Membaca Petuah Rumi Lewat Komik
Judul Buku : Komik
Sufi Rumi
Penulis :
Andityas Praba
Komikus :
Rizki Goni
Penerbit :
Penerbit Mizan
Cetakan :
Pertama, November 2014
Tebal : 141
halaman
ISBN :
978-602-1337-30-1
Siapa yang belum pernah
mendengar nama Maulana Jalaluddin Rumi yang dikenal dengan Whirling Dervishes atau para darwis yang menari berputar, dan Diwan Syams Tabrizi serta Matsnawi yang berisikan puisi-puisi
sufistik bernapaskan cinta? Lahir di Kota Wakhsy, Tajikistan;
sebagian di Balkh,
Afganishtan, pada tahun 1207 Masehi. Pada tahun 1219 M, ayahnya yang seorang
ulama terkenal yakni Baha’uddin Muhammad Walad, mengajak keluarga mereka pindah
ke Anatolia (sekarang Turki) demi menghindari serbuan pasukan Mongolia.
Ketenaran Baha’uddin sebagai ulama membuatnya pada tahun 1228 dipilih Sultan
Seljuk, Ala’uddin, untuk memimpin madrasah di Kota
Konya. Namun,
baru dua setengah tahun menjabat, beliau wafat, hingga kemudian Rumi pun
diangkat menggantikan posisi ayahnya. Menjelang akhir tahun 1224 M, Rumi
bertemu dengan seorang sufi pengembara misterius yang datang ke Konya. Nama beliau
Syamsuddin Tabrizi atau sering disebut Syams. Percakapan singkat di awal
pertemuan berlanjut menjadi diskusi-diskusi panjang. Rumi pun mulai merasa
menemukan sahabat sejati, rekan bertukar pikiran dalam hal spiritual. Mereka
sering menyepi berdua, berhari-hari, berdiskusi dan berzikir bersama. Hingga
berakibat kecemburuan para pengikut Rumi sendiri yang merasa telah diabaikan. Seperti
kedatangannya, mendadak Syams menghilang. Rumi sangat sedih dan merindukan
sahabat tuanya itu. Namun perlahan Rumi mencapai pencerahan; kerinduannya
kepada Syams hanyalah bagian dari kerinduan yang lebih besar, yakni kerinduan
manusia kepada Tuhan (hal. 10). Sejak saat itulah Rumi lebih menitikberatkan
ajaran-ajarannya kepada cinta Tuhan,
kasih kepada sesama makhluk, mengenali diri sendiri, dan membersihkan hati dari
ego. Pengajiannya menarik minat banyak orang, bukan hanya dari kalangan Muslim,
tapi juga Nashrani, Yahudi, dan umat agama lain.
Komik ini, hadir sebagai
bentuk lain dari ajaran-ajaran Rumi yang dialihkan ke dalam bahasa visual yang
terkesan padat dan sedikit menambah kesan humor. Meskipun demikian, kedalaman
makna dari substansi yang disampaikan tak berkurang sedikitpun. Tengok saja
pada judul “Nasihat Burung”. Alkisah, tertangkaplah seekor burung kecil oleh
seorang pemburu. Ketika si pemburu menangkapnya, si burung bisa berbicara
seperti manusia dan malah menawarkan tiga nasihat luar biasa jika si pemburu
sudi melepaskannya. Nasihat pertama yang diberikan si burung kecil adalah
jangan percaya cerita tak masuk akal tak peduli dari siapapun. Nasihat kedua
diberikan ketika si burung sudah hinggap di dinding (sesuai perjanjian), yakni
jangan sesali apa yang sudah terjadi, yang lalu biarkan berlalu. Contohnya
justru ketika si burung bercerita bahwa di dalam tubuh mungilnya itu ada
permata besar yang nilainya cukup untuk menghidupi anak cucu si pemburu. Tak
ayal si pemburu pun menyesali apa yang telah ia perbuat. Ketika si pemburu
diingatkan bahwa ia telah melanggar nasihat pertama dan kedua, nasihat ketiga
pun akhirnya urung diberikan si burung yang akhirnya terbang bebas ke alamnya.
Kisah ini kemudian diberi penjelasan secara garis besar bahwa sebagus apa pun
nasihat akan sia-sia jika tak dijalankan. Jangan pula memberi kebijakan tingkat
tinggi kepada orang pandir, sebab hal itu tak akan ada gunanya (hal 95).
Dengan beberapa sumber
bacaan yang sebenarnya terkesan berat, kehadiran komik ini seperti ingin
memberi solusi enteng agar ajaran-ajaran agung sang sufi tersebut dapat dicerna
dengan mudah, baik untuk kalangan remaja maupun dewasa. Kesan humor dari gambar
yang ditampilkan setidaknya juga akan menghilangkan kesan beratnya tema yang
disampaikan. Misalnya dalam judul-judul berikut; ‘Kisah Tiga Ikan’ (Ikan
Pintar, Setengah Pintar, dan Ikan Bodoh), ‘Gigitan Anjing’, ‘Nyamuk Pikiran’,
‘Naga yang Membeku’, ‘Ular dan Nafsu’ dll. Si penyusun komik terlihat berhasil
menampilkan bahasa simbolis yang kadangkala justru sulit dicerna orang
kebanyakan, terutama juga oleh anak-anak.*
Nur Hadi, Kabar Probolinggo, Rabu 24 Desember 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar