(2)
Lebah–lebah berdengung.
Tapi anehnya bau jengkol meruap ke segala penjuru ruangan itu.
Sambil menutup hidung,
Joko Thole buru-buru menyenggol lelaki berpeci hitam di sampingya. Pak RT lagi.
Sekali lagi Pak RT menyenggolnya balik. Dengan wajah manyun Thole menyenggol
lagi, lebih keras. Pak RT malah tersenyum manis sekali. Dan lalu balas
menyenggol Thole tiga kali lebih keras hingga pemuda itu terdorong ke samping
kiri hingga menimpa tetangganya.
“Ikut senggol-senggolan
dong,” ucap Kang Razak dengan suara agak kenes.
Joko Thole menepuk
dahinya, “Aduuh Pak RT, ayo dong buruan ngomong! Kita di sini mau ngapain.”
Terdengar dehem Pak RT. Seketika ruangan itu
menjadi hening. “Bapak-bapak, ibu-ibu, kita ini di sini mau ngapain?”
Lebah-lebah kembali
berdengung. Bingung.
“Lho, bukannya kita mau rapat, Pak RT?” Pak Darto
mengangkat tangan kirinya. Semua tetangga yang duduk di sebelah kirinya
buru-buru menutup hidung.
Joko Thole menepuk dahinya lagi, “Aduuhh, Pak RT
ini bagaimana sih?”
Pak RT yang melihat insiden kematian naas itu
buru-buru mengulurkan tangannya ke dahi thole.”Wah, ini nyamuk apa ya, Le?
Chikungunya, malaria, atau demam berdarah? Nah Bapak-bapak dan ibu-ibu
sekalian, sebelum nyamuk-nyamuk yang lain meyerang rumah kita masing-masing,
dalam rangka menyambut musim peralihan, saya ingin sekali mengajak bapak ibu
sekalian untuk ikut kerja bakti membersihkan lingkungan sekitar kita yang akan
dilaksanakan besok pada hari…”
“Ahad saja, Pak RT, Pabrik tutup,” Pak Darto
mengangkat tangan kanannya. Semua tetangga yang duduk di sebelah kanannya
buru-buru menutup hidung.
“Hihihi, interupsi, maaf Pak RT,” gantian Jeng Denok
yang mengangkat tangan kanan. Beberapa tetangga di sebelah kanannya langsung
menutup mata. Jeng Denok buru-buru menutupi jahitan yang robek itu. “Hihihi,
maaf Pak RT, mereka itu memang benar-benar masyarakat antipornoaksi.”
“Jeng Denok, kita bukan
sedang membahas UU Pornografi. Kita
sedang mencari hari baik untuk kerja bakti.”
“Hihihi, iya Pak RT. Saya usul hari Jum’at saja.
Soalnya Ahad kan hari libur. Nah, saat itu orang-orang banyak yang libur
juga. Saat hari libur, orang-orang banyak yang libur juga. Saat hari libur, orang-orang
sering menfaatkan waktu luangnya untuk memanjaken eh, memanjakan rambut dan
wajah mereka di salon saya. Jadi
kalau diadakan di hari Ahad, rasanya kok bisa mengganggu kestabilan ekonomi saya.”
“Saya suetuju suekali dengan Jeng Denok!” sambil
sibuk menggaruk-garuk kepalanya. Peci hitam yang bertengger di sarang burung di
atas kepalanya terjatuh. “Soalnya hari Ahad itu kan puanjang. Saya bisa jualan
sayur sampai kueliling lima desa lho, Pak. Nah, kalau Jum’at kan hari pendek,”
masih dengan gaya yang kenes.
“Hihihi, tengkyu ya, Kang Razak. Besok-besok
tak kasih diskon creambath gratis deh,” kalimat itu malah membuat Kang
Razak manyun.
“Bagaimana kalau diadaken…,” Pluk! Thole menepuk
bibirnya. “Bagaimana kalau diadakan pemungutan suara saja, Pak RT. Biar
nanti tidak terjadi saling debat.”
“Wah, usul luar biasa,
Dik Thole. Segera laksanakan!” Pak
RT lalu mengambil kertas dari dalam kamar.
Setelah dibagi-bagikan, akhirnya didapat keputusan
hari Jum’at.
“Ketuanya siapa, Pak RT?” Pak Suparman mengangkat
tangan.
“Hihihi, iya Pak RT, supaya nanti ada yang ngatur.
Saya juga mau usul, saya mau kok dijadikan seksi konsumsi.”
“Konsumsi dari mana to, Jeng?”
“Hihihi, ya urunan dong,
Pak RT. Masak kerja berat nggak ada
sesi makan-makannya. Bisa pada lemes lho nanti.”
“Saya suetuju buanget, Pak RT,” sambil
mengurut-ngurut rambut kribonya. “Saya juga mau usul. Bagaimana kalau yang
tidak buerangkat dikenakan denda. Lumayan kan buat nambah konsumsinya?”
“Tanganmu itu ngapain sih, Kang?” tanya Pak
Suparman yang duduk di samping Kang Razak.
“Bantuin dong, Pak, biar
cuepet selesai.”
“Sudi ah!” dengan wajah
kecut Pak Suparman memalingkan wajah.
“Saya di sini, Pak,” Mak
Sudiah yang duduk di belakang Kang Razak Langsung menyahut.
“Ada yang mau usul lagi? Silakan.”
“Bagaimana kalau Pak RT
yang jadi ketua panitianya?” ucap Pak Thio, sambil tersenyum. Mata sipitnya
jadi terlihat seperti orang yang mengincar sesuatu.
“Aduh Pak Thio, buka mata
lebar-lebar dong. Saya kan sudah
punya jabatan sebagai ketua RT. Masak mau merangkap jadi ketua anu lagi. Saya
benar-benar nggak mau dicap sejarah sebagai manusia serakah. Bagaimana kalau
Pak Thio saja yang jadi ketua, setuju?!”
“Jangan, jangan saya!”
suaranya terdengar gugup. “Pekerjaan
saya nggak ada liburnya. Saya ini orang sibuk. Kalau diserahi amanat begituan,
nanti malah berantakan. Bagaimana kalu Joko Thole saja. Dia masih single. Pasti masih punya banyak waktu
luang kan?” mata sipitnya mengerjap-ngerjap.
“Nggak, nggak, saya enggak…”
“Hidup Joko Thole!” Pak RT buru-buru menyahut.
“HIDUP!” semua orang dalam ruangan itu menyahut.
“Joko Thole ketua kerja bakti!”
“HIDUP!”
“Pak RT, saya ini kan masih muda, masih hijau,
mana bisa memimpin yang tua-tua.”
“Siapa bilang Dik Thole
ini masih hijau? Jenggotnya sudah lebat begitu kok,” sahut Pak RT.
“Hihihi, iya, siapa
bilang Mas Thole ini belum pantas? Mas
Thole sudah sangat pantas sekali,” Jeng Denok mengeluarkan senyum termanisnya.
“Kalau Mas jadi ketuanya, aku mau kok jadi sekretarisnya,” saking manisnya
senyum itu, seekor lalat langsung hinggap di sana.
”Pokokya aku nggak mau jadi ketua kerja bakti!”
“Siapa yang setuju Dik Thole jadi jetua kerja
bakti, tolong angkat tangan.”
Seisi ruangan buru-buru angkat tangan. Berselang
detik kemudian tiba-tiba mereka langsung menutup hidung.
“Hihihi, Pak Darto tolong
nggak usah angkat tangan deh,” sambil menutup hidung.
Orang-orang akhirnya bisa
bernapas lega saat perintah itu dituruti.
“Saya boikot,” Joko Thole
bangkit dari duduknya.
“Eh eh, mau ke mana? Tak
bilangin ke emakmu lho,” sambil menguruti rambut keritingnya. “Aku akan
bilang ke Mak Fatmah kalau anaknya nggak mau ikut kerja bakti.”
Seketika itu langkah Thole berhenti.
“Kamu itu wakil emakmu, Dik,” sambung Pak RT.
Thole mengembuskan napas berat, “Saya bersedia
jadi ketua kerja bakti, tetapi saya minta satu syarat.”
“Hihihi, hembus yang keras dong,” Jeng Denok yang
berada di depan Joko Thole, menghirup udara dengan nikmatnya .
“Aduh, Jeng. Ini kan bau terasi,” Kang Razak
menutup hidung.
“Silakan, apa syaratnya? Perintah ketua harus
ditaati ya saudara-saudara!”
“YAA!!”
“Denda bagi yang tidak ikut kerja bakti, duapuluh
ribu rupiah,” Thole menatap satu persatu wajah dalam ruangan itu. Ada yang langsung
melotot, menelan ludah sendiri, geleng-geleng kepala, dan ada yang masih
menguruti rambut keritingnya. Cuma Pak Thio yang terlihat tersenyum.
“Bagaimana?” senyum kecil
tersungging di sudut bibir Thole.
“Setujuuu…!” suara Pak
Thio terdengar lantang sendiri. Semua
mata menatap sengit Pak Thio.
***
Joko Thole melirik lagi
jam dinding di serambi masjid. Sudah pukul setengah sembilan. Hhh, beginilah
kebiasaan kebanyakan orang Indonesia.
Moloor, ngareet, pantas nggak maju-maju. Thole benar-benar kesal. Sepertinya
firasatnya akan jadi kenyataan.
Tak lama berselang muncul
si Kia. Sambil tersenyum ia langsung menyerahkan upetinya. “Babah nggak bisa
ikut, Kang. Pagi ini beliau harus kulakan beras ke Demak, pulangnya siang
nanti. Ini uang dendanya ditambahi lima
ribu, supaya yang ikut kerja bakti tetap semangat.”
“Semangat udelnya! Orang
kok semangatnya pas usul doang.”
“Iiih, Kang Thole kok
malah enggak syukur sih?”
Joko Thole menggerutu
panjang lebar sepeninggal gadis tomboy bermata sipit itu. Tak lama kemudian…
“Hihihi, lho, kok nggak
ada orangnya. Orangnya ke mana nih Mas Thole?”
“Tauk, aku bukan emaknya!”
“Hihihi, aduuh, gitu aja kok ngambek. Jadi
nggak mirip Dude Herlino lho, Mas,” Jeng Denok mengeluarkan senyum termanisnya.
“Sayur! Sayur!”
Begitu melihat Kang Razak
yang datang gerobak sayurnya, wajah Thole semakin terlihat masam.
“Kerja bakti kok bawa
gerobak sayur, Kang?”
“Uaduh, Dik. Kang Razak
ini cuma orang kuecil. Libur kerja
sehari saja, ekonomi Kang Razak bisa kuacau. Jadi daripada nanti Kang Razak
jadi bujang luapuk karena nggak kelar-kelar kawin karena nggak punya modal
untuk melamar orang, jadi Kang Razak absen saja deh. Nih dendanya, tak tambahi
seplastik bakwan, biar tambah semangat kerja baktinya, Iya kan, Jeng?”
mengedipkan mata kirinya ke arah Jeng Denok.
Jeng Denok buru-buru mengalihkan
pandang ke arah Thole. Takut kena virus yang menular melalui udara. “Aduuh…
bener-bener mirip Dude. Apalagi
kalau potong rambut di salonku,” geleng-geleng kepala saat mencermati wajah
Joko Thole.
Lalu, tak lama kemudian.
“Lho, Met, Bapakmu juga nggak ikut kerja bakti?”
“Pesanan pasir lagi
banyak, Kang. Sayang kalau ditinggal.”
“Heh, jangan korupsi! Denda Bapakmu ini kurang
lima ribu.”
“Alaaah Kang, sama teman sendiri saja kok gitu.”
“Ayo, kembalikan yang lima ribunya!"
“Kamu itu si raja tega ya, Kang,” Slamet terlihat
enggan merogoh saku celananya.
“Atau kamu gantikan saja bapakmu, nanti uangnya
buat kamu semua.”
“Wah, ide bagus! Tapi tadi aku disuruh membantunya
mengangkat pasir ke truk. Nanti kalau beliau tanya, aku harus kasih alasan
apa?”
“Ya sudah, mana duitnya?”
Slamet manyun.
Di tangan Thole kini
terkumpul hampir tiga ratus ribuan. Sudah hampir jam sepuluh. Thole
mengembuskan napas berat.
“Hihihi, hembus yang
keras dong,” Jeng Denok menghirupnya dengan nikmat.
“Pulang saja ya, Jeng?”
“Hihihi, nggak ah. Aku pingin berduaan saja sama Mas Thole.”
Thole menelan ludah ketakutan. Untung tak lama
kemudian muncul Mak Sudiah.
“Lho, orang-orangnya
mana, Le?”
“Nih, yang datang,” Thole
memperlihatkan uang denda yang menyumpal penuh di saku bajunya.
“Pak RT?”
“Sibuk. Nggak tahu sibuk
ngapain. Baru jadi RT saja sibuknya
minta ampun, bagaimana nanti kalau jadi DPR ya?”
“Cuma tiga orang ya, Le?”
“Hihihi, malah romantis kok Mak,” Jeng Denok
memperlihatkan senyum termanisnya. Dua ekor lalat sukses terpikat di sana.
“Nggak apa-apa, Mak. Kerja baktinya cabut rumput
saja. Nanti uangnya kita bagi tiga!”
***
Di suatu pagi yang cerah. Saat itu Pak RT tak
sengaja berpapasan dengan Joko Thole yang sedang menggiring si Gudel ke ladang
rumput di belakang SD.
“Sepertinya kerja bakti berjalan lancar ya, Dik?”
“Sangat lancar, Pak. Pak RT lihat sendiri, kan? Semua
rumput di RT 11 bersih!”
Tertawa lebar, “ Saya
malah kepikiran ide hebat. Nah, supaya RT 11 teladan. Bagaimana kalau setiap
minggu saja kita adakan kerja bakti? Saya bersedia jadi ketuanya kok!”
Pak RT langsung terhenti
manggut-manggut. Dahinya berkerut, menatap curiga Joko Thole.
“Bersih itu pangkal
sehat. Bersih juga sebagian dari iman lho, Pak!”***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar