Rabu, 31 Desember 2014

Membaca Petuah Rumi Lewat Komik



Membaca Petuah Rumi Lewat Komik



Judul Buku  :  Komik Sufi Rumi
Penulis        :  Andityas Praba
Komikus     :  Rizki Goni
Penerbit      :  Penerbit Mizan
Cetakan      :  Pertama, November  2014
Tebal          :  141 halaman
ISBN          :  978-602-1337-30-1


Siapa yang belum pernah mendengar nama Maulana Jalaluddin Rumi yang dikenal dengan Whirling Dervishes atau para darwis yang menari berputar, dan Diwan Syams Tabrizi serta Matsnawi yang berisikan puisi-puisi sufistik bernapaskan cinta? Lahir di Kota Wakhsy, Tajikistan; sebagian di Balkh, Afganishtan, pada tahun 1207 Masehi. Pada tahun 1219 M, ayahnya yang seorang ulama terkenal yakni Baha’uddin Muhammad Walad, mengajak keluarga mereka pindah ke Anatolia (sekarang Turki) demi menghindari serbuan pasukan Mongolia. Ketenaran Baha’uddin sebagai ulama membuatnya pada tahun 1228 dipilih Sultan Seljuk, Ala’uddin, untuk memimpin madrasah di Kota Konya. Namun, baru dua setengah tahun menjabat, beliau wafat, hingga kemudian Rumi pun diangkat menggantikan posisi ayahnya. Menjelang akhir tahun 1224 M, Rumi bertemu dengan seorang sufi pengembara misterius yang datang ke Konya. Nama beliau Syamsuddin Tabrizi atau sering disebut Syams. Percakapan singkat di awal pertemuan berlanjut menjadi diskusi-diskusi panjang. Rumi pun mulai merasa menemukan sahabat sejati, rekan bertukar pikiran dalam hal spiritual. Mereka sering menyepi berdua, berhari-hari, berdiskusi dan berzikir bersama. Hingga berakibat kecemburuan para pengikut Rumi sendiri yang merasa telah diabaikan. Seperti kedatangannya, mendadak Syams menghilang. Rumi sangat sedih dan merindukan sahabat tuanya itu. Namun perlahan Rumi mencapai pencerahan; kerinduannya kepada Syams hanyalah bagian dari kerinduan yang lebih besar, yakni kerinduan manusia kepada Tuhan (hal. 10). Sejak saat itulah Rumi lebih menitikberatkan ajaran-ajarannya  kepada cinta Tuhan, kasih kepada sesama makhluk, mengenali diri sendiri, dan membersihkan hati dari ego. Pengajiannya menarik minat banyak orang, bukan hanya dari kalangan Muslim, tapi juga Nashrani, Yahudi, dan umat agama lain.
Komik ini, hadir sebagai bentuk lain dari ajaran-ajaran Rumi yang dialihkan ke dalam bahasa visual yang terkesan padat dan sedikit menambah kesan humor. Meskipun demikian, kedalaman makna dari substansi yang disampaikan tak berkurang sedikitpun. Tengok saja pada judul “Nasihat Burung”. Alkisah, tertangkaplah seekor burung kecil oleh seorang pemburu. Ketika si pemburu menangkapnya, si burung bisa berbicara seperti manusia dan malah menawarkan tiga nasihat luar biasa jika si pemburu sudi melepaskannya. Nasihat pertama yang diberikan si burung kecil adalah jangan percaya cerita tak masuk akal tak peduli dari siapapun. Nasihat kedua diberikan ketika si burung sudah hinggap di dinding (sesuai perjanjian), yakni jangan sesali apa yang sudah terjadi, yang lalu biarkan berlalu. Contohnya justru ketika si burung bercerita bahwa di dalam tubuh mungilnya itu ada permata besar yang nilainya cukup untuk menghidupi anak cucu si pemburu. Tak ayal si pemburu pun menyesali apa yang telah ia perbuat. Ketika si pemburu diingatkan bahwa ia telah melanggar nasihat pertama dan kedua, nasihat ketiga pun akhirnya urung diberikan si burung yang akhirnya terbang bebas ke alamnya. Kisah ini kemudian diberi penjelasan secara garis besar bahwa sebagus apa pun nasihat akan sia-sia jika tak dijalankan. Jangan pula memberi kebijakan tingkat tinggi kepada orang pandir, sebab hal itu tak akan ada gunanya (hal 95).
Dengan beberapa sumber bacaan yang sebenarnya terkesan berat, kehadiran komik ini seperti ingin memberi solusi enteng agar ajaran-ajaran agung sang sufi tersebut dapat dicerna dengan mudah, baik untuk kalangan remaja maupun dewasa. Kesan humor dari gambar yang ditampilkan setidaknya juga akan menghilangkan kesan beratnya tema yang disampaikan. Misalnya dalam judul-judul berikut; ‘Kisah Tiga Ikan’ (Ikan Pintar, Setengah Pintar, dan Ikan Bodoh), ‘Gigitan Anjing’, ‘Nyamuk Pikiran’, ‘Naga yang Membeku’, ‘Ular dan Nafsu’ dll. Si penyusun komik terlihat berhasil menampilkan bahasa simbolis yang kadangkala justru sulit dicerna orang kebanyakan, terutama juga oleh anak-anak.*

Nur Hadi, Kabar Probolinggo, Rabu 24 Desember 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar