Nasionalisme di Negeri Paman Sam
Judul Buku : Kopi
Sumatera di Amerika
Penulis :
Yusran Darmawan
Penerbit :
Penerbit Noura Books
Cetakan :
Cetakan Pertama, Desember 2013
Tebal :
XIII + 251 halaman
ISBN :
978-602-1606-08-7
Kita semua tentu sudah mafhum, bahwa Amerika Serikat adalah sebuah negara
yang sudah mendapatkan cap keadidayaan dalam segala hal, baik ekonomi, budaya, terutama
dalam kekuatan militer. Melalui buku bergaya catatan harian karya Yusran
Darmawan, tak berlebihan rasanya jika Pepih Nugraha, yang seorang jurnalis
senior itu berkata bahwa catatan ini ibarat mata, telinga, dan hati anak bangsa
Indonesia di Amerika. Sebab, saat Anda menamatkan baca buku ini, tahulah bahwa
di balik keadidayaan Amerika itu ternyata menyimpan banyak kelemahan yang patut
pula dijadikan pelajaran.
Buku ini terbagi lima
bagian, di mana penulis mengelompokkan catatan-catatannya berdasarkan kesamaan
tema. Yang paling menarik, salah satunya adalah pada bagian ketiga, di mana
penulis bercerita perihal beberapa borok Amerika. Tengok saja ketika Yusran
bercerita tentang gerakan Occupy Washington oleh kaum yang menamakan dirinya
sebagai kaum 99%, simbolisasi bahwa mereka berasal dari kelompok mayoritas negeri
itu yang menuntut haknya atas golongan 1% yang menguasai ekonomi. Saat melintas
di depan Ronald Reagan World
Center, ia terheran-heran
dengan banyaknya tenda yang berisi kaum jembel (halaman 114). Hal itu menjadi
seperti daki kota yang mengingatkan dengan Jakarta. Banyak pula
pengemis (yang tak hanya berkulit hitam) berkeliaran di ibukota negara, dengan
menggunakan beragam cara. Kependudukan, sepertinya selalu menjadi masalah yang
sama bagi semua ibukota negara-negara berpenduduk besar. Apa yang disebut
ekonom WW Rostow (1916-2003) high mass
consumption, yakni masyarakat yang memiliki tingkat konsumsi tinggi karena
berkecukupan, adalah ide yang tampaknya sulit untuk dibuktikan. Kenyataan ini
membuat pandangan Yusran berubah total, dari mengira bahwa Amerika adalah
seperti yang tergambar pada apa yang ia saksikan dalam film-film Hollywood. Kemudian ia
(baru) tahu kalau ternyata Amerika pun sedang berjuang mengatasi masalah homeless yang jumlahnya terus
membengkak. Pada tahun 1980-an, dari yang jumlahnya mereka hanya sekitar 200
hingga 500 ribu orang, namun di tahun 2009 naik menjadi 1,56 juta orang
(halaman 136).
Tak hanya itu. Penulis kemudian juga menangkap kesedihan lain yang
dialami bangsa Indian yang terdengar lirih karena ketergusuran mereka. Banyak
ritual dan warisan kebudayaan leluhur bangsa yang merupakan penduduk asli benua
itu mengalami penciutan makna hanya menjadi sekadar komoditas festival (halaman
150). Tanpa disadari penghapusan entitas kebudayaan tampaknya tengah terjadi,
modernitaslah pelakunya. Gejala ini, kelihatannya akan menjadi masalah yang
juga akan dihadapi oleh semua negara majemuk yang memiliki beragam etnis suku
bangsa.
Mengapa buku ini mengambil judul Kopi Sumatera di Amerika pun perlahan
mulai terpahami. Tampaknya, penulis menginginkan
bangsa Indonesia
tak terlalu memelihara sikap inferior ketika berhadapan dengan segala yang
berbau Amerika. Saat berkunjung ke Walmart, raksasa ritel di AS, penulis sempat
menemukan beberpa jaket berlabel Made in Indonesia.
Ia juga menjumpai kopi racikan khas Sumatera yang turut terpajang di jajaran
rak kopi terbaik. Kopi-kopi itu juga ia jumpai di sebuah kedai kopi di tepi
Court Street di Athens (halaman 71). Pada bagian kedua buku ini, penulis
sengaja merangkum beberapa hasil budaya Indonesia yang justru membuat
orang-orang Amerika merasa kagum padanya. Hasil budaya itu mampu memberikan
perspektif baru mereka pada negara-negara lain. Batik, wayang kulit, angklung,
adalah beberapa contoh hasil kebudayaan Indonesia yang berhasil mencuri
simpati warga Amerika.
Namun penulis juga tak lupa menyajikan beberapa hal yang bisa kita ambil
contoh dari Amerika. Di tanah air, ujian akhir sering menjadi ajang
‘pembantaian’, yang bertujuan mencari sebanyak mungkin kesalahan si anak didik.
Ujian tak dijadikan sebagai arena untuk menemukan inspirasi dari pengalaman
seorang mahasiswa yang sedang belajar menemukan dirinya di tengah kehidupan
yang demikian sulit. Anda mungkin akan sedikit terkejut ketika mengetahui bahwa
di tingkat sarjana dan magister di AS, ujian bukanlah hal wajib. Mahasiswa
memiliki kebebasan memilih antara; (1) ujian skripsi atau tesis, (2) proyek
profesional bisa dalam bentuk film dokumenter, tulisan jurnal, presenstasi
ilmiah, dll (3) ujian komprehensif dalam bentuk tulisan (halaman 24). Maka, tak
heran kalau kita sering mendapati skripsi hasil jiplakan atau bikinan jasa pembuat
skripsi, dari para sarjana kita.***
(Nur Hadi, Koran Muria, Minggu... 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar