CARA NIKMAT
MENIKMATI KEMISKINAN
(1)
“Whoaa….hh…hap!” seekor
nyamuk bodoh nyasar ke goa bau gado-gado itu. “Bhueh…juh..juh!” si
pemilik goa langsung menolak nyamuk bodoh yang ingin chek-in.
“Alhamdulillah, nggak keselek. Kalau itu tadi Mas Aedes Aegepti, bisa
tekor dah,” mengurut dada.
Makhluk pertama yang disentuhnya adalah sisir,
lalu ia harus menemui seseorang. Seseorang di dalam cermin. Seorang
pemuda. Umur sekitar dua limaan. Mata belekan. Rambut berduri. Ada bilur-bilur putih bak
alur sungai yang bermuara dari mulutnya.
“Ya Tuhan, tuh makhluk
harus segera dicuci mukanya,” nyengir kuda.
Tapi tiba-tiba saja ia
terhuyung saat kakinya tersandung sesuatu. Sesuatu yang gelap berbulu. Sesuatu
yang bertanduk. Sesuatu yang berekor. Sesuatu yang berkaki empat. Sesuatu yang
kemudian mengaduh, ”Mbeeeee….kk!”
“Maaf Dek, maaf!
Pandanganku tertutup belek tebal. Ah, ini kan
sudah hampir jam lima.”
Pintu dapur ia lihat
kuncinya sudah terbuka. Itu berarti Emak sudah berangkat untuk mengedarkan
tempenya Haji Nur Salim. “Ya Tuhan, semoga saja banyak yang makan tempe hari ini. Biar
aku tidak mati jenuh makan tempe
balikan Emak. Semoga saja Emak kelar
beli telur ayam hari ini. Amiin.”
Ia telah bergerilya ke seluruh tempat penyimpanan
makanan di dapur. Tapi lauk termewah yang ditemui masih tetap TEMPE.
“Tok……! Emak ninggalin
duit enggak?” ia berteriak.
Yang dipanggil Tok tak
ada menyahut.
Ia buru-buru menuju kamar adiknya. Mulut Manyunnya
seolah Gunung Merapi dalam kondisi ”awas!” karena hendak meletuskan sesuatu
yang mendidih di dalam.
“Tok, kamu berangkat sekolah nggak?!!”
Yang dipanggil tersentak
bangun. Buru-buru bangun. Menabrak lemari saat hendak mengambil seragam.
Menabrak daun pintu saat hendak keluar kamar. Sindrom belelek juga.
***
Ia bawa sekalian piring
dan nasi yang masih mengempul itu. Ia pikir di rumahnya si Slamet pasti ada
sesuatu yang selain tempe
untuk menemani nasi yang hendak dia makan pagi itu. Tak dinyana, ia malah
bertemu makhluk yang ia cari itu di tengah jalan. Yang juga menenteng sepiring
nasi yang masih mengepul.
“Di rumahmu ada apa,
Met?”
“Ada Kang Sukur, ada
Bapak, ada juga Emak yang kebetulan belum berangkat ke pasar. Kalau Amat sudah
berangkat sekolah.”
“Maksudku, laukmu apa?
Kamu lihat nggak sih kalau aku cuma bawa nasi doang? Memangnya mereka enak
dimakan, ha?!”
“Wah berarti nasib kita sama dong Kang. Aku juga
sedang cari lauk. Di rumahnya Kang Thole pasti ada tempe goreng kan?”
Memperlihatkan gigi-giginya yang kuning. Ting!
“Di rumahmu ada kerupuk kan ?”
“Naa… kita tukaran!”
“Dalam rangka kerukunan tetangga,” keduanya
kompak.
Beberapa menit kemudian…
Di bawah sebuah pohon kelapa tak jauh dari rumah
keduanya.
Beralaskan tikar pandan. Rhoma Irama menemani
sarapan pagi mereka. Di tempat yang lumayan tinggi itu mereka bisa leluasa menonton
deretan rumah elite di sebelah kanan jalan raya. Terutama ke rumah makannya
Mbok Sumber yang sudah ramai pengujung. Bahkan suara para pembeli yang memesan
makanan kadang tertangkap juga oleh telinga keduanya. lodeh, lenthong
tanjung, soto ayam, gulai kambing, nasi pecel,….
“Nah,
kalau begini kan kita bisa makan apa yang kita inginkan , Met.”
“Ah, cuma
mata dan telinga kita, Kang. Lidahku sih rasanya masih tempe.”
“Yang
penting kan tahu-tahu perut kita kenyang, Met. Coba kalau kamu makan, sementara
di hadapanmu cuma ada si Gudel, kambing banget deh rasanya. Nih lihat, piringku
sudah disapu puting beliung,” ia letakan piringnya yang sudah tandas ke samping
radio. Lalu direbahkannya tubuh di atas tikar pandan.
“Eeh,
mau ke mana, Met? Sudah, letakkan saja piringnya di situ.”
“Hobi
Emak menghitung piring sama gelas, Kang.”
“Ooh,
kalau begitu nanti balik lagi ke sini ya? Kamu tidak ikut bapakmu kan?”
“Memang
lagi malas nih, Kang. Setiap hari kok gali pasiiir melulu. Coba kalau sekali
waktu bisa nemu intan atau emas. Nyari duit dua puluh ribu saja kok bikin
tulang rasanya mau rontok semua.”
“Ya
sudah cepet sana.
Nanti cepat balik lagi ke sini.”
Sepeninggal Slamet, dinikmatinya hamparan
warna biru di langit. Jalan raya tertutup oleh alang-alang yang memenuhi bukit
kecil itu. Tapi sesekali masih terdengar…
“Ngutang dulu ya, Mak.”
“Jo Karjo, hari kok
rasanya belum lengkap kalau kamu nggak ngutang…”
“Besok pasti aku bayar,
Mak. Pasar lagi sepi.”
Ia menambah volume
radionya lagi agar suara-suara itu tak mengganggu kenikmatannya menikmati pagi
ini. Ngutang. Ah, kapan negeri ini bisa terbebas dari hal-hal buruk semacam
itu? Televisi pun setiap hari masih
dipenuhi hal-hal yang memusingkan kepala. Benda yang seharusnya menjadi kotak
penghibur itu seringnya malah bikin penat hidup. Cuma radio yang masih bebas
polusi.
Rhoma Irama kini menjadi pelayan pribadinya.
Menyanyi hanya untuk dirinya. Ia tenggelam dalam alunan yang sendu, mendayu,
lembut, mengantuk, sebelum akhirnya tiba-tiba…
“Para penonton … Bapak-bapak ibu-ibu...,” berisik
itu spontan membuat kelopak matanya kembali terbuka lebar.
“Weleh, kamu to, Met. Merusak kenikmatan orang
saja,” ia lalu kembali mencari Rhoma Irama yang tadi entah ketlingsut di mana.
“Itu Inul lho, Kang.”
“Berisik! Pagi manis
begini enaknya sama Bang Haji.”
“Weis , Kang Thole ini
bagaimana to? Pagi-pagi itu kan
badan masih loyo, mata masih sepet, kepala masih berat, kalau dengerin Bang Haji,
Kang Thole pasti akan mati lagi seperti tadi. Tapi coba kalau Inul. Trengginas,
beringas, panas, ganas…”
“Yaa itu yang bikin aku emoh.” Masih sibuk
mencari-cari Rhoma Irama. Apa beliau ngambek gara-gara disenggol Inul ya ?
“Kok nggak mau?”
Ia menatap Slamet dengan jengkel, “Soalnya aku ini
pemuda miskin.”
Dahi Slamet mengernyit, “Itu bukan salahnya Inul!”
“Alam fantasiku rusak, tauk?! Semua khayalanku
tentang tentramnya dunia, rusak!”
“Lho, bukanya malah tambah gairah, tambah
berwarna, Kang!”
“Lho, kamu ini cowok normal
nggak sih, Met?”
“Lha justru karena aku ini cowok normal makanya
aku suka Inul. Justru malah Kang Thole yang kenormalannya patut
dipertanyakan, ya to?”
“Heh, bendul, bayangkan
dulu baik-baik ya! Setelah itu
gunakan akal sehatmu. Kamu itu pemuda miskin, dari negara eh, keluarga miskin,
pekerjaan tetap belum punya alias banyak nganggurnya. Lalu setiap pagi, siang,
sore, malam, cewek-cewek seksi macam…,” Thole menyebut deretan makhluk-makhluk
seksi di televisi. “Nah, nggak siang ngak malam kepala kamu diboor terus sama
goyang seksi begituan, apa lama-lama nggak jebol tuh iman?! Mau makan, ingat
pantat. Maaf. Mau ngaji, ah boro-boro, mending ngelamun jorok saja, ngaku Lu!
Lama-lama kan jadi pingin, Met. Nah, berhubung belum mampu alias masih miskin,
ayam-ayam disikat, gadis-gadis kecil diembat, cewek lewat diperkuat. Kumpul
kebo tak dianggap maksiat. Lama-lama kan negara juga ikut kualat?”
“Ah, itu sih tergantung orangnya, Kang!”
“Nggak ada asap kalau nggak ada api. Nggak
ada yang tertular penyakit kalau ngak ada penyakit menular, Met.”
“Buktinya aku nggak kok,” bernada sengit.
“Nggak apa coba?”
“Ya nggak kena penyakit yang Kang Thole sebutkan
tadi!” sengit level dua.
“Alaah, gombal ah! Pas dengerin Pak Haji, aku kan
langsung ingat akhirat. Lha kamu, apa yang kamu ingat saat dengerin…”
“Ya ingat Inul dong Kang, mosok ingat Mak Lampir
!” sengit level tiga.
“Juga ingat pantat sama dada kan? Ngaku deh! Nggak
usah malu, mumpung di sini nggak ada orang. Aku sekarang kan sedang jadi
malaikat.”
Karena sudah melewati sengit level tiga, Slamet
sampai mengunyah beberapa batang alang-alang.
“Kang Thole ngawur ah!”
“Heh, ngawur? Lalu apa yang kamu pelototi saat kamu
lihat show-nya Inul?”
Tetapi tiba-tiba saja…
“Oalaah Le, Thole. Tak cari ke mana-mana kok
tahunya malah selonjoran ngomongin orang di sini. Itu pekerjaan di rumah kan
masih banyak? Eeh, kok malah…”
Thoole buru-buru menahan mulutnya si Slamet yang
masih ingin mengajak berdebat.
“Thole cuma ingin
menghibur diri sebentar, Mak. Meski
kita ini orang melarat, tapi kemelaratan itu jangan sampai membuat kita lupa
menghibur diri.”
“Menghibur diri apanya?! Si Gudel blusukan ke
rumahnya orang, Le! Sini tikarnya!” Mak Fatmah menarik tikar yang masih diduduki
Slamet dan tokoh kita
“Mak, menghibur diri itu nggak perlu nunggu sampai
kita kaya.”
“Kaya monyet. Justru karena keseringan menghibur
diri kamu jadi mirip monyet, Le. Miskin betulan. Sampai kapan kamu begini
terus? Ayo, cepetan sana cari rumput, biar si Gudel ndak blusukan ke rumah orang!” Mak Fatmah menarik telinga anaknya.
“Aduh duh, sakit Mak, sakit….,” terpaksa ia
mengikuti tangan emaknya.
“Hati Emak lebih sakit!”
“Sakit , Mak, sakit! Telingaku ini bukan
karet. Met, besok disambung lagi ya!”
Slamet manyun, “Buat apa
bergaul dengan orang yang anti Inul? Garing banget ah!!”
***
Sesampainya di rumah…
“Pekerjaannya apa lagi sih Mak? Nasinya sudah
matang, tempenya juga sudah kurubah jadi tempe goreng, si Gudel sekarang juga
sudah kenyang. Mak mau aku suapi?”
“Tuh, saluran air comberan mampet. Mbok ya
dicangkuli lagi supaya airnya yang bau bacin itu ndak luber ke hidungnya para tetangga!”
“Siapa suruh! Udah tau bacin kok dicium.”
Klothak!
“Aduh!” mengelus kepalanya yang kena jitak.
“Terus itu, pohon waru yang miring ke genting
rumahnya Sudiah, mbok ya dipangkas,
kasih ke Gudel.”
“Enak di Gudel nggak enak
di aku?!”
Klothak!
“Iya iya Mak, ini aku cari arit. Aku ini manusia
biasa, Mak. Memotong dahan harus pakai arit,” gontai menuju dapur.
“Aku tidak mau memberi makan kemalasan. Aku tidak
mau susah payah menghidupi kemiskinan,” berkacak pinggang menatap tokoh kita.
Joko Thole. Ya, dialah tokoh kita. Dia baru saja
lulus Madrasah Aliyah dua tahun yang lalu. Sampai detik ini masih kesulitan
mencari pekerjaan tetap. Emaknya bernama Mak Fatmah. Beliau seorang janda
beranak dua. Beliau seorang pengedar tempe kelas teri, tetapi sudah punya
banyak pelanggan tetap.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar