Senin, 04 Agustus 2014

Joko Thole; Mimpi Buruk yang Bercahaya



MIMPI BURUK YANG BERCAHAYA
 (4)

Angin sepoi di ladang rumput membuat mulut Joko Thole menganga lebar, menunggu mangsa. Dalam posisi telentang menghadap langit, Thole merasakan bahwa ia hanyalah sebutir debu di bawah dekapan Sang Maha Besar. Thole memejamkan mata. Ada Emak dalam kepalanya.
        Emak berujar, “Kau tahu menapa Gusti Allah Maha Pengampun segala dosa kecuali syirik, Le?”
       Thole mengeleng.
       “Coba kamu lihat langit luas itu. Dia Besar, Dia Kaya, Dia Tidak Butuh Kita, tapi kitalah yang butuh Dia. Jadi jangan sekali-kali kau menjauh dari-Nya. Rugi, Le, rugi besar!” Emak menjawab sendiri pertanyaannya.
       Thole tersenyum. Dia pasti bukan Emak. Orang ini pasti Haji Budiman. Haji Budiman meminjam tubuh Emak agar bisa berkhotbah dalam kepala Thole. Dasar Pak Haji, ke mana-mana mulutnya selalu saja bikin merinding orang. Tak peduli orang yang dikhotbahinya bosan atau malah terkadang muak.
       “Kamu memang tak pernah mau mendengarkan perkataan Emak,” ujar Mak Fatmah yang entah bagaimana bisa tahu isi batin Thole.
       “Kamu bukan Emak. Kamu Haji Budiman kan?” Thole meringis.
       “Entah emakmu ini kau anggap apa, Le…”
       Emak…
       …@*…*@@@* !! rrr…zzz…
       …*@@!! Rrr… zzz…
       Emak…
       *    *    *
       Kokok ayam jago seketika menarik ruh Joko Thole dari alam mimpi. Ia tak paham mengapa tiba-tiba ia harus segera gegas untuk cuci muka. Sementara mulutnya terus saja ngedumel, “Ya Allah… kesiangan …kesiangan…moga-moga saja mereka tidak ambil ke orang lain …”
       Kepanikan itu berlanjut ketika tangan Joko Thole menyambar dunak[1]  milik Emak. Anggota tubuhnya bergerak di luar kendali. Ia tak bisa menghentikan kakinya yang tergesa menyusuri jalan setapak yang masih berselimut gelap. Thole semakin kebingungan ketika ia telah sampai ke perkarangan rumah Haji Salim
       “Kesiangan aku, Dah. Cepat isi dunakku,” Joko Thole tak peduli dengan kerumunan orang yang mengantre. Ia langsung ngeloyor ke pintu.
       “Eeeh, Mak. Sampeyan[2] itu bagaimana to? Ekor kok mendahului kepala. Sana, ngantre!” seorang karung gula (baca : gemuk) bertopi menepuk pundak Joko Thole.
       “Aduh, Min, aku kesiangan. Kasihani Emak ya!” sahut Thole, yang masih tak mengerti mengapa ia menyahut ujaran itu.
       Joko Thole menepuk mulutnya sendiri. Ia ingin bilang ke orang-orang itu bahwa dirinya adalah Joko Thole. Tetapi sesuatu yang aneh ini terus berlanjut.
Tersungsal-sungal Thole menggendong dunak itu. Jangan sampai para pelanggannya ngambek, marah-marah, lalu pindah ambil tempe ke orang lain.
       Kruyuk…kruyuk…Terdengar suara memelas dari dalam perutnya. Aih, selalu seperti ini jika terburu-buru. Ternak dalam perutnya lupa ia kasih makan.
       “Baa!!”
       Thole terlonjak. Sebangsa makhluk dari kegelapan tiba-tiba menyembul dari rimbun kegelapan. Ia langsung terbirit-birit menjauhi suara tawa itu. Hampir saja ia tersungkur menahan beban dipunggung. Dasar orang gila tak tahu diuntung! Thole sampai satu-satu mengais napas.
       “Tempee… tempe… tempe, Mak?” Thole menawarkan ke sesorang perempuan paruh baya yang tengah menyapu halaman rumahnya.
       “Tempe terus. Bisa budek nih telinga! Besok-besok saja. Aku lagi eneg kalau lihat tempe!” suara cempreng itu merobek hati Thole.
       “Mak… Mak. Kalau nggak ambil nih tempe ya sudah. Nggak usah pakai bumbu hinaan segala. Suaramu tambah nggak enak didengar tahu?!”
       “Situ sih, nawari tempe kok tiap hari!”
       Joko Thole langsung ngeloyor. Malas berpanjang-panjang debat dengan orang kolot. Sampai mulut memble juga tak ada guna.
       “Pak Guru, tempe ya, Pak?” Thole menyapa seorang lelaki yang tampak santai baca koran di serambi rumahnya.
       “Bangsa ini memang bangsa tempe. Lihat Mak, ada dua kasus korupsi lagi yang ketahuan hari ini,” memperlihatkan sebuah koran nasional.
       “Itu karena mereka tak pernah makan tempe, Pak. Coba kalau mereka langganan tempe sama saya.”
       “Ah, Mak Patmah ini bisa saja.”
       “Lho, benar, Pak! Mereka korupsi karena mereka kurang syukur. Coba kalau mereka setiap hari melihat keadaan saya, kehidupan saya. Mereka pasti akan lebih banyak syukurnya.”
       “Belum tentu, Mak. Siapa sih yang tahan dengan duit?”
       “Ambil tempe nggak, Pak?”
       Tersenyum manis, “Waduh, maaf ya, Mak. Hari ini saya libur dulu. Tadi saya sudah ambil ikan pecel dari Mbak Indun.”
       Seakan kejatuhan durian, kepala Thole terasa nyut-nyut. Ia menarik banyak napas panjang di langkah selanjutnya. Memang sering kejadian yang seperti tadi. Bermenit-menit berjuang merayu pembeli, tapi akhirnya waktu terbuang sia-sia ketika mereka tak beli tempe.
       Joko Thole mempercepat langkah ketika sampai di dekat rumah yang ia benci tapi sekaligus ia cintai. Napasnya sampai ngos-ngosan ketika langkahnya setengah berlari. Ia berharap hari ini akan selamat, akan selamat, akan selamat dari…
       “Mak, tempenya, Mak!” sebuah teriakan mematikan langkah Joko Thole. Ia menarik napas panjang, memenangkan diri, sebelam menoleh ke sumber suara.
       “Kenapa Mak Patmah lurus terus sih? Harusnya kan Mak Patmah ketuk pintu rumah saya dulu. Untung saja tadi aku bisa bangun pagi. Kalau tidak, apa Mak tak rugi kehilangan pelanggan setia?”
“Yaah Emak pikir kamu memang masih mendengkur, Pah. Emak kan paling anti membangunkan orang yang sedang mendengkur di ketiak suaminya.”
       “Seperti biasa, Mak, ambil empat.”
       Mak Patmah melongo ketika perempuan gemuk itu lenggang kangkung setelah mendapatkan apa yang ia mau.
       “Lho, kenapa Mak Patmah masih melongo di situ?!” untunglah akhirnya makhluk gemuk itu menyadari bahwa masih ada sepasang mata bola yang mengikuti langkahnya. “kan tadi aku sudah bilang, seperti biasa , Mak.”
       “Sudah empat hari lho, Pah.”
       “Iya  iya, sudah empat hari, aku ingat, Mak.”
       Ia benci karena pelangggan yang satu ini sering menyebabkannya puasa. Ia cinta karena tipe yang satu ini tipe pacar setia. Ada satu hal lagi yang harus dimaklumi . Pelanggan yang satu ini menghidupi tujuh perut. Kadang Thole bersyukur bisa membantu perjuangkan hidup pelanggan yang satu ini; Saropah si pembuat kerupuk.
       “Tempenya Mak Pat kecut! Pagi digoreng, siang kok sudah asam. Harganya diturunin seratus perak ya, Mak?”
       “Ya Allah, Bu. Laba seratus perak, Ibu malah minta turun harga seratus perak. Apa Ibu nggak kasihan kalau Emak cuma dapat laba lelah?”
       “Tempenya ini kecut lho, Mak.”
       “Iya, nanti Emak akan bilang ke pembuatnya. Emak kan cuma ambil dari orang lain, Bu.”
       Inilah susahnya jadi pedagang kecil. Laba kecil masih digencet juga. Tak seperti toko-toko swalayan yang untungnya besar dan tak ada yang berani menawar. Seharusnya ibu-ibu itu bisa memikirkan hal ini. Apa ada sih pengecer tempe yang berani ambil laba sampai lima ratus perak? Ah, dasar si ibu itu saja yang pelit. Semua barang ditawar tanpa peduli kepada penjualnya.
       Menjelang tengah hari, tugas Joko Thole akhirnya tunai Alangkah lega dan plong dadanya meski kaki serasa kaki robot, linu-linu dan kaku. Kebahagiaan selanjutnya yang ingin segera ia lihat adalah rumah tercinta. Meski mirip kandang kambing, tapi tempat itu telah menaungi hidupnya hampir dua puluh lima tahun!
       Alangkah dongkolnya hati Joko Thole ketika melihat sesosok makhluk yang masih meringkuk di atas bale kamarnya. Ada yang siap meledak dalam dada Thole. Wajahnya memerah lahar. Tangannya teraliri listrik yang siap menyengat.
“Ya Allah, Le! Matahari sudah pegal-pegal jalan-jalan ke sana ke mari, eh kamu kok masih anteng melipat kaki di kamar! Banguuun!”
       “Gempaa…! Gempa, Mak! Ayo cepat selamatkan diri!” kedua mata yang masih berlumur belelek itu mulai terbuka lebar.
       Klothak!
       “Aduh! Mak, ada bencana gini kok masih sempat kepikiran njitak anak sendiri,” mengelus kepalanya yang berdenyut-denyut.
       “Kebiasaanmu itu yang sebenarnya bencana. Emaknya saja pagi-pagi buta sudah jalan kaki ribuan kilometer keliling desa-desa. Eh, anak lelakinya di rumah kok malah masih molor. Coba pikir, apa itu bukan bencana buat si Emak?!”
       “Emaknya siapa sih, Mak, yang nasibnya malang begitu?”
       Klothak!
       “Emakmu!” tubuh Joko Thole gemetar. Hatinya teriris. Ia sudah sekuat tenaga untuk tak melakuakan kekerasan itu. Sungguh terasa aneh. Ia menjitak dirinya sendiri?
       Joko Thole langsung beranjak ke depan cermin. Masih wajah tampannya yang terpantul di sana! Tapi kenapa ia harus menjitak dirinya sendiri yang memanggilnya siapa tadi?
       “Bukannya kemarin Emak baru saja terima bantuan tunai lansung dariku?”
       “Le, Le, memangnya uang seratus ribumu bisa sampai mana?”  ada yang semakin sakit di dada Thole.
       “Uang seratus ribu bisa sampai Yogya lho. Masa baru tiga hari sudah krisis lagi?”
       Sakit itu semakin berdenyut-denyut. “Lha memangnya yang kemarin-kemarin itu kamu makan apa? Batu? Tinggal ambil di jalan begitu? Coba dengar, Hermanto sekolah itu pakai apa?”
       “Ya baju, Mak,”
       Klothak!
       Tidak…tidak…Joko Thole sudah berusaha menahan sekuat tenaga, tapi akhirnya…klotak! Sebuah jitakan mendarat lagi. Sebelah hatinya bilang; jangan sakiti dia! Tapi akhirnya… klotak! Sebuah jitakan mendarat lagi. Sebelah hatinya bilang; kau harus memberinya pelajaran! Ini demi masa depanya juga!
       “Lampu nyala juga harus pakai apa? Tempe tahu yang sering kamu omeli tiap hari itu belinya pakai apa ? Nasi bisa matang pakai apa ? Kayu kan ? Zaman sekarang kayu aja harus beli, Le, Thole.”
       Air mata Joko Thole telah mengenang. Aneka rasa campur aduk di dada. Sedih, marah, dan masih tak percaya pada semua yang dialaminya.
       “Emak nggak punya beras?”
       “Pikiranmu hanya Emak,  Emak,  Emak. Kalau Emak mati, bisa-bisa kamu jadi gelandangan, Le,” Mak Fatmah terus saja nyerocos sambil menghitung penghasilan hari ini.
       “Aku kan cuma tanya, Emak nggak punya beras?”
       “Tahumu cuma ada beras atau nggak. Cepat, minta beras sana!” Joko Thole sudah tak tahan lagi. Bergetar-getar mulutnya menahan amarah. Jualan hari ini minus, laba tertahan di rumah para pelanggan yang berhutang. Ia buru-buru menuju kamar.
       Dalam kamar, tanpa sengaja ia melihat pantulan wajahnya itu telah berhias keriput beraura sedih. Ia sungguh tak percaya dengan pemandangan itu. Ia tepuk-tepuk pipinya yang mulai kempot. Aku? Emak? “Tidaaa…kkk!!” teriaknya histeris.
      “Emak… Emaakk!!” tiba-tiba Joko Thole bangkit, celingukan. Begitu yang didapatinya hanya rumput-rumput bergoyang, ia langsung lari terbirit-birit mencari rumahnya.
       Hari telah penuh cahaya. Di dapur, ia menemukan sosok renta itu tengah berbaring di blabak.
       “Maafkan Thole, Mak. Thole minta maaf atas semua kesalahan Thole, Mak!” memijiti kedua kaki emaknya. Air mata menitik.
       Dan perempuan itu pun terbangun. “Dari mana saja kamu?”
       “Habis mimpi buruk, Mak,”  air mata menderas.
       “Ya Allah, Le. Emak sampai lungkrah begini, kerjamu cuma tiduuur melulu. Mbok ya si Gudel dicarikan pakan sana!”
      Joko Thole terdiam. Tiba-tiba ia sadar, ia telah meninggalkan Gudel di ladang rumput belakang SD! ***


[1] Semacam wadah mirip ember yang terbuat dari rajutan bambu
[2] Kamu (Jawa; kromo inggil)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar