Kamis, 07 Agustus 2014

Panduan Tes Buta Warna



Panduan Tes Buta warna




Judul Buku  :  Tes Buta Warna untuk Segala Tujuan
Penulis         :  Dwi Sunar Prasetyono
Penerbit        :  Penerbit Saufa
Cetakan         :  Pertama, Oktober  2013
Tebal             :  68 halaman
Harga            :  30.000
ISBN            :  978-602-279-073-0

Buta warna adalah ketidakmampuan atau penurunan kemampuan untuk melihat warna atau perbedaan warna dalam kondisi pencahayaan normal. Bukan kebutaan dalam arti sebenarnya, sebab yang ada hanyalah kekurangan penglihatan warna. Kelainan ini termasuk dalam kategori sex linked, karena merupakan kelainan genetika yang diturunkan orangtua kepada anaknya (halaman 7), di samping penyebab-penyebab lain seperti kerusakan otak atau retina akibat sindrom bayi terguncang atau kecelakaan, paparan sinar ultraviolet, atau degenerasi makula (halaman 29).
Selanjutnya, buku ini kemudian memaparkan perihal latar belakang dan klasifikasi buta warna. Retina manusia berisi dua sel cahaya: sel batang (aktif dalam cahaya rendah) dan sel kerucut (aktif dalam pencahayaan normal). Masing-masing berisi pigmen berbeda yang diaktifkan bila pigmen menyerap cahaya. Spektrum cahaya akan terserap ke dalam tiga sistem yang saling tumpang tindih dan berkombinasi. Reseptor gelombang pendek, menengah, dan panjang itu sering disebut kerucut S, M, dan L. Namun lebih dikenal sebagai kerucut biru/blue, kerucut hijau/green, dan kerucut merah/red (halaman 9). Dalam buta warna, bukan hanya spektrum cahaya yang terlibat, banyaknya gen yang terlibat dalam penglihatan juga amat berpengaruh. Karena laki-laki hanya memiliki satu kromosom X sementara perempuan memiliki dua, kaum lelaki pun menjadi penderita umum kelainan ini (halaman 11).
Buta warna sendiri memiliki tiga klasifikasi. Pertama, buta warna jenis trikomasi yang mencakup kelemahan terhadap warna merah (protanomali), kelemahan terhadap warna hijau (deuteromali), dan kelemahan terhadap warna biru (tirtanomali) yang merupakan jenis langka. Kedua, buta warna jenis dikromasi yang merupakan kelainan cukup parah. Yakni mencakup protanopia; ketiadaan sel kerucut merah sehingga kecerahan warna merah dan perpaduannya berkurang, deuteranopia; ketiadaan sel kerucut hijau sehingga kecerahan terhadap warna hijau dan perpaduannya berkurang, serta tritanopia; kelainan langka di mana penderita tak memiliki fotoreseptor warna biru. Ketiga, buta warna jenis monokromasi atau buta warna total. Penyandang kelainan ini memandang segala sesuatu seolah seperti televisi hitam putih, karena ia tak memiliki satupun fotoreseptor. Kelainan jenis ini meliputi akromatopsia (monokromasi batang), di mana retina tak mengandung sel kerucut sehingga penderita akan sulit membedakan warna dalam penerangan normal. Juga monokromasi kerucut, di mana mata memiliki dua sel batang dan kerucut, tapi hanya satu jenis kerucut yang berfungsi (halaman 12-16).
Kelainan ini tentu saja membawa implikasi tak sepele bagi para penderitanya. Beberapa perusahaan di mana persepsi warna amat penting, kemudian bahkan mengecualikan para penderita kelainan ini untuk bisa bekerja di sana. Misalnya saja pada perusahaan cat, pengemudi kendaraan bermotor (misalnya di negara Rumania), atau pengemudi pesawat terbang (misalnya di negara Amerika). Pembatasan itu bermula dari kecelakaan parah sebuah kereta Lagerlunda di Swedia (1875), yang setelah diselidiki oleh Profesor Alarik Frithiof Holmgren ternyata teknisi dari kereta tersebut menderita kelainan buta warna. Kasus ini menjadi simpang siur tatkala ada klaim yang menolak tuduhan itu, dikarenakan tidak adanya bukti kuat bahwa buta warnalah penyebabnya (halaman 18).
Buku ini amat menyenangkan. Di bagian akhir, penulis sengaja menyertakan 24 plat tes Ishihara full color dengan tatacara penggunaan dan penjelasan tiap platnya, yang sepertinya bertujuan untuk memberikan ancang-ancang bagi para terduga buta warna agar bisa lulus tes calon mahasiswa/karyawan. Tes warna Ishihara adalah tes yang paling sering digunakan untuk mendiagnosis kekurangan warna merah-hijau, terdiri dari 24 atau 38 set warna yang secara ekstensif menyaring buta warna, berbentuk lingkaran-lingkaran dengan titik-titik bernuansa hijau-merah yang berbeda. Di dalam sebaran titik-titik warna itu, terdapat pola-pola tertentu(angka/huruf Arab/jalur) yang harus diperhatikan (halaman 30) . Meski tes ini mungkin tidak berguna dalam mendiagnosis anak-anak yang belum bisa mengeja angka atau huruf, tapi tentu saja buku ini sudah amat membantu sekali. Toh angka atau huruf bisa diganti dengan simbol-simbol seperti kotak, lingkaran, mobil, dll.***

(Nur Hadi, Jateng Pos, 8 Desember 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar