Analisis Kebudayaan Max Weber
Judul Buku : Teori Dasar Analisis Kebudayaan
Penulis :
Max Weber
Penerjemah :
Abdul Qodir Shaleh
Penerbit :
IRCiSoD (DIVA Press Grup)
Cetakan :
Kedua, Februari 2013
Tebal :
389 halaman
ISBN :
978-602-7724-02-0
Seperti yang telah kita ketahui, Maximilian Weber
adalah salah seorang yang dianggap sebagai pendiri ilmu sosiologi dan
administrasi negara modern di samping dikenal juga sebagai ahli ekonomi
politik. Lahir di Erfurt, Jerman, 21 April 1864, ia lebih dikenal dengan
karya-karyanya yang berhubungan dengan rasionalisasi dalam sosiologi agama dan
pemerintahan, meski sering pula menulis di bidang ekonomi. Buku ini adalah
salah satu analisis kritis Weber yang luas dan lengkap menyangkut serba-serbi
kebudayaan manusia dalam lingkup ilmu sosial, ekonomi, dan agama, yang telah
dialihbahasakan agar bisa lebih mudah dicerna.
Tak hanya menguliti bagian luar saja, ketajaman
analisisnya juga bisa dirasakan ketika ia mengiris bagian dalam. Weber
menganalisis sisi psikologis, bahwa mereka yang tengah mencari keselamatan
pasti akan terfokus pada apa yang menjadi perilaku mereka sekarang ini. Kondisi
kemuliaan permanen yang sandar pada perasaan ‘pembuktian diri sendiri’, secara
psikologis dijadikan objek konkret di antara nilai-nilai suci dari berbagai
agama asketik. Rahib Buddha akan selalu mencari nirwana, sentimen suatu cinta
kosmik. Umat Hindu yang saleh akan selalu mencari Bhakti (cinta sejati dalam
naungan Tuhan) maupun ekstasi(kesenangan yang luar biasa) yang sifatnya apatis.
Penganut Kristiani, akan selalu berusaha mencari untuk dimiliki Tuhan dan juga
memiliki Tuhan, menjadi pengantin pria bagi Perawan Maria, atau menjadi
pengantin perempuan bagi Sang Juru Selamat (halaman 29).
Tak hanya soal asketisisme, Weber juga menyorot soal
mistisisme pada eranya. Asketisisme aktif bergerak dalam dunia, bersifat rasional,
dalam penguasaan dunia/indrawi, berusaha menjinakkan kehidupan makhluk dan
kejahatan kerja saat melakukan ‘pekerjaan’ duniawi. Sementara misitisisme
menggambarkan kesimpulan utuh tentang menghilang dari kehidupan dunia/non
indrawi. Dalam suatu bahasan Weber menggambarkan kekontrasan antara keduanya,
bahwa mistisisme diperuntukkan bagi ‘kepemilikan’, sedangkan asketisisme
diperuntukkan bagi mereka yang rela menjadi ‘kaki tangan Tuhan’ (halaman 138).
Tak hanya soal perilaku keagamaan, Weber juga menganalisis
hubungan antara agama dengan bidang-bidang lainnya. Mengapa ia terlihat begitu
terobsesi dengan agama? Weber berpendapat bahwa agama adalah salah satu alasan
utama bagi perkembangan yang berbeda antara budaya Barat dan Timur.
Dalam bidang ekonomi, Weber menggambarkan terjadinya
ketegangan antara agama-agama dengan keduniawian. Semua jalan magis yang
memengaruhi spirit dan segala deitas digunakan untuk mengejar kepentingan
khusus yang bersifat duniawi; kaya, hidup mulia, sehat, punya keturunan. Agama-agama
yang mengajarkan keselamatan yang tersublimasi makin lama semakin tegang dalam
hubungan mereka dengan ekonomi-ekonomi yang terasionalisasi (halaman 148).
Dalam bidang politik, ketika negara dimaknai sebagai
sebuah asosiasi yang mengklaim monopoli penggunaan kekerasaan yang
terlegitimasi dan tidak bisa didefinisikan dengan cara-cara yang lain,
penggambaran nama Tuhan ke dalam konflik politik menjadi terlihat seperti usaha
yang sia-sia (halaman 155). Definisi inilah yang kemudian menjadi penting dalam
studi tentang ilmu politik Barat modern.
Dalam bidang seni, Weber melihat mayoritas
agama-agama dalam sebagian cara berusaha memasuki aliansi-aliansi yang menjadi
signifikan bagi evolusi seni. Mereka berharap bisa menjadi agama-agama massa
yang universalis dan juga bisa mengendalikan massa dengan cara propaganda
emosional, meski semua agama-agama para ahli yang sejati tetap pemalu ketika
berkonfrontasi dengan seni (halaman 172). Cara pandang Weber ini, bisa
mengingatkan kepada kondisi awal mula ketika agama-agama(samawi) mulai merambah
tanah air kita.
Weber juga tak luput mengamati hubungan agama dengan
erotisme (halaman 173), dan dengan intelektualisme, di mana menurutnya agama
sering kali menganggap penelitian yang murni empiris, termasuk ilmu pengetahuan
alam, sebagai sesuatu yang bisa didamaikan dengan kepentingan-kepentingan agama
daripada yang dilakukan filsafat (halaman 186).
Pola-pola hubungan di atas kemudian juga masih bisa
dilihat ketika Weber membedah beberapa entitas peradaban kapitalisme dan masyarakat
pedesaan di Jerman (halaman 205), karakter nasionalis dan aristokratis Prussia
sebelum berubah menjadi Jerman (halaman 251), entitas kaum Brahma dan
kasta-kasta di India (halaman 273), serta entitas kaum literati di China
(halaman 315).***
(Nur Hadi, Koran Jakarta, .....)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar