Kaya Seperti Nabi Sulaiman
Judul Buku : Kaya
Seperti Nabi Sulaiman
Penulis :
Ahmad Zainal Abidin
Penerbit :
Penerbit Sabil (DIVA Press Group)
Cetakan :
Pertama, Januari 2014
Tebal :
188 halaman
Harga :
30.000
ISBN :
978-602-255-407-3
Banyak orang yang sudah
memiliki kekayaan materi berlebih, namun masih saja merasa kurang. Bukan saja
karena rasa syukur yang kurang, pengertian orang tersebut tentang makna kaya tampaknya
juga perlu dibenahi. Adakah batas kekayaan yang sampai bisa menjamin ukuran
kepuasan seseorang? Buku ini akan memberikan jawaban akan pertanyaan itu. Yakni
melalui pembelajaran akan kisah Nabi Sulaiman yang dikenal sebagai nabi yang
dikaruniai mukjizat berupa ilmu yang begitu luas sehingga akhirnya kekayaan
justru takluk di bawah kaki tangannya.
Sejak kecil mula,
keistimewaan Sulaiman sebenarnya sudah terlihat. Kecerdasannya semakin
berkembang seiring umur dan pengalaman yang pernah dilaluinya. Banyak
dikisahkan tentang bukti-bukti kecemerlangan otak dan kalbu beliau. Misalnya
saja ketika Nabi Daud memutuskan seorang pemilik kambing yang harus menyerahkan
kambing peliharaannya kepada pemilik kebun sebagai ganti rugi akibat
kelalaiannya menjaga hewan-hewan itu sehingga merusak kebun orang. Nabi
Sulaiman memiliki pandangan lain atas perkara itu, yang dirasa lebih adil. Kambing-kambing
itu sebaiknya diserahkan kepada pemilik kebun untuk diambil hasil dan
dimanfaatkan sesuai keperluan, sementara kebun yang telah rusak diserahkan
kepada pemilik kambing untuk dirawat hingga kembali pada keadaan asalnya
(halaman 37).
Atau mungkin Anda pernah
mendengar sebuah kisah tentang dua orang perempuan yang saling mengaku sebagai
ibu seorang bayi. Demi mencari siapa yang sebenarnya pembohong di antara dua
perempuan itu, dengan cerdiknya Nabi Sulaiman berpura-pura meminta pisau untuk
membagi bayi itu menjadi dua bagian agar sama-sama mendapatkan setengah bagian.
Akhirnya terlihatlah siapa sebenarnya ibu dari bayi itu, yakni perempuan muda
yang justru merelakan bayi tersebut diasuh oleh perempuan yang lebih tua.
Logikanya, hanya seorang ibu sejatilah yang takkan mungkin mau menyakiti buah
hatinya sendiri (halaman 39).
Namun jangan kira bahwa
Nabi Sulaiman tak pernah diuji dengan segala keistimewaannya itu. Beliau sampai
pernah membebaskan semua kuda peliharaannya gegara hampir kehabisan waktu salat
ashar setelah asyik-masyuk mengurus peliharaan kesayangannya tersebut. Beliau
juga pernah terfitnah dan kehilangan semua kekayaan temasuk kerajaan yang
dimilikinya setelah cincin tanda raja yang selalu dipakainya dicuri oleh jin
yang menyaru persis seperti rupanya. Mungkin bagi orang kebanyakan, ujian
semacam itu akan menjadikan penyebab kekufuran (ingkar akan nikmat Tuhan).
Namun bagi Nabi Sulaiman justru menambah ketakwaannya. Semua itu tak lepas dari
kesadaran beliau bahwa kesenangan harta atau kekayaan hanyalah sementara. Beliau
bahkan kemudian memohon agar dikaruniai ilmu yang lebih dibanding harta ataupun
kekuasaan. Setelah do’a itu terkabul, setelah ilmu dikaruniakan kepadanya,
akhirnya harta dan kekuasaan yang semula tak ia minta justru datang dengan
sendirinya (baca pada kisah perebutan kekuasaan Nabi Daud oleh Absalom, halaman
16). Kekayaan dan kekuasaan dianugerahkan kepadanya semata hanyalah demi
menundukkan kaumnya yang kebanyakan berorientasi materi.
Kemudian apa kiranya yang
bisa kita upayakan agar bisa mendapatkan kemuliaan seperti yang dimiliki Nabi
Sulaiman? Penulis memberikan beberapa nasihat di antaranya; Satu, jangan
menjadikan kekayaan sebagai tujuan utama. Idealnya, seorang muslim bekerja dan
berdo’a. mengenai hasil, itu adalah otoritas Allah. Harta dan kekayaan bukanlah
tujuan, melainkan hanya sarana untuk beribadah. Dua, mendahulukan ilmu atas
harta atau kekuasaan. Kian hari harta kian berkurang. Jabatan juga dapat
lengser sewaktu-waktu. Namun ilmu justru akan semakin bertambah jika diamalkan.
Tiga, bertakwa. Al-hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya menegaskan bahwa
barangsiapa yang bertakwa, maka Dia akan memberikan jalan keluar serta rezeki
dari arah yang tak disangka-sangka. Empat, berbakti kepada orangtua. Banyak
dikisahkan bahwa orang-orang yang sukses, sering sekali karena do’a/dukungan
orangtua. Lima,
bersedekah. Sedekah bukan berarti harta orang yang memberi berkurang, namun
justru bertambah. Sedekah ibarat menanam dengan bibit unggul sehingga tumbuh
tunas-tunas baru yang lebih banyak. Tawakkal, beribadah sepenuhnya kepada-Nya,
membaca istighfar, dan bersyukur, juga merupakan pemancing untuk memanggil
kakayaan, seperti yang dimiliki Nabi Sulaiman.*** (Nur Hadi, Koran Muria, 3 Agustus 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar