Jumat, 18 Juli 2014

Tong Kosong Bunyinya Nyaring



(2)



Lebah–lebah berdengung. Tapi anehnya bau jengkol meruap ke segala penjuru ruangan itu.
Sambil menutup hidung, Joko Thole buru-buru menyenggol lelaki berpeci hitam di sampingya. Pak RT lagi. Sekali lagi Pak RT menyenggolnya balik. Dengan wajah manyun Thole menyenggol lagi, lebih keras. Pak RT malah tersenyum manis sekali. Dan lalu balas menyenggol Thole tiga kali lebih keras hingga pemuda itu terdorong ke samping kiri hingga menimpa tetangganya.
“Ikut senggol-senggolan dong,” ucap Kang Razak dengan suara agak kenes.
Joko Thole menepuk dahinya, “Aduuh Pak RT, ayo dong buruan ngomong! Kita di sini mau ngapain.”
Terdengar dehem Pak RT. Seketika ruangan itu menjadi hening. “Bapak-bapak, ibu-ibu, kita ini di sini mau ngapain?”
Lebah-lebah kembali berdengung. Bingung.
“Lho, bukannya kita mau rapat, Pak RT?” Pak Darto mengangkat tangan kirinya. Semua tetangga yang duduk di sebelah kirinya buru-buru menutup hidung.
Joko Thole menepuk dahinya lagi, “Aduuhh, Pak RT ini bagaimana sih?”
Pak RT yang melihat insiden kematian naas itu buru-buru mengulurkan tangannya ke dahi thole.”Wah, ini nyamuk apa ya, Le? Chikungunya, malaria, atau demam berdarah? Nah Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, sebelum nyamuk-nyamuk yang lain meyerang rumah kita masing-masing, dalam rangka menyambut musim peralihan, saya ingin sekali mengajak bapak ibu sekalian untuk ikut kerja bakti membersihkan lingkungan sekitar kita yang akan dilaksanakan besok pada hari…”
“Ahad saja, Pak RT, Pabrik tutup,” Pak Darto mengangkat tangan kanannya. Semua tetangga yang duduk di sebelah kanannya buru-buru menutup hidung.
“Hihihi, interupsi, maaf Pak RT,” gantian Jeng Denok yang mengangkat tangan kanan. Beberapa tetangga di sebelah kanannya langsung menutup mata. Jeng Denok buru-buru menutupi jahitan yang robek itu. “Hihihi, maaf Pak RT, mereka itu memang benar-benar masyarakat antipornoaksi.”
“Jeng Denok, kita bukan sedang membahas UU Pornografi. Kita sedang mencari hari baik untuk kerja bakti.”
“Hihihi, iya Pak RT. Saya usul hari Jum’at saja. Soalnya Ahad kan hari libur. Nah, saat itu orang-orang banyak yang libur juga. Saat hari libur, orang-orang banyak yang libur juga. Saat hari libur, orang-orang sering menfaatkan waktu luangnya untuk memanjaken eh, memanjakan rambut dan wajah mereka di salon saya. Jadi kalau diadakan di hari Ahad, rasanya kok bisa mengganggu kestabilan ekonomi saya.”
“Saya suetuju suekali dengan Jeng Denok!” sambil sibuk menggaruk-garuk kepalanya. Peci hitam yang bertengger di sarang burung di atas kepalanya terjatuh. “Soalnya hari Ahad itu kan puanjang. Saya bisa jualan sayur sampai kueliling lima desa lho, Pak. Nah, kalau Jum’at kan hari pendek,” masih dengan gaya yang kenes.
“Hihihi, tengkyu ya, Kang Razak. Besok-besok tak kasih diskon creambath gratis deh,” kalimat itu malah membuat Kang Razak manyun.
“Bagaimana kalau diadaken…,” Pluk! Thole menepuk bibirnya. “Bagaimana kalau diadakan pemungutan suara saja, Pak RT. Biar nanti tidak terjadi saling debat.”
“Wah, usul luar biasa, Dik Thole. Segera laksanakan!” Pak RT lalu mengambil kertas dari dalam kamar.
Setelah dibagi-bagikan, akhirnya didapat keputusan hari Jum’at.
“Ketuanya siapa, Pak RT?” Pak Suparman mengangkat tangan.
“Hihihi, iya Pak RT, supaya nanti ada yang ngatur. Saya juga mau usul, saya mau kok dijadikan seksi konsumsi.”
“Konsumsi dari mana to, Jeng?”
“Hihihi, ya urunan dong, Pak RT. Masak kerja berat nggak ada sesi makan-makannya. Bisa pada lemes lho nanti.”
“Saya suetuju buanget, Pak RT,” sambil mengurut-ngurut rambut kribonya. “Saya juga mau usul. Bagaimana kalau yang tidak buerangkat dikenakan denda. Lumayan kan buat nambah konsumsinya?”
“Tanganmu itu ngapain sih, Kang?” tanya Pak Suparman yang duduk di samping Kang Razak.
“Bantuin dong, Pak, biar cuepet selesai.”
“Sudi ah!” dengan wajah kecut Pak Suparman memalingkan wajah.
“Saya di sini, Pak,” Mak Sudiah yang duduk di belakang Kang Razak Langsung menyahut.
“Ada yang mau usul lagi? Silakan.”
“Bagaimana kalau Pak RT yang jadi ketua panitianya?” ucap Pak Thio, sambil tersenyum. Mata sipitnya jadi terlihat seperti orang yang mengincar sesuatu.
“Aduh Pak Thio, buka mata lebar-lebar dong. Saya kan sudah punya jabatan sebagai ketua RT. Masak mau merangkap jadi ketua anu lagi. Saya benar-benar nggak mau dicap sejarah sebagai manusia serakah. Bagaimana kalau Pak Thio saja yang jadi ketua, setuju?!”
“Jangan, jangan saya!” suaranya terdengar gugup. “Pekerjaan saya nggak ada liburnya. Saya ini orang sibuk. Kalau diserahi amanat begituan, nanti malah berantakan. Bagaimana kalu Joko Thole saja. Dia masih single. Pasti masih punya banyak waktu luang kan?” mata sipitnya mengerjap-ngerjap.
“Nggak, nggak, saya enggak…”
“Hidup Joko Thole!” Pak RT buru-buru menyahut.
“HIDUP!” semua orang dalam ruangan itu menyahut.
“Joko Thole ketua kerja bakti!”
“HIDUP!”
“Pak RT, saya ini kan masih muda, masih hijau, mana bisa memimpin yang tua-tua.”
“Siapa bilang Dik Thole ini masih hijau? Jenggotnya sudah lebat begitu kok,” sahut Pak RT.
“Hihihi, iya, siapa bilang Mas Thole ini belum pantas? Mas Thole sudah sangat pantas sekali,” Jeng Denok mengeluarkan senyum termanisnya. “Kalau Mas jadi ketuanya, aku mau kok jadi sekretarisnya,” saking manisnya senyum itu, seekor lalat langsung hinggap di sana.
”Pokokya aku nggak mau jadi ketua kerja bakti!”
“Siapa yang setuju Dik Thole jadi jetua kerja bakti, tolong angkat tangan.”
Seisi ruangan buru-buru angkat tangan. Berselang detik kemudian tiba-tiba mereka langsung menutup hidung.
“Hihihi, Pak Darto tolong nggak usah angkat tangan deh,” sambil menutup hidung.
Orang-orang akhirnya bisa bernapas lega saat perintah itu dituruti.
“Saya boikot,” Joko Thole bangkit dari duduknya.
“Eh eh, mau ke mana? Tak bilangin ke emakmu lho,”  sambil menguruti rambut keritingnya. “Aku akan bilang ke Mak Fatmah kalau anaknya nggak mau ikut kerja bakti.”
Seketika itu langkah Thole berhenti.
“Kamu itu wakil emakmu, Dik,” sambung Pak RT.
Thole mengembuskan napas berat, “Saya bersedia jadi ketua kerja bakti, tetapi saya minta satu syarat.”
“Hihihi, hembus yang keras dong,” Jeng Denok yang berada di depan Joko Thole, menghirup udara dengan nikmatnya .
“Aduh, Jeng. Ini kan bau terasi,” Kang Razak menutup hidung.
“Silakan, apa syaratnya? Perintah ketua harus ditaati ya saudara-saudara!”
“YAA!!”
“Denda bagi yang tidak ikut kerja bakti, duapuluh ribu rupiah,” Thole menatap satu persatu wajah dalam ruangan itu. Ada yang langsung melotot, menelan ludah sendiri, geleng-geleng kepala, dan ada yang masih menguruti rambut keritingnya. Cuma Pak Thio yang terlihat tersenyum.
“Bagaimana?” senyum kecil tersungging di sudut bibir Thole.
“Setujuuu…!” suara Pak Thio terdengar lantang sendiri. Semua mata menatap sengit Pak Thio.
 ***
Joko Thole melirik lagi jam dinding di serambi masjid. Sudah pukul setengah sembilan. Hhh, beginilah kebiasaan kebanyakan orang Indonesia. Moloor, ngareet, pantas nggak maju-maju. Thole benar-benar kesal. Sepertinya firasatnya akan jadi kenyataan.
Tak lama berselang muncul si Kia. Sambil tersenyum ia langsung menyerahkan upetinya. “Babah nggak bisa ikut, Kang. Pagi ini beliau harus kulakan beras ke Demak, pulangnya siang nanti. Ini uang dendanya ditambahi lima ribu, supaya yang ikut kerja bakti tetap semangat.”
“Semangat udelnya! Orang kok semangatnya pas usul doang.”
“Iiih, Kang Thole kok malah enggak syukur sih?”
Joko Thole menggerutu panjang lebar sepeninggal gadis tomboy bermata sipit itu. Tak lama kemudian…
“Hihihi, lho, kok nggak ada orangnya. Orangnya ke mana nih Mas Thole?”
“Tauk, aku bukan emaknya!”
“Hihihi, aduuh, gitu aja kok ngambek. Jadi nggak mirip Dude Herlino lho, Mas,” Jeng Denok mengeluarkan senyum termanisnya.
“Sayur! Sayur!”
Begitu melihat Kang Razak yang datang gerobak sayurnya, wajah Thole semakin terlihat masam.
“Kerja bakti kok bawa gerobak sayur, Kang?”
“Uaduh, Dik. Kang Razak ini cuma orang kuecil. Libur kerja sehari saja, ekonomi Kang Razak bisa kuacau. Jadi daripada nanti Kang Razak jadi bujang luapuk karena nggak kelar-kelar kawin karena nggak punya modal untuk melamar orang, jadi Kang Razak absen saja deh. Nih dendanya, tak tambahi seplastik bakwan, biar tambah semangat kerja baktinya, Iya kan, Jeng?” mengedipkan mata kirinya ke arah Jeng Denok.
Jeng Denok buru-buru mengalihkan pandang ke arah Thole. Takut kena virus yang menular melalui udara. “Aduuh… bener-bener mirip Dude. Apalagi kalau potong rambut di salonku,” geleng-geleng kepala saat mencermati wajah Joko Thole.
Lalu, tak lama kemudian.
“Lho, Met, Bapakmu juga nggak ikut kerja bakti?”
“Pesanan pasir lagi banyak, Kang. Sayang kalau ditinggal.”
“Heh, jangan korupsi! Denda Bapakmu ini kurang lima ribu.”
“Alaaah Kang, sama teman sendiri saja kok gitu.”
“Ayo, kembalikan yang lima ribunya!"
“Kamu itu si raja tega ya, Kang,” Slamet terlihat enggan merogoh saku celananya.
“Atau kamu gantikan saja bapakmu, nanti uangnya buat kamu semua.”
“Wah, ide bagus! Tapi tadi aku disuruh membantunya mengangkat pasir ke truk. Nanti kalau beliau tanya, aku harus kasih alasan apa?”
“Ya sudah, mana duitnya?”
Slamet manyun.
Di tangan Thole kini terkumpul hampir tiga ratus ribuan. Sudah hampir jam sepuluh. Thole mengembuskan napas berat.
“Hihihi, hembus yang keras dong,” Jeng Denok menghirupnya dengan nikmat.
“Pulang saja ya, Jeng?”
“Hihihi, nggak ah. Aku pingin berduaan saja sama Mas Thole.”
Thole menelan ludah ketakutan. Untung tak lama kemudian muncul Mak Sudiah.
“Lho, orang-orangnya mana, Le?”
“Nih, yang datang,” Thole memperlihatkan uang denda yang menyumpal penuh di saku bajunya.
“Pak RT?”
“Sibuk. Nggak tahu sibuk ngapain. Baru jadi RT saja sibuknya minta ampun, bagaimana nanti kalau jadi DPR ya?”
“Cuma tiga orang ya, Le?”
“Hihihi, malah romantis kok Mak,” Jeng Denok memperlihatkan senyum termanisnya. Dua ekor lalat sukses terpikat di sana.
“Nggak apa-apa, Mak. Kerja baktinya cabut rumput saja. Nanti uangnya kita bagi tiga!”
***
Di suatu pagi yang cerah. Saat itu Pak RT tak sengaja berpapasan dengan Joko Thole yang sedang menggiring si Gudel ke ladang rumput  di belakang SD.
“Sepertinya kerja bakti berjalan lancar ya, Dik?”
“Sangat lancar, Pak. Pak RT lihat sendiri, kan? Semua rumput di RT 11 bersih!”
Tertawa lebar, “ Saya malah kepikiran ide hebat. Nah, supaya RT 11 teladan. Bagaimana kalau setiap minggu saja kita adakan kerja bakti? Saya bersedia jadi ketuanya kok!”
Pak RT langsung terhenti manggut-manggut. Dahinya berkerut, menatap curiga Joko Thole.
“Bersih itu pangkal sehat. Bersih juga sebagian dari iman lho, Pak!”***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar