Selasa, 11 Agustus 2015

Perahu Kecil Lelaki Kecil



Perahu Kecil Lelaki Kecil




Lelaki kecil itu sudah tak berayah ibu. Mereka sudah meninggal bertahun lalu, dalam sebuah huru-hara yang menaburkan kebencian pada etnis tertentu. Musibah yang sungguh mengharu biru. Lantaran setelahnya, lelaki kecil kita selalu merasa seperti debu. Debu di tengah maha luasnya kehidupan yang semu. Karena itulah ia begitu tak menyukai kehidupan yang dikotak-kotakkan berdasarkan muasal suku.
Hari ini, lelaki kecil kita membawa sebuah perahu kecil yang telah dipersiapkannya beberapa hari lalu. Sebuah perahu kecil yang berisi ide-ide, harapan, cita-cita, dan keinginan yang belum akan layu. Ia hendak melayarkan perahu kecilnya itu ke dalam sebuah buku.

Ia tahu buku memiliki banyak palung yang kedalamannya tak terukur. Lelaki kecil kita sebenarnya pernah tenggelam selama berhari-hari di dalam sebuah buku yang ia lupa siapa pengarang dan tahun terbitnya yang sudah lalu. Tanpa ia sadari. Dan ketika sadar, ia seperti baru saja terbangun dari sebuah mimpi yang sendu. Ia menjadi seseorang atau sesuatu yang lain, yang bukan dirinya. Ia kacau, sekacau-kacaunya.
Sehari-harinya lelaki kecil kita dikenal sebagai tukang jahit baju. Sebuah nasib tak terelak yang sering membuatnya cemburu pada orang-orang kaya yang mengetuk pintu rumahnya yang bercat biru. Pintu lapuk yang sudah berumur. Pintu yang selalu ia harapkan dibuka oleh seorang peri yang kemudian mengabulkan permintaannya yang beribu-ribu.
Itu sebelum ia mengenal buku, sebelum ia tahu bahwa buku ternyata mampu mencukupi semua keinginannya itu. Pernah suatu ketika ia tenggelam dalam sebuah palung buku. Lalu tiba-tiba ia sudah jelma seekor burung yang mampu terbang dari Alaska sampai Selandia Baru. Sebebas-bebasnya ia jelajahi langit biru. Membuang segala sendu. Memburu suka-cita tak terhitung.
*          *          *

Di tepian sebuah buku, lelaki kecil kita melihat perahu kecilnya yang mulai dipeluk gelombang. Diseret perlahan-lahan menuju barisan kalimat. Gelombang-gelombang itu seperti riuh pembicaraan yang tak akan pernah habis sepanjang waktu. Siap menenggelamkan apa saja yang berlayar di atasnya. Siap mengaramkan segala perkataan yang coba membantahnya. Tapi tentu saja lelaki kecil kita tak ingin perahu kecilnya tenggelam. Dari atas perahu yang dipermainkan gelombang itu, lelaki kecil kita terus mengawasi sembari mengemudikan perahu kecilnya dengan penuh waspada.
Sesekali perahu kecilnya oleng menghindari gelombang pemikiran yang datang bertubi-tubi. Pendapat yang kukuh juga menjadi ancaman nyata yang dapat menghancurkan apa pun yang menabraknya.
Beberapa jam kemudian, perahu kecil lelaki kecil kita telah jauh meninggalkan pantai yang damai. Semakin jauh ke tengah-tengah buku. Halaman demi halaman. Bab demi bab. Judul demi judul.
*          *          *

Langit gelap. Lidah petir menyambar-nyambar menghiasi jubah malam yang hitam pekat. Seperti sebuah harapan yang hendak mencari jalan menjadi kenyataan. Seperti lelaki kecil kita yang selalu merasa sendirian. Perasaan senyap itu semakin terasa saat udara mengabarkan kedatangan hujan. Hawa dingin semakin dingin. Hingga kemudian ia yakin bahwa badai akan datang.
Lelaki kecil kita berpegangan erat pada sisi perahu. Badai begitu riuh sekali memperdengarkan keberadaannya. Kulit lelaki kecil kita seolah tercerabut paksa. Kemudian ia pun merasakan perahu kecilnya yang tiba-tiba terangkat ke atas. Seperti ada tangan Malaikat yang tengah mempermainkannya. Hingga air mulai menggenangi perahu lelaki kecil kita. Ia pun mulai sibuk membuang genangan air yang semakin bertambah!
Air yang masuk semakin tak dapat ia imbangi. Kemiringan perahu semakin tak terkendali. Ketika yakin bahwa perahu tak dapat bertahan, “Aku tahu, pemikiranku ini hanyalah setitik debu di hadapanmu!” pekiknya sambil memejamkan mata, takut membayangkan apa yang selanjutnya akan terjadi.
Perahu kecil itupun tenggelam. Suara-suara mulai berebut masuk ke dalam liang telinganya. Membuat kepalanya mau pecah!
Ketika ia merasa telah tenggelam, kejadian aneh ini pun terjadi pada dirinya. Ia mendengar suara pedang beradu pedang. Entah bagaimana kejadiannya, ia tengah menggerakkan pedangnya ke sana-ke mari. Membabat leher, menusuk jantung, merobek perut. Ia sebenarnya tak menyukai peperangan—sesuatu yang selalu mengingatkan dengan kematian tragis kedua orangtuanya. Tapi tentu saja ia tak mau terbunuh sia-sia. Yang membuat lelaki kecil kita kaget adalah, peperangan dahsyat ini terjadi antara dirinya—ribuan dirinya—melawan ribuan huruf yang bangkit dari dalam samudera. Entah kapan dirinya membelah diri menjadi sebanyak itu.
“Aku ketegasanmu,” kata dirinya yang baru saja merobohkan sebuah koma.
“Aku keraguanmu,” desis dirinya yang sedang sekarat terkena sabetan pedang sebuah titik.
Ia melihat dirinya yang berkali-kali tewas di tangan huruf demi huruf. Ia juga melihat ratusan kalimat yang takluk di tangannya.
Dapat ia rasakan sensasi kematian ketika sebuah pedang berhasil mengoyak dada dirinya yang lain. Ribuan huruf kemudian masuk ke sana. Menimbulkan kenyerian luar biasa. Seperti terlempar ke sebuah kegelapan yang amat dalam. Huruf-huruf itu memenuhi aliran darahnya yang telah beku. Menyesaki kepalanya yang kosong. Memompa kembali jantungnya yang sudah berhenti denyut. Hingga kemudian tubuh itu benar-benar dikuasai oleh huruf-huruf yang brutal.
Dapat pula ia rasakan sensasi kepongahan ketika berhasil membuat berderet kalimat takluk di tangannya. Berpuluh lembar halaman telah berhasil ia kuasai. Ia sedikit jumawa. Ia sedikit merasa telah tumbuh dewasa. Sebelum kemudian ia kembali tersadar bahwa ia adalah seorang lelaki kecil dengan perahu kecil yang baru saja tenggelam di dalam sebuah buku.
*          *          *

Pagi masih berkabut ketika lelaki kecil kita berada di sebuah taman dengan kaki telanjang. Cahaya masih malu-malu menyapa bumi. Hawa dingin masih setia mengantarkan embun di pepucuk rerumputan. Burung-burung juga begitu riangnya merayakan kebebasan yang masih mereka miliki. Suasana yang sangat bagus untuk menggerakkan semua persendian badan.
Namun tak lama berselang, muncullah beberapa orang yang tiba-tiba saja membuntutinya. Lama-lama iring-iringan itu jadi seperti seekor ular dengan lelaki kecil kita sebagai kepalanya.
“Mengapa kalian membuntutiku?” tanya lelaki kecil kita kepada lelaki di belakangnya.
“Mengapa kalian membuntutiku?” bukannya berjawab, pertanyaan itu justru terus bersambung hingga sampai ke orang yang berada di barisan paling ekor.
“Apakah kalian tak punya aktivitas lain?” tanya lelaki kecil kita lagi. Namun pertanyaan itu juga sama nasibnya dengan pertanyaan pertama.
“Mengapa kalian membuntutiku?”
“Apakah kalian menganggap pertanyaanku sebagai lelucon?”
Semua pertanyaan lelaki kecil kita tak pernah mendapatkan jawab. Semua kalimatnya hanya berestafet dari satu mulut ke mulut lainnya. Bahkan ketika lelaki kecil kita duduk kelelahan. Orang-orang di belakangnya juga ikut duduk kelelahan. Meskipun di antaranya ada yang tak menampakkan wajah lelah.
“Apa kalian juga akan mengikutiku pulang?” tanya lelaki kecil kita kepada lelaki di sampingnya.
“Apa kalian juga akan mengikutiku pulang?” bukannya berjawab, pertanyaan itu juga terus bersambung hingga orang yang berada di barisan paling ekor.
“Apakah kalian tak punya keinginan sendiri?”
“Apakah kalian tak pernah berpikir tentang apa yang kalian lakukan?”
Lelaki kecil kita benar-benar tak mengerti. Ada sedikit perasaan takut yang menyelinap dalam dadanya. Apa yang akan terjadi jika ternyata seisi kota menjadi robot yang terus mengikuti segala polahnya? Apakah ia telah melakukan sebuah kesalahan fatal sehingga orang-orang ini jadi seperti si tolol tak berotak?
Tak lama kemudian beberapa orang tiba-tiba jatuh tersungkur, tak sadarkan diri. Mulut mereka mengeluarkan air melimpah. Seperti orang yang baru saja tenggelam. Ketika huruf demi huruf juga mulai keluar dari mulut orang-orang yang jatuh pingsan itu, lelaki kecil kita mulai yakin, mereka pastilah orang-orang yang telah tenggelam di dalam sebuah buku.
Saat itulah lelaki kecil kita teringat dengan perahu kecilnya yang telah lepas bebas ke dalam sebuah buku. Perahu kecilnya yang mengangkut ide-ide, harapan, cita-cita, dan keinginan yang belum akan layu.*


Kalinyamatan-Jepara, 2015.
Terinspirasi oleh sebuah gambar repro di pinterest, yang tak saya ketahui judul dan pelukisnya.


(Adi Zamzam, Tribun Jabar, Minggu 2 Agustus 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar