Garis Perempuan dalam Poligami
Judul Buku : Athirah
Penulis :
Alberthiene Endah
Penerbit :
Penerbit Noura Books
Cetakan :
Cetakan Pertama, Desember 2013
Tebal :
387 halaman
ISBN : 978-602-7816-67-1
Menyerap
apa yang dikisahkan dalam novel ini amatlah menarik; betapa perempuan
sebenarnya memiliki energi terpendam yang mengagumkan. Di sebuah negara yang
mayoritas penduduknya menganut sistem patrilineal, perempuan sering dianggap
hanya sebagai warga nomor dua, kaum pelengkap, dan langkahnya terbatas hanya di
dapur, kasur, dan sumur. Maka, membaca kisah perjalanan hidup Athirah ini, saya
yakin pandangan kita akan hal itu pasti akan segera tereliminasi.
Dominasi
kaum lelaki sudah terbaca ketika Mak Kerra, ibunda Athirah, mengalami apa yang
oleh adat dipandang sebagai buah kewajaran. Ia dipersunting oleh seorang kepala
kampung yang berstatus sosial lebih tinggi dibanding ayahnya. Adat dan
kebiasaan pun membelenggu. Meski Kerra harus menghadapi penolakan dari tiga
istri sang kepala kampung, namun toh pernikahan itu tetap terjadi juga. Para gadis akan menurut saja pada kehendak orangtua
mereka. Pernikahan bukan termasuk dalam agenda kebebasan para gadis. Mereka
tunduk pada nasib (halaman 35). Kedudukan perempuan sering hanya dianggap
sebagai pelengkap, bahwa ketika (terutama) status ekonomi dan sosial seorang lelaki telah naik, maka mereka harus
menerima apapun perlakuan yang diberikan oleh suami, betapapun perlakuan itu
terkadang menafikan rasa keadilan.
Melalui
tangan Alberthiene, Jusuf Kalla menceritakan dengan detail perjuangan ibundanya
sejak ketika ayahnya merintis usaha dagangnya di Bone hingga kemudian mampu
melebarkan sayap di Makassar. Dari ketika
Athirah melahirkan satu persatu anak-anak Kalla, ketabahannya membantu usaha
dagang suaminya ketika Bone mengalami teror DI/TII, hingga kemudian terdengar
kabar bahwa lelaki itu kemudian membuat sarang lain di lain tempat. Kejadian
ini menciptakan trauma tersendiri dalam benak Jusuf dan saudara-saudaranya.
Hampir tiap hari mereka disuguhi kegelisahan Athirah yang menjadi-jadi, dari
tangisan sedih dalam kamar sampai pelariannya ke ‘orang pintar’ demi agar Kalla
dapat kembali normal seperti dulu. Tapi begitulah, perempuan—yang dalam cerita
ini diwakili Athirah—harus sadar, bahwa lelaki dapat begitu mudah melupakan
jasa-jasanya.
Setelah
gagal menyadarkan suaminya, dan sadar bahwa ia harus menerima takdir
dipoligami, Athirah mulai mengalami titik balik dari keterpurukannya sebagai
perempuan. Tak lagi mau menggantungkan keadaan pada suami, akhirnya Athirah pun
bergerak sendiri menggerakkan roda ekonomi keluarganya. Ia berusaha menyulap
kepedihan yang dialami menjadi energi yang menakjubkan. Jusuf mencatat,
ibundanya memulai perjuangannya dengan merintis usaha dagang kain tenun sutra
khas Bone, yakni dengan mendatangi langsung ke para pengerajinnya di desa-desa
dan menjadikan rumah mereka sebagai toko yang terbuka menerima kedatangan
siapapun.
Sebagai
seorang lelaki, Jusuf kemudian mendapatkan banyak pelajaran dari emmanya.
Catatan-catatan itu ia bingkai dalam hati, ia pergunakan sebagai patokan
bahwa kelak ia takkan melakukan kesalahan yang sama terhadap perempuan yang ia
sayangi. Apalagi ketika terungkap bahwa ayah Mufidah (istri Jusuf Kalla di kemudian
hari), tak menerima kedatangan Jusuf lantaran tahu sejarah ayahnya yang
berpoligami. Dari Athirahlah Jusuf banyak belajar tentang bagaimana caranya
menyelami kedalaman perasaan perempuan. Alur percintaannya dengan Mufidah memecah
novel ini dalam dua kisah yang memiliki satu napas.
Jusuf
mulai menyadari bahwa perempuan memiliki kekuatan yang mengagumkan ketika
bisnis ayahnya mulai terempas badai krisis. Tahun 1965, ketika Indonesia
mengalami inflasi besar-besaran, terbukti analisis dan ketajaman naluri bisnis
Athirah mampu menyelamatkan keterpurukan bisnis suaminya (halaman 285).
Lantakan emas yang disimpannya dalam kamar seperti kesabaran yang ditabungnya
dalam membesarkan anak-anaknya, mengantarkan satu persatu mereka menjemput
takdir masing-masing.
Buku
ini patut dimasukkan sebagai upaya memperjuangkan persamaan hak kaum perempuan.
Menempatkan poligami sebagai musuh perempuan, meskipun agama memberi prasyarat
yang harus dipenuhi kaum pria jika ingin mengambil jalan poligami. Melalui
novel ini, kita akan mendapatkan cermin, betapa sebenarnya tak mudah, bahkan
hampir mustahil kaum pria dapat memenuhi/menjalankan prasyarat tersebut. Meminjam
bahasa Gus Dur, poligami adalah pintu darurat dalam sebuah pesawat yang sedang
mengalami penerbangan darurat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar