Jumat, 10 Oktober 2014

Manunggaling Kawulo Gusti



Manunggaling Kawulo Gusti: Sebuah Tinjauan Sekilas






Bahwa tujan akhir sufisme sebenarnya bukanlah tentang keakuan dan Yang Ilahi, meskipun jalan yang dilalui adalah usaha-usaha untuk mencapai kesatuan hamba dengan Tuhan. Senada dengan apa yang dimaksudkan oleh  GBPH H. Joyokusumo (adik kandung Sri Sultan Hemengkubuwono X) tentang makna manunggaling kawulo gusti, yang adalah pendekatan dan rasa ketuhanan yang ada dalam diri seseorang, bukannya bersatunya hamba dengan Tuhan secara harfiah.
Rasa adalah tolok-ukur pragmatis terhadap arti segala usaha mistik orang Jawa. Rasa membawa maksudnya dalam dirinya sendiri, rasa adalah keadaan yang puas tenang, ketentraman batin, ketiadaan ketegangan, sehingga memunculkan kebahagiaan baik bagi sang pelaku, lebih-lebih bagi semesta. Filsafat Yunani mengenal ini sebagai eudaimonia (Franz Magnis Suseno, 1984:133).  Rasa seolah menjadi pokok dari segala laku, menjadi ruh yang tak terpisahkan dari setiap tindakan.
Dalam kepercayaan Jawa, seseorang harus memperoleh kondisi pikiran tentrem secara total atau bahkan kosong sebelum menggapai wawasan mistik yang menggiringnya pada jalan ‘rasa’. Rasa, yang merupakan jembatan antara lahir dan batin, adalah keseluruhan bentuk-bentuk mental batin yang dipengaruhi iman dan nafsu (Mark R. Woodward, 1999:104). Jadi, pengendalian segala bentuk nafsu adalah kunci menuju rasa. Segala macam bentuk konflik akan langsung menghilangkan ‘rasa’ yang diburu oleh para pelaku mistik Jawa, karena itulah mereka sering menghindar dari konflik atau justru berusaha mendamaikan konflik yang terjadi di depan mata.
Franz Magnis Suseno memandang ‘rasa’ sebagai bagian dari sebuah paham religius (1984:130). Rasa berarti merasakan dalam segala dimensi: perasaan jasmani inderawi, perasaan akan kedudukannya dalam suatu medan interaksi, perasaan kesatuan dengan alam semesta, rasa akan penentuan eksistensinya sendiri oleh takdir. Maka ‘rasa’ itu akan menuntun seorang individu untuk eling(ingat) akan nasal-usul sendiri. Orang Jawa menyebut istilah ini sebagai kawruh sangkan-paraning dumadi, pengertian tentang asal dan tujuan segala makhluk.
Rasa, inilah yang kemudian membawa seorang individu memandang segala yang ada di hadapannya sebagai manivestasi Tuhan, sifat-sifat Tuhan. Manivestasi di sini bukanlah berarti berarti bersatunya Tuhan dengan ciptaanNya, melainkan segala yang bisa mengantarkan kepada Tuhan. Baik itu wadah, apalagi isi. Alam, bentuk, tubuh, dan kesalehan normatif adalah wadah. Allah, sultan, jiwa, iman, dan mistisisme merupakan isi.
Coba kita tengok pandangan mistik Ibnu Arabi berikut ini; Melalui Diri-Nya Dia melihat Diri-Nya… Tidak seorangpun melihat-Nya kecuali Dia, tidak ada nabi yang diutus, tidak ada wali yang menyempurnakan, atau malaikat yang mendekatkan untuk mengenal-Nya. Nabi-Nya adalah Dia, dan yang diutus-Nya adalah Dia, kata-kata-Nya adalah dia. Ia mengutus Diri-Nya dengan Diri-Nya untuk Diri-Nya (Schimmel, 1975:268).
Pandangan mistik yang kerap dituduh sesat oleh orang kebanyakan ini sebenarnya juga ada ketika Clifford Geertz mempelajari mistik Jawa kaum priyayi. Geertz menyarankan pandangan itu sebaiknya bukan hanya sebagai teori, melainkan sebagai praksis kehidupan manusia yang bermakna. Kajian ini jelas tak bisa lepas dari kondisi awal mula ketika agama-agama(samawi) mulai merambah tanah air kita, yang oleh Max Weber dimaknai sebagai propaganda emosional.
Franz Magnis Suseno kemudian memberi catatan kaki pada kesimpulan Clifford geertz tersebut. Yang menentukan dalam “agama” itu bukan masalah kebenaran, melainkan apakah pandangan dunia itu cocok dengan pengalaman, artinya dapat dirasakan sebagai sesuatu yang bermakna. Oleh karena itu bagi banyak orang Jawa tidak terlalu penting agama mana yang dianut seseorang (1984:134). Dalam kerangka inilah kemudian keselarasan terwujud, sehingga muncul/tumbuh ‘rasa’ dalam jiwa seseorang. Namun oleh sebagian kalangan, pemikiran ini kemudian disalahpahami sebagai ‘sekulerisme yang keliru’.
Dalam kalangan orang Jawa pun dikenal kata selamet yang merupakan akar dari kata selametan. Sebuah usaha (yang kini telah menjadi tradisi) kesadaran sederhana orang Jawa yang mengalami diri dalam mencapai keselarasan dengan masyarakat, alam, dan roh-roh. Bagi orang Jawa, penanda ukuran keberhasilan kehidupannya adalah keselamatan, ketentraman batin, ketiadaan ancaman/konflik/kekacauan. Sedangkan orang mistik penanda keberhasilannya adalah tercapainya ‘rasa’ yang sudah menjadi tenang. Bagi kedua-duanya, titik acuan terakhir adalah keakuannya. Si petani mengusahakan keterlindungan dalam lingkungannya, sementara si priyayi belajar untuk mengontrol segala segi eksistensinya sendiri.
Keakuan ini kemudian melahirkan kesadaran bahwa mereka tidak dapat hidup sendiri, bahwa mereka tak bisa lepas dari alam sekitar, dan lalu tumbuhlah sebuah kesadaran bahwa alam sekitar pun sebenarnya merupakan ‘tubuh’ mereka sendiri, jiwa mereka sendiri. Namun, melihat kondisi alam kita yang sudah sebegini keadaannya, tampaknya banyak sudah orang Jawa yang melupakan ajaran luhur ini, atau bahkan tidak mengerti sama sekali karena memang tidak pernah mewarisinya dari orangtua.

(Nur Hadi, Suara Merdeka, Minggu, 22 Desember 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar