Pohon Kersen yang Menjengkelkan
Penulis: Nur Hadi
“Syamsaa…, halaman rumahnya tolong disapu dulu, Nak!” teriak Bu Novi dari
teras rumah.
Syamsa yang tengah asyik nonton film kartun kesayangannya pura-pura tidak
dengar.
“Tak bagus kalau halaman rumah kita terlihat kotor begitu,” suara Bu Novi
terdengar bergetar. Beberapa hari lalu beliau sempat jatuh akibat penyakit
darah tingginya yang kumat.
“Kenapa enggak ditebang saja sih, Ma? Bikin repot saja,” manyun mulut
Syamsa. Meski akhirnya melaksanakan perintah itu, namun dalam hati ia
menggerutu tak habis-habis.
Bukan sakitnya Bu Novi yang membuat Syamsa jengkel. Soal menanak nasi,
Syamsa sudah bisa menggunakan rice cooker. Soal lauk, Syamsa hanya tinggal
melangkah ke warungnya Mak Siti. Soal baju-baju kotor, Syamsa pun tinggal
menyetorkan ke laundry-nya Tante Irma. Soal cuci piring dan mengepel,
Agus—adiknya, kompak mau bekerja sama. Tapi untuk tugas yang satu ini Syamsa
benar-benar dibuat jengkel; menyapu dedaun dan buah kersen masak yang
berjatuhan di halaman rumah.
Ada empat pohon kersen yang dulu memang sengaja ditanam papanya di depan
rumah. Di samping untuk peneduh, untuk mengurangi polusi udara, Pak Sam bilang
lebih bagus menanam kersen dibanding akasia.
“Buahnya asyik, Sa. Kalau sudah berbuah ia enggak akan berhenti. Rasanya
manis. Buah dan daunnya konon juga bisa membantu mencegah banyak penyakit,” ujar
Pak Sam ketika itu.
Tapi yang membuat jengkel Syamsa sekarang justru adalah buah dan
dedaunnya itu. Tak pagi, tak siang, tak malam, buah dan dedaunannya berjatuhan
mengotori halaman. Seperti tak akan pernah habis. Sehingga menyapu halaman pun
menjadi tugas wajib yang harus Syamsa kerjakan bahkan kadang sampai tiga kali
dalam sehari.
“Ditebang saja ya, Ma?” ujar Syamsa. “Nanti biar Syamsa yang bilang ke
Papa.”
“Banyak yang membutuhkannya, Sa. Kau lihat itu Tante Irma, Pak Impong,
juga Mak Siti. Mereka bilang kersen itu bisa membantu pengobatan asam urat dan
kencing manis.”
“Tapi kan…”
“Do’akan Mama lekas sembuh ya, biar bisa kembali mengerjakan semua
pekerjaan rumah dan tak merepotkan Syamsa,” Bu Novi tersenyum kecil. Tentu saja
beliau tahu apa yang membuat jengkel anaknya itu.
* * *
Cemas sekali Syamsa pagi itu. Tante Irma menjemput ia dan adiknya dari
sekolahan. Beliau bilang mamanya terpeleset jatuh lagi di kamar mandi dan
sekarang telah dibawa ke rumah sakit.
“Untung saja tadi Pak Impong memanggil-manggil mamamu saat mau memunguti
kersen. Kamu tenang saja, sekarang Pak Imponglah yang menemani mamamu di rumah
sakit. Papamu juga sudah dikabari, semoga beliau bisa lekas pulang dari kerja
dinasnya. Nanti kalian ke sana bareng Tante saja.”
Ketika sampai di rumah Syamsa melihat Mak Siti yang sedang menyapu
halaman rumahnya. “Jangan khawatirkan semua pekerjaan rumah. Lantai kamar
mandinya tadi juga sudah Emak gosok. Kalian langsung saja ke sana,” ujar
beliau.
“Maaf Tante, Mak Siti, kami jadi merepotkan sekali,” ujar Syamsa, tak
enak hati.
“Heeh, kami juga sering merepotkanmu kan? Suka ambil kersennya tapi tak
pernah menyapu daun-daunnya. Aku tahu kalau kamulah yang menyapu sampahnya
setiap hari,” Tante Irma mengucek kepala Syamsa.
Syamsa merasa malu dengan dirinya sendiri. Andai tak ada pohon kersen
itu, apakah keluarganya masih akan mendapatkan pertolongan ini? Bahkan dengan
para tetangga yang lain pun Syamsa tak begitu kenal.***
(KOMPAS Anak, 19 Mei
2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar