Kamis, 23 Oktober 2014

Serial Joko Thole (6); Ternyata Cari Duit Itu Mudah



Ternyata Cari Duit Itu Mudah
(6)


“Weisss… cincin Kang Thole kereen!” mata Slamet berbinar-binar saat melihat cincin monel di jari manis Joko Thole.
“Barang mahal ini, jangan disentuh!”
“Alaah…paling juga dikasih orang. Kayak enggak tahu kondisi perekonomian negara Joko Thole saja.”
“Ya memang dikasih orang, Met, masak dikasih kuntilanak? Aku masih normal, Met. Tahu mana yang cewek salihah, mana yang cewek…”
“Harganya berapa, Kang?” potong Slamet.
“Enggak dijual.”
“Alaah… nanti Kang Thole kan bisa beli lagi. Atau begini saja, Kang Thole bersedia antar ke penjualnya langsung?”
“Ini kudapat dari orang Semarang lho, Met. Transportnya saja kamu tahu berapa kan?”
Slamet manyun.
Sementara itu ingatan Joko Thole tengah memutar ulang kejadian kemarin pagi, saat Joko Lelur pamit pulang.
“Ini kenang-kenangan dariku, Kang. Terima kasih karena Kang Thole telah menyebabkan saya sadar dan betul-betul ingin memperbaiki diri,” sambil berlutut.
Joko Thole terlonjak mengira dapat lamaran, “Eh, enggak, enggak, jangan!”
“Saya betul-betul ingin memperbaiki diri di rumah saya, di kampung kelahiran saya, Kang,” mimiknya sangat memelas.
“Iya, iya,” Joko Thole akhirnya menerima cincin itu dengan tangan gemetar. Seraya mengusir bayangan buruk yang tadi sempat menghantuinya.
“Memangnya mahalnya seberapa sih, Kang?” suara Slamet membuyarkan lamunan Thole.
“Ini cincin antik, lengkap dengan akiknya, ganti saja seratus dua limaan, itu sudah harga bantingan.”
“Oke deh! Supaya tambah pede ikut kontes dangdut!” cengir Slamet sambil mengulurkan uangnya.
Ludah Thole tersangkut di tenggorokan. Uang!
*          *          *

“Ini barang mahal, Jeng. Buah tangan pembordir profesional. Saya tahu, Jeng ini tahu mana baju bagus mana baju jelek,” Thole menimang-nimang sepotong baju di hadapan Jeng Denok.
“Hihihi … iya, motif bordirnya kayaknya belum ada yang punya. Modelnya juga aku suka. Hihihi… model pinguin, cocok banget buat baju ngantin,” sambil mengedipkan mata kiri ke arah Joko Thole.
Joko Thole terlonjak selangkah ke belakang. Kedipan mata itu lumayan mengederkan hati. Tadi sebenarnya Joko Thole ingin mengajak Slamet untuk menemaninya. Ia memang sedikit khawatir dengan tabiat perempuan di hadapannya ini. Mengerikan! Thole pernah mimpi, ia diculik Jeng Denok. Tapi niat itu urung karena Thole tak ingin ketahuan bahwa ia sekarang sedang berjuang menjadi pedagang.
“He-em, Jeng. Model begini memang cocok buat yang masih gadis. Lucu kalau model sebagus ini dipakai emak-emak bangkotan? Nah, makanya barang oke ini saya tawarkan ke Jeng Denok, bukan yang lain.”
“Aduuh… senangnya diperhatikan Mas Thole, hihihi. Pasti senang ya, punya suami seperti Mas Thole? Soalnya Mas Joko ini cowok yang perhatian banget,” ganti mata kiri yang mengedip.
Joko Thole langsung melompat ke kanan. Menghindari ajian kedip-kedip itu. Lagipula, sejak kapan dia memanggil dengan sapaan Mas?
“Bagaimana, Jeng, mau ambil kan?”
“Mas minta berapa?”
“Seratus ribuan, sangat pantas buat Jeng Denok.”
“Seberapapun yang Mas Thole minta, Jeng Denok akan sanggupi,” dua mata itupun berkedip-kedip.
Joko Thole menahan napas. Ini uang! Uang!
*          *          *

“Ini ekrak4 kualitas tinggi, Pak. Enggak gampang rusak. Ada garansinya lho. Sangat cocok buat pencari pasir super pembela keluarga macam Pak Suparman.”
Lelaki berbadan tegap itu hanya memandangi barang yang ditawarkan Thole.
“Ini barang kualitas ekspor ke luar kabupaten lho, Pak. Lihat, terlihat perkasa saat digunakan untuk memanggul pasir di bahu atau di atas kepala,” Thole memeragakan gaya para pencari pasir di Kali Gede.
Lelaki berkulit legam itu hanya berdecak sebentar lalu kembali diam.
“Lihat, Pak, terlihat lebih kuat daripada milik Pak Suparman kan?”
Hanya mengangguk-angguk.
“Naaa, tunggu apa lagi? Ambil satu ya, Pak? Mm, tolong beritahu juga teman-teman Pak Suparman.”
Masih mengangguk-angguk. Thole menunggu reaksi selanjutnya. Ia tak ingin terlihat terlalu rewel hanya untuk menawarkan barang semacam ekrak. Rasanya kok enggak etis sekali.
“Kok masih diam? Bagaimana, ambil enggak, Pak?” Thole kehabisan cara berpromosi.
“Boleh ngutang enggak?” hanya sebaris kalimat pendek dan sebuah pandangan memelas.
Mulut Joko Thole reflek menganga.
*          *          *

“Mau dunak murah, Mak?”
“Tumben kamu baik sama enakmu,” Mak Patmah menyelonjorkan kaki di blabak. Lalu mengambil buntalan uang dalam dunaknya yang sudah terliat compang-camping.
“Siapa dulu dong emaknya. Ini barang kualitas bagus lho, Mak.”
Mak Patmah bangkit menuju lemari, hendak memasukkan beberapa koin yang harus ia tabung untuk hari itu. “Iya, letakkan saja di situ.”
“Buat Emak, lima belas ribu saja deh.”
“Lho, kainku mana ya, Le? Atau jangan-jangan masih ketinggalan di kiosnya Munayah?” mengaduk-aduk lemari pakaiannya.
“Lima belas ribu, murah kan, Mak?”
“Tapi seingat Emak, sudah kusimpan dalam lemari?”
“Mak, jadi enggak dunaknya?”
“Iya, iya, letakkan saja di situ,” masih mengaduk-aduk isi lemari.
“Duitnya, Mak?”
Langsung terhenti dan menoleh ke arah Joko Thole. “Kamu tadi ngomong apa?”
“Duitnya lima belas ribu, Mak,” tanpa rasa berdosa.
“Dasar mata ijo! Sama emak sendiri digasak juga?!”
“Omongan Emak kok begitu sih? Thole kan cuma berusaha.”
“Berusaha mengadali orangtua?”
“Berusaha membuktikan bahwa Thole sudah pandai cari duit. Buktinya Emak sudah kepincut beli kan?”
“Ya sudah, kamu bukan anak Emak saja! Ndak usah minta makan sama Emak juga! Nanti aku beli dunakmu itu!”
“Naa, sekarang kelihatan siapa orangnya yang raja tega kan?”
Klothak!
*          *          *

“Pak RT, ini peci hebat loh. Kalau Pak RT memakainya, dijamin wibawa Pak RT bakalan tambah.”
“Jadi selama ini wibawa saya kurang to, Dik?”
“Ya, bukan begitu, Pak RT. Setiap peci kan punya auranya sendiri-sendiri. Kalau pas mimpin rapat untuk kerja bakti, sebaiknya Pak RT pakai peci yang ini, yang ada motif ijo-ijonya. Kalau pas menghadiri undangan kegiatan sosial, sebaiknya Pak RT pakai yang ada motif kuning-kuningnya. Terus kalau pas untuk takziah, sebaiknya Pak RT pakai yang ini, yang putih polos. Lalu untuk sehari-hari sebaiknya Pak RT pakai yang ini.”
“Saya ambil pecimu, tapi titip di rumahmu dulu ya, Dik?”
“Lho, kenapa…?”
“Nanti kalau suasana rumah sudah mendukung, mereka baru saya jemput.”
“Ooh, no problem, Pak RT!”
*          *          *

Ternyata cari duit itu mudah. Terutama berdagang. Joko Thole sudah membuktikanya dalam sepekan ini. Cukup perhatikan saja kebutuhan apa yang mereka perlukan, dan lalu bubuhi dengan sedikit bujukan maut, maka akan tertembaklah si mangsa. Tapi tentu saja ada suka dukanya dalam soal ini.
Sukanya adalah; tak ada lagi hinaan yang mampir di telinga Joko Thole, kantong jadi tebal, rasa percaya diri yang meningkat, bisa beramal dengan duit, mulai berani melirik gadis salihah, mendapatkan ilmu baru yang tak pernah ia peroleh di sekolahnya dulu, dan yang terpenting adalah Tuhan semakin membuka pintu rezeki lebar-lebar bagi Thole yang mau berusaha.
Sedangkan dukanya adalah; kredit macet alias tukang utang, ketahuan kalau barang yang ia tawarkan bermutu pas-pasan, dimusuhi tetangga dekat (terutama Kang Razak dan Pak Thio yang jadi suka melirik nakal, eh sengit, dan tak mau lagi menyapa Joko Thole), dan terutama Emak yang kemarin langsung meledak ketika bertemu dengan Jeng Denok saat kondangan…
“Kamu menjual kain Emak ya, Le?!”
“Masak Emak mau pakai kain model begitu sih? Itu kan model buat anak muda?”
“Denok itu sudah ndak muda! Emak juga belum tua-tua amat, ngerti kamu?!”
“Ya sudah, kemarin Emak belinya cuma lima puluh ribu kan? Ini, uangnya aku kembalikan enam puluh ribu. Emak sudah dapat untung sepuluh ribu itu.”
“Sampai kapan to Le, kamu bisa membuat hati Emak plong?”
“Bukannya Emak pernah suruh Thole pintar cari duit? Kok Emak belum plong juga sampai detik ini?”
“Cari duit dengan cara haram begitu? Sampai mati, Emak ndak akan merestui, Le.”
“Tapi itu kan bisa buat beli kain lagi, Mak.”
Mata itu terlihat murung. Perempuan itu lalu masuk ke kamar tanpa suara lagi. Meninggalkan Joko Thole yang mematung sendirian di kursi ruang tamu.
Benarkah Emak sangat terluka dengan kelakuannya itu? Thole membayangkan posisi Emak (persis ketika ia mengalami mimpi buruk itu). Benar, alangkah akan hancur hatinya jika buah hati yang selama ini ia besarkan dan ia didik dengan susah payah akhirnya cuma menjadi pencuri dan penipu.
Duit, ternyata juga bisa menggelapkan mata dan hati. Nyatalah orang yang tujuan hidupnya hanya duit semata maka ia pun akan menghalalkan segala cara. Emak, maafkan Thole… Suatu hari nanti, aku pasti akan jadi orang hebat. Aku janji, Mak…


Keterangan :
 1)      Dunak : semacam ember kecil yang biasa digendong di belakang, terbuat dari   anyaman bambu atau rotan
2)      Sampeyan : kromo dari kamu, anda
3)      Nang : Panggilan untuk anak lelaki. Sama juga dengan Le
4)      Ekrak : terbuat dari anyaman bambu, digunakan untuk mengangkut batu dari pasir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar