Minggu, 20 Juli 2014

Kesaksian Seorang Pakar Forensik



Kesaksian Seorang Pakar Forensik



Judul Buku  :  Indonesia X - Files
Penulis         :  dr. Abdul Mun’im Idries, Sp.F
Penerbit        :  Penerbit Noura Books
Cetakan         :  Cetakan Pertama,  Juni 2013
Tebal             :  XXIII + 334 halaman
ISBN             :  978-602-7816-60-2

Buku ini adalah kumpulan kesaksian seorang ahli forensik yang patut mendapatkan apresiasi. Mengingat hasil otopsi adalah sangat penting dan merupakan bukti yang menentukan (a determinant proof), dia bisa menjadi kunci dari kasus yang kadang sengaja ditutup-tutupi, sekaligus membuka perspektif baru atas sebuah perkara.
Pada judul pertama Bab I misalnya, ketika dipanggil untuk menangani jenazah korban tragedi Trisakti, Mei 1998. Dengan gaya seperti orang bercerita Penulis menuturkan tentang pengalaman yang dirasakannya amat mencekam namun sedikit ‘aneh’ ketika mendapatkan panggilan itu. Belakangan Dr. Mun’im baru mengetahui bahwa pada insiden yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti tersebut banyak satuan-satuan atau unit-unit aparat keamanan yang hadir “terlibat”(halaman 5). Apalagi setelah melakukan visum dan mendapatkan kepastian sendiri bahwa keempat mahasiswa tersebut mendapatkan luka tembak pada daerah yang mematikan, bukan untuk melumpuhkan (halaman 7). Ditambah lagi dengan perkataan Kasat Serse Polres Metro Jakarta kepadanya, yang dalam perkataannya seolah telah mengetahui ada oknum besar yang sebenarnya menjadi pemain utama dalam insiden tersebut (halaman 13).
Dalam kasus ini, beliau berada di pihak yang justru mendapatkan tekanan. Tudingan negatif atas kelambanan kinerja para penyidik yang  membuat situasi jadi tak enak, membuatnya sengaja menyelipkan pembelaan diri dalam catatan ini, bahwa proses penegakan hukum dan keadilan itu merupakan upaya ilmiah, bukan sekadar common sense, non-scientific belaka (halaman 20). Dibutuhkan pengetahuan, ketelitian tinggi, banyak menyita waktu, dan ketekunan para penyidik. Sangat tidak bijaksana bila ada pihak-pihak yang terburu menjatuhkan vonis bahwa penyidik tidak becus, tidak profesional, atau bekerja setengah hati (halaman 23).
Pentingnya data-data forensik dapat kita ketahui dalam ‘Kejanggalan Kematian Marsinah’ (halaman 25 dan 301). Ketika terjadi perbedaan antara bukti forensik dengan kesaksian para pelaku, tak pelak keamanan ahli forensik yang menanganinya pun turut dipertaruhkan. “Kamu gila. Ngelawan arus. Pulang tinggal nama entar,” begitu yang terlontar dari kolega dr. Mun’im ketika menjadi saksi ahli kasus pembunuhan yang kontroversial itu (halaman 28). Dalam persidangan sebelumnya, terbukti 3 orang menusuk kemaluan korban dalam waktu berbeda., tapi dalam visum hanya ditemukan satu luka pada labia minora. Hal tersebut hanya mungkin terjadi bila alat yang dipakai tidak dicabut, tapi menempel. Kejanggalan makin jelas ketika barang bukti yang dipakai untuk menusuk kemaluan korban ternyata lebih besar dari ukuran luka yang terdapat di tubuh koraban. Visum yang dibuat 6 bulan selanjutnya kemudian turut memperjelas, ditemukan resapan darah di daerah belakang pelipis kanan sebagai akibat persentuhan dengan benda tumpul, ditemukan patah tulang kemaluan, tulang usus kanan, dan tulang kelangkang sebagai akibat kekerasan benda tumpul. Kekerasan tersebut dimulai dari sebelah kiri, kemudian setelah membentur tulang usus kanan lalu memantul ke tulang kelangkang. Dengan tegas dr. Mun’im pun berpendapat bahwa kematian itu disebabkan oleh luka tembak. Meski kesaksiannya kemudian dianggap konyol oleh sebagian teman (halaman 29-31)..
Dalam bab ’30 Menit Kematian Menjemput Munir’, sekali lagi menunjukkan betapa pentingnya posisi seorang ahli forensik (halaman 81). Kita diajak dr. Mun’im membanding-bandingkan sendiri antara alibi para tersangka dengan temuan-temuan beliau, untuk kemudian menyimpulkan perspektif sendiri. Hanya sayangnya, keterbatasan seorang ahli forensik sering hanya mampu mengantarkan pada kesimpulan akhir berdasar temuan ilmiah. Sementara motif pelaku atau bahkan siapa pelaku sering masih menjadi misteri tersendiri.
Tak hanya diajak meninjau kembali kasus-kasus besar yang bahkan sampai saat ini belum terungkap dalangnya, dalam buku ini dr. Mun’im juga memberikan beragam pengalamannya selama menjalani a sacred callingnya sebagai ahli forensik. Tak berlebihan rasanya jika O.C. Kaligis menggambarkannya sebagai seorang yang memiliki pandangan seperti Aristoteles terhadap Plato, “Amicus Plato, sed magis amica veritas” –Plato adalah sahabat saya, tetapi saya lebih bersahabat dengan kebenaran. Kebenaran itulah yang diutamakan.***

(Nur Hadi, Koran Jakarta,...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar