Kesaksian Seorang Pakar Forensik
Judul Buku :
Indonesia X - Files
Penulis :
dr. Abdul Mun’im Idries, Sp.F
Penerbit :
Penerbit Noura Books
Cetakan :
Cetakan Pertama, Juni 2013
Tebal :
XXIII + 334 halaman
ISBN :
978-602-7816-60-2
Buku ini adalah kumpulan kesaksian seorang ahli forensik yang patut
mendapatkan apresiasi. Mengingat hasil otopsi adalah sangat penting dan
merupakan bukti yang menentukan (a determinant proof), dia bisa menjadi
kunci dari kasus yang kadang sengaja ditutup-tutupi, sekaligus membuka
perspektif baru atas sebuah perkara.
Pada judul pertama Bab I misalnya, ketika dipanggil untuk menangani
jenazah korban tragedi Trisakti, Mei 1998. Dengan gaya seperti orang bercerita Penulis
menuturkan tentang pengalaman yang dirasakannya amat mencekam namun sedikit ‘aneh’
ketika mendapatkan panggilan itu. Belakangan Dr. Mun’im baru mengetahui bahwa
pada insiden yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti tersebut banyak satuan-satuan
atau unit-unit aparat keamanan yang hadir “terlibat”(halaman 5). Apalagi
setelah melakukan visum dan mendapatkan kepastian sendiri bahwa keempat
mahasiswa tersebut mendapatkan luka tembak pada daerah yang mematikan, bukan
untuk melumpuhkan (halaman 7). Ditambah lagi dengan perkataan Kasat Serse
Polres Metro Jakarta kepadanya, yang dalam perkataannya seolah telah mengetahui
ada oknum besar yang sebenarnya menjadi pemain utama dalam insiden tersebut
(halaman 13).
Dalam kasus ini, beliau berada di pihak yang justru mendapatkan tekanan. Tudingan
negatif atas kelambanan kinerja para penyidik yang membuat situasi jadi tak enak, membuatnya
sengaja menyelipkan pembelaan diri dalam catatan ini, bahwa proses penegakan
hukum dan keadilan itu merupakan upaya ilmiah, bukan sekadar common sense,
non-scientific belaka (halaman 20). Dibutuhkan pengetahuan, ketelitian
tinggi, banyak menyita waktu, dan ketekunan para penyidik. Sangat tidak
bijaksana bila ada pihak-pihak yang terburu menjatuhkan vonis bahwa penyidik
tidak becus, tidak profesional, atau bekerja setengah hati (halaman 23).
Pentingnya data-data forensik dapat kita ketahui dalam ‘Kejanggalan
Kematian Marsinah’ (halaman 25 dan 301). Ketika terjadi perbedaan antara bukti
forensik dengan kesaksian para pelaku, tak pelak keamanan ahli forensik yang
menanganinya pun turut dipertaruhkan. “Kamu gila. Ngelawan arus. Pulang
tinggal nama entar,” begitu yang terlontar dari kolega dr. Mun’im ketika
menjadi saksi ahli kasus pembunuhan yang kontroversial itu (halaman 28). Dalam
persidangan sebelumnya, terbukti 3 orang menusuk kemaluan korban dalam waktu
berbeda., tapi dalam visum hanya ditemukan satu luka pada labia minora. Hal
tersebut hanya mungkin terjadi bila alat yang dipakai tidak dicabut, tapi
menempel. Kejanggalan makin jelas ketika barang bukti yang dipakai untuk
menusuk kemaluan korban ternyata lebih besar dari ukuran luka yang terdapat di
tubuh koraban. Visum yang dibuat 6 bulan selanjutnya kemudian turut
memperjelas, ditemukan resapan darah di daerah belakang pelipis kanan sebagai
akibat persentuhan dengan benda tumpul, ditemukan patah tulang kemaluan, tulang
usus kanan, dan tulang kelangkang sebagai akibat kekerasan benda tumpul.
Kekerasan tersebut dimulai dari sebelah kiri, kemudian setelah membentur tulang
usus kanan lalu memantul ke tulang kelangkang. Dengan tegas dr. Mun’im pun
berpendapat bahwa kematian itu disebabkan oleh luka tembak. Meski kesaksiannya
kemudian dianggap konyol oleh sebagian teman (halaman 29-31)..
Dalam bab ’30 Menit Kematian Menjemput Munir’, sekali lagi menunjukkan
betapa pentingnya posisi seorang ahli forensik (halaman 81). Kita diajak dr.
Mun’im membanding-bandingkan sendiri antara alibi para tersangka dengan
temuan-temuan beliau, untuk kemudian menyimpulkan perspektif sendiri. Hanya
sayangnya, keterbatasan seorang ahli forensik sering hanya mampu mengantarkan
pada kesimpulan akhir berdasar temuan ilmiah. Sementara motif pelaku atau
bahkan siapa pelaku sering masih menjadi misteri tersendiri.
Tak hanya diajak meninjau kembali kasus-kasus besar yang bahkan sampai
saat ini belum terungkap dalangnya, dalam buku ini dr. Mun’im juga memberikan
beragam pengalamannya selama menjalani a sacred callingnya sebagai ahli
forensik. Tak berlebihan rasanya jika O.C. Kaligis menggambarkannya sebagai
seorang yang memiliki pandangan seperti Aristoteles terhadap Plato, “Amicus
Plato, sed magis amica veritas” –Plato adalah sahabat saya, tetapi saya lebih
bersahabat dengan kebenaran. Kebenaran itulah yang diutamakan.***
(Nur Hadi, Koran Jakarta,...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar