Belajar
Waras kepada Si Cantrik
Judul Buku : Waras di Zaman Edan
Penulis :
Prie G. S.
Penerbit :
Penerbit Bentang (PT Bentang Pustaka), Yogyakarta
Cetakan :
Pertama, April 2013
Tebal :
236 halaman
Partikel “Si” di atas bukan bermaksud ‘mengecilkan’,
melainkan karena bentuk Si Cantrik (karakter kartun yang pernah dibuat
budayawan Prie G.S.) yang terkesan ‘ora
mbejaji’(tidak berharga), ndeso
(berpenampilan desa), serta perkataannya yang terkesan asal njeplak (ujar). Namun tentu saja tidak
saat Si Cantrik berujar dalam buku ini.
Meski Prie G. S., pembuat Si Cantrik, masih terkesan
asal ujar dan berparodi(semua ujarannya di buku ini memang pernah dimuat dalam
kolom ‘Parodi’ di sebuah Koran lokal), namun masalah-masalah yang
‘diributkannya’ itu justru tak sekadar lelucon pepesan kosong. Prie bahkan terang-terangan
membagi parodinya ke dalam sepuluh bab peta pemikiran dari mulai Belum Waras
sampai dengan Waras.
Alangkah ‘usil’nya Prie Si Cantrik ini. Coba baca
saat ia meributkan tulisan yang kerap dijumpai di WC-WC umum; “habis kencing
harap diguyur”. Dia memasukkan sentilan itu ke dalam bab Belum Waras, yang
seolah menunjuk bahwa orang yang malas atau bahkan tak mau mengguyur air
kencing sendiri masuk dalam kategori orang yang belum waras (pemikirannya).
Bagaimana tidak? Bukankah mengguyur air kencing sendiri memang sebuah kewajiban? Kenapa yang wajib
saja masih dianjur-anjurkan? (hal. 4). Juga ketika ia menyindir romantika
orang-orang top alias artis. Mereka adalah sosok yang amat dikagumi di luar,
namun menjadi sosok yang amat biasa saja di rumah (hal. 9). Kenapa bisa begitu?
Renungkan pula ketika Prie memberikan solusi untuk
tak terjebak pada lingkaran setan yang membelit negara kita. Ketika semua orang
korupsi, Si Cantrik ini punya jurus ampuh untuk memotong tali yang tak
berujung-pangkal itu; “Tak perlu takut, yang penting Anda tidak. Apakah itu
sulit?” (hal. 25) Dan ia memasukkan nasihatnya ini ke dalam bab Mengenal Waras,
yang seolah menunjuk orang-orang yang sulit memutus lingkaran setan itu memang
belum mengenal kewarasan.
Ada
yang menarik lagi, yaitu ketika Prie memberikan tips untuk Belajar Waras dengan
hanya Menyiram Bunga-bunga (hal. 46). Kegiatan menyiram bunga pun ternyata bisa
menjadi jeda untuk menghilangkan lelah akut. Dalam hal ini dia mengambil
analogi yang begitu dekat dengan kita, yaitu bunga di teras rumah, demi ingin
menunjukkan betapa banyak obat hebat di dunia yang ternyata letaknya begitu
dekat dan sering tak kita sadari.
Lalu, jika Anda ingin Berlatih Waras, Prie juga
memberikan anjuran untuk sering-sering Berteman Diri Sendiri. Sebab dengan cara
ini, Anda sedikit demi sedikit akan mulai sadar betapa banyak sebenarnya hal
remeh-temeh yang dipenting-pentingkan, dan betapa banyak hal penting namun
diremehkan sebab tidak nyata bentuknya (hal. 75).
Dalam bab Mulai Sedikit Agak Nyaris Waras Anda akan
diajak berpikir tentang baliho-baliho
bergambar tokoh yang banyak kita jumpai menjadi ‘sampah’ di pinggir jalan (hal.
90), bagaimana cara menampakkan rasa
sakit dan memperlakukan rasa malu dengan elegan (hal. 100), juga kecemasan dan
kekhawatiran yang tidak perlu (hal. 107).
Charles de Gaulle, negarawan dan Perdana Menteri
Perancis pernah berujar, kebanyakan politisi tidak pernah percaya atas ucapannya
sendiri. Mereka justru terkejut bila rakyat memercayainya. Indikator apa saja yang
menurut Prie bisa membuat warga negara percaya kepada negara (termasuk di
dalamnya, para pemimpin/politisi)? Prie beranggapan bahwa pangkal dari semua
persoalan yang bisa melebar ke mana-mana adalah kedaulatan hukum. Jika hukum
berdaulat, maka semuanya pun akan ikut membaik. Begitu juga sebaliknya jika hukum
tak berdaulat, maka semua pun akan ikut amburadul. Prie memasukkan pembahasan
ini ke dalam Sedikit Agak Nyaris Setengah Waras (hal. 119)
Lalu renungkan pula ketika Prie bergumam bahwa ada
sosok pahlawan yang berbentuk ayah dari seorang tukang pijat. Jumlah pahlawan
yang dihafal namanya sudah amat banyak, tapi jumlah pahlawan yang ditiru
perilakunya amat butuh didata. Ia memberi definisi cantik tentang siapa-siapa
yang semestinya juga pantas disebut pahlawan (hal. 143).
Nah, bagi Anda yang ingin tahu apakah
pemikiran-pemikiran Anda sudah Nyaris Setengah Waras, Setengah Waras, atau
sudah Waras, ada baiknya bila Anda berbagi pemikiran atau sekadar ngobrol
dengan buku ini. Tentu saja, ngobrol dengan cara merenung. Nanti Anda akan tahu
sendiri. Nanti akan tertawa riang setelahnya. *****
(Nur Hadi,
Koran Jakarta, 19 April 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar