Melihat
Adi Zamzam
Aku
melihatnya sebulanan silam, ketika Ibu mengantarkan ke klinik Dokter Tio untuk check-up rutin paru-paru basah yang
kuderita. Ia berdiri di ambang pintu seraya tersenyum manis ke arahku. Kupikir
karena tingkah lakunya yang amat mencurigakan, maka aku pun terus memerhatikannya
sama seperti dirinya yang terus memerhatikan orang-orang yang masuk ke klinik.
Kecurigaanku
semakin bertambah tatkala aku melihat sesuatu dalam genggamannya. Ibu tak memedulikan
tarikan tanganku saat kutunjukkan bahwa orang yang berkelakuan mencurigakan itu
menempelkan benda(hidup?) di tangannya ke punggung, lengan, kepala, juga dada,
beberapa orang yang lewat di depannya.
Seorang
perempuan bertubuh tambun yang kemudian duduk mengantre di sampingku juga telah
tertempeli benda itu di bagian dadanya. Dan kurasa, perempuan itu tak
menyadarinya.
“Ibu
sakit?”
Perempuan
tambun itu mengangguk seraya tersenyum.
“Sakit
apa?”
Ia
menunjuk dada. Benda hitam yang menempel di sana terlihat menggeliat terkena sentuhan tangannya.
“Sakit
dada?”
“Jantung,”
bisiknya ke telingaku. Dan lalu tersenyum ketika Ibu tersenyum ke arahnya.
Aku
rasa benda itu adalah makhluk hidup. Dan aku rasa benda itu menyedot
sesuatu—entah apa—dari orang yang ditempelinya. Setelah aku kembali dari mencari
orang aneh di ambang pintu yang tiba-tiba menghilang, makhluk itu telah
membesar di dada perempuan tambun tadi. Dan Ibu masih saja mengacuhkan ucapanku
tentang lelaki aneh itu.
Karena
rasa penasaran yang tak tertahan, aku pun mendekati beberapa orang yang juga
telah tertempeli makhluk yang aku rasa bentuknya mirip lintah itu.
“Apakah
kepalamu sakit?”
“Apakah
lenganmu sakit?”
“Apakah
perutmu sakit?”
“Apakah
dadamu sakit?”
Hampir
semua orang yang kutanyai menganggukkan kepala meski ada beberapa yang kemudian
terus memandangku dengan tatapan aneh.
Aku
rasa aku harus meminta penjelasan dari lelaki aneh tadi. Namun setelah ke
sana-ke mari mencari dan akhirnya gagal lagi menemukannya, kepalaku benar-benar
dipenuhi pertanyaan yang membuatku gelisah. Ibu menyuruhku tenang, tapi aku tak
bisa. Celakanya setelah kami mau pulang, aku juga melihat makhluk itu telah
menempel di kepala Ibu!
* * *
Apakah
makhluk itu memengaruhi pikiran seseorang?
Aku
tengah berpikir-pikir tentang itu sekarang. Aku pernah melihat seseorang yang
terus saja berbicara tentang kematiannya ketika makhluk itu telah sebesar
lengan bayi di dadanya. Padahal biasanya ia tak begitu peduli dengan hal itu. Ia
seorang perokok berat. Aku juga pernah melihat seseorang yang kemarinnya begitu
riang membicarakan masa depannya, namun di hari berikutnya kulihat ia telah
kehilangan gairah hidupnya setelah makhluk itu menempel di tengkuknya. Orang
ini punya masalah dengan utang-utangnya. Dan kedua-duanya meninggal dunia
beberapa hari kemudian. Orang kedua mati bunuh diri.
Sepertinya
makhluk itu punya hubungan dengan segala penyakit dan kematian.
Aku
semakin yakin dengan hal ini ketika suatu saat aku pernah iseng mengambil
makhluk itu dari dada Arini, teman sekelasku yang menderita asma. Lantas ia
mengaku bahwa nafasnya mulai terasa ringan kemudian. Namun tidak semua orang
lantas percaya dengan ceritaku. Aku bahkan mendapatkan cap sebagai si aneh dari
orang-orang yang kukira tak menyukaiku.
Tapi
lupakan dulu tentang orang-orang itu.
Semakin
berjalan hari, semakin banyak pertanyaan yang berdatangan ke kepalaku. Kenapa
hanya aku yang bisa melihat semua itu? Apakah ada maksud tertentu hingga hanya
aku yang diperbolehkan melihatnya? Jika benar demikian, kenapa aku tak
diizinkan merubah apa yang aku lihat pada ibuku sendiri?
Makhluk
itu masih saja kembali ke kepala Ibu meski telah berulang aku membuangnya!
Aku
pikir yang dapat menjawab semua pertanyaanku hanyalah lelaki misterius yang
tempo hari aku lihat di klinik Dokter Tio. Dan aku pikir, lelaki itu pasti suka
berkeliaran ke mana-mana karena ke manapun aku melangkah, pasti dapat dengan
mudah kutemukan orang yang tertempeli makhluk menjijikkan itu.
“Antar
aku ke rumah sakit,” perintahku ke Pak Mudi—sopir pribadi Ibu—di suatu sore.
“Mas
mau apa ke rumah sakit?” tanya lelaki yang telah berumur itu.
“Sudah,
pokoknya Pak Mudi antar saja aku ke rumah sakit.”
“Rumah
sakit yang mana, Mas?”
“Terserah
Pak Mudi, mau antar ke rumah sakit yang mana.”
Pak
Mudi ada benarnya juga, bahwa aku seharusnya memiliki tujuan yang jelas. Tapi
bagaimana aku bisa memiliki tujuan yang jelas jika perkara inipun masih menjadi
misteri buatku?
Aku
seperti tengah berburu singa di belantara kota.
Meski perkiraanku benar—bahwa rumah sakit, Puskesmas, juga klinik dokter,
adalah tempat terbanyak makhluk itu kutemukan, namun tak juga kutemukan lelaki
misterius itu.
“Lupakan
saja semuanya, Nak.”
“Jadi
Ibu juga sama seperti orang-orang bodoh yang menganggapku sebagai tukang khayal
itu?”
“Bukan
begitu. Ibu hanya tak ingin kau terobsesi dengan semua itu sehingga mengabaikan
sekolahmu, masa depanmu sendiri. Kau masih sepuluh tahun. Jalan di depanmu
masih amat panjang. Ibu tak ingin melihat kau kacau di tengah jalan hanya
gara-gara…”
“Gara-gara
aku ketempelan jin?!” tukasku, menyitir omongan-omongan miring yang sering
kudengar.
“Ke
sinilah sebentar, Ibu ingin menunjukkan sesuatu kepadamu,” perempuan itu menyuruhku
mendekat. Tapi bukan perdebatan yang saat ini kubutuhkan.
Meletakkan
penyiram bunga. “Ke sinilah. Ibu ingin kamu memerhatikan bunga ini dari dekat,”
mengulang permintaannya. Mengambil sebuah bunga dalam pot.
Dengan
malas akupun akhirnya mendekat.
“Kau
tahu bunga ini hidup kan?”
Diam
saja aku mencerna maksud Ibu.
“Kau
tahu bunga ini kelak pasti akan mati kan?”
Aku
menoleh ke arah perempuan itu ketika telah mengetahui arah pembicaraannya.
Namun tetap saja beliau melanjutkan kata-katanya.
“Apa
kau bisa mencegah kematian bunga ini agar dia bisa hidup selamanya?”
“Bukankah
setidaknya aku bisa menunda kematiannya dengan terus merawatnya dengan baik?
Apakah itu berarti Ibu menganggap bahwa apa yang kulakukan hanya sia-sia?”
“Tidak
ada yang sia-sia kecuali sebuah keburukan, Nak. Kau hanya butuh belajar untuk
tahu diri.”
* * *
Entah
tahu diri bagaimana yang dimaksudkan Ibu. Apakah aku harus duduk manis saja
melihat semuanya? Anggap aku tak melihat dan biarkan semua terjadi sebagaimana
mestinya, termasuk satu yang sering datang menempel di kepala Ibu itu?
Tidak!
Aku percaya bahwa hanya dengan kepakan sayap, seekor kupu-kupu di hutan Amazon
dapat menyumbang sebuah tornado beberapa bulan kemudian di Texas. Aku percaya bahwa apa yang kuperbuat
mampu memengaruhi atau bahkan mencegah segala yang bakal terjadi!
“Kamu
sedang apa, Di?”
“Aku
yakin dia ada di sini, Bu. Lihat, makhluk itu menempel di kepala Ibu lagi,”
kudekati perempuan yang masih terbaring itu. Kupungut makhluk yang menempel di
kepalanya, dan lalu kubuang keluar jendela. Cahaya pagi membuat makhluk itu
menggeliat-geliat dan lalu tak bergerak lagi. Mati.
Lalu
kuperiksa kolong ranjang, dalam lemari, juga luar jendela sekali lagi…
“Sudahlah,
Nak. Cepatlah mandi. Jangan sampai terlambat sekolah,” kulihat Ibu telah
bangkit. Wajahnya telah sedikit berbinar dibanding sebelumnya. Sejak makhluk
itu sering datang, Ibu sering sakit-sakitan akhir-akhir ini.
* * *
Namaku
Ardi Kembara. Umurku masih sepuluh. Apakah kalian akan percaya jika aku cerita
bahwa aku bisa melihat sesuatu yang tak bisa kalian lihat?
“Di
mana kamu bersembunyi?! Di mana kamu bersembunyi?!” teriakku mencari-cari. Di
kamar mandi, di WC, di semua kamar tidur, di kamar Pak Mudi, di kamar Mbak
Minah, di lantai atas,…
Aku
yakin kalian tak akan memercayaiku. Sama
seperti Pak Mudi yang kini panik dan berusaha menenangkanku, “Sudahlah, Mas…
Mas mencari siapa? Tenangkanlah diri Mas Ardi. Almarhum Ibu pasti tak suka jika
melihat Mas seperti ini…”
Jam
sembilan pagi saat itu. Kurasa angin telah membisikiku sebuah perasaan sedih
sebelumnya. Dan kedatangan kepala sekolahku membenarkannya. Beliau mengabariku
bahwa Ibu telah pergi untuk selama-lamanya.
“Biarkan
aku mencarinya! Aku mau bertanya mengapa! Dia pasti masih berada di sekitar
sini, Pak!” tak kupedulikan tatapan aneh orang-orang yang sibuk mengurus
jenazah ibuku. Aku tahu, mereka pasti tak akan percaya andai aku cerita. Mereka
pasti akan menuduhku kerasukan jin atau setan!
Andai
menjadi diriku, apa yang akan kalian lakukan? Tolong beri aku jawaban. Aku
benar-benar sendirian sekarang!*****
Kalinyamatan
–Jepara, 2012.
(Jurnal Nasional, 26 Agustus
2012)
Gambar diambil dari cisdel.com
Gambar diambil dari cisdel.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar