Rabu, 16 Juli 2014

Cara Nikmat Menikmati Kemiskinan



CARA NIKMAT MENIKMATI KEMISKINAN
(1)

“Whoaa….hh…hap!” seekor nyamuk bodoh nyasar ke goa bau gado-gado itu.  “Bhueh…juh..juh!” si pemilik goa langsung menolak nyamuk bodoh yang ingin chek-in.
Alhamdulillah, nggak keselek. Kalau itu tadi Mas Aedes Aegepti, bisa tekor dah,” mengurut dada.
Makhluk pertama yang disentuhnya adalah sisir, lalu ia harus menemui seseorang. Seseorang di dalam cermin. Seorang pemuda. Umur sekitar dua limaan. Mata belekan. Rambut berduri. Ada bilur-bilur putih bak alur sungai yang bermuara dari mulutnya.
“Ya Tuhan, tuh makhluk harus segera dicuci mukanya,” nyengir kuda.
Tapi tiba-tiba saja ia terhuyung saat kakinya tersandung sesuatu. Sesuatu yang gelap berbulu. Sesuatu yang bertanduk. Sesuatu yang berekor. Sesuatu yang berkaki empat. Sesuatu yang kemudian mengaduh, ”Mbeeeee….kk!”
“Maaf Dek, maaf! Pandanganku tertutup belek tebal. Ah, ini kan sudah hampir jam lima.”
Pintu dapur ia lihat kuncinya sudah terbuka. Itu berarti Emak sudah berangkat untuk mengedarkan tempenya Haji Nur Salim. “Ya Tuhan, semoga saja banyak yang makan tempe hari ini. Biar  aku tidak mati jenuh makan tempe balikan Emak. Semoga saja Emak kelar beli telur ayam hari ini. Amiin.”
Ia telah bergerilya ke seluruh tempat penyimpanan makanan di dapur. Tapi lauk termewah yang ditemui masih tetap TEMPE.
“Tok……! Emak ninggalin duit enggak?” ia berteriak.
Yang dipanggil Tok tak ada menyahut.
Ia buru-buru menuju kamar adiknya. Mulut Manyunnya seolah Gunung Merapi dalam kondisi ”awas!” karena hendak meletuskan sesuatu yang mendidih di dalam.
“Tok, kamu berangkat sekolah nggak?!!”
Yang dipanggil tersentak bangun. Buru-buru bangun. Menabrak lemari saat hendak mengambil seragam. Menabrak daun pintu saat hendak keluar kamar. Sindrom belelek juga.
***
Ia bawa sekalian piring dan nasi yang masih mengempul itu. Ia pikir di rumahnya si Slamet pasti ada sesuatu yang selain tempe untuk menemani nasi yang hendak dia makan pagi itu. Tak dinyana, ia malah bertemu makhluk yang ia cari itu di tengah jalan. Yang juga menenteng sepiring nasi yang masih mengepul.
“Di rumahmu ada apa, Met?”
“Ada Kang Sukur, ada Bapak, ada juga Emak yang kebetulan belum berangkat ke pasar. Kalau Amat sudah berangkat sekolah.”
“Maksudku, laukmu apa? Kamu lihat nggak sih kalau aku cuma bawa nasi doang? Memangnya mereka enak dimakan, ha?!”
“Wah berarti nasib kita sama dong Kang. Aku juga sedang cari lauk. Di rumahnya Kang Thole pasti ada tempe goreng kan?”
Memperlihatkan gigi-giginya yang kuning. Ting!
“Di rumahmu ada kerupuk kan ?”
“Naa… kita tukaran!”
“Dalam rangka kerukunan tetangga,” keduanya kompak.
Beberapa menit kemudian…
Di bawah sebuah pohon kelapa tak jauh dari rumah keduanya.
Beralaskan tikar pandan. Rhoma Irama menemani sarapan pagi mereka. Di tempat yang lumayan tinggi itu mereka bisa leluasa menonton deretan rumah elite di sebelah kanan jalan raya. Terutama ke rumah makannya Mbok Sumber yang sudah ramai pengujung. Bahkan suara para pembeli yang memesan makanan kadang tertangkap juga oleh telinga keduanya. lodeh,  lenthong tanjung, soto ayam, gulai kambing, nasi pecel,….
            “Nah, kalau begini kan kita bisa makan apa yang kita inginkan , Met.”
            “Ah, cuma mata dan telinga kita, Kang. Lidahku sih rasanya masih tempe.”
            “Yang penting kan tahu-tahu perut kita kenyang, Met. Coba kalau kamu makan, sementara di hadapanmu cuma ada si Gudel, kambing banget deh rasanya. Nih lihat, piringku sudah disapu puting beliung,” ia letakan piringnya yang sudah tandas ke samping radio. Lalu direbahkannya tubuh di atas tikar pandan.
            “Eeh, mau ke mana, Met? Sudah, letakkan saja piringnya di situ.”
            “Hobi Emak menghitung piring sama gelas, Kang.”
            “Ooh, kalau begitu nanti balik lagi ke sini ya? Kamu tidak ikut bapakmu kan?”
            “Memang lagi malas nih, Kang. Setiap hari kok gali pasiiir melulu. Coba kalau sekali waktu bisa nemu intan atau emas. Nyari duit dua puluh ribu saja kok bikin tulang rasanya mau rontok semua.”
            “Ya sudah cepet sana. Nanti cepat balik lagi ke sini.”
Sepeninggal Slamet, dinikmatinya hamparan warna biru di langit. Jalan raya tertutup oleh alang-alang yang memenuhi bukit kecil itu. Tapi sesekali masih terdengar…
“Ngutang dulu ya, Mak.”
“Jo Karjo, hari kok rasanya belum lengkap kalau kamu nggak ngutang…”
“Besok pasti aku bayar, Mak. Pasar lagi sepi.”
Ia menambah volume radionya lagi agar suara-suara itu tak mengganggu kenikmatannya menikmati pagi ini. Ngutang. Ah, kapan negeri ini bisa terbebas dari hal-hal buruk semacam itu? Televisi pun setiap hari masih dipenuhi hal-hal yang memusingkan kepala. Benda yang seharusnya menjadi kotak penghibur itu seringnya malah bikin penat hidup. Cuma radio yang masih bebas polusi.
Rhoma Irama kini menjadi pelayan pribadinya. Menyanyi hanya untuk dirinya. Ia tenggelam dalam alunan yang sendu, mendayu, lembut, mengantuk, sebelum akhirnya tiba-tiba…
“Para penonton … Bapak-bapak ibu-ibu...,” berisik itu spontan membuat kelopak matanya kembali terbuka lebar.
“Weleh, kamu to, Met. Merusak kenikmatan orang saja,” ia lalu kembali mencari Rhoma Irama yang tadi entah ketlingsut di mana.
“Itu Inul lho, Kang.”
“Berisik! Pagi manis begini enaknya sama Bang Haji.”
“Weis , Kang Thole ini bagaimana to? Pagi-pagi itu kan badan masih loyo, mata masih sepet, kepala masih berat, kalau dengerin Bang Haji, Kang Thole pasti akan mati lagi seperti tadi. Tapi coba kalau Inul. Trengginas, beringas, panas, ganas…”
“Yaa itu yang bikin aku emoh.” Masih sibuk mencari-cari Rhoma Irama. Apa beliau ngambek gara-gara disenggol Inul ya ?
“Kok nggak mau?”
Ia menatap Slamet dengan jengkel, “Soalnya aku ini pemuda miskin.”
Dahi Slamet mengernyit, “Itu bukan salahnya Inul!”
“Alam fantasiku rusak, tauk?! Semua khayalanku tentang tentramnya dunia, rusak!”
“Lho, bukanya malah tambah gairah, tambah berwarna, Kang!”
“Lho, kamu ini cowok normal nggak sih, Met?”
“Lha justru karena aku ini cowok normal makanya aku suka Inul. Justru malah Kang Thole yang kenormalannya patut dipertanyakan, ya to?”
“Heh, bendul, bayangkan dulu baik-baik ya! Setelah itu gunakan akal sehatmu. Kamu itu pemuda miskin, dari negara eh, keluarga miskin, pekerjaan tetap belum punya alias banyak nganggurnya. Lalu setiap pagi, siang, sore, malam, cewek-cewek seksi macam…,” Thole menyebut deretan makhluk-makhluk seksi di televisi. “Nah, nggak siang ngak malam kepala kamu diboor terus sama goyang seksi begituan, apa lama-lama nggak jebol tuh iman?! Mau makan, ingat pantat. Maaf. Mau ngaji, ah boro-boro, mending ngelamun jorok saja, ngaku Lu! Lama-lama kan jadi pingin, Met. Nah, berhubung belum mampu alias masih miskin, ayam-ayam disikat, gadis-gadis kecil diembat, cewek lewat diperkuat. Kumpul kebo tak dianggap maksiat. Lama-lama kan negara juga ikut kualat?”
“Ah, itu sih tergantung orangnya, Kang!”
“Nggak ada asap kalau nggak ada api. Nggak ada yang tertular penyakit kalau ngak ada penyakit menular, Met.”
“Buktinya aku nggak kok,” bernada sengit.
“Nggak apa coba?”
“Ya nggak kena penyakit yang Kang Thole sebutkan tadi!” sengit level dua.
“Alaah, gombal ah! Pas dengerin Pak Haji, aku kan langsung ingat akhirat. Lha kamu, apa yang kamu ingat saat dengerin…”
“Ya ingat Inul dong Kang, mosok ingat Mak Lampir !” sengit level tiga.
“Juga ingat pantat sama dada kan? Ngaku deh! Nggak usah malu, mumpung di sini nggak ada orang. Aku sekarang kan sedang jadi malaikat.”
Karena sudah melewati sengit level tiga, Slamet sampai mengunyah beberapa batang alang-alang.
“Kang Thole ngawur ah!”
“Heh, ngawur? Lalu apa yang kamu pelototi saat kamu lihat show-nya Inul?”
Tetapi tiba-tiba saja…
“Oalaah Le,  Thole. Tak cari ke mana-mana kok tahunya malah selonjoran ngomongin orang di sini. Itu pekerjaan di rumah kan masih banyak? Eeh, kok malah…”
Thoole buru-buru menahan mulutnya si Slamet yang masih ingin mengajak berdebat.
“Thole cuma ingin menghibur diri sebentar, Mak. Meski kita ini orang melarat, tapi kemelaratan itu jangan sampai membuat kita lupa menghibur diri.”
“Menghibur diri apanya?! Si Gudel blusukan ke rumahnya orang, Le! Sini tikarnya!” Mak Fatmah menarik tikar yang masih diduduki Slamet dan tokoh kita
“Mak, menghibur diri itu nggak perlu nunggu sampai kita kaya.”
“Kaya monyet. Justru karena keseringan menghibur diri kamu jadi mirip monyet, Le. Miskin betulan. Sampai kapan kamu begini terus? Ayo, cepetan sana cari rumput, biar si Gudel ndak blusukan ke rumah orang!” Mak Fatmah menarik telinga anaknya.
“Aduh duh, sakit Mak, sakit….,” terpaksa ia mengikuti tangan emaknya.
“Hati Emak lebih sakit!”
“Sakit , Mak, sakit! Telingaku ini bukan karet. Met, besok disambung lagi ya!”
Slamet manyun, “Buat apa bergaul dengan orang yang anti Inul? Garing banget ah!!”
***
Sesampainya di rumah…
“Pekerjaannya apa lagi sih Mak? Nasinya sudah matang, tempenya juga sudah kurubah jadi tempe goreng, si Gudel sekarang juga sudah kenyang. Mak mau aku suapi?”
“Tuh, saluran air comberan mampet. Mbok ya dicangkuli lagi supaya airnya yang bau bacin itu ndak luber ke hidungnya para tetangga!”
“Siapa suruh! Udah tau bacin kok dicium.”
Klothak!
“Aduh!” mengelus kepalanya yang kena jitak.
“Terus itu, pohon waru yang miring ke genting rumahnya Sudiah, mbok ya dipangkas, kasih ke Gudel.”
“Enak di Gudel nggak enak di aku?!”
Klothak!
“Iya iya Mak, ini aku cari arit. Aku ini manusia biasa, Mak. Memotong dahan harus pakai arit,” gontai menuju dapur.
“Aku tidak mau memberi makan kemalasan. Aku tidak mau susah payah menghidupi kemiskinan,” berkacak pinggang menatap tokoh kita.
Joko Thole. Ya, dialah tokoh kita. Dia baru saja lulus Madrasah Aliyah dua tahun yang lalu. Sampai detik ini masih kesulitan mencari pekerjaan tetap. Emaknya bernama Mak Fatmah. Beliau seorang janda beranak dua. Beliau seorang pengedar tempe kelas teri, tetapi sudah punya banyak pelanggan tetap.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar