Bagai Pinang Dibelah
Dua
(5)
Tok…Tok…Tok…
Joko Thole hanya mengolet.
Tok…Tok…Tok…
Joko Thole menyebak telinganya.
Tok…Tok…Tok…
“Buaj…jing!! Buaj…jing!!” genting rumah
sampai tergetar lantaran bersin yang mahadahsyat itu.
Ada
yang geleng kepala. Yang lalu mengembuskan napas halusnya ke telinga si Joko
Thole lagi, “Maling…maling…maling…”
“Hmm…jengkol…nyam…nyam…,” malah justru
keasyikan.
“Maling! Maling! Maling!”
“Hah, maling ?! Maling! Maling!” langsung
terbangun. Panik. Menabrak tiang listrik di depan tempat tidurnya. Tapi begitu
menyadari bahwa tiang listrik itu menyeringai ke arahnya sambil memamerkan
sehelai bulu ayam, Joko Thole tambah panik.
“Setaaann!!” langsung melesat ke pintu.
“Kang Thole, ini aku, Lelur.”
“Hah, Lelur? Joko Lelur?” buru-buru
mengopesi belek di kedua mata. Dunia pun terlihat terang-benderang.
“Oalah Lur, Lur. Cewek salihah itu pasti
sekarang sudah minggat dari mimpiku,” dengan wajah lecek dan rambut masai,
tanpa malu kembali ke peraduannya.
“Namanya siapa, Kang?” kedua matanya
berbinar terang. Maklum, cowok yang satu ini juga menyimpan impian tersendiri
tentang cewek salihah.
“Puspa Endah Di Taman Asri Buat Eyesmu
Berseriseri.”
“Namanya wow sekali. Pasti orangnya juga
wow. Kenalkan dong, Kang.”
“Tunggu sebentar ya.” Merilekskan tubuhnya di pembaringan. Memejamkan
mata pelan-pelan. Lalu bibirnya pun mulai mendesiskan nama itu pelan-pelan,
“Pus…pus…pus…”
Mimpi jilid kedua dimulai.
*
* *
Alangkah gembiranya Mak Patmah ketika matanya menemukan halaman rumahnya
yang telah bersih habis disapu. Bahkan rumputnya pun telah dicabuti. Sarang
Gudel di samping rumah pun tampak asri. Kotorannya telah disapu bersih, yang
becek-becek telah ditimbun dengan abu (bau pesing jadi tak tercium lagi), pakan
yang telah berantakan telah dirapikan, bahkan di kotak pakan telah tersedia
cukup pakan lagi.
Mak Patmah mengurut dada. Berucap syukur. Semoga saja ini hari pertama anak
sulungnya niat memperbaiki dirinya sendiri. Dalam selintas, Mak Patmah
berencana akan membuat masakan istimewa untuk hadiah hari istimewa ini.
Tapi alangkah terkejutnya Mak Patmah ketika mendapati sesosok makhluk asing
yang tengah nangkring di kursi ruang tamunya. Makhluk asing itu
menyangga piring seraya menyunggingkan senyum ramah ke arah Mak Patmah. Wajahnya
mirip dengan Joko Thole, anaknya. Tapi tidak! Mak Patmah tak bisa dikelabui
oleh makhluk asing itu! Tak pernah
ada lalat yang beraksi dekat mata kiri Joko Thole!
“Siapa kamu?!” bentak Mak Patmah, yang langsung membuat makhluk asing itu
kikuk dan meletakkan makanan curiannya.
“Aku Lelur, Mak. Tadi Kang Thole menyuruhku enggak perlu berlagak kayak
tamu yang malu-malu. Jadi, tadi aku ya menanak nasi sekalian goreng tempenya
juga. Maaf, Mak, saya lapar, habis perjalanan jauh,” lagaknya memang seperti
tamu yang malu-malu tapi mau.
“Lelur, Joko Lelur? Keponakanku yang dari Semarang itu to? Waduh, pangling aku, Nang[1].
Bagaimana kabar emak bapakmu? Sehat dan lancar, rezekinya to?”
“Rezekinya sih lancar, Mak. Tapi…,”
terlihat masam.
“Tapi apa, Nang?”
“Oh sehat, Mak, sehat. Keluarga Lelur di
Semarang semuanya sehat,” tak jadi meneruskan kalimatnya tadi.
“Eh, tadi kamu bilang… kamu menanak nasi sekalian goreng tempe? Lha Thole
mana, Nang?”
Joko Lelur langsung menunjuk kamar Joko
Thole.
Firasat buruk menyelinap dalam kepala Mak
Patmah. Ia buru-buru melangkah ke
kamar joko Thole.
Meski halus, tapi Mak Patmah masih bisa mendengar suara sepoi itu.
“Pus… pus… pus…”
“Mimpi ketemu kucing saja sampai lupa bangun! Ayo, bangun!”
“Gempa…! Gempa…! Gempa, Mak ada gempa!”
Klothak!
*
* *
Ketika becermin, Joko Thole benar-benar
sebal sekali. Mulutnya yang manyun
tak bisa ia kembalikan ke bentuk normal. Malanglah sudah, karena itu berarti ia
akan punya mulut manyun sepanjang hayat!
Ah tidak, tentu saja tidak! Tapi itu jika Thole berhasil menyingkirkan Joko
Lelur dari istana ini! Selama ini, Makhluk asing itulah yang membuat hidup Joko
Thole semakin nelangsa, semakin membuat emaknya riang menyanyikan lagu sendu
berjudul; ’Lihat Itu Si Joko Lelur!’
”Lihat itu si Lelur! Pagi-pagi halaman sudah bersih, bau pesing si Gudel
sudah hilang, bahkan Emak pulang tinggal ambil nasi uduk ke dapur. Sedangkan
kamu, apa yang kamu bisa, Le?! Kerjamu cuma tidur, tidur, tidur! Apa kamu tidak
malu sama Gudel yang ndak keberatan
dijual kalau sudah gemuk?!”
Ada lagi yang baitnya lebih panjang, dan begitu menyayat hati. “Meski
rumahnya jelek, tapi kalau bersih, orang ndak
akan berani mengatai yang macam-macam, Le. Coba kalau si Lelur itu jadi anak
Emak, pasti Emak sudah gemuk sedari dulu. Ndak
banyak pikiran, ndak sering kecapekan,
ndak sering kehabisan modal, ndak sering nangis sendiri dalam kamar, ndak sering berdoa panjang-panjang, ndak sering buat gempa di rumah, ndak sering makan tempe sampai keringat
pun bau tempe, ndak punya penyakit
darah tinggi, dan terutama ndak ada
orang yang berani mengatai bahwa Emak ini janda malang.”
Lagu ’Lihat Itu Si Joko Lelur’ memang begitu menyayat hati Joko Thole. Lagu
yang sangat menginjak-injak harga dirinya sebagai anak Emak. Lagu yang tak
berperike-Thole-an. Dan lagu yang paling dibencinya meski lagu itu kini tengah
menduduki peringkat atas di tangga lagu terpopuler versi rumah Mak Patmah!
Sedangkan peringkat kedua pun (yang berjudul “Semoga Hermanto Seperti Joko
Lelur”), bait-baitnya persis mengekor ke lagu “ Lihat Itu Si Joko Lelur”.
Harus dengan cara apa Joko Thole
mengalahkan makhluk asing yang sedang mengungsi ke rumahnya itu? Dengan berubah
menjadi Superboy? Pasalnya sekarang si Lelur benar-benar terlihat seperti
Suparmin, teman Thole yang kini jadi peternak ayam itu. Rajinnya sangat tak
tertandingi!
* * *
“Hihihi , yang kos di rumahnya Mas Thole
itu Mas Dude ya?”
Suhu dalam dada Thole langsung naik
beberapa derajat celcius begitu Jeng Denok memulai topik yang itu, saat
mencukur rambut Thole.
“Katanya kalau sudah potong rambut di salonnya
Jeng Denok akan jadi mirip Dude!”
“Ah, masak? Hihihi, apa aku pernah bilang begitu? Tapi
yang di rumahnya Mas Thole itu benar Mas Dude kan?”
“Dude yang lupa ingatan, lalu kesasar!” sahut Thole sewot.
“Hihihi, wah entar sore boleh mampir
dong.”
“Boleh. Kebetulan, Jeng. Anggur di sebelah
mata kirinya sudah bisa dipetik,” Thole geregetan.
Dan berita itu pun cepat menyebar ke
seantero RT 11 RW 03 akibat ulah mulut Jeng Denok. Hal itu semakin membuat
panas hati Joko Thole, sehingga sering terjadi korsleting dalam dadanya yang
menyebabkan ia jadi sering marah-marah.
“Dikontrak Mak Patmah ya, Dik?” sapa Kang
Razak saat di masjid.
Kening Joko Lelur berkerut, “Dikontrak
bagaimana sih Kang maksudnya?”
Joko Thole yang mendengkur cakap itu,
langsung mendesis ke samping. “Cuih!”
“Ah, Saya sudah lihat semuanya kok. Sejak
kehadiran Dik Lulur…”
“Lelur, Kang.”
“Oo iya. Sejak kehadiran Dik Lelur, saya
jadi enggak horor lagi kalau lewat di depan rumahnya Mak Patmah.”
“Horor? Apa… di rumah kecil itu ada jin penunggunya? Saya kok merasa aman-aman saja
tinggal di situ, Kang?”
“Bau pesing, Dik. Minta ampun deh. Horor kan?”
Dada Joko Thole bagai dijotos. Ia langsung melengos meninggalkan
cakap-cakap tak sedap itu. Tapi, di
rumahnya pun ia mencium bau serupa ketika melihat kedatangan Pak RT.
“Dik Lelur mana, Mak?”
“Kelihatanya masih di masjid, Pak. Iya kan, Le?” Mak Patmah menoleh
ke arah Thole.
Joko Thole hanya mengangkat kedua alis. Ia buru-buru mempercepat melahap
makanannya. Bisa muntah kalau dengar percakapan seperti tadi. Baunya sudah bisa
dicium!
“Cari Lelur, ada perlu apa ya, Pak?”
“Boleh duduk dulu, Mak. Sekalian nunggu Dik Lelur.”
“O iya, duduk dulu, Pak. Saya buatkan teh ya?”
“Sampai berapa lama Dik Lelur tinggal di sini, Mak?”
“Sampai berapa lama ya? Wah, saya ndak
tahu, Pak RT. Tapi saya malah senang kalau si Lelur betah berlama-lama tinggal
di sini,” sambil melirik Joko Thole.
Thole tak mau lagi mengunyah nasinya.
Langsung ia telan saja agar cepat selesai.
“Sebenarnya saya punya usul berlian untuk
Dik Lelur.”
“Usul berlian ?” kening Mak Patmah
berkerut.
“Dik Lelur itu kan orangnya rajin, Mak. Senang kerja bakti, senang bantu
orang, saleh, ganteng, tidak hobi tidur, masih perjaka, tidak suka melamun. Nah,
sehubungan dengan itu semua, dia akan saya nobatkan sebagai Youth of The
Year pas tahun baru nanti…”
“Uhukk… uhukk!!” Joko Thole langsung
tersedak makanannya. Buru-buru ke dapur karena air minumnya habis. Tapi di
dapur ternyata telinganya masih mendengar percakapan itu dengan jelas.
“Yut of de yir itu apa, Pak RT? Apa bisa
dijual, bisa buat cari duit?”
“Oo bisa, sangat bisa, Mak. Siapa saja yang sudah punya gelar itu, dia akan
mudah cari pekerjaan.”
“Uhukk…uhukk!!” Joko Thole tersedak lagi .
Air minumnya masuk hidung.
*
* *
Telah behari-hari Joko Thole didera susah.
Tidur susah, makan susah, minum susah, tidur susah, makan susah, dan minum
susah. Semua jadi terasa susah sejak kedatangan si Lelur. Bahkan soal
menggembala si Gudel pun berhasil diserobot si Lelur! Walhasil, Thole pun
berubah jadi pensiunan yang kesehariannya cuma tidur, makan, bengong, lalu
tidur lagi.
Tapi tidak untuk hari ini. Wajahnya tampak berseri-seri setelah sehari
kemarin dia moksa entah kemana. Dia telah mendapatkan senjata rahasia yang
pasti sangat ampuh untuk melawan si Lelur! Dan saat itu, setelah habis salat
magrib, saat semua penghuni rumah sedang makan bersama…
“Lur, aku dapat titipan dari emakmu. Katanya, kalau tobat yang benar-benar.
Jangan pas di kampungnya orang doang,”
Joko Thole berujar mantap.
“Uhukk..uhukk!!” Joko Lelur langsung
tersedak. “Jadi… kemarin Kang Thole
minggat ke Semarang ya?”
“Inginnya sih niru kamu, mengungsi ke tempat lain, terus taubat,
memperbaiki diri, begitu. Tapi aku enggak mau membohongi orang lain.”
Joko Lelur tertunduk. Dalam. Nasi di atas piring diacuhkan.
“Kamu mau taubat to, Le? Kalau
mau tobat, contoh itu si Joko Lelur,” Mak Patmah masih juga sesumbar, membuat
Thole ingin muntah.
“Mak, kami ini bagai pinang dibelah dua. Sebenarnya sifat kami itu sama
persis. Apanya yang mesti dicontoh?”
“Sama apanya?! Semua orang juga tahu! Katanya mau tobat, disuruh mencontoh
orang baik kok ndak mau. Kubur itu
gengsimu!”
Joko Thole manyun. Hatinya kembali tercambuk. Sementara kembarannya,
tersenyum sambil kembali melahap nasi di piringnya hingga tandas.
Demi Tuhaaann! Teriak batin Thole histeris.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar