Senin, 29 Desember 2014

Metafor Asap dan Tafsir ulang Siti Nurbaya



Metafor Asap dan Tafsir Ulang Siti Nurbaya




Judul Buku  :  Negeri Asap (Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014)
Penulis        :  Taufik Ikram Jamil, Isbedy Stiawan ZS, dkk.
Penerbit       :  Penerbit Yayasan Sagang, 2014
Cetakan       :  Pertama, Oktober 2014
Tebal           :  149 halaman
ISBN           :  978-602-1366-34-9


Sungguh menarik membicarakan cerpen di tengah-tengah kondisi Negara yang seperti ini. Cerita pendek, yang merupakan jendela kecil dalam sastra, bisa memiliki dua peran yang seolah tak memiliki benang merah penghubung sama sekali. Di satu sisi ia  menjadi tempat pelarian dari sumpeknya kehidupan nyata, namun di sisi lain justru  menjadi cermin yang menggambarkan kondisi sosial budaya.
‘Kampung Asap’ adalah judul yang menjadi inspirasi lantaran fenomena asap di sepanjang tahun 2014 yang memaksa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai turun ke Riau untuk menghentikan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di awal tahun tersebut. Tapi ‘asap’ di sini juga bisa dimaknai dengan lapis makna yang lain. ‘Asap’ permasalahan yang masih belum terselesaikan, atau bisa juga ‘asap’ pemikiran yang menyebabkan kesalahan dalam perilaku. Dalam ‘Kampung Asap’ sendiri, asap menjadi metafor penggambaran bahwa kehidupan masyarakat kita yang kendati sudah modern namun masih meyakini klenik. Hampir semua sisi kehidupan masyarakat kita dihiasi dan dikawal fenomena klenik (hal. ii).
Lalu pada ‘Rumah di Ujung Kampung’nya Hang Kafrawi dan ‘Sujaran’nya Adi Zamzam, kita akan dihadapkan pada persoalan benturan budaya itu, apa yang disebut sebagai ‘kemodernan’ pelan-pelan tapi pasti mulai membunuh kesakralan tradisi budaya lokal kita sendiri. Hang Kafrawi menggambarkan seorang lelaki tua di ujung kampung (simbol dari kekayaan lokal) yang harus melawan cucu-cucu karibnya sendiri demi menentang penjualan tanah ulayat. Kegigihan yang ditunjukkan si lelaki tua terlihat seperti sebuah ironi yang mau tak mau pasti terjadi (hal. 14). Seperti halnya yang dialami oleh Sutopo yang menjelma ‘Sujaran’ setelah kehilangan kesadaran dalam atraksinya sebagai pemain kuda lumping. Ketertatihannya dalam menciptakan aneka pertunjukan model baru dengan kuda lumpingnya, seperti potret suram aneka kesenian tradisional kita yang mulai tersingkir oleh hiburan-hiburan berbau hedonisme yang tak mengajarkan nilai apapun selain kesenangan semata. Televisi menjadi pelopor utamanya. Sutopo harus belajar berkompromi dengan zaman yang sudah berubah. Ia menjadi potret ideal seorang seniman yang dianaktirikan oleh karibnya sendiri yang sudah menjadi pejabat. Justru dari kuda lumping yang mulai dilupakan zaman itu, Sutopo belajar banyak tentang makna kehidupan. Hidup memang seperti permainan kuda lumping (hal. 140). Dua potret ini menjadi contoh yang tepat dari sejumlah permasalahan sosial budaya yang sampai saat ini belum mendapatkan penanganan yang melegakan dari Negara.
Yang tak boleh diabaikan dari kumcer ini salah satunya adalah ‘Senja Bersama Siti Nurbaya’ karya Relly A. Vinata. Meskipun cerpen ini menjadi corong penulis semata dalam mengemukakan pendapat, tapi penafsiran ulangnya dalam menunjukkan kesalahpahaman dalam memaknai novel fenomenal ‘Siti Nurbaya’ amat layak diapresiasi. Menurut Siti Nurbaya ‘bikinan Relly’, ia bukanlah korban kekolotan orangtua. Siti Nurbaya menuding ketergesa-gesaan perempuan-perempuan di zaman sekarang dalam memandang perjodohan sebagai suatu hal yang berbau negatif. Lewat sinetron-sinetron tak bermutu, yang kebanyakan menanamkan perihal kenegatifan pejodohan, televisi (lagi-lagi) menjadi sarang penyebar virus yang menginfeksi para perempuan hingga menjadi anak-anak yang durhaka (hal. 148). Melalui Siti Nurbaya kirimannya, Relly ingin agar kita memahami betapa ia tak mau menanggung dosa kita yang dialamatkan kepadanya. Pemikiran/pendidikan yang salah ibarat seperti asap yang bisa menimbulkan kebakaran berkepanjangan hingga anak cucu kitalah yang menjadi korbannya.
Yang menjadi kelemahan utama dalam buku ini adalah miskinnya teknik bercerita. Sejumlah penulis (bahkan sekelas Taufik), masih senang mempertahankan cara konvensional untuk mengemukakan ‘pemikiran’ mereka melalui cerpen. Namun upaya tahunan yang diadakan Yayasan sagang ini patut mendapatkan apresiasi yang layak, demi menanggulangi "asap-asap" pemikiran yang setiap tahun menjadi masalah serius negara ini.*

Nur Hadi, Jawa Pos, Ahad 28 Desember 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar