Kamis, 30 Oktober 2014

tentang Buah



tentang  Buah



Seorang ayah menasihati anaknya perihal buah yang ingin dipilih;

Seperti itulah buah. Kulitnya adalah untuk kau kupas. Dagingnya adalah untuk kau merasai manisnya. Sedangkan isinya adalah untuk kau tanam, agar ia dapat tumbuh lagi; di dalam hatimu.

Kamis, 23 Oktober 2014

Serial Joko Thole (6); Ternyata Cari Duit Itu Mudah



Ternyata Cari Duit Itu Mudah
(6)


“Weisss… cincin Kang Thole kereen!” mata Slamet berbinar-binar saat melihat cincin monel di jari manis Joko Thole.
“Barang mahal ini, jangan disentuh!”
“Alaah…paling juga dikasih orang. Kayak enggak tahu kondisi perekonomian negara Joko Thole saja.”
“Ya memang dikasih orang, Met, masak dikasih kuntilanak? Aku masih normal, Met. Tahu mana yang cewek salihah, mana yang cewek…”
“Harganya berapa, Kang?” potong Slamet.
“Enggak dijual.”
“Alaah… nanti Kang Thole kan bisa beli lagi. Atau begini saja, Kang Thole bersedia antar ke penjualnya langsung?”
“Ini kudapat dari orang Semarang lho, Met. Transportnya saja kamu tahu berapa kan?”
Slamet manyun.
Sementara itu ingatan Joko Thole tengah memutar ulang kejadian kemarin pagi, saat Joko Lelur pamit pulang.
“Ini kenang-kenangan dariku, Kang. Terima kasih karena Kang Thole telah menyebabkan saya sadar dan betul-betul ingin memperbaiki diri,” sambil berlutut.
Joko Thole terlonjak mengira dapat lamaran, “Eh, enggak, enggak, jangan!”
“Saya betul-betul ingin memperbaiki diri di rumah saya, di kampung kelahiran saya, Kang,” mimiknya sangat memelas.

Rabu, 22 Oktober 2014

Serial Joko Thole (5); Bagai Pinang Dibelah Dua



Bagai Pinang Dibelah Dua

(5)

Tok…Tok…Tok…
Joko Thole hanya mengolet.
Tok…Tok…Tok…
Joko Thole menyebak telinganya.
Tok…Tok…Tok…
“Buaj…jing!! Buaj…jing!!” genting rumah sampai tergetar lantaran bersin yang mahadahsyat itu.
Ada yang geleng kepala. Yang lalu mengembuskan napas halusnya ke telinga si Joko Thole lagi, “Maling…maling…maling…”
“Hmm…jengkol…nyam…nyam…,” malah justru keasyikan.
“Maling! Maling! Maling!”
“Hah, maling ?! Maling! Maling!” langsung terbangun. Panik. Menabrak tiang listrik di depan tempat tidurnya. Tapi begitu menyadari bahwa tiang listrik itu menyeringai ke arahnya sambil memamerkan sehelai bulu ayam, Joko Thole tambah panik.
“Setaaann!!” langsung melesat ke pintu.
“Kang Thole, ini aku, Lelur.”
“Hah, Lelur? Joko Lelur?” buru-buru mengopesi belek di kedua mata. Dunia pun terlihat terang-benderang.
“Oalah Lur, Lur. Cewek salihah itu pasti sekarang sudah minggat dari mimpiku,” dengan wajah lecek dan rambut masai, tanpa malu kembali ke peraduannya.
“Namanya siapa, Kang?” kedua matanya berbinar terang. Maklum, cowok yang satu ini juga menyimpan impian tersendiri tentang cewek salihah.
“Puspa Endah Di Taman Asri Buat Eyesmu Berseriseri.”
“Namanya wow sekali. Pasti orangnya juga wow. Kenalkan dong, Kang.”
“Tunggu sebentar ya.” Merilekskan tubuhnya di pembaringan. Memejamkan mata pelan-pelan. Lalu bibirnya pun mulai mendesiskan nama itu pelan-pelan, “Pus…pus…pus…”
Mimpi jilid kedua dimulai.
*          *          *

Minggu, 19 Oktober 2014

Sungkalabasa



Sungkalabasa



Pernahkah kalian mendengar cerita tentang seorang lelaki yang akhirnya terkena tulah ucapannya sendiri? Mungkin cerita semacam ini sudah pernah mampir ke telinga kalian. Mungkin, kalian bahkan pernah melihat orang yang terkena tulah semacam itu. Namun, luangkanlah waktu sejenak untuk mendengarkan kisahku ini. Kisah dari negeri antah berantah. Juga kisah tentang seseorang yang terkena tulah lidahnya sendiri.
Kisah ini dimulai dari seorang lelaki yang telah dikuasai sedih dan amarah yang amat sangat. Terlebih ketika melihat tangannya yang telah berlumuran darah Begawan Sekutrem—yang ia anggap sumber dari segala malapetaka ini.
“Kaulah yang mencari mautmu sendiri, hai Bambang Sekutrem! Jangan salahkan diriku!” laksana guntur suaranya, menggelegar di sepanjang jalan pulang yang dilaluinya. Membuat orang-orang langsung sembunyi ke dalam rumah begitu mendengarnya.
“Kau pikir dirimu itu ksatria, ha?! Bukankah sudah kubilang, kesaktian yang kuminta itu demi untuk menjaga negaraku?!” teriaknya lagi, membantah ujaran-ujaran Begawan Sekutrem yang tak mau pergi dari telinganya.
“Aku tak punya watak penyabar?! Kaulah yang telah menyebabkan kematianmu sendiri! Kau juga yang telah menyebabkan aku jadi seperti ini! Masih juga kau persalahkan diriku?!”
Amarah lelaki itu semakin menjadi-jadi ketika tanpa sengaja terlihat bayang wajahnya di bening air. Setiap ia jumpa sungai, kemarahannya meledak-ledak. Dihantamnya jernih air itu hingga tak berani lagi menampakkan tampan wajah yang kini hilang berganti rupa mengerikan.

Minggu, 12 Oktober 2014

Dia Ingin Pergi ke Negeri Dongeng



Dia Ingin Pergi ke Negeri Dongeng




Remang-remang. Fajar belum sepenuhnya membawa cahaya. Namun rasa penasaran benar-benar telah merasukinya. Toto berusaha menghindari suara. Bahkan saat coba memperbesar lubang di dinding gedheg itu dengan sebatang ranting.
Ia berharap menemukan sesuatu yang lain. Semacam kebiasaan aneh yang belum diketahui oleh siapapun. Tapi yang didapatinya masih saja seperti kemarin. Sosok itu masih tergeletak pulas di atas pembaringannya. Hanya seperti itu. Selama bermenit-menit kemudian. Seperti beberapa hari kemarin.
Ia pernah mencoba cara itu. Berlama-lama tidur. Mungkin itu adalah cara mendapatkan lebih banyak mimpi—yang kemudian menjadi dongeng. Tapi ia tidak bisa. Tidur lama—yang jadi terlihat seperti pemalas—adalah kemustahilan baginya. Itulah mengapa ia amat berharap akan menemukan rahasia lain dari lelaki yang tengah diintipnya sekarang. Meski toh akhirnya ia kecewa lagi hari ini.
*             *          *

Jumat, 10 Oktober 2014

Manunggaling Kawulo Gusti



Manunggaling Kawulo Gusti: Sebuah Tinjauan Sekilas






Bahwa tujan akhir sufisme sebenarnya bukanlah tentang keakuan dan Yang Ilahi, meskipun jalan yang dilalui adalah usaha-usaha untuk mencapai kesatuan hamba dengan Tuhan. Senada dengan apa yang dimaksudkan oleh  GBPH H. Joyokusumo (adik kandung Sri Sultan Hemengkubuwono X) tentang makna manunggaling kawulo gusti, yang adalah pendekatan dan rasa ketuhanan yang ada dalam diri seseorang, bukannya bersatunya hamba dengan Tuhan secara harfiah.
Rasa adalah tolok-ukur pragmatis terhadap arti segala usaha mistik orang Jawa. Rasa membawa maksudnya dalam dirinya sendiri, rasa adalah keadaan yang puas tenang, ketentraman batin, ketiadaan ketegangan, sehingga memunculkan kebahagiaan baik bagi sang pelaku, lebih-lebih bagi semesta. Filsafat Yunani mengenal ini sebagai eudaimonia (Franz Magnis Suseno, 1984:133).  Rasa seolah menjadi pokok dari segala laku, menjadi ruh yang tak terpisahkan dari setiap tindakan.

Rabu, 08 Oktober 2014

Simbolisme dalam Ritual Jawa



Simbol dalam Ritual Jawa



Orang (khususnya) Jawa memang senang mengungkap sesuatu dengan perlambang, dengan simbol-simbol. Bahkan hampir semua suku di dunia dalam berbagai situs yang ditemukan, selalu menyatakan sesuatu dengan perlambang dan simbol-simbol. Termasuk dalam upacara tradisi yang masih mereka jalankan. Bisa dipastikan mereka menggunakan tata aturan (ubo rampe) tersendiri yang sebenarnya mencerminkan hubungan mereka dengan diri sendiri, Sang Pencipta Semesta, juga alam sekitarnya.
Masyarakat Jawa misalnya. Dari sejak lahir hingga mati, kesemuanya memiliki tata aturan sedemikian rupa, seolah setiap fase dalam kehidupan adalah sesuatu yang istimewa yang harus diatur sebaik-baiknya. Meski ujung dari segala fase itu adalah ketragisan, yakni menjemput maut. Dari tata laku hingga tata pikir juga diberi ancer-ancer (batasan-batasan) agar tidak kesasar dan menjadi ‘manusia hilang’.

Kegunaan Bahasa Nonverbal dalam Rumah Tangga



Pentingnya Pemahaman Bahasa Nonverbal dalam Rumah Tangga



Judul Buku  :  Pintar Membaca Bahasa Wajah & Tubuh Istri
Penulis        :  Yanuar A.
Penerbit       :  Penerbit DIVA Press
Cetakan       :  Pertama, September  2014
Tebal           :  240 halaman
Harga          :  38.000
ISBN           :  978-602-255-669-5