Sabtu, 19 Juli 2014

Analisis Budaya Max Weber



Analisis Kebudayaan Max Weber



Judul Buku  :  Teori Dasar Analisis Kebudayaan
Penulis         :  Max Weber
Penerjemah  :  Abdul Qodir Shaleh
Penerbit        :  IRCiSoD (DIVA  Press Grup)
Cetakan         :  Kedua,  Februari 2013
Tebal             :  389 halaman
ISBN             :  978-602-7724-02-0

Seperti yang telah kita ketahui, Maximilian Weber adalah salah seorang yang dianggap sebagai pendiri ilmu sosiologi dan administrasi negara modern di samping dikenal juga sebagai ahli ekonomi politik. Lahir di Erfurt, Jerman, 21 April 1864, ia lebih dikenal dengan karya-karyanya yang berhubungan dengan rasionalisasi dalam sosiologi agama dan pemerintahan, meski sering pula menulis di bidang ekonomi. Buku ini adalah salah satu analisis kritis Weber yang luas dan lengkap menyangkut serba-serbi kebudayaan manusia dalam lingkup ilmu sosial, ekonomi, dan agama, yang telah dialihbahasakan agar bisa lebih mudah dicerna.
Tak hanya menguliti bagian luar saja, ketajaman analisisnya juga bisa dirasakan ketika ia mengiris bagian dalam. Weber menganalisis sisi psikologis, bahwa mereka yang tengah mencari keselamatan pasti akan terfokus pada apa yang menjadi perilaku mereka sekarang ini. Kondisi kemuliaan permanen yang sandar pada perasaan ‘pembuktian diri sendiri’, secara psikologis dijadikan objek konkret di antara nilai-nilai suci dari berbagai agama asketik. Rahib Buddha akan selalu mencari nirwana, sentimen suatu cinta kosmik. Umat Hindu yang saleh akan selalu mencari Bhakti (cinta sejati dalam naungan Tuhan) maupun ekstasi(kesenangan yang luar biasa) yang sifatnya apatis. Penganut Kristiani, akan selalu berusaha mencari untuk dimiliki Tuhan dan juga memiliki Tuhan, menjadi pengantin pria bagi Perawan Maria, atau menjadi pengantin perempuan bagi Sang Juru Selamat (halaman 29).
Tak hanya soal asketisisme, Weber juga menyorot soal mistisisme pada eranya. Asketisisme aktif bergerak dalam dunia, bersifat rasional, dalam penguasaan dunia/indrawi, berusaha menjinakkan kehidupan makhluk dan kejahatan kerja saat melakukan ‘pekerjaan’ duniawi. Sementara misitisisme menggambarkan kesimpulan utuh tentang menghilang dari kehidupan dunia/non indrawi. Dalam suatu bahasan Weber menggambarkan kekontrasan antara keduanya, bahwa mistisisme diperuntukkan bagi ‘kepemilikan’, sedangkan asketisisme diperuntukkan bagi mereka yang rela menjadi ‘kaki tangan Tuhan’ (halaman 138).
Tak hanya soal perilaku keagamaan, Weber juga menganalisis hubungan antara agama dengan bidang-bidang lainnya. Mengapa ia terlihat begitu terobsesi dengan agama? Weber berpendapat bahwa agama adalah salah satu alasan utama bagi perkembangan yang berbeda antara budaya Barat dan Timur.
Dalam bidang ekonomi, Weber menggambarkan terjadinya ketegangan antara agama-agama dengan keduniawian. Semua jalan magis yang memengaruhi spirit dan segala deitas digunakan untuk mengejar kepentingan khusus yang bersifat duniawi; kaya, hidup mulia, sehat, punya keturunan. Agama-agama yang mengajarkan keselamatan yang tersublimasi makin lama semakin tegang dalam hubungan mereka dengan ekonomi-ekonomi yang terasionalisasi (halaman 148).
Dalam bidang politik, ketika negara dimaknai sebagai sebuah asosiasi yang mengklaim monopoli penggunaan kekerasaan yang terlegitimasi dan tidak bisa didefinisikan dengan cara-cara yang lain, penggambaran nama Tuhan ke dalam konflik politik menjadi terlihat seperti usaha yang sia-sia (halaman 155). Definisi inilah yang kemudian menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik Barat modern.
Dalam bidang seni, Weber melihat mayoritas agama-agama dalam sebagian cara berusaha memasuki aliansi-aliansi yang menjadi signifikan bagi evolusi seni. Mereka berharap bisa menjadi agama-agama massa yang universalis dan juga bisa mengendalikan massa dengan cara propaganda emosional, meski semua agama-agama para ahli yang sejati tetap pemalu ketika berkonfrontasi dengan seni (halaman 172). Cara pandang Weber ini, bisa mengingatkan kepada kondisi awal mula ketika agama-agama(samawi) mulai merambah tanah air kita.
Weber juga tak luput mengamati hubungan agama dengan erotisme (halaman 173), dan dengan intelektualisme, di mana menurutnya agama sering kali menganggap penelitian yang murni empiris, termasuk ilmu pengetahuan alam, sebagai sesuatu yang bisa didamaikan dengan kepentingan-kepentingan agama daripada yang dilakukan filsafat (halaman 186).
Pola-pola hubungan di atas kemudian juga masih bisa dilihat ketika Weber membedah beberapa entitas peradaban kapitalisme dan masyarakat pedesaan di Jerman (halaman 205), karakter nasionalis dan aristokratis Prussia sebelum berubah menjadi Jerman (halaman 251), entitas kaum Brahma dan kasta-kasta di India (halaman 273), serta entitas kaum literati di China (halaman 315).***

(Nur Hadi, Koran Jakarta, .....)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar