Senin, 11 Agustus 2014

Melihat



Melihat

 1175691273901754 Gambar Mata yang Sangat Cantik dan Menawan
Adi Zamzam

Aku melihatnya sebulanan silam, ketika Ibu mengantarkan ke klinik Dokter Tio untuk check-up rutin paru-paru basah yang kuderita. Ia berdiri di ambang pintu seraya tersenyum manis ke arahku. Kupikir karena tingkah lakunya yang amat mencurigakan, maka aku pun terus memerhatikannya sama seperti dirinya yang terus memerhatikan orang-orang yang masuk ke klinik.
Kecurigaanku semakin bertambah tatkala aku melihat sesuatu dalam genggamannya. Ibu tak memedulikan tarikan tanganku saat kutunjukkan bahwa orang yang berkelakuan mencurigakan itu menempelkan benda(hidup?) di tangannya ke punggung, lengan, kepala, juga dada, beberapa orang yang lewat di depannya.
Seorang perempuan bertubuh tambun yang kemudian duduk mengantre di sampingku juga telah tertempeli benda itu di bagian dadanya. Dan kurasa, perempuan itu tak menyadarinya.
“Ibu sakit?”
Perempuan tambun itu mengangguk seraya tersenyum.
“Sakit apa?”
Ia menunjuk dada. Benda hitam yang menempel di sana terlihat menggeliat terkena sentuhan tangannya.
“Sakit dada?”
“Jantung,” bisiknya ke telingaku. Dan lalu tersenyum ketika Ibu tersenyum ke arahnya.
Aku rasa benda itu adalah makhluk hidup. Dan aku rasa benda itu menyedot sesuatu—entah apa—dari orang yang ditempelinya. Setelah aku kembali dari mencari orang aneh di ambang pintu yang tiba-tiba menghilang, makhluk itu telah membesar di dada perempuan tambun tadi. Dan Ibu masih saja mengacuhkan ucapanku tentang lelaki aneh itu.
Karena rasa penasaran yang tak tertahan, aku pun mendekati beberapa orang yang juga telah tertempeli makhluk yang aku rasa bentuknya mirip lintah itu.
“Apakah kepalamu sakit?”
“Apakah lenganmu sakit?”
“Apakah perutmu sakit?”
“Apakah dadamu sakit?”
Hampir semua orang yang kutanyai menganggukkan kepala meski ada beberapa yang kemudian terus memandangku dengan tatapan aneh.
Aku rasa aku harus meminta penjelasan dari lelaki aneh tadi. Namun setelah ke sana-ke mari mencari dan akhirnya gagal lagi menemukannya, kepalaku benar-benar dipenuhi pertanyaan yang membuatku gelisah. Ibu menyuruhku tenang, tapi aku tak bisa. Celakanya setelah kami mau pulang, aku juga melihat makhluk itu telah menempel di kepala Ibu!
*          *          *

Apakah makhluk itu memengaruhi pikiran seseorang?
Aku tengah berpikir-pikir tentang itu sekarang. Aku pernah melihat seseorang yang terus saja berbicara tentang kematiannya ketika makhluk itu telah sebesar lengan bayi di dadanya. Padahal biasanya ia tak begitu peduli dengan hal itu. Ia seorang perokok berat. Aku juga pernah melihat seseorang yang kemarinnya begitu riang membicarakan masa depannya, namun di hari berikutnya kulihat ia telah kehilangan gairah hidupnya setelah makhluk itu menempel di tengkuknya. Orang ini punya masalah dengan utang-utangnya. Dan kedua-duanya meninggal dunia beberapa hari kemudian. Orang kedua mati bunuh diri.
Sepertinya makhluk itu punya hubungan dengan segala penyakit dan kematian.
Aku semakin yakin dengan hal ini ketika suatu saat aku pernah iseng mengambil makhluk itu dari dada Arini, teman sekelasku yang menderita asma. Lantas ia mengaku bahwa nafasnya mulai terasa ringan kemudian. Namun tidak semua orang lantas percaya dengan ceritaku. Aku bahkan mendapatkan cap sebagai si aneh dari orang-orang yang kukira tak menyukaiku.
Tapi lupakan dulu tentang orang-orang itu.
Semakin berjalan hari, semakin banyak pertanyaan yang berdatangan ke kepalaku. Kenapa hanya aku yang bisa melihat semua itu? Apakah ada maksud tertentu hingga hanya aku yang diperbolehkan melihatnya? Jika benar demikian, kenapa aku tak diizinkan merubah apa yang aku lihat pada ibuku sendiri?
Makhluk itu masih saja kembali ke kepala Ibu meski telah berulang aku membuangnya!
Aku pikir yang dapat menjawab semua pertanyaanku hanyalah lelaki misterius yang tempo hari aku lihat di klinik Dokter Tio. Dan aku pikir, lelaki itu pasti suka berkeliaran ke mana-mana karena ke manapun aku melangkah, pasti dapat dengan mudah kutemukan orang yang tertempeli makhluk menjijikkan itu.
“Antar aku ke rumah sakit,” perintahku ke Pak Mudi—sopir pribadi Ibu—di suatu sore.
“Mas mau apa ke rumah sakit?” tanya lelaki yang telah berumur itu.
“Sudah, pokoknya Pak Mudi antar saja aku ke rumah sakit.”
“Rumah sakit yang mana, Mas?”
“Terserah Pak Mudi, mau antar ke rumah sakit yang mana.”
Pak Mudi ada benarnya juga, bahwa aku seharusnya memiliki tujuan yang jelas. Tapi bagaimana aku bisa memiliki tujuan yang jelas jika perkara inipun masih menjadi misteri buatku?
Aku seperti tengah berburu singa di belantara kota. Meski perkiraanku benar—bahwa rumah sakit, Puskesmas, juga klinik dokter, adalah tempat terbanyak makhluk itu kutemukan, namun tak juga kutemukan lelaki misterius itu.
“Lupakan saja semuanya, Nak.”
“Jadi Ibu juga sama seperti orang-orang bodoh yang menganggapku sebagai tukang khayal itu?”
“Bukan begitu. Ibu hanya tak ingin kau terobsesi dengan semua itu sehingga mengabaikan sekolahmu, masa depanmu sendiri. Kau masih sepuluh tahun. Jalan di depanmu masih amat panjang. Ibu tak ingin melihat kau kacau di tengah jalan hanya gara-gara…”
“Gara-gara aku ketempelan jin?!” tukasku, menyitir omongan-omongan miring yang sering kudengar.
“Ke sinilah sebentar, Ibu ingin menunjukkan sesuatu kepadamu,” perempuan itu menyuruhku mendekat. Tapi bukan perdebatan yang saat ini kubutuhkan.
Meletakkan penyiram bunga. “Ke sinilah. Ibu ingin kamu memerhatikan bunga ini dari dekat,” mengulang permintaannya. Mengambil sebuah bunga dalam pot.
Dengan malas akupun akhirnya mendekat.
“Kau tahu bunga ini hidup kan?”
Diam saja aku mencerna maksud Ibu.
“Kau tahu bunga ini kelak pasti akan mati kan?”
Aku menoleh ke arah perempuan itu ketika telah mengetahui arah pembicaraannya. Namun tetap saja beliau melanjutkan kata-katanya.
“Apa kau bisa mencegah kematian bunga ini agar dia bisa hidup selamanya?”
“Bukankah setidaknya aku bisa menunda kematiannya dengan terus merawatnya dengan baik? Apakah itu berarti Ibu menganggap bahwa apa yang kulakukan hanya sia-sia?”
“Tidak ada yang sia-sia kecuali sebuah keburukan, Nak. Kau hanya butuh belajar untuk tahu diri.”
*          *          *

Entah tahu diri bagaimana yang dimaksudkan Ibu. Apakah aku harus duduk manis saja melihat semuanya? Anggap aku tak melihat dan biarkan semua terjadi sebagaimana mestinya, termasuk satu yang sering datang menempel di kepala Ibu itu?
Tidak! Aku percaya bahwa hanya dengan kepakan sayap, seekor kupu-kupu di hutan Amazon dapat menyumbang sebuah tornado beberapa bulan kemudian di Texas. Aku percaya bahwa apa yang kuperbuat mampu memengaruhi atau bahkan mencegah segala yang bakal terjadi!
“Kamu sedang apa, Di?”
“Aku yakin dia ada di sini, Bu. Lihat, makhluk itu menempel di kepala Ibu lagi,” kudekati perempuan yang masih terbaring itu. Kupungut makhluk yang menempel di kepalanya, dan lalu kubuang keluar jendela. Cahaya pagi membuat makhluk itu menggeliat-geliat dan lalu tak bergerak lagi. Mati.
Lalu kuperiksa kolong ranjang, dalam lemari, juga luar jendela sekali lagi…
“Sudahlah, Nak. Cepatlah mandi. Jangan sampai terlambat sekolah,” kulihat Ibu telah bangkit. Wajahnya telah sedikit berbinar dibanding sebelumnya. Sejak makhluk itu sering datang, Ibu sering sakit-sakitan akhir-akhir ini.
*          *          *

Namaku Ardi Kembara. Umurku masih sepuluh. Apakah kalian akan percaya jika aku cerita bahwa aku bisa melihat sesuatu yang tak bisa kalian lihat?
“Di mana kamu bersembunyi?! Di mana kamu bersembunyi?!” teriakku mencari-cari. Di kamar mandi, di WC, di semua kamar tidur, di kamar Pak Mudi, di kamar Mbak Minah, di lantai atas,…
Aku yakin kalian tak  akan memercayaiku. Sama seperti Pak Mudi yang kini panik dan berusaha menenangkanku, “Sudahlah, Mas… Mas mencari siapa? Tenangkanlah diri Mas Ardi. Almarhum Ibu pasti tak suka jika melihat Mas seperti ini…”
Jam sembilan pagi saat itu. Kurasa angin telah membisikiku sebuah perasaan sedih sebelumnya. Dan kedatangan kepala sekolahku membenarkannya. Beliau mengabariku bahwa Ibu telah pergi untuk selama-lamanya.
“Biarkan aku mencarinya! Aku mau bertanya mengapa! Dia pasti masih berada di sekitar sini, Pak!” tak kupedulikan tatapan aneh orang-orang yang sibuk mengurus jenazah ibuku. Aku tahu, mereka pasti tak akan percaya andai aku cerita. Mereka pasti akan menuduhku kerasukan jin atau setan!
Andai menjadi diriku, apa yang akan kalian lakukan? Tolong beri aku jawaban. Aku benar-benar sendirian sekarang!*****

Kalinyamatan –Jepara, 2012.


(Jurnal Nasional, 26 Agustus 2012)
Gambar diambil dari cisdel.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar