Minggu, 20 Juli 2014

Garis Perempuan dalam Poligami



Garis Perempuan dalam Poligami


Judul Buku  :  Athirah
Penulis         :  Alberthiene Endah
Penerbit        :  Penerbit Noura Books
Cetakan         :  Cetakan Pertama,  Desember 2013
Tebal             :  387 halaman
ISBN             :  978-602-7816-67-1

Menyerap apa yang dikisahkan dalam novel ini amatlah menarik; betapa perempuan sebenarnya memiliki energi terpendam yang mengagumkan. Di sebuah negara yang mayoritas penduduknya menganut sistem patrilineal, perempuan sering dianggap hanya sebagai warga nomor dua, kaum pelengkap, dan langkahnya terbatas hanya di dapur, kasur, dan sumur. Maka, membaca kisah perjalanan hidup Athirah ini, saya yakin pandangan kita akan hal itu pasti akan segera tereliminasi.
Dominasi kaum lelaki sudah terbaca ketika Mak Kerra, ibunda Athirah, mengalami apa yang oleh adat dipandang sebagai buah kewajaran. Ia dipersunting oleh seorang kepala kampung yang berstatus sosial lebih tinggi dibanding ayahnya. Adat dan kebiasaan pun membelenggu. Meski Kerra harus menghadapi penolakan dari tiga istri sang kepala kampung, namun toh pernikahan itu tetap terjadi juga. Para gadis akan menurut saja pada kehendak orangtua mereka. Pernikahan bukan termasuk dalam agenda kebebasan para gadis. Mereka tunduk pada nasib (halaman 35). Kedudukan perempuan sering hanya dianggap sebagai pelengkap, bahwa ketika (terutama) status ekonomi dan sosial  seorang lelaki telah naik, maka mereka harus menerima apapun perlakuan yang diberikan oleh suami, betapapun perlakuan itu terkadang menafikan rasa keadilan.
Melalui tangan Alberthiene, Jusuf Kalla menceritakan dengan detail perjuangan ibundanya sejak ketika ayahnya merintis usaha dagangnya di Bone hingga kemudian mampu melebarkan sayap di Makassar. Dari ketika Athirah melahirkan satu persatu anak-anak Kalla, ketabahannya membantu usaha dagang suaminya ketika Bone mengalami teror DI/TII, hingga kemudian terdengar kabar bahwa lelaki itu kemudian membuat sarang lain di lain tempat. Kejadian ini menciptakan trauma tersendiri dalam benak Jusuf dan saudara-saudaranya. Hampir tiap hari mereka disuguhi kegelisahan Athirah yang menjadi-jadi, dari tangisan sedih dalam kamar sampai pelariannya ke ‘orang pintar’ demi agar Kalla dapat kembali normal seperti dulu. Tapi begitulah, perempuan—yang dalam cerita ini diwakili Athirah—harus sadar, bahwa lelaki dapat begitu mudah melupakan jasa-jasanya.
Setelah gagal menyadarkan suaminya, dan sadar bahwa ia harus menerima takdir dipoligami, Athirah mulai mengalami titik balik dari keterpurukannya sebagai perempuan. Tak lagi mau menggantungkan keadaan pada suami, akhirnya Athirah pun bergerak sendiri menggerakkan roda ekonomi keluarganya. Ia berusaha menyulap kepedihan yang dialami menjadi energi yang menakjubkan. Jusuf mencatat, ibundanya memulai perjuangannya dengan merintis usaha dagang kain tenun sutra khas Bone, yakni dengan mendatangi langsung ke para pengerajinnya di desa-desa dan menjadikan rumah mereka sebagai toko yang terbuka menerima kedatangan siapapun.
Sebagai seorang lelaki, Jusuf kemudian mendapatkan banyak pelajaran dari emmanya.  Catatan-catatan itu ia bingkai dalam hati, ia pergunakan sebagai patokan bahwa kelak ia takkan melakukan kesalahan yang sama terhadap perempuan yang ia sayangi. Apalagi ketika terungkap bahwa ayah Mufidah (istri Jusuf Kalla di kemudian hari), tak menerima kedatangan Jusuf lantaran tahu sejarah ayahnya yang berpoligami. Dari Athirahlah Jusuf banyak belajar tentang bagaimana caranya menyelami kedalaman perasaan perempuan. Alur percintaannya dengan Mufidah memecah novel ini dalam dua kisah yang memiliki satu napas.
Jusuf mulai menyadari bahwa perempuan memiliki kekuatan yang mengagumkan ketika bisnis ayahnya mulai terempas badai krisis. Tahun 1965, ketika Indonesia mengalami inflasi besar-besaran, terbukti analisis dan ketajaman naluri bisnis Athirah mampu menyelamatkan keterpurukan bisnis suaminya (halaman 285). Lantakan emas yang disimpannya dalam kamar seperti kesabaran yang ditabungnya dalam membesarkan anak-anaknya, mengantarkan satu persatu mereka menjemput takdir masing-masing.
Buku ini patut dimasukkan sebagai upaya memperjuangkan persamaan hak kaum perempuan. Menempatkan poligami sebagai musuh perempuan, meskipun agama memberi prasyarat yang harus dipenuhi kaum pria jika ingin mengambil jalan poligami. Melalui novel ini, kita akan mendapatkan cermin, betapa sebenarnya tak mudah, bahkan hampir mustahil kaum pria dapat memenuhi/menjalankan prasyarat tersebut. Meminjam bahasa Gus Dur, poligami adalah pintu darurat dalam sebuah pesawat yang sedang mengalami penerbangan darurat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar