Jumat, 29 Agustus 2014

Mereka Membiarkan Tomat-tomatnya Membusuk

Jum'at, 29 Agustus 2014.
Saya berkunjung ke Desa Pasir setelah mendengar para petani tomat yang membagi-bagikan tomat mereka kepada para tetangga secara cuma-cuma.Sampai muntah-muntah tomat saya, hehehe. Karena harga per kilo-nya (di tingkat tengkulak) yang hanya Rp. 300,00 tak ayal kekecewaan membuat para petani tersebut lebih rela membiarkan tomat-tomat mereka mengering.
"Untuk membayar upah pemetik tomat saja 25-30 ribu sehari. Ya mana cukup?" begitu keluhan mereka.



Memaksimalkan Potensi Kecerdasan Otak



Memaksimalkan Potensi Kecerdasan Otak



Versi ke-1 (Koran Sindo 13 Juli 2014)

Judul Buku  :  Brain Genetic Potential
Penulis        :  Beni Badaruzaman
Penerbit       :  Penerbit Mizania
Cetakan       :  Pertama,  Mei 2014
Tebal           :  147 halaman
ISBN           :  978-602-1337-11-0

Ketika berhadapan dengan anak yang terlihat enggan belajar apalagi berprestasi, kebanyakan orangtua sama, kalau tidak mengeluh dan meminta pengertian anak, mereka seringkali memberikan punishment atau hukuman. Kadangkala bahkan ada yang memvonis anaknya bodoh, tak ada bakat untuk menjadi orang hebat. Padahal belum tentu demikian. Melalui buku ini, kita diajak untuk berpikir bahwa tidak ada anak bodoh, yang ada adalah anak yang belum menemukan cara belajar tepat dan dibimbing secara benar. Tahap awal yang harus dilakukan oleh orangtua sebelum mengarahkan anak mencapai kehidupan terbaiknya adalah menemukan kelebihan dan kekuatan alamiah anak tersebut. Nah, melalui metode STIFIn, kita diajak untuk mengenal di manakah letak potensi mesin kecerdasan anak, serta upaya-upaya untuk membimbingnya.
Konsep STIFIn ini didasarkan pada turunan ilmu tentang belahan otak manusia atau lebih dikenal sebagai psikoanalisis, yang pernah dipopulerkan oleh Carl Gustav Jung (1875-1961). Otak manusia terbagi menjadi lima bagian. Setiap orang dianugerahi dominasi yang berbeda pada tiap belahannya sehingga memengaruhi kemampuan atau kapasitas diri dan kepribadian. Jika yang paling dominan adalah limbik kiri, maka mesin kecerdasannya dinamai Sensing (S). Jika yang paling dominan adalah otak kiri, maka mesin kecerdasannya dinamai Thinking (T). Jika yang dominan adalah otak kanan, maka mesin kecerdasannya dinamai Intuiting (I). Sedang  yang dominan limbik kanan, maka ia tergolong bermesin kecerdasan Feeling (F). Lalu jika yang dominan adalah otak bagian tengah, maka dia bermesin kecerdasan Instinct (In). Mesin kecerdasan tersebut dapat pula diketahui dengan finger print atau scan sidik jari (halaman 35).
Yang menarik dari buku ini adalah, kita diajak mengenali sifat, keunikan, dan kebiasaan masing-masing mesin kecerdasan tersebut, untuk kemudian memberikan beberapa solusi yang bisa langsung dipraktikkan. Orang Sensing dikenal dengan kepribadiannya yang rajin dan fokus dalam mengerjakan sesuatu sampai tuntas, daya ingatnya kuat dan detail. Orang Thinking berkarakter tegas, mandiri kokoh seperti besi, memiliki kepandaian menunjukkan kesalahan dengan kepandaiannya, serta memiliki kemampuan untuk memerintah dan memegang kekuasaan. Orang Intuiting optimis, kreatif, berkelas, kuat, fleksibel, seperti jari manis; jari yang paling susah digerakkan tetapi bentuknya indah serta tempat untuk meletakkan cincin, serta memiliki kemistri dengan ilmu, kreativitas, gagasan, solusi. Orang Feeling itu penuh cinta, semangat, serta punya emosi yang bergantung pada mood, semua berasal dari perasaan di mana cinta adalah andalannya. Orang Instinct mengalir, tenang, mencari kebahagiaan dan kedamaian dengan jalan memberikan manfaat kepada orang lain, berada di tengah untuk meningkatkan peran, berada di tengah untuk mendamaikan orang yang bertikai, serta berada di tengah karena kemampuannya yang serbabisa (halaman 39-48). Penulis kemudian juga menjelaskan perihal kemistri hubungan dan pola komunikasi dalam konsep STIFIn serta juga persiapan apa saja yang dibutuhkan oleh tiap-tiap mesin kecerdasan itu demi perkembangan mereka, baik persiapan eksternal (lingkungan) maupun internal (motivasi). Secara sadar, kita harus mulai menerapkan pelaksanaan cara belajar anak-anak yang disesuaikan dengan mesin kecerdasan dan kepribadiannya. Analoginya adalah jika sesuatu ditempatkan pada tempatnya, pastilah akan pas.
Lantas bagaimana saat anak-anak kita mengalami kejenuhan? Buku ini mengistilahkannya dengan ‘kalibrasi belajar’, membuat refresh setelah jenuh agar terus on dalam belajar. Beda bakat beda pula kalibrasinya. Selain memberikan beberapa solusi kalibrasi, buku ini juga memaparkan perihal cara-cara untuk mengantisipasi datangnya penyakit belajar. Benar-benar buku yang pas bagi para orangtua yang menginginkan anak-anaknya bersinar tanpa harus ‘menyakiti’ mereka.*


Versi Ke-2 (Majalah Luar Biasa Edisi Agustus 2014)


Chris Langan adalah manusia paling jenius di dunia saat ini. Dengan IQ 195, ia bahkan mengalahkan Albert Einstein yang hanya ber-IQ 150. Kecerdasannya sudah terlihat sejak bayi. Pada umur 6 bulan Langan sudah bisa berbicara, pada usia 3 tahun ia bisa membaca, pada usia 5 tahun ia sudah bertanya tentang eksistensi Tuhan kepada kakeknya—dan tak pernah puas dengan jawaban yang diterimanya. Di sekolah pun prestasi sekolahnya amat menonjol. Namun bagaimana ending dari kisah Langan ini? Ternyata, profesi terakhir Langan saat ini adalah penjaga kandang kuda di Amerika setelah sebelumnya hanya bekerja sebagai body guard. Konon, ia menyia-nyiakan berbagai beasiswa yang disodorkan untuknya (halaman 29). Kisah ini mirip dengan film Good Will Hunting, dengan tokoh sentral William Hunting yang masa mudanya justru amburadul meski memiliki IQ di atas rata-rata. Diduga, penyiksaan semasa kanak menjadi penyebab utama.
Lingkungan yang tidak tepat berpeluang menjerumuskan anak menjadi orang gagal. Bagi Anda yang pernah belajar Biologi, mungkin masih ingat bahwa Fenotipe = Gen + Lingkungan. Apa yang tampak pada diri kita (fenotipe) adalah bentukan dari gen (bakat, kelebihan, talenta, passion) dan tempaan lingkungan. Nah, di sinilah buku ini ingin mengambil peran. Melalui metode STIFIn, kita diajak untuk mengenal di manakah letak potensi mesin kecerdasan anak, serta upaya-upaya untuk membimbingnya.
Konsep STIFIn didasarkan pada turunan ilmu tentang belahan otak manusia atau psikoanalisis, yang pernah dipopulerkan oleh Carl Gustav Jung (1875-1961). Otak manusia terbagi menjadi lima bagian. Setiap orang dianugerahi dominasi yang berbeda pada tiap belahannya sehingga memengaruhi kemampuan atau kapasitas diri dan kepribadian. Sensing (S), Thinking (T), Intuiting (I), Feeling (F), Instinct (In). Mesin kecerdasan tersebut dapat pula diketahui dengan finger print atau scan sidik jari (halaman 35). Yang menarik dari buku ini adalah, kita diajak mengenali sifat, keunikan, dan kebiasaan masing-masing mesin kecerdasan tersebut, untuk kemudian memberikan beberapa solusi yang bisa langsung dipraktikkan.*

Rabu, 20 Agustus 2014

Jendela



Jendela




Seperti biasanya, jendela itu selalu terbuka sebelum cahaya menyapa aneka bebunga taman kecil di bawahnya. Jendela itu selalu terbuka seperti sepasang mata di dalam kamarnya—yang selalu penuh tanya tentang dunia di luar sana.
Puluhan, ratusan, bahkan ribuan tanya pernah singgah melewati jendela itu. Gaungnya memenuhi kamar. Jika kau masuk ke kamar itu dan bisa mendengarkannya, mungkin riuhnya akan membuatmu tertegun-tegun. Persis seperti seorang gadis kecil yang selalu tertegun di bibir jendela itu—ketika mengamati dunia di seberang sana.
“Kenapa burung punya sayap, Ma?” mata penuh binar itu menemukan sepasang burung hinggap di dahan jambu air yang merindang tak jauh di muka jendela.
“Agar mereka bisa terbang, Sayang,” sebuah kecupan hangat di pipi yang telah berkerut. Salam pagi. Tirai setengah dibuka. Cahaya menyapa penghuni kamar. Terlihatlah semua. Gadis kecil itu masih tenggelam di bawah selimut. Di sisinya, boneka Winnie The Pooh terbaring manis.
“Kau tahu kan? Burung itu makanannya biji-bijian, buah-buahan, dan ada juga yang makan serangga. Nah, dengan sayapnya itu mereka akan bebas mencari makanan ke mana saja mereka mau.”
“Seperti kenapa kita punya kaki?” bangkit. Menuju bibir jendela untuk menikmati segala yang disuguhkan cahaya.
“Ya. Agar kita bisa berjalan ke sana- ke mari, mencari rejeki, melakukan segala sesuatu…”
“Seperti kenapa pohon punya akar?”
“Cerdas sekali anak Mama ini,” sebuah kecupan mendarat lagi di kening yang juga telah berhias banyak kerutan. “Semuanya ada alasan mengapa harus ada. Bahkan rumput-rumput itu, Sayang,” tersenyum manis.
“Termasuk mengapa Bunga harus ada?” menatap mamanya.
Sejenak terlintas kesedihan di kedua mata perempuan itu. Tapi terhapus oleh senyuman lagi, “Iya, pasti.”
“Termasuk… mengapa Bunga harus menjalani semua ini?”
Perempuan itu tertegun—mengetahui bahwa arah pembicaran mulai tak nyaman. Maka perempuan itu tak mau lagi menemui mata sayu gadis kecilnya. Ia lebih memilih melipat selimut, merapikan seprei, lalu menyapu lantai.
“Mengapa, Ma?”
“Mama harus menjawab bagaimana, Nak? Tak semua alasan Mama ketahui. Kadang, ada beberapa hal yang hanya Tuhan yang tahu alasannya dan kita hanya bisa menjalani…” seperti ada yang terhimpit dalam dadanya.
Hening membuat jeda. Pagi memperdengarkan keberadaannya.
“Mmm…bagaimana cerpenmu? Kemarin dapat berapa halaman?” coba kembali mengembangkan senyum.
Tak mau menjawab. Menoleh ke dunia di luar jendela.
Perempuan itu menghela nafas panjang sebelum membalikkan tubuh. Sebelum bendungan kesabaran di kedua matanya jebol melelehi pipi, ia tinggalkan sepi dalam kamar itu.
*          *          *

Cahaya rendah di Timur. Naik sepenggalah. Cahaya di atas kepala. Turun sepenggalah. Dan akhirnya cahaya kembali turun. Bayang-bayang pendek, memanjang, rebah, memanjang, pendek lagi, dan akhirnya tenggelam untuk kemudian muncul lagi esok hari. Biji menumbuhkan dedahan dan dedaun, untuk kemudian berguguran lagi setelah menghasilkan bebiji. Semua seolah telah terukur dan teratur. Benarkah?
Gadis kecil itu tengah terpaku memperhatikan kembarannya di dalam cermin. Sosok asing yang amat dibencinya. Rupa yang kadang tak ia kenali. Bayang yang ingin ia benamkan dalam gelap selama-lamanya.
Bagai bunga tak bermahkota, tak ada sehelai rambutpun yang menempel di atas kepalanya. Alur pembuluh darah terlihat amat jelas di sana. Wajahnya kisut. Mata sayu di balik kacamata berlensa tebal. Dagu ciut, bagai jambu air yang mengering. Tubuh bungkuk dan tampak ringkih. Hanya seutas senyum hambar yang amat jarang dilakukannya—demi menyimpan deretan gigi ompong—yang memperlihatkan bahwa dia masih seorang bocah.
Bocah tak normal yang segalanya menyalahi aturan dan ukuran!
Jika semua yang ada menampakkan keberadaannya dengan tumbuh dan terus tumbuh, tapi bocah dalam cermin itu justru sebaliknya. Segalanya layu menuju kematian. Sulit bergerak, sesak nafas, pandangan mengabur, dan rambut yang helai demi helainya berguguran. Ia benar-benar merasa tua dan lelah dengan beribu tanya mengapa.
“Kata Dokter Pur, telah terjadi kesalahan kode genetik pada tubuhmu,” suara mamanya waktu itu terdengar bergetar.
“Kesalahan? Bukankah Tuhan seharusnya mampu menciptakan Bunga dengan tubuh sempurna, Ma?”
“Jika kau terus seperti itu, semua tak akan selesai, Nak.”
“Memang tak akan pernah selesai, Ma. Bukankah tak adil jika aku tak boleh bertanya mengapa?”
“Tuhan tak memandang fisik semata, Nak,” menyentuh dada putri semata wayangnya.
“Apakah kepergian Papa karena dia hanya memandang fisik Bunga semata, Ma?” beranjak lagi ke pembaringan.
Tak ada jawab. Perempuan itu mengucek kepala gadis kecilnya sebelum beranjak mengangkat telepon di ruang tengah. Dari klien butiknya. Perempuan itu tak mau balik lagi ke kamar gadis kecilnya. Ia lebih memilih beranjak ke sisi jendela kamarnya sendiri. Melepaskan semua pertanyaan mengapa yang juga menyesaki dadanya.
*          *          *

Tak seperti biasanya, pagi itu cahaya tak singgah ke dalam kamar. Perempuan itu menghela nafas ketika melihat mutiara hatinya masih menggulung tubuh dalam selimut.
“Sayang, kenapa jendelanya tak dibuka? Apa kau tak ingin melihat cantiknya pagi?”
“Jangan dibuka!” teriak gadis kecil dalam selimut.
“Kenapa, Sayang?” menatap penuh kasih. Ia mengerti, ada yang layu pagi ini. Entah apa penyebabnya.
“Buat apa membuka jendela kalau tak tahu guna semuanya?!” masih tak mau keluar dari kepompong selimut.
Perempuan itu mematung. Pertanyaan bernada amarah tadi dirasanya seperti terlontar dari seorang yang telah lama terdera muak. Akhirnya ia biarkan jendela itu tertutup hingga entah kapan kemarahan mereda.
Di tepi jendela kamarnya, perempuan itu kini bercakap dengan hatinya sendiri. Sambil mengerjakan sketsa-sketsa mode pesanan. Ada banyak kerisauan yang ingin ia adukan. Tapi tak ada siapa-siapa selain dunia kecil yang terlihat di jendela.
Ia amat paham kemarahan gadis kecilnya. Ia telah menyelami perasaan itu persis ketika pertamakali menerima keberadaan belahan jiwanya. Bayi cantik yang telah lama diidamkan kehadirannya. Lahir normal, dipenuhi aroma kebahagiaan. Lelakinya bahkan telah merencanakan garis besar masa depan untuk gadis kecilnya.
Selang satu tahun kemudian tanda-tanda itu baru terlihat. Sakit-sakitan, berat tubuh yang tak semestinya, terlambat berjalan, rambut kepala berguguran, kulit mengerut keriput. Gadis kecilnya menjelma makhluk asing yang umurnya tujuh kali umur sebenarnya. Bahkan semangat hidupnya pun perlahan mengeropos seperti tulang-belulangnya. Dokter bilang penyakit langka itu bernama progeria. Dan musibah itu berlanjut dengan kepergian suaminya yang entah ke mana rimbanya.
Dulu, ia pun sering bertanya mengapa. Mengapa musibah ini mesti menimpa dirinya? Mengapa ia harus bertemu lelaki itu? Mengapa harus terjadi begini? Mengapa harus terjadi begitu? Hati penuh sekali dengan penolakan karena menganggap kehidupan ini milik diri sepenuhnya. Lelah sekali rasanya berdebat dengan Tuhan yang seolah tak peduli. Hingga akhirnya hatinya berdamai karena merasa tak ada jalan lain.
Butuh waktu lama sampai akhirnya ia menemukan alasan untuk apa ia harus bertahan. Hari demi hari, seiring pertumbuhan gadis kecilnya, ia tahu bahwa ketangguhan dan ketegarannya amat dibutuhkan.
*          *          *

“Sayang, lihatlah ini, lihat,” tergopoh-gopoh membawa sebuah majalah anak-anak ke kamar putrinya. “Bacalah. Atau… atau biar Mama saja yang membacanya ya…?” gugup oleh sebuah kegembiraan.
Gadis kecil itu hanya diam melihat keriangan mamanya.
“Aku menyukai cerpen karya Bunga yang berjudul ‘Surat Untuk Tuhan’. Ceritanya sungguh mengharukan dan membuatku menangis.  Sinar—tokoh utama dalam cerpen itu—tak tahu alasan mengapa ia harus terlahir cacat. Ia terus dan terus mengirimkan surat yang berisikan pertanyaan kepada Tuhan—mengapa ia diciptakan cacat? Ia buat surat itu dalam bentuk kapal kertas untuk kemudian dihanyutkannya ke sungai agar sampai ke laut. Ia berusaha untuk terus hidup karena tak tega melihat mamanya kesepian jika ia meninggal kelak. Dulu, aku pun pernah mengalami seperti itu. Aku jadi merasa dekat sekali dengan Sinar karena kisah hidup kami sangat mirip. Sekarang aku sudah punya alasan lain untuk terus hidup. Meski umurku mungkin ditakdirkan pendek—karena kanker otak yang kuderita—tapi aku selalu berusaha agar hidupku bermanfaat untuk orang lain. Terima kasih, Bunga. Semoga cerpen-cerpenmu terus bermunculan,” cerita pun selesai.
Bangkit. Gadis kecil itu meraih majalah dari tangan mamanya demi memeriksa kebenaran cerita.
Tak lama berselang, beringsut ia ke kursi rodanya. Parkir sejenak di depan cermin. Tak ada yang perlu disisir. Tak ada yang perlu ditata untuk duduk di serambi dunia nyata yang amat besar dan bising.
“Mau ke mana, Sayang?”
Tak ada jawab. Tak lama kemudian ibu dan anak itu telah duduk bersisian di teras rumahnya.
Hangat betul pagi itu. Burung-burung berkicau riang di reranting pepohonan. Meski banyak mata menatap aneh, tapi tak urung senyum pula yang menjadi akhir sapaan mereka yang lewat di depan rumah. Orang-orang sudah mengenal baik siapa itu Ratna Kartika. Desainer ulung yang karya-karyanya merambah orang-orang kalangan atas.
“Jalan-jalan yuk?”
Ada banyak kalimat yang sebenarnya ingin diucapkan. Ada banyak dukungan yang ingin ia berikan. Tapi ia merasa diamnya itu sudah cukup untuk menemani langkah. Ini adalah pagi pertama putri kecilnya berani kembali menemui kehidupan luar setelah menamatkan Pendidikan Dasar dengan banyak pengalaman menyakitkan. Seorang bocah jenius yang terperangkap dalam tubuh rapuh lansia. Bisa dibayangkan tatapan dunia kepadanya.
“Ada apa, Nak?”
Gadis cilik itu mematung di trotoar depan rumahnya. Pandangannya tertuju ke sebuah jendela mungil yang menempel di sisi kiri rumahnya. Membayangkan dirinya adalah hari yang terus berputar dan sekeping hati yang terus menatap dari dalam jendela sana.
Gadis cilik itu mulai memahami sesuatu. Ternyata bukanlah dunia yang sok dan sombong. Dunia luas dan amat menyenangkan ini ternyata selalu menunggu gadis kecil dalam jendela itu di sini, di tepi jalan raya yang ramai.
*          *          *

“Menghitung bintang di langit ya?” menemukan gadis kecilnya yang nampak anggun memandangi beludru hitam langit malam yang penuh keredip gemintang.
“Kira-kira berapa jumlahnya ya, Ma?” tak nampak bergurau.
“Ada yang bilang, sebanyak nafas yang kita hirup,” duduk di undakan teras.
“Alangkah pemurahnya Tuhan itu,” beralih memandang sudut langit di sisi lain.
Menoleh. “Namun banyak yang tak menyadarinya, Sayang.”
“Mungkin karena jendela mereka sempit, Ma.”
“Jendela?”
“Jendela hati.”
Dikecupnya buah hati tercinta. Takkan ia ijinkan sepi atau sedih menghampiri. Tak sekali-kali.
*          *          *

Malam merangkak pelan. Sunyi berdiri angkuh di jendela kamarnya yang sengaja dibiarkan terbuka. Jikalau bisa dilihat, mungkin sekarang hatinya sudah babak belur dihajar sepi. Sepi saat ia membayangkan sisa umur putri semata wayangnya yang mungkin tak lama lagi.
“Ya, tubuh anak Ibu sejatinya sudah berumur sembilan puluh tahun. Di saat anak seusianya mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang signifikan, anak Ibu justru mengalami penurunan. Semua organ tubuhnya mengalami aus. Masa pensiun hanya tinggal menghitung hari.”
Ada yang tersungkur di kaki sepi.
“Hingga kini, memang belum ada pengobatan yang pasti untuk penyakit anak Ibu. Pengobatannya hanya bersifat simtomatik, berdasar pada gejala yang timbul. Yang patut diwaspadai adalah menjaganya agar tak terjadi komplikasi.”
Sepi tertawa. Terasa bagai sembilu mengiris hati.
“Dia lelaki yang pengertian loh, Rat. Aku yakin Galih bisa menerima keberadaan Bungamu. Aku sudah menceritakan perihal itu kepadanya. Lagipula dia juga single parent sepertimu,” suara Hanna menggantikan suara Dokter Purnadi.
Ah, tak pernah ada yang bisa menyelami perasaannya. Tentang kekhawatirannya tak bisa membagi kasih. Akankah ia tega melakukannya?
“Ayolah, Rat. Umurmu baru tiga enam. Mana tega aku melihatmu berteman kesepian, padahal perjalanan masih amat panjang.”
Bulan purnama bagai tambur raksasa pucat keemasan. Gemintang berkeredip mengusir sepi. Pekat jubah malam mengepung riuh dalam hatinya. Di ujung sana, entah di mana, terdengar lolongan menyedihkan. Seperti seseorang yang merintih terdera sepi. Sebab itulah ia tak mau menutup jendela itu, karena ia tak mau sakit sendirian.
*          *          *

Taburan meises warna putih jadi terlihat seperti butiran salju yang menempel di atas kue ulang tahun itu. Ada tiga belas batang lilin yang mulai dinyalakan satu per satu. Nyala api meliuk-liuk seperti terang yang selalu berusaha mengusir sedih di hati.
Lagu ulang tahun merdu mengalun riang…
Satu per satu lilin mulai ditiup. Perjalanan hidup tahun demi tahun kembali terkenang…
“Sekarang ucapkan keinginanmu, Sayang,” sebuah kecupan mendarat hangat di pipi gadis kecil itu.
“Mmm… aku ingin mamaku lekas menikah lagi. Aku ingin mamaku mendapatkan raja tampan yang baik hati. Aku ingin mamaku mendapatkan teman hidup yang setia sampai akhir…,” belum selesai kalimat permohonan itu, ciuman mendarat bertubi-tubi di pipinya. Tangis perempuan itu tak tertahan lagi.
Bukan karena sepi perempuan itu tersedu. Bukan pula tersebab takut akan perpisahan. Tapi karena keindahan dan kenikmatan yang saat ini ia rasakan….*****

Kalinyamatan – Jepara, 11 September 2011.
(Adi Zamzam, Majalah Kartini No. 2308/03 -17  November 2011)

Rabu, 13 Agustus 2014

Membaca Jangkau Pemikiran Bung Karno



Membaca Jangkau Pemikiran Bung Karno




Judul Buku  :  Tokoh-Tokoh Dunia yang Memengaruhi Pemikiran Bung Karno
Penulis        :  Sulaiman Effendi
Penerbit       :  Penerbit Palapa
Cetakan       :  Pertama, Mei  2014
Tebal           :  250 halaman
Harga           :  40.000
ISBN            :  978-602-255-555-1

“Jadi, dari semua pikiran dan aliran, aku dapat bahan. Aku tidak hanya maguru pada viool, aku tidak hanya maguru pada piano, aku tidak hanya maguru kepada gitar, aku tidak hanya maguru kepada tromp, yaitu tambur, tidak. Aku maguru dari masing-masing itu, dan aku maguru kepada simponi dari ini semua.” Dari penggalan pidato Bung Karno yang disampaikan di hadapan anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) di Istana Bogor itu, dapat disimpulkan bahwa mantan presiden, politikus hebat, serta bapak pendiri bangsa yang seorang pejuang gigih ini tampaknya memiliki jangkau pikir yang amat luas, yang ia serap dari banyak pemikir dunia. Hal itu dapat pula di‘baca’ dari ragam tulisannya yang terserak di berbagai surat kabar pada masanya, serta dari pengakuan langsung. Buku ini berniat mengajak para pembacanya untuk menziarahi kembali siapa saja yang pernah menjadi ‘guru’ beliau.
Lahir di Jawa Timur pada tanggal 6 Juni 1901 dengan nama Koesno Sosrodiharjo, nama ini kemudian diganti menjadi Soekarno oleh kedua orangtuanya lantaran Koesno kecil yang sering sakit-sakitan. Tumbuh bersama sang kakek yakni Raden Hardjokromo di Tulungagung, bocah yang dinamai dengan nama seorang panglima perang dalam Bharata Yudha ini memulai pendidikan dasarnya. Dan kemudian melanjutkan ke Eerste Inlandse School (1911) lalu Europeesche Lagere School (1915) di Mojokerto karena harus mengikut keluarganya yang dipindahtugaskan. Pasca kelulusan dari ELS inilah secara tak sengaja Raden Soekemi Sosrodihardjo (ayah Soekarno) memperkenalkan anaknya dengan H.O.S. Tjokroaminoto demi agar bisa masuk Hogere Burger School di Surabaya, di mana kemudian hari Tjokro justru menjadi guru pemikiran Soekarno sendiri.
Yang semula hanya niat kos di rumah Tjokroaminoto, Soekarno justru kemudian menjadi murid emas. Tjokroaminoto lah orang pertama yang membuka keran pemikiran Soekarno hingga paham bagaimana cara menggunakan politik sebagai alat mencapai kesejahteraan rakyat, mengenal berbagai bentuk pergerakan modern, juga mengetahui peranan penting tulisan di media massa. Hampir setiap waktu Soekarno berada di dekat Tjokro, sering diajak keliling daerah, hingga kemudian selain menuruni kepintaran Tjokro dalam berorasi, dia pun mulai berkenalan dengan pemikiran para tokoh dunia melalui buku-buku koleksi Tjokro, terutama para pemikir berhaluan kiri. Di rumah inilah Soekarno ‘berkenalan’ dengan Karl Marx, hingga pada masa berikutnya lahirlah gagasannya tentang ‘perkawinan’ antara paham nasionalisme di dunia Timur dengan marxisme, yang kemudian melahirkan nasionalisme baru, suatu ilmu baru, i’tikad baru, senjata perjuangan yang baru dan satu sikap yang baru, yang sesuai dengan kondisi sosial politik Indonesia, yang ia sebut sebagai marhaenisme (hal. 196). Menggunakan nama Marhaen, seorang petani miskin yang ditemuinya di Cigereleng yang dalam percakapan singkatnya mampu memberikan jawab atas pergumulannya pada situasi kondisi Indonesia semasa kolonialisme Belanda.
Karl Kautsky, Abraham Lincoln, Ernest Renan, Vladimir Ilych Lenin adalah tokoh-tokoh yang sempat mendapatkan perhatian istimewa Soekarno. Melalui Kautsky, Bung Karno tersadarkan bahwa jika imperialisme tua yang cenderung merampok barang dan kekayaan alam dari negeri jajahan untuk dibawa ke negeri asal, maka ada yang lebih membahayakan ketimbang itu. Yakni imperialisme modern yang justru menggunakan pendekatan politik yang lebih halus, seperti pinjaman lunak, pembangunan pabrik, serta serbuan budaya (hal. 178). Melalui ‘Abe’ Lincoln, Soekarno belajar bahwa perpecahan internal dalam sebuah bangsa juga lebih membahayakan ketimbang ancaman dari luar. Lalu melalui Renan, Soekarno merujuk tentang konsep-konsep kebangsaan. Serta belajar tentang kedewasaan dalam menjalankan proses revolusi melalui Lenin.
Buku ini juga akan mengajak Anda untuk menyimak pertemuan Soekarno dengan beberapa tokoh setanah air, baik yang bertentangan maupun segaris dalam pemikiran. Dari pertemuan dengan orang-orang hebat itulah kemudian lahir Pancasila, sebuah ide yang ia rasa akan mampu menaungi sebuah bangsa besar seperti Indonesia.* (Nur Hadi, Malang Post 13 Juli 2014)