Rabu, 22 Oktober 2014

Serial Joko Thole (5); Bagai Pinang Dibelah Dua



Bagai Pinang Dibelah Dua

(5)

Tok…Tok…Tok…
Joko Thole hanya mengolet.
Tok…Tok…Tok…
Joko Thole menyebak telinganya.
Tok…Tok…Tok…
“Buaj…jing!! Buaj…jing!!” genting rumah sampai tergetar lantaran bersin yang mahadahsyat itu.
Ada yang geleng kepala. Yang lalu mengembuskan napas halusnya ke telinga si Joko Thole lagi, “Maling…maling…maling…”
“Hmm…jengkol…nyam…nyam…,” malah justru keasyikan.
“Maling! Maling! Maling!”
“Hah, maling ?! Maling! Maling!” langsung terbangun. Panik. Menabrak tiang listrik di depan tempat tidurnya. Tapi begitu menyadari bahwa tiang listrik itu menyeringai ke arahnya sambil memamerkan sehelai bulu ayam, Joko Thole tambah panik.
“Setaaann!!” langsung melesat ke pintu.
“Kang Thole, ini aku, Lelur.”
“Hah, Lelur? Joko Lelur?” buru-buru mengopesi belek di kedua mata. Dunia pun terlihat terang-benderang.
“Oalah Lur, Lur. Cewek salihah itu pasti sekarang sudah minggat dari mimpiku,” dengan wajah lecek dan rambut masai, tanpa malu kembali ke peraduannya.
“Namanya siapa, Kang?” kedua matanya berbinar terang. Maklum, cowok yang satu ini juga menyimpan impian tersendiri tentang cewek salihah.
“Puspa Endah Di Taman Asri Buat Eyesmu Berseriseri.”
“Namanya wow sekali. Pasti orangnya juga wow. Kenalkan dong, Kang.”
“Tunggu sebentar ya.” Merilekskan tubuhnya di pembaringan. Memejamkan mata pelan-pelan. Lalu bibirnya pun mulai mendesiskan nama itu pelan-pelan, “Pus…pus…pus…”
Mimpi jilid kedua dimulai.
*          *          *


Alangkah gembiranya Mak Patmah ketika matanya menemukan halaman rumahnya yang telah bersih habis disapu. Bahkan rumputnya pun telah dicabuti. Sarang Gudel di samping rumah pun tampak asri. Kotorannya telah disapu bersih, yang becek-becek telah ditimbun dengan abu (bau pesing jadi tak tercium lagi), pakan yang telah berantakan telah dirapikan, bahkan di kotak pakan telah tersedia cukup pakan lagi.
Mak Patmah mengurut dada. Berucap syukur. Semoga saja ini hari pertama anak sulungnya niat memperbaiki dirinya sendiri. Dalam selintas, Mak Patmah berencana akan membuat masakan istimewa untuk hadiah hari istimewa ini.
Tapi alangkah terkejutnya Mak Patmah ketika mendapati sesosok makhluk asing yang tengah nangkring di kursi ruang tamunya. Makhluk asing itu menyangga piring seraya menyunggingkan senyum ramah ke arah Mak Patmah. Wajahnya mirip dengan Joko Thole, anaknya. Tapi tidak! Mak Patmah tak bisa dikelabui oleh makhluk asing itu! Tak pernah ada lalat yang beraksi dekat mata kiri Joko Thole!
“Siapa kamu?!” bentak Mak Patmah, yang langsung membuat makhluk asing itu kikuk dan meletakkan makanan curiannya.
“Aku Lelur, Mak. Tadi Kang Thole menyuruhku enggak perlu berlagak kayak tamu yang malu-malu. Jadi, tadi aku ya menanak nasi sekalian goreng tempenya juga. Maaf, Mak, saya lapar, habis perjalanan jauh,” lagaknya memang seperti tamu yang malu-malu tapi mau.
“Lelur, Joko Lelur? Keponakanku yang dari Semarang itu to? Waduh, pangling aku, Nang[1]. Bagaimana kabar emak bapakmu? Sehat dan lancar, rezekinya to?”
“Rezekinya sih lancar, Mak. Tapi…,” terlihat masam.
“Tapi apa, Nang?”
“Oh sehat, Mak, sehat. Keluarga Lelur di Semarang semuanya sehat,” tak jadi meneruskan kalimatnya tadi.
“Eh, tadi kamu bilang… kamu menanak nasi sekalian goreng tempe? Lha Thole mana, Nang?”
Joko Lelur langsung menunjuk kamar Joko Thole.
Firasat buruk menyelinap dalam kepala Mak Patmah. Ia buru-buru melangkah ke kamar joko Thole.
Meski halus, tapi Mak Patmah masih bisa mendengar suara sepoi itu.
“Pus… pus… pus…”
“Mimpi ketemu kucing saja sampai lupa bangun! Ayo, bangun!”
“Gempa…! Gempa…! Gempa, Mak ada gempa!”
Klothak!
 *          *          *
  
Ketika becermin, Joko Thole benar-benar sebal sekali. Mulutnya yang manyun tak bisa ia kembalikan ke bentuk normal. Malanglah sudah, karena itu berarti ia akan punya mulut manyun sepanjang hayat!
Ah tidak, tentu saja tidak! Tapi itu jika Thole berhasil menyingkirkan Joko Lelur dari istana ini! Selama ini, Makhluk asing itulah yang membuat hidup Joko Thole semakin nelangsa, semakin membuat emaknya riang menyanyikan lagu sendu berjudul; ’Lihat Itu Si Joko Lelur!’   
”Lihat itu si Lelur! Pagi-pagi halaman sudah bersih, bau pesing si Gudel sudah hilang, bahkan Emak pulang tinggal ambil nasi uduk ke dapur. Sedangkan kamu, apa yang kamu bisa, Le?! Kerjamu cuma tidur, tidur, tidur! Apa kamu tidak malu sama Gudel yang ndak keberatan dijual kalau sudah gemuk?!”
Ada lagi yang baitnya lebih panjang, dan begitu menyayat hati. “Meski rumahnya jelek, tapi kalau bersih, orang ndak akan berani mengatai yang macam-macam, Le. Coba kalau si Lelur itu jadi anak Emak, pasti Emak sudah gemuk sedari dulu. Ndak banyak pikiran, ndak sering kecapekan, ndak sering kehabisan modal, ndak sering nangis sendiri dalam kamar, ndak sering berdoa panjang-panjang, ndak sering buat gempa di rumah, ndak sering makan tempe sampai keringat pun bau tempe, ndak punya penyakit darah tinggi, dan terutama ndak ada orang yang berani mengatai bahwa Emak ini janda malang.”
Lagu ’Lihat Itu Si Joko Lelur’ memang begitu menyayat hati Joko Thole. Lagu yang sangat menginjak-injak harga dirinya sebagai anak Emak. Lagu yang tak berperike-Thole-an. Dan lagu yang paling dibencinya meski lagu itu kini tengah menduduki peringkat atas di tangga lagu terpopuler versi rumah Mak Patmah! Sedangkan peringkat kedua pun (yang berjudul “Semoga Hermanto Seperti Joko Lelur”), bait-baitnya persis mengekor ke lagu “ Lihat Itu Si Joko Lelur”.
Harus dengan cara apa Joko Thole mengalahkan makhluk asing yang sedang mengungsi ke rumahnya itu? Dengan berubah menjadi Superboy? Pasalnya sekarang si Lelur benar-benar terlihat seperti Suparmin, teman Thole yang kini jadi peternak ayam itu. Rajinnya sangat tak tertandingi!
*          *          *
“Hihihi , yang kos di rumahnya Mas Thole itu Mas Dude ya?”
Suhu dalam dada Thole langsung naik beberapa derajat celcius begitu Jeng Denok memulai topik yang itu, saat mencukur rambut Thole.
“Katanya kalau sudah potong rambut di salonnya Jeng Denok akan jadi mirip Dude!”
“Ah, masak? Hihihi, apa aku pernah bilang begitu? Tapi yang di rumahnya Mas Thole itu benar Mas Dude kan?”
“Dude yang lupa ingatan, lalu kesasar!” sahut Thole sewot.
“Hihihi, wah entar sore boleh mampir dong.”
“Boleh. Kebetulan, Jeng. Anggur di sebelah mata kirinya sudah bisa dipetik,” Thole geregetan.
Dan berita itu pun cepat menyebar ke seantero RT 11 RW 03 akibat ulah mulut Jeng Denok. Hal itu semakin membuat panas hati Joko Thole, sehingga sering terjadi korsleting dalam dadanya yang menyebabkan ia jadi sering marah-marah.
“Dikontrak Mak Patmah ya, Dik?” sapa Kang Razak saat di masjid.
Kening Joko Lelur berkerut, “Dikontrak bagaimana sih Kang maksudnya?”
Joko Thole yang mendengkur cakap itu, langsung mendesis ke samping. “Cuih!”
“Ah, Saya sudah lihat semuanya kok. Sejak kehadiran Dik Lulur…”
“Lelur, Kang.”
“Oo iya. Sejak kehadiran Dik Lelur, saya jadi enggak horor lagi kalau lewat di depan rumahnya Mak Patmah.”
“Horor? Apa… di rumah kecil itu ada jin penunggunya? Saya kok merasa aman-aman saja tinggal di situ, Kang?”
“Bau pesing, Dik. Minta ampun deh. Horor kan?”
Dada Joko Thole bagai dijotos. Ia langsung melengos meninggalkan cakap-cakap tak sedap itu. Tapi, di rumahnya pun ia mencium bau serupa ketika melihat kedatangan Pak RT.
“Dik Lelur mana, Mak?”
“Kelihatanya masih di masjid, Pak. Iya kan, Le?” Mak Patmah menoleh ke arah Thole.
Joko Thole hanya mengangkat kedua alis. Ia buru-buru mempercepat melahap makanannya. Bisa muntah kalau dengar percakapan seperti tadi. Baunya sudah bisa dicium!
“Cari Lelur, ada perlu apa ya, Pak?”
“Boleh duduk dulu, Mak. Sekalian nunggu Dik Lelur.”
“O iya, duduk dulu, Pak. Saya buatkan teh ya?”
“Sampai berapa lama Dik Lelur tinggal di sini, Mak?”
“Sampai berapa lama ya? Wah, saya ndak tahu, Pak RT. Tapi saya malah senang kalau si Lelur betah berlama-lama tinggal di sini,” sambil melirik Joko Thole.
Thole tak mau lagi mengunyah nasinya. Langsung ia telan saja agar cepat selesai.
“Sebenarnya saya punya usul berlian untuk Dik Lelur.”
“Usul berlian ?” kening  Mak Patmah berkerut.
“Dik Lelur itu kan orangnya rajin, Mak. Senang kerja bakti, senang bantu orang, saleh, ganteng, tidak hobi tidur, masih perjaka, tidak suka melamun. Nah, sehubungan dengan itu semua, dia akan saya nobatkan sebagai Youth of The Year pas tahun baru nanti…”
“Uhukk… uhukk!!” Joko Thole langsung tersedak makanannya. Buru-buru ke dapur karena air minumnya habis. Tapi di dapur ternyata telinganya masih mendengar percakapan itu dengan jelas.
“Yut of de yir itu apa, Pak RT? Apa bisa dijual, bisa buat cari duit?”
“Oo bisa, sangat bisa, Mak. Siapa saja yang sudah punya gelar itu, dia akan mudah cari pekerjaan.”
“Uhukk…uhukk!!” Joko Thole tersedak lagi . Air minumnya masuk hidung.

*          *          *

Telah behari-hari Joko Thole didera susah. Tidur susah, makan susah, minum susah, tidur susah, makan susah, dan minum susah. Semua jadi terasa susah sejak kedatangan si Lelur. Bahkan soal menggembala si Gudel pun berhasil diserobot si Lelur! Walhasil, Thole pun berubah jadi pensiunan yang kesehariannya cuma tidur, makan, bengong, lalu tidur lagi.
Tapi tidak untuk hari ini. Wajahnya tampak berseri-seri setelah sehari kemarin dia moksa entah kemana. Dia telah mendapatkan senjata rahasia yang pasti sangat ampuh untuk melawan si Lelur! Dan saat itu, setelah habis salat magrib, saat semua penghuni rumah sedang makan bersama…
“Lur, aku dapat titipan dari emakmu. Katanya, kalau tobat yang benar-benar. Jangan pas di kampungnya orang doang,”
Joko Thole berujar mantap.
“Uhukk..uhukk!!” Joko Lelur langsung tersedak. “Jadi… kemarin Kang Thole minggat ke Semarang ya?”
“Inginnya sih niru kamu, mengungsi ke tempat lain, terus taubat, memperbaiki diri, begitu. Tapi aku enggak mau membohongi orang lain.”
Joko Lelur tertunduk. Dalam. Nasi di atas piring diacuhkan.
“Kamu mau taubat to, Le? Kalau mau tobat, contoh itu si Joko Lelur,” Mak Patmah masih juga sesumbar, membuat Thole ingin muntah.
“Mak, kami ini bagai pinang dibelah dua. Sebenarnya sifat kami itu sama persis. Apanya yang mesti dicontoh?”
“Sama apanya?! Semua orang juga tahu! Katanya mau tobat, disuruh mencontoh orang baik kok ndak mau. Kubur itu gengsimu!”
Joko Thole manyun. Hatinya kembali tercambuk. Sementara kembarannya, tersenyum sambil kembali melahap nasi di piringnya hingga tandas.
Demi Tuhaaann! Teriak batin Thole histeris.***


[1] Panggilan untuk anak lelaki (Jawa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar