Sabtu, 26 Juli 2014

Nasionalisme di Negeri Paman Sam



Nasionalisme di Negeri Paman Sam


Judul Buku  :  Kopi Sumatera di Amerika
Penulis         :  Yusran Darmawan
Penerbit        :  Penerbit Noura Books
Cetakan         :  Cetakan Pertama,  Desember 2013
Tebal             :  XIII + 251 halaman
ISBN             :  978-602-1606-08-7

Kita semua tentu sudah mafhum, bahwa Amerika Serikat adalah sebuah negara yang sudah mendapatkan cap keadidayaan dalam segala hal, baik ekonomi, budaya, terutama dalam kekuatan militer. Melalui buku bergaya catatan harian karya Yusran Darmawan, tak berlebihan rasanya jika Pepih Nugraha, yang seorang jurnalis senior itu berkata bahwa catatan ini ibarat mata, telinga, dan hati anak bangsa Indonesia di Amerika. Sebab, saat Anda menamatkan baca buku ini, tahulah bahwa di balik keadidayaan Amerika itu ternyata menyimpan banyak kelemahan yang patut pula dijadikan pelajaran.
Buku ini terbagi lima bagian, di mana penulis mengelompokkan catatan-catatannya berdasarkan kesamaan tema. Yang paling menarik, salah satunya adalah pada bagian ketiga, di mana penulis bercerita perihal beberapa borok Amerika. Tengok saja ketika Yusran bercerita tentang gerakan Occupy Washington oleh kaum yang menamakan dirinya sebagai kaum 99%, simbolisasi bahwa mereka berasal dari kelompok mayoritas negeri itu yang menuntut haknya atas golongan 1% yang menguasai ekonomi. Saat melintas di depan Ronald Reagan World Center, ia terheran-heran dengan banyaknya tenda yang berisi kaum jembel (halaman 114). Hal itu menjadi seperti daki kota yang mengingatkan dengan Jakarta. Banyak pula pengemis (yang tak hanya berkulit hitam) berkeliaran di ibukota negara, dengan menggunakan beragam cara. Kependudukan, sepertinya selalu menjadi masalah yang sama bagi semua ibukota negara-negara berpenduduk besar. Apa yang disebut ekonom WW Rostow (1916-2003) high mass consumption, yakni masyarakat yang memiliki tingkat konsumsi tinggi karena berkecukupan, adalah ide yang tampaknya sulit untuk dibuktikan. Kenyataan ini membuat pandangan Yusran berubah total, dari mengira bahwa Amerika adalah seperti yang tergambar pada apa yang ia saksikan dalam film-film Hollywood. Kemudian ia (baru) tahu kalau ternyata Amerika pun sedang berjuang mengatasi masalah homeless yang jumlahnya terus membengkak. Pada tahun 1980-an, dari yang jumlahnya mereka hanya sekitar 200 hingga 500 ribu orang, namun di tahun 2009 naik menjadi 1,56 juta orang (halaman 136).
Tak hanya itu. Penulis kemudian juga menangkap kesedihan lain yang dialami bangsa Indian yang terdengar lirih karena ketergusuran mereka. Banyak ritual dan warisan kebudayaan leluhur bangsa yang merupakan penduduk asli benua itu mengalami penciutan makna hanya menjadi sekadar komoditas festival (halaman 150). Tanpa disadari penghapusan entitas kebudayaan tampaknya tengah terjadi, modernitaslah pelakunya. Gejala ini, kelihatannya akan menjadi masalah yang juga akan dihadapi oleh semua negara majemuk yang memiliki beragam etnis suku bangsa.
Mengapa buku ini mengambil judul Kopi Sumatera di Amerika pun perlahan mulai  terpahami. Tampaknya, penulis menginginkan bangsa Indonesia tak terlalu memelihara sikap inferior ketika berhadapan dengan segala yang berbau Amerika. Saat berkunjung ke Walmart, raksasa ritel di AS, penulis sempat menemukan beberpa jaket berlabel Made in Indonesia. Ia juga menjumpai kopi racikan khas Sumatera yang turut terpajang di jajaran rak kopi terbaik. Kopi-kopi itu juga ia jumpai di sebuah kedai kopi di tepi Court Street di Athens (halaman 71). Pada bagian kedua buku ini, penulis sengaja merangkum beberapa hasil budaya Indonesia yang justru membuat orang-orang Amerika merasa kagum padanya. Hasil budaya itu mampu memberikan perspektif baru mereka pada negara-negara lain. Batik, wayang kulit, angklung, adalah beberapa contoh hasil kebudayaan Indonesia yang berhasil mencuri simpati warga Amerika.
Namun penulis juga tak lupa menyajikan beberapa hal yang bisa kita ambil contoh dari Amerika. Di tanah air, ujian akhir sering menjadi ajang ‘pembantaian’, yang bertujuan mencari sebanyak mungkin kesalahan si anak didik. Ujian tak dijadikan sebagai arena untuk menemukan inspirasi dari pengalaman seorang mahasiswa yang sedang belajar menemukan dirinya di tengah kehidupan yang demikian sulit. Anda mungkin akan sedikit terkejut ketika mengetahui bahwa di tingkat sarjana dan magister di AS, ujian bukanlah hal wajib. Mahasiswa memiliki kebebasan memilih antara; (1) ujian skripsi atau tesis, (2) proyek profesional bisa dalam bentuk film dokumenter, tulisan jurnal, presenstasi ilmiah, dll (3) ujian komprehensif dalam bentuk tulisan (halaman 24). Maka, tak heran kalau kita sering mendapati skripsi hasil jiplakan atau bikinan jasa pembuat skripsi, dari para sarjana kita.***

(Nur Hadi, Koran Muria, Minggu... 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar