Metafor Asap dan Tafsir Ulang Siti Nurbaya
Judul Buku :
Negeri Asap (Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014)
Penulis :
Taufik Ikram Jamil, Isbedy Stiawan ZS, dkk.
Penerbit :
Penerbit Yayasan Sagang, 2014
Cetakan :
Pertama, Oktober 2014
Tebal :
149 halaman
ISBN :
978-602-1366-34-9
Sungguh menarik membicarakan cerpen di tengah-tengah
kondisi Negara yang seperti ini. Cerita pendek, yang merupakan jendela kecil
dalam sastra, bisa memiliki dua peran yang seolah tak memiliki benang merah
penghubung sama sekali. Di satu sisi ia
menjadi tempat pelarian dari sumpeknya kehidupan nyata, namun di sisi
lain justru menjadi cermin yang
menggambarkan kondisi sosial budaya.
‘Kampung Asap’ adalah judul yang menjadi inspirasi
lantaran fenomena asap di sepanjang tahun 2014 yang memaksa Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono sampai turun ke Riau untuk menghentikan kebakaran hutan dan
lahan yang terjadi di awal tahun tersebut. Tapi ‘asap’ di sini juga bisa
dimaknai dengan lapis makna yang lain. ‘Asap’ permasalahan yang masih belum
terselesaikan, atau bisa juga ‘asap’ pemikiran yang menyebabkan kesalahan dalam
perilaku. Dalam ‘Kampung Asap’ sendiri, asap menjadi metafor penggambaran bahwa
kehidupan masyarakat kita yang kendati sudah modern namun masih meyakini
klenik. Hampir semua sisi kehidupan masyarakat kita dihiasi dan dikawal
fenomena klenik (hal. ii).
Lalu pada ‘Rumah di Ujung Kampung’nya Hang Kafrawi dan
‘Sujaran’nya Adi Zamzam, kita akan dihadapkan pada persoalan benturan budaya
itu, apa yang disebut sebagai ‘kemodernan’ pelan-pelan tapi pasti mulai
membunuh kesakralan tradisi budaya lokal kita sendiri. Hang Kafrawi
menggambarkan seorang lelaki tua di ujung kampung (simbol dari kekayaan lokal)
yang harus melawan cucu-cucu karibnya sendiri demi menentang penjualan tanah ulayat. Kegigihan yang ditunjukkan si
lelaki tua terlihat seperti sebuah ironi yang mau tak mau pasti terjadi (hal.
14). Seperti halnya yang dialami oleh Sutopo yang menjelma ‘Sujaran’ setelah
kehilangan kesadaran dalam atraksinya sebagai pemain kuda lumping.
Ketertatihannya dalam menciptakan aneka pertunjukan model baru dengan kuda
lumpingnya, seperti potret suram aneka kesenian tradisional kita yang mulai
tersingkir oleh hiburan-hiburan berbau hedonisme yang tak mengajarkan nilai
apapun selain kesenangan semata. Televisi menjadi pelopor utamanya. Sutopo
harus belajar berkompromi dengan zaman yang sudah berubah. Ia menjadi potret
ideal seorang seniman yang dianaktirikan oleh karibnya sendiri yang sudah
menjadi pejabat. Justru dari kuda lumping yang mulai dilupakan zaman itu,
Sutopo belajar banyak tentang makna kehidupan. Hidup memang seperti permainan
kuda lumping (hal. 140). Dua potret ini menjadi contoh yang tepat dari sejumlah
permasalahan sosial budaya yang sampai saat ini belum mendapatkan penanganan
yang melegakan dari Negara.
Yang tak boleh diabaikan dari kumcer ini salah satunya
adalah ‘Senja Bersama Siti Nurbaya’ karya Relly A. Vinata. Meskipun cerpen ini
menjadi corong penulis semata dalam mengemukakan pendapat, tapi penafsiran
ulangnya dalam menunjukkan kesalahpahaman dalam memaknai novel fenomenal ‘Siti
Nurbaya’ amat layak diapresiasi. Menurut Siti Nurbaya ‘bikinan Relly’, ia
bukanlah korban kekolotan orangtua. Siti Nurbaya menuding ketergesa-gesaan
perempuan-perempuan di zaman sekarang dalam memandang perjodohan sebagai suatu
hal yang berbau negatif. Lewat sinetron-sinetron tak bermutu, yang kebanyakan
menanamkan perihal kenegatifan pejodohan, televisi (lagi-lagi) menjadi sarang
penyebar virus yang menginfeksi para perempuan hingga menjadi anak-anak yang
durhaka (hal. 148). Melalui Siti Nurbaya kirimannya, Relly ingin agar kita
memahami betapa ia tak mau menanggung dosa kita yang dialamatkan kepadanya.
Pemikiran/pendidikan yang salah ibarat seperti asap yang bisa menimbulkan
kebakaran berkepanjangan hingga anak cucu kitalah yang menjadi korbannya.
Yang menjadi kelemahan utama dalam buku ini adalah
miskinnya teknik bercerita. Sejumlah penulis (bahkan sekelas Taufik), masih senang
mempertahankan cara konvensional untuk mengemukakan ‘pemikiran’ mereka melalui
cerpen. Namun upaya tahunan yang diadakan Yayasan sagang ini patut mendapatkan apresiasi yang layak, demi menanggulangi "asap-asap" pemikiran yang setiap tahun menjadi masalah serius negara ini.*
Nur Hadi, Jawa Pos, Ahad 28 Desember 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar