air kita, yang oleh Max Weber dimaknai sebagai propaganda emosional.
Franz Magnis Suseno kemudian memberi catatan kaki pada kesimpulan
Clifford geertz tersebut. Yang menentukan dalam “agama” itu bukan masalah
kebenaran, melainkan apakah pandangan dunia itu cocok dengan pengalaman,
artinya dapat dirasakan sebagai sesuatu yang bermakna. Oleh karena itu bagi
banyak orang Jawa tidak terlalu penting agama mana yang dianut seseorang
(1984:134). Dalam kerangka inilah kemudian keselarasan terwujud, sehingga
muncul/tumbuh ‘rasa’ dalam jiwa seseorang. Namun oleh sebagian kalangan,
pemikiran ini kemudian disalahpahami sebagai ‘sekulerisme yang keliru’.
Dalam kalangan orang Jawa pun dikenal kata selamet yang merupakan
akar dari kata selametan. Sebuah usaha (yang kini telah menjadi tradisi)
kesadaran sederhana orang Jawa yang mengalami diri dalam mencapai keselarasan
dengan masyarakat, alam, dan roh-roh. Bagi orang Jawa, penanda ukuran
keberhasilan kehidupannya adalah keselamatan, ketentraman batin, ketiadaan
ancaman/konflik/kekacauan. Sedangkan orang mistik penanda keberhasilannya
adalah tercapainya ‘rasa’ yang sudah menjadi tenang. Bagi kedua-duanya, titik
acuan terakhir adalah keakuannya. Si petani mengusahakan keterlindungan dalam
lingkungannya, sementara si priyayi belajar untuk mengontrol segala segi
eksistensinya sendiri.
Keakuan ini kemudian melahirkan kesadaran bahwa mereka tidak dapat hidup
sendiri, bahwa mereka tak bisa lepas dari alam sekitar, dan lalu tumbuhlah
sebuah kesadaran bahwa alam sekitar pun sebenarnya merupakan ‘tubuh’ mereka
sendiri, jiwa mereka sendiri. Namun, melihat kondisi alam kita yang sudah
sebegini keadaannya, tampaknya banyak sudah orang Jawa yang melupakan ajaran
luhur ini, atau bahkan tidak mengerti sama sekali karena memang tidak pernah
mewarisinya dari orangtua.
(Nur Hadi, Suara Merdeka, Minggu, 22 Desember 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar