Kamis, 04 Desember 2014

Kisah Cinta Anak Gangster



Kisah Cinta Anak Gangster




Judul Buku  :  Dilan
Penulis        :  Pidi Baiq
Penerbit       :  Penerbit DAR! Mizan
Cetakan       :  Keempat,  Juni 2014
Tebal           :  330 halaman
ISBN           :  978-602-7870-41-3


Di mata Milea Adnan Hussain, sosok Dilan semula adalah pemuda asing dengan karakter aneh. Perkenalan mereka diawali dengan ramalan konyol Dilan yang meleset bahwa mereka akan ditakdirkan bertemu di kantin, dan bahwa suatu hari Milea akan naik sepeda motor Dilan (yang ini baru akhirnya benar-benar menjadi kenyataan) (hal. 20). Tak ayal, Milea pun mulai terpancing dengan siapa sebenarnya si Dilan itu. Apalagi kemudian ternyata si Dilan ini—dengan berbagai macam cara terkonyol, kalau tak mau dibilang teromantis menurut versi Dilan, berusaha mengambil hati Milea. Dari mulai mengintip Milea saat berada di jam pelajarannya Bu Sri hingga merobohkan papan pembatas kelas. Memberi surat undangan kepada Milea untuk datang ke sekolah hari Senin sampai Sabtu lengkap disertai nama Kepala Sekolah sebagai orang yang turut mengundang. Mengirim Bi Asih untuk memijit Milea agar lekas pulih dari sakit. Menyuruh tukang koran, tukang sayur, tukang pos, sampai petugas PLN, dan penjual nasi goreng, untuk menyampaikan cokelatnya kepada Milea, sehingga seolah-olah semua manusia di dunia dengan aneka macam profesinya, diajak bersekongkol untuk membuat Milea senang. Mengirim kado ulang tahun berupa buku TTS yang telah ia isi semua, disertai kalimat-kalimat romantis. Serta aneka bentuk perhatian ‘nyeleneh’ lainnya. Dilan adalah sosok yang begitu menyenangkan; “Dia mungkin bukan lelaki baik, tetapi dia tidak jahat, tetapi tidak kasar,” begitu kesan Milea (hal. 261). Padahal Dilan ini sebenarnya adalah anak geng motor yang di tahun 1990-an cikal bakalnya ternyata terbentuk dari anak-anak sekolah yang gagal terdidik.
Dari sosok Dilan, Pidi sepertinya ingin berkata melalui pandangan Milea, bahwa tak semua anak geng motor itu berbahaya dan patut dijauhi. Cap buruk seperti yang selalu dilayangkan oleh guru macam Suripto (karakter guru yang digambarkan suka melecehkan murid) adalah tak benar. Maka ketika Dilan menghajar Suripto setelah guru itu coba-coba mengusiknya (menarik kerah leher hanya demi menegur), pembaca seolah diajak berpikir, Dilan ataukah Suripto yang salah? (hal. 167). Proses pendidikan yang tak menghargai murid terpotret dengan baik. Tapi Pidi juga sempat mengingatkan tentang keganasan geng motor. Pihak sekolahan tempat Milea belajar, dibuat tak berkutik saat terjadi serbuan sebuah geng motor yang dilatarbelakangi kejadian Anhar (teman satu kelas Dilan) yang memalak anak sekolahan lainnya (hal. 144). Pedang samurai, batu, dan pentungan menjadi barang-barang yang biasa di samping buku-buku pelajaran. Dengan menggunakan cara bertutur secara kilas balik, Pidi menyorot bahwa pada tahun-tahun tersebut perkara tawuran atau gangster anak sekolahan belum mendapatkan perhatian serius dari pihak berwajib. Terutama pada tahun-tahun era sebelum dan sesudah lengsernya Presiden Suharto.
Melalui novel ini, Pidi juga seolah ingin bilang bahwa kita tak boleh menjustifikasi seseorang hanya melalui penampilan luar. Bagaimana Milea harus mempertahankan Dilan-nya di tengah-tengah ‘serangan halus’ Kang Adi—pemuda jenius dari ITB yang begitu ingin menjadi kekasihnya. Kang Adi, melalui taktik menjadi pembimbing belajar Milea agar kelak bisa masuk ITB, selalu melancarkan berbagai macam cara agar bisa pergi berdua dan memperkenalkan Milea sebagai pacar di hadapan teman-temannya. Padahal Milea hanya merasa nyaman, aman, dan terlindungi jika berada di samping Dilan. Dan hubungan timbal balik pun terjadi. Milea tanpa sadar telah menjadi obat mujarab yang dapat menjauhkan Dilan dari pergaulan geng motor yang begitu liar. Pernah suatu ketika Dilan hampir saja terseret teman-teman gengnya dalam sebuah rencana penyerangan, namun kemudian tergagalkan lantaran sebuah taktik Milea yang tak bisa ditolak (hal. 236).
Dengan bahasa meremaja yang mudah dicerna, buku yang sudah memasuki cetakan keempat pada bulan keduanya ini terkesan tak menggurui. Nasihat-nasihat disampaikan melalui adegan bukan melalui bahasa verbal. Terkesan konyol tapi menyentil, khas Pidi Baiq.*

(Nur Hadi, Kabar Probolinggo, Kamis 4 Desember 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar