Perahu Kecil Lelaki Kecil
Lelaki
kecil itu sudah tak berayah ibu. Mereka sudah meninggal bertahun lalu, dalam
sebuah huru-hara yang menaburkan kebencian pada etnis tertentu. Musibah yang
sungguh mengharu biru. Lantaran setelahnya, lelaki kecil kita selalu merasa
seperti debu. Debu di tengah maha luasnya kehidupan yang semu. Karena itulah ia
begitu tak menyukai kehidupan yang dikotak-kotakkan berdasarkan muasal suku.
Hari
ini, lelaki kecil kita membawa sebuah perahu kecil yang telah dipersiapkannya
beberapa hari lalu. Sebuah perahu kecil yang berisi ide-ide, harapan,
cita-cita, dan keinginan yang belum akan layu. Ia hendak melayarkan perahu
kecilnya itu ke dalam sebuah buku.
Ia
tahu buku memiliki banyak palung yang kedalamannya tak terukur. Lelaki kecil
kita sebenarnya pernah tenggelam selama berhari-hari di dalam sebuah buku yang
ia lupa siapa pengarang dan tahun terbitnya yang sudah lalu. Tanpa ia sadari.
Dan ketika sadar, ia seperti baru saja terbangun dari sebuah mimpi yang sendu.
Ia menjadi seseorang atau sesuatu yang lain, yang bukan dirinya. Ia kacau,
sekacau-kacaunya.
Sehari-harinya
lelaki kecil kita dikenal sebagai tukang jahit baju. Sebuah nasib tak terelak
yang sering membuatnya cemburu pada orang-orang kaya yang mengetuk pintu
rumahnya yang bercat biru. Pintu lapuk yang sudah berumur. Pintu yang selalu ia
harapkan dibuka oleh seorang peri yang kemudian mengabulkan permintaannya yang
beribu-ribu.
Itu
sebelum ia mengenal buku, sebelum ia tahu bahwa buku ternyata mampu mencukupi semua
keinginannya itu. Pernah suatu ketika ia tenggelam dalam sebuah palung buku.
Lalu tiba-tiba ia sudah jelma seekor burung yang mampu terbang dari Alaska
sampai Selandia Baru. Sebebas-bebasnya ia jelajahi langit biru. Membuang segala
sendu. Memburu suka-cita tak terhitung.
* * *
Di
tepian sebuah buku, lelaki kecil kita melihat perahu kecilnya yang mulai
dipeluk gelombang. Diseret perlahan-lahan menuju barisan kalimat. Gelombang-gelombang
itu seperti riuh pembicaraan yang tak akan pernah habis sepanjang waktu. Siap
menenggelamkan apa saja yang berlayar di atasnya. Siap mengaramkan segala
perkataan yang coba membantahnya. Tapi tentu saja lelaki kecil kita tak ingin
perahu kecilnya tenggelam. Dari atas perahu yang dipermainkan gelombang itu,
lelaki kecil kita terus mengawasi sembari mengemudikan perahu kecilnya dengan
penuh waspada.
Sesekali
perahu kecilnya oleng menghindari gelombang pemikiran yang datang bertubi-tubi.
Pendapat yang kukuh juga menjadi ancaman nyata yang dapat menghancurkan apa pun
yang menabraknya.
Beberapa
jam kemudian, perahu kecil lelaki kecil kita telah jauh meninggalkan pantai
yang damai. Semakin jauh ke tengah-tengah buku. Halaman demi halaman. Bab demi
bab. Judul demi judul.
* * *
Langit
gelap. Lidah petir menyambar-nyambar menghiasi jubah malam yang hitam pekat.
Seperti sebuah harapan yang hendak mencari jalan menjadi kenyataan. Seperti
lelaki kecil kita yang selalu merasa sendirian. Perasaan senyap itu semakin
terasa saat udara mengabarkan kedatangan hujan. Hawa dingin semakin dingin. Hingga
kemudian ia yakin bahwa badai akan datang.
Lelaki
kecil kita berpegangan erat pada sisi perahu. Badai begitu riuh sekali
memperdengarkan keberadaannya. Kulit lelaki kecil kita seolah tercerabut paksa.
Kemudian ia pun merasakan perahu kecilnya yang tiba-tiba terangkat ke atas.
Seperti ada tangan Malaikat yang tengah mempermainkannya. Hingga air mulai
menggenangi perahu lelaki kecil kita. Ia pun mulai sibuk membuang genangan air
yang semakin bertambah!
Air
yang masuk semakin tak dapat ia imbangi. Kemiringan perahu semakin tak
terkendali. Ketika yakin bahwa perahu tak dapat bertahan, “Aku tahu,
pemikiranku ini hanyalah setitik debu di hadapanmu!” pekiknya sambil memejamkan
mata, takut membayangkan apa yang selanjutnya akan terjadi.
Perahu
kecil itupun tenggelam. Suara-suara mulai berebut masuk ke dalam liang
telinganya. Membuat kepalanya mau pecah!
Ketika
ia merasa telah tenggelam, kejadian aneh ini pun terjadi pada dirinya. Ia
mendengar suara pedang beradu pedang. Entah bagaimana kejadiannya, ia tengah
menggerakkan pedangnya ke sana-ke mari. Membabat leher, menusuk jantung,
merobek perut. Ia sebenarnya tak menyukai peperangan—sesuatu yang selalu
mengingatkan dengan kematian tragis kedua orangtuanya. Tapi tentu saja ia tak
mau terbunuh sia-sia. Yang membuat lelaki kecil kita kaget adalah, peperangan
dahsyat ini terjadi antara dirinya—ribuan dirinya—melawan ribuan huruf yang
bangkit dari dalam samudera. Entah kapan dirinya membelah diri menjadi sebanyak
itu.
“Aku
ketegasanmu,” kata dirinya yang baru saja merobohkan sebuah koma.
“Aku
keraguanmu,” desis dirinya yang sedang sekarat terkena sabetan pedang sebuah
titik.
Ia
melihat dirinya yang berkali-kali tewas di tangan huruf demi huruf. Ia juga
melihat ratusan kalimat yang takluk di tangannya.
Dapat
ia rasakan sensasi kematian ketika sebuah pedang berhasil mengoyak dada dirinya
yang lain. Ribuan huruf kemudian masuk ke sana. Menimbulkan kenyerian luar
biasa. Seperti terlempar ke sebuah kegelapan yang amat dalam. Huruf-huruf itu
memenuhi aliran darahnya yang telah beku. Menyesaki kepalanya yang kosong.
Memompa kembali jantungnya yang sudah berhenti denyut. Hingga kemudian tubuh
itu benar-benar dikuasai oleh huruf-huruf yang brutal.
Dapat
pula ia rasakan sensasi kepongahan ketika berhasil membuat berderet kalimat
takluk di tangannya. Berpuluh lembar halaman telah berhasil ia kuasai. Ia
sedikit jumawa. Ia sedikit merasa telah tumbuh dewasa. Sebelum kemudian ia
kembali tersadar bahwa ia adalah seorang lelaki kecil dengan perahu kecil yang
baru saja tenggelam di dalam sebuah buku.
* * *
Pagi
masih berkabut ketika lelaki kecil kita berada di sebuah taman dengan kaki
telanjang. Cahaya masih malu-malu menyapa bumi. Hawa dingin masih setia
mengantarkan embun di pepucuk rerumputan. Burung-burung juga begitu riangnya
merayakan kebebasan yang masih mereka miliki. Suasana yang sangat bagus untuk
menggerakkan semua persendian badan.
Namun
tak lama berselang, muncullah beberapa orang yang tiba-tiba saja membuntutinya.
Lama-lama iring-iringan itu jadi seperti seekor ular dengan lelaki kecil kita
sebagai kepalanya.
“Mengapa
kalian membuntutiku?” tanya lelaki kecil kita kepada lelaki di belakangnya.
“Mengapa
kalian membuntutiku?” bukannya berjawab, pertanyaan itu justru terus bersambung
hingga sampai ke orang yang berada di barisan paling ekor.
“Apakah
kalian tak punya aktivitas lain?” tanya lelaki kecil kita lagi. Namun
pertanyaan itu juga sama nasibnya dengan pertanyaan pertama.
“Mengapa
kalian membuntutiku?”
“Apakah
kalian menganggap pertanyaanku sebagai lelucon?”
Semua
pertanyaan lelaki kecil kita tak pernah mendapatkan jawab. Semua kalimatnya
hanya berestafet dari satu mulut ke mulut lainnya. Bahkan ketika lelaki kecil
kita duduk kelelahan. Orang-orang di belakangnya juga ikut duduk kelelahan.
Meskipun di antaranya ada yang tak menampakkan wajah lelah.
“Apa
kalian juga akan mengikutiku pulang?” tanya lelaki kecil kita kepada lelaki di
sampingnya.
“Apa kalian juga akan mengikutiku pulang?” bukannya berjawab, pertanyaan
itu juga terus bersambung hingga orang yang berada di barisan paling ekor.
“Apakah kalian tak punya keinginan sendiri?”
“Apakah kalian tak pernah berpikir tentang apa yang kalian lakukan?”
Lelaki kecil kita benar-benar tak mengerti. Ada sedikit perasaan takut
yang menyelinap dalam dadanya. Apa yang akan terjadi jika ternyata seisi kota
menjadi robot yang terus mengikuti segala polahnya? Apakah ia telah melakukan
sebuah kesalahan fatal sehingga orang-orang ini jadi seperti si tolol tak
berotak?
Tak lama kemudian beberapa orang tiba-tiba jatuh tersungkur, tak sadarkan
diri. Mulut mereka mengeluarkan air melimpah. Seperti orang yang baru saja
tenggelam. Ketika huruf demi huruf juga mulai keluar dari mulut orang-orang
yang jatuh pingsan itu, lelaki kecil kita mulai yakin, mereka pastilah
orang-orang yang telah tenggelam di dalam sebuah buku.
Saat itulah lelaki kecil kita teringat dengan perahu kecilnya yang telah
lepas bebas ke dalam sebuah buku. Perahu kecilnya yang mengangkut ide-ide,
harapan, cita-cita, dan keinginan yang belum akan layu.*
Kalinyamatan-Jepara, 2015.
Terinspirasi oleh sebuah gambar repro di pinterest, yang tak saya ketahui judul dan pelukisnya.
(Adi Zamzam, Tribun Jabar, Minggu 2 Agustus 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar