Jumat, 18 Juli 2014

Belajar Waras kepada Si Cantrik



Belajar Waras kepada Si Cantrik




Judul Buku  : Waras di Zaman Edan
Penulis        :  Prie G. S.
Penerbit       :  Penerbit Bentang (PT Bentang Pustaka), Yogyakarta
Cetakan       :  Pertama, April 2013
Tebal           :  236 halaman


Partikel “Si” di atas bukan bermaksud ‘mengecilkan’, melainkan karena bentuk Si Cantrik (karakter kartun yang pernah dibuat budayawan Prie G.S.) yang terkesan ‘ora mbejaji’(tidak berharga), ndeso (berpenampilan desa), serta perkataannya yang terkesan asal njeplak (ujar). Namun tentu saja tidak saat Si Cantrik berujar dalam buku ini.
Meski Prie G. S., pembuat Si Cantrik, masih terkesan asal ujar dan berparodi(semua ujarannya di buku ini memang pernah dimuat dalam kolom ‘Parodi’ di sebuah Koran lokal), namun masalah-masalah yang ‘diributkannya’ itu justru tak sekadar lelucon pepesan kosong. Prie bahkan terang-terangan membagi parodinya ke dalam sepuluh bab peta pemikiran dari mulai Belum Waras sampai dengan Waras.
Alangkah ‘usil’nya Prie Si Cantrik ini. Coba baca saat ia meributkan tulisan yang kerap dijumpai di WC-WC umum; “habis kencing harap diguyur”. Dia memasukkan sentilan itu ke dalam bab Belum Waras, yang seolah menunjuk bahwa orang yang malas atau bahkan tak mau mengguyur air kencing sendiri masuk dalam kategori orang yang belum waras (pemikirannya). Bagaimana tidak? Bukankah mengguyur air kencing sendiri  memang sebuah kewajiban? Kenapa yang wajib saja masih dianjur-anjurkan? (hal. 4). Juga ketika ia menyindir romantika orang-orang top alias artis. Mereka adalah sosok yang amat dikagumi di luar, namun menjadi sosok yang amat biasa saja di rumah (hal. 9). Kenapa bisa begitu?
Renungkan pula ketika Prie memberikan solusi untuk tak terjebak pada lingkaran setan yang membelit negara kita. Ketika semua orang korupsi, Si Cantrik ini punya jurus ampuh untuk memotong tali yang tak berujung-pangkal itu; “Tak perlu takut, yang penting Anda tidak. Apakah itu sulit?” (hal. 25) Dan ia memasukkan nasihatnya ini ke dalam bab Mengenal Waras, yang seolah menunjuk orang-orang yang sulit memutus lingkaran setan itu memang belum mengenal kewarasan.
Ada yang menarik lagi, yaitu ketika Prie memberikan tips untuk Belajar Waras dengan hanya Menyiram Bunga-bunga (hal. 46). Kegiatan menyiram bunga pun ternyata bisa menjadi jeda untuk menghilangkan lelah akut. Dalam hal ini dia mengambil analogi yang begitu dekat dengan kita, yaitu bunga di teras rumah, demi ingin menunjukkan betapa banyak obat hebat di dunia yang ternyata letaknya begitu dekat dan sering tak kita sadari.
Lalu, jika Anda ingin Berlatih Waras, Prie juga memberikan anjuran untuk sering-sering Berteman Diri Sendiri. Sebab dengan cara ini, Anda sedikit demi sedikit akan mulai sadar betapa banyak sebenarnya hal remeh-temeh yang dipenting-pentingkan, dan betapa banyak hal penting namun diremehkan sebab tidak nyata bentuknya (hal. 75).
Dalam bab Mulai Sedikit Agak Nyaris Waras Anda akan diajak  berpikir tentang baliho-baliho bergambar tokoh yang banyak kita jumpai menjadi ‘sampah’ di pinggir jalan (hal. 90), bagaimana cara menampakkan  rasa sakit dan memperlakukan rasa malu dengan elegan (hal. 100), juga kecemasan dan kekhawatiran yang tidak perlu (hal. 107).
Charles de Gaulle, negarawan dan Perdana Menteri Perancis pernah berujar, kebanyakan politisi tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut bila rakyat memercayainya. Indikator apa saja yang menurut Prie bisa membuat warga negara percaya kepada negara (termasuk di dalamnya, para pemimpin/politisi)? Prie beranggapan bahwa pangkal dari semua persoalan yang bisa melebar ke mana-mana adalah kedaulatan hukum. Jika hukum berdaulat, maka semuanya pun akan ikut membaik. Begitu juga sebaliknya jika hukum tak berdaulat, maka semua pun akan ikut amburadul. Prie memasukkan pembahasan ini ke dalam Sedikit Agak Nyaris Setengah Waras (hal. 119)
Lalu renungkan pula ketika Prie bergumam bahwa ada sosok pahlawan yang berbentuk ayah dari seorang tukang pijat. Jumlah pahlawan yang dihafal namanya sudah amat banyak, tapi jumlah pahlawan yang ditiru perilakunya amat butuh didata. Ia memberi definisi cantik tentang siapa-siapa yang semestinya juga pantas disebut pahlawan (hal. 143).
Nah, bagi Anda yang ingin tahu apakah pemikiran-pemikiran Anda sudah Nyaris Setengah Waras, Setengah Waras, atau sudah Waras, ada baiknya bila Anda berbagi pemikiran atau sekadar ngobrol dengan buku ini. Tentu saja, ngobrol dengan cara merenung. Nanti Anda akan tahu sendiri. Nanti akan tertawa riang setelahnya. *****


(Nur Hadi, Koran Jakarta, 19 April 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar