Kamis, 17 Juli 2014

Pohon Kersen yang Menjengkelkan



Pohon Kersen yang Menjengkelkan


Penulis: Nur Hadi

“Syamsaa…, halaman rumahnya tolong disapu dulu, Nak!” teriak Bu Novi dari teras rumah.
Syamsa yang tengah asyik nonton film kartun kesayangannya pura-pura tidak dengar.
“Tak bagus kalau halaman rumah kita terlihat kotor begitu,” suara Bu Novi terdengar bergetar. Beberapa hari lalu beliau sempat jatuh akibat penyakit darah tingginya yang kumat.
“Kenapa enggak ditebang saja sih, Ma? Bikin repot saja,” manyun mulut Syamsa. Meski akhirnya melaksanakan perintah itu, namun dalam hati ia menggerutu tak habis-habis.
*  *  *
Bukan sakitnya Bu Novi yang membuat Syamsa jengkel. Soal menanak nasi, Syamsa sudah bisa menggunakan rice cooker. Soal lauk, Syamsa hanya tinggal melangkah ke warungnya Mak Siti. Soal baju-baju kotor, Syamsa pun tinggal menyetorkan ke laundry-nya Tante Irma. Soal cuci piring dan mengepel, Agus—adiknya, kompak mau bekerja sama. Tapi untuk tugas yang satu ini Syamsa benar-benar dibuat jengkel; menyapu dedaun dan buah kersen masak yang berjatuhan di halaman rumah.
Ada empat pohon kersen yang dulu memang sengaja ditanam papanya di depan rumah. Di samping untuk peneduh, untuk mengurangi polusi udara, Pak Sam bilang lebih bagus menanam kersen dibanding akasia.
“Buahnya asyik, Sa. Kalau sudah berbuah ia enggak akan berhenti. Rasanya manis. Buah dan daunnya konon juga bisa membantu mencegah banyak penyakit,” ujar Pak Sam ketika itu.
Tapi yang membuat jengkel Syamsa sekarang justru adalah buah dan dedaunnya itu. Tak pagi, tak siang, tak malam, buah dan dedaunannya berjatuhan mengotori halaman. Seperti tak akan pernah habis. Sehingga menyapu halaman pun menjadi tugas wajib yang harus Syamsa kerjakan bahkan kadang sampai tiga kali dalam sehari.
“Ditebang saja ya, Ma?” ujar Syamsa. “Nanti biar Syamsa yang bilang ke Papa.”
“Banyak yang membutuhkannya, Sa. Kau lihat itu Tante Irma, Pak Impong, juga Mak Siti. Mereka bilang kersen itu bisa membantu pengobatan asam urat dan kencing manis.”
“Tapi kan…”
“Do’akan Mama lekas sembuh ya, biar bisa kembali mengerjakan semua pekerjaan rumah dan tak merepotkan Syamsa,” Bu Novi tersenyum kecil. Tentu saja beliau tahu apa yang membuat jengkel anaknya itu.
*  *  *

Cemas sekali Syamsa pagi itu. Tante Irma menjemput ia dan adiknya dari sekolahan. Beliau bilang mamanya terpeleset jatuh lagi di kamar mandi dan sekarang telah dibawa ke rumah sakit.
“Untung saja tadi Pak Impong memanggil-manggil mamamu saat mau memunguti kersen. Kamu tenang saja, sekarang Pak Imponglah yang menemani mamamu di rumah sakit. Papamu juga sudah dikabari, semoga beliau bisa lekas pulang dari kerja dinasnya. Nanti kalian ke sana bareng Tante saja.”
Ketika sampai di rumah Syamsa melihat Mak Siti yang sedang menyapu halaman rumahnya. “Jangan khawatirkan semua pekerjaan rumah. Lantai kamar mandinya tadi juga sudah Emak gosok. Kalian langsung saja ke sana,” ujar beliau.
“Maaf Tante, Mak Siti, kami jadi merepotkan sekali,” ujar Syamsa, tak enak hati.
“Heeh, kami juga sering merepotkanmu kan? Suka ambil kersennya tapi tak pernah menyapu daun-daunnya. Aku tahu kalau kamulah yang menyapu sampahnya setiap hari,” Tante Irma mengucek kepala Syamsa.
Syamsa merasa malu dengan dirinya sendiri. Andai tak ada pohon kersen itu, apakah keluarganya masih akan mendapatkan pertolongan ini? Bahkan dengan para tetangga yang lain pun Syamsa tak begitu kenal.***



(KOMPAS Anak, 19 Mei 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar