Jendela
Seperti
biasanya, jendela itu selalu terbuka sebelum cahaya menyapa aneka bebunga taman
kecil di bawahnya. Jendela itu selalu terbuka seperti sepasang mata di dalam
kamarnya—yang selalu penuh tanya tentang dunia di luar sana.
Puluhan,
ratusan, bahkan ribuan tanya pernah singgah melewati jendela itu. Gaungnya
memenuhi kamar. Jika kau masuk ke kamar itu dan bisa mendengarkannya, mungkin
riuhnya akan membuatmu tertegun-tegun. Persis seperti seorang gadis kecil yang
selalu tertegun di bibir jendela itu—ketika mengamati dunia di seberang sana.
“Kenapa
burung punya sayap, Ma?” mata penuh binar itu menemukan sepasang burung hinggap
di dahan jambu air yang merindang tak jauh di muka jendela.
“Agar
mereka bisa terbang, Sayang,” sebuah kecupan hangat di pipi yang telah
berkerut. Salam pagi. Tirai setengah dibuka. Cahaya menyapa penghuni kamar.
Terlihatlah semua. Gadis kecil itu masih tenggelam di bawah selimut. Di
sisinya, boneka Winnie The Pooh terbaring manis.
“Kau
tahu kan?
Burung itu makanannya biji-bijian, buah-buahan, dan ada juga yang makan
serangga. Nah, dengan sayapnya itu mereka akan bebas mencari makanan ke mana
saja mereka mau.”
“Seperti
kenapa kita punya kaki?” bangkit. Menuju bibir jendela untuk menikmati segala
yang disuguhkan cahaya.
“Ya.
Agar kita bisa berjalan ke sana-
ke mari, mencari rejeki, melakukan segala sesuatu…”
“Seperti
kenapa pohon punya akar?”
“Cerdas
sekali anak Mama ini,” sebuah kecupan mendarat lagi di kening yang juga telah
berhias banyak kerutan. “Semuanya ada alasan mengapa harus ada. Bahkan
rumput-rumput itu, Sayang,” tersenyum manis.
“Termasuk
mengapa Bunga harus ada?” menatap mamanya.
Sejenak
terlintas kesedihan di kedua mata perempuan itu. Tapi terhapus oleh senyuman
lagi, “Iya, pasti.”
“Termasuk…
mengapa Bunga harus menjalani semua ini?”
Perempuan
itu tertegun—mengetahui bahwa arah pembicaran mulai tak nyaman. Maka perempuan
itu tak mau lagi menemui mata sayu gadis kecilnya. Ia lebih memilih melipat
selimut, merapikan seprei, lalu menyapu lantai.
“Mengapa,
Ma?”
“Mama
harus menjawab bagaimana, Nak? Tak semua alasan Mama ketahui. Kadang, ada
beberapa hal yang hanya Tuhan yang tahu alasannya dan kita hanya bisa
menjalani…” seperti ada yang terhimpit dalam dadanya.
Hening
membuat jeda. Pagi memperdengarkan keberadaannya.
“Mmm…bagaimana
cerpenmu? Kemarin dapat berapa halaman?” coba kembali mengembangkan senyum.
Tak
mau menjawab. Menoleh ke dunia di luar jendela.
Perempuan
itu menghela nafas panjang sebelum membalikkan tubuh. Sebelum bendungan
kesabaran di kedua matanya jebol melelehi pipi, ia tinggalkan sepi dalam kamar
itu.
* * *
Cahaya
rendah di Timur. Naik sepenggalah. Cahaya di atas kepala. Turun sepenggalah.
Dan akhirnya cahaya kembali turun. Bayang-bayang pendek, memanjang, rebah,
memanjang, pendek lagi, dan akhirnya tenggelam untuk kemudian muncul lagi esok
hari. Biji menumbuhkan dedahan dan dedaun, untuk kemudian berguguran lagi
setelah menghasilkan bebiji. Semua seolah telah terukur dan teratur. Benarkah?
Gadis
kecil itu tengah terpaku memperhatikan kembarannya di dalam cermin. Sosok asing
yang amat dibencinya. Rupa yang kadang tak ia kenali. Bayang yang ingin ia
benamkan dalam gelap selama-lamanya.
Bagai
bunga tak bermahkota, tak ada sehelai rambutpun yang menempel di atas
kepalanya. Alur pembuluh darah terlihat amat jelas di sana. Wajahnya kisut. Mata sayu di balik
kacamata berlensa tebal. Dagu ciut, bagai jambu air yang mengering. Tubuh
bungkuk dan tampak ringkih. Hanya seutas senyum hambar yang amat jarang
dilakukannya—demi menyimpan deretan gigi ompong—yang memperlihatkan bahwa dia
masih seorang bocah.
Bocah
tak normal yang segalanya menyalahi aturan dan ukuran!
Jika
semua yang ada menampakkan keberadaannya dengan tumbuh dan terus tumbuh, tapi
bocah dalam cermin itu justru sebaliknya. Segalanya layu menuju kematian. Sulit
bergerak, sesak nafas, pandangan mengabur, dan rambut yang helai demi helainya
berguguran. Ia benar-benar merasa tua dan lelah dengan beribu tanya mengapa.
“Kata
Dokter Pur, telah terjadi kesalahan kode genetik pada tubuhmu,” suara mamanya
waktu itu terdengar bergetar.
“Kesalahan?
Bukankah Tuhan seharusnya mampu menciptakan Bunga dengan tubuh sempurna, Ma?”
“Jika
kau terus seperti itu, semua tak akan selesai, Nak.”
“Memang
tak akan pernah selesai, Ma. Bukankah tak adil jika aku tak boleh bertanya
mengapa?”
“Tuhan
tak memandang fisik semata, Nak,” menyentuh dada putri semata wayangnya.
“Apakah
kepergian Papa karena dia hanya memandang fisik Bunga semata, Ma?” beranjak
lagi ke pembaringan.
Tak
ada jawab. Perempuan itu mengucek kepala gadis kecilnya sebelum beranjak
mengangkat telepon di ruang tengah. Dari klien butiknya. Perempuan itu tak mau
balik lagi ke kamar gadis kecilnya. Ia lebih memilih beranjak ke sisi jendela
kamarnya sendiri. Melepaskan semua pertanyaan mengapa yang juga menyesaki
dadanya.
* * *
Tak
seperti biasanya, pagi itu cahaya tak singgah ke dalam kamar. Perempuan itu
menghela nafas ketika melihat mutiara hatinya masih menggulung tubuh dalam
selimut.
“Sayang,
kenapa jendelanya tak dibuka? Apa kau tak ingin melihat cantiknya pagi?”
“Jangan
dibuka!” teriak gadis kecil dalam selimut.
“Kenapa,
Sayang?” menatap penuh kasih. Ia mengerti, ada yang layu pagi ini. Entah apa
penyebabnya.
“Buat
apa membuka jendela kalau tak tahu guna semuanya?!” masih tak mau keluar dari
kepompong selimut.
Perempuan
itu mematung. Pertanyaan bernada amarah tadi dirasanya seperti terlontar dari
seorang yang telah lama terdera muak. Akhirnya ia biarkan jendela itu tertutup
hingga entah kapan kemarahan mereda.
Di
tepi jendela kamarnya, perempuan itu kini bercakap dengan hatinya sendiri.
Sambil mengerjakan sketsa-sketsa mode pesanan. Ada banyak kerisauan yang ingin ia adukan.
Tapi tak ada siapa-siapa selain dunia kecil yang terlihat di jendela.
Ia
amat paham kemarahan gadis kecilnya. Ia telah menyelami perasaan itu persis
ketika pertamakali menerima keberadaan belahan jiwanya. Bayi cantik yang telah
lama diidamkan kehadirannya. Lahir normal, dipenuhi aroma kebahagiaan.
Lelakinya bahkan telah merencanakan garis besar masa depan untuk gadis
kecilnya.
Selang
satu tahun kemudian tanda-tanda itu baru terlihat. Sakit-sakitan, berat tubuh
yang tak semestinya, terlambat berjalan, rambut kepala berguguran, kulit
mengerut keriput. Gadis kecilnya menjelma makhluk asing yang umurnya tujuh kali
umur sebenarnya. Bahkan semangat hidupnya pun perlahan mengeropos seperti
tulang-belulangnya. Dokter bilang penyakit langka itu bernama progeria. Dan
musibah itu berlanjut dengan kepergian suaminya yang entah ke mana rimbanya.
Dulu,
ia pun sering bertanya mengapa. Mengapa musibah ini mesti menimpa dirinya?
Mengapa ia harus bertemu lelaki itu? Mengapa harus terjadi begini? Mengapa
harus terjadi begitu? Hati penuh sekali dengan penolakan karena menganggap
kehidupan ini milik diri sepenuhnya. Lelah sekali rasanya berdebat dengan Tuhan
yang seolah tak peduli. Hingga akhirnya hatinya berdamai karena merasa tak ada
jalan lain.
Butuh
waktu lama sampai akhirnya ia menemukan alasan untuk apa ia harus bertahan.
Hari demi hari, seiring pertumbuhan gadis kecilnya, ia tahu bahwa ketangguhan
dan ketegarannya amat dibutuhkan.
* * *
“Sayang,
lihatlah ini, lihat,” tergopoh-gopoh membawa sebuah majalah anak-anak ke kamar
putrinya. “Bacalah. Atau… atau biar Mama saja yang membacanya ya…?” gugup oleh
sebuah kegembiraan.
Gadis
kecil itu hanya diam melihat keriangan mamanya.
“Aku
menyukai cerpen karya Bunga yang berjudul ‘Surat Untuk Tuhan’. Ceritanya
sungguh mengharukan dan membuatku menangis.
Sinar—tokoh utama dalam cerpen itu—tak tahu alasan mengapa ia harus
terlahir cacat. Ia terus dan terus mengirimkan surat yang berisikan pertanyaan kepada
Tuhan—mengapa ia diciptakan cacat? Ia buat surat itu dalam bentuk kapal kertas untuk
kemudian dihanyutkannya ke sungai agar sampai ke laut. Ia berusaha untuk terus
hidup karena tak tega melihat mamanya kesepian jika ia meninggal kelak. Dulu,
aku pun pernah mengalami seperti itu. Aku jadi merasa dekat sekali dengan Sinar
karena kisah hidup kami sangat mirip. Sekarang aku sudah punya alasan lain
untuk terus hidup. Meski umurku mungkin ditakdirkan pendek—karena kanker otak
yang kuderita—tapi aku selalu berusaha agar hidupku bermanfaat untuk orang
lain. Terima kasih, Bunga. Semoga cerpen-cerpenmu terus bermunculan,” cerita
pun selesai.
Bangkit.
Gadis kecil itu meraih majalah dari tangan mamanya demi memeriksa kebenaran cerita.
Tak
lama berselang, beringsut ia ke kursi rodanya. Parkir sejenak di depan cermin.
Tak ada yang perlu disisir. Tak ada yang perlu ditata untuk duduk di serambi
dunia nyata yang amat besar dan bising.
“Mau
ke mana, Sayang?”
Tak
ada jawab. Tak lama kemudian ibu dan anak itu telah duduk bersisian di teras
rumahnya.
Hangat
betul pagi itu. Burung-burung berkicau riang di reranting pepohonan. Meski
banyak mata menatap aneh, tapi tak urung senyum pula yang menjadi akhir sapaan
mereka yang lewat di depan rumah. Orang-orang sudah mengenal baik siapa itu
Ratna Kartika. Desainer ulung yang karya-karyanya merambah orang-orang kalangan
atas.
“Jalan-jalan
yuk?”
Ada banyak kalimat yang
sebenarnya ingin diucapkan. Ada
banyak dukungan yang ingin ia berikan. Tapi ia merasa diamnya itu sudah cukup
untuk menemani langkah. Ini adalah pagi pertama putri kecilnya berani kembali
menemui kehidupan luar setelah menamatkan Pendidikan Dasar dengan banyak
pengalaman menyakitkan. Seorang bocah jenius yang terperangkap dalam tubuh rapuh
lansia. Bisa dibayangkan tatapan dunia kepadanya.
“Ada apa, Nak?”
Gadis
cilik itu mematung di trotoar depan rumahnya. Pandangannya tertuju ke sebuah
jendela mungil yang menempel di sisi kiri rumahnya. Membayangkan dirinya adalah
hari yang terus berputar dan sekeping hati yang terus menatap dari dalam
jendela sana.
Gadis
cilik itu mulai memahami sesuatu. Ternyata bukanlah dunia yang sok dan sombong.
Dunia luas dan amat menyenangkan ini ternyata selalu menunggu gadis kecil dalam
jendela itu di sini, di tepi jalan raya yang ramai.
* * *
“Menghitung
bintang di langit ya?” menemukan gadis kecilnya yang nampak anggun memandangi
beludru hitam langit malam yang penuh keredip gemintang.
“Kira-kira
berapa jumlahnya ya, Ma?” tak nampak bergurau.
“Ada yang bilang, sebanyak
nafas yang kita hirup,” duduk di undakan teras.
“Alangkah
pemurahnya Tuhan itu,” beralih memandang sudut langit di sisi lain.
Menoleh.
“Namun banyak yang tak menyadarinya, Sayang.”
“Mungkin
karena jendela mereka sempit, Ma.”
“Jendela?”
“Jendela
hati.”
Dikecupnya
buah hati tercinta. Takkan ia ijinkan sepi atau sedih menghampiri. Tak
sekali-kali.
* * *
Malam
merangkak pelan. Sunyi berdiri angkuh di jendela kamarnya yang sengaja dibiarkan
terbuka. Jikalau bisa dilihat, mungkin sekarang hatinya sudah babak belur
dihajar sepi. Sepi saat ia membayangkan sisa umur putri semata wayangnya yang
mungkin tak lama lagi.
“Ya,
tubuh anak Ibu sejatinya sudah berumur sembilan puluh tahun. Di saat anak
seusianya mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang signifikan, anak Ibu
justru mengalami penurunan. Semua organ tubuhnya mengalami aus. Masa pensiun
hanya tinggal menghitung hari.”
Ada yang tersungkur di
kaki sepi.
“Hingga
kini, memang belum ada pengobatan yang pasti untuk penyakit anak Ibu.
Pengobatannya hanya bersifat simtomatik, berdasar pada gejala yang timbul. Yang
patut diwaspadai adalah menjaganya agar tak terjadi komplikasi.”
Sepi
tertawa. Terasa bagai sembilu mengiris hati.
“Dia
lelaki yang pengertian loh, Rat. Aku yakin Galih bisa menerima keberadaan Bungamu.
Aku sudah menceritakan perihal itu kepadanya. Lagipula dia juga single parent sepertimu,” suara Hanna
menggantikan suara Dokter Purnadi.
Ah,
tak pernah ada yang bisa menyelami perasaannya. Tentang kekhawatirannya tak
bisa membagi kasih. Akankah ia tega melakukannya?
“Ayolah,
Rat. Umurmu baru tiga enam. Mana tega aku melihatmu berteman kesepian, padahal
perjalanan masih amat panjang.”
Bulan
purnama bagai tambur raksasa pucat keemasan. Gemintang berkeredip mengusir
sepi. Pekat jubah malam mengepung riuh dalam hatinya. Di ujung sana, entah di mana,
terdengar lolongan menyedihkan. Seperti seseorang yang merintih terdera sepi.
Sebab itulah ia tak mau menutup jendela itu, karena ia tak mau sakit sendirian.
* * *
Taburan
meises warna putih jadi terlihat seperti butiran salju yang menempel di atas
kue ulang tahun itu. Ada
tiga belas batang lilin yang mulai dinyalakan satu per satu. Nyala api
meliuk-liuk seperti terang yang selalu berusaha mengusir sedih di hati.
Lagu
ulang tahun merdu mengalun riang…
Satu
per satu lilin mulai ditiup. Perjalanan hidup tahun demi tahun kembali
terkenang…
“Sekarang
ucapkan keinginanmu, Sayang,” sebuah kecupan mendarat hangat di pipi gadis
kecil itu.
“Mmm…
aku ingin mamaku lekas menikah lagi. Aku ingin mamaku mendapatkan raja tampan
yang baik hati. Aku ingin mamaku mendapatkan teman hidup yang setia sampai
akhir…,” belum selesai kalimat permohonan itu, ciuman mendarat bertubi-tubi di
pipinya. Tangis perempuan itu tak tertahan lagi.
Bukan
karena sepi perempuan itu tersedu. Bukan pula tersebab takut akan perpisahan.
Tapi karena keindahan dan kenikmatan yang saat ini ia rasakan….*****
Kalinyamatan
– Jepara, 11 September 2011.
(Adi Zamzam, Majalah Kartini No. 2308/03 -17 November 2011)
Cerpen-cerpennya keres sekali mas :((
BalasHapusiri pengen bisa.
Mas Adi seberapa banyak membaca? sebulan menghabiskan berapa buku biasanya?
terus menulis seberapa banyak?
Mbak Rosa, terima kasih sudah berkunjung, dan mengapresiasi karya saya.
BalasHapusSaya membaca secara serampangan. Jadwal rutinnya, saat sarapan dan jelang tidur. Tapi, mengobrol dengan teman, melihat-lihat keramaian kota/jalan, menonton TV, atau bahkan saat dengar rumpian pas belanja (hehe...), juga saya anggap sebagai proses 'membaca'. Membaca karakter orang, membaca kondisi lingkungan sosial. Itu nantinya juga masuk dalam bahan tulisan kita loh.
Soal sebulan berapa banyak buku yang habis dibaca, tak pasti. Tergantung waktu senggangnya. Kalau selalu sibuk, kemungkinan ya sedikit. Aktivitas meresensi saya gunakan untuk meredam kebosanan 'nyerpen'.
Seberapa banyak menulis?
Jadwal tetap menulis saya, tiap bangun tidur dan jelang tidur. Hasilnya, bisa dibaca di status-status fesbuk saya :-) (maaf, pamer)