Nasihat Pertama untuk Calon Sastrawan
Rasa
jengkel benar-benar telah meracuni kesabaranku dengan angkutan kota yang saat ini
memenjarakan tubuhku dalam perutnya. Di samping hidungku harus dilecehkan
dengan aneka bebauan yang campur-baur tak karuan; dari mulai keringat, minyak
angin, amis ikan, asap rokok, sampai parfum murahan, waktu juga seakan bukan
barang berharga bagi mereka. Seenak udelnya
lambat merayap demi mencari tambahan penumpang.
Andai
saja aku tipe tak punya malu dan tak jijik melewati para laki-laki bertampang
kasar yang berjubel di perut bus trans ini, pastilah aku sudah turun sedari
tadi. Harus kukunyah mentah- mentah kejengkelan ini.
Mas
Anton punya andil juga atas kesialanku kali ini. Salah suamiku itu, karena
percaya dengan bengkel mobil tak profesional. Meski bengkel itu terkenal dan
banyak pelanggan, tapi jika tak bisa menepati janji sendiri, bukankah lebih
baik ke tempat lain saja?
Tapi
jika dipikir-pikir, semenjak memiliki mobil itu, sepertinya banyak sekali
kesialan yang kami alami. Telah tiga kali Mas Anton menyebabkan pengendara
sepeda motor masuk rumah sakit, telah dua kali Mas Anton terperosok selokan
pinggir jalan, juga beberapa kecelakaan kecil lainnya yang tak kalah menanggung
gerutu. Padahal, sewaktu kami masih pakai mobil yang pertama dulu, frekuensi
kesialan Mas Anton tak sebesar ini.
“Butuh
penyesuaian, Dik,” kilah Mas Anton sewaktu menabrak akasia di pinggir jalan
kemarin. Membuatku sering menyesali kenapa juga kami mengambil mobil mewah ini
dengan cara ‘berdarah-darah’ karena aku terpaksa harus pinjam uang ke kantorku
dulu. Yah, semua hanya demi membeli gengsi karena Mas Anton yang sudah seorang
pemimpin perusahaan yang baru saja ia rintis bersama teman-temannya. Sebuah CV
yang sering terikat kontrak pengadaan barang dengan Pemkot.
Ah,
baru kusadari bahwa di sampingku adalah seorang pemuda yang kelihatannya bisa
diajak kerjasama untuk membunuh bosan. Dari tampang dan sikapnya, kelihatan
bahwa ia adalah orang terpelajar.
“Kuliah,
Dik?”
Memeluk
erat tasnya yang gembung, entah berisi apa, “Nagih uang Bapak, Mbak.”
“Hutang?”
Pemuda
itu mengangguk sambil tersenyum, “Sebenarnya dulu lancar-lancar saja, Mbak.
Entah mengapa setahun belakangan ini mereka seolah cuci tangan dengan
kewajibannya. Telah tiga kali saya menelpon, tapi mereka selalu saja ingkar
janji. Bilangnya tiga hari lagi akan diproses, lalu seminggu lagi, sepuluh hari
lagi, sampai-sampai saya malu untuk menelpon lagi.”
“Tabiat
kebanyakan orang memang begitu, Dik. Saat pinjam, semangatnya bukan main sampai
kadang setengah maksa. Namun saat giliran mengembalikan, ada saja alasan untuk menunda.”
“Bapak
sebenarnya enggak mau nagih, Mbak. Kami anak-anaknyalah yang selalu ngotot agar
Bapak mengambil hak beliau. Apalagi beliau sekarang di rumah sakit. Kami sangat
butuh biaya tambahan. Jadi, mau tak mau nanti aku harus dapat uang.”
“Rumah
sakit mana, Dik?”
Pemuda
itu menyebut nama sebuah rumah sakit daerah luar propinsi ini. Ternyata ia
berasal dari sebuah kota
kecil di luar propinsi. Aku mulai bisa mengira-ngira apa isi tasnya yang gemuk
itu. Pasti bekal perjalanan.
Saat
arloji di tanganku menunjuk pukul sembilan, rasa jengkel benar-benar memuncak.
Entah mengapa bus keparat ini malah semakin melambat.
”Turun
di mana, Dik?”
Belum
sempat mendapat jawab, tiba-tiba saja bus yang kami tumpangi terhenti.
Terdengar ribut-ribut. Beberapa penumpang berhamburan keluar. Kukira telah
terjadi kesalahan serius yang kiranya dapat membahayakan keselamatan para
penumpang. Karena itulah aku pun turut
bergegas keluar bus.
Aku
masih juga belum paham dengan apa yang sebenarnya terjadi ketika sebagian
penumpang kulihat mengejar-ngejar seseorang. Baru kemudian aku mendengar…
“Bus
rongsokan… keneknya melarikan diri tuh…!”
Beberapa
penumpang lain—yang terlihat kecewa—langsung ngetem di pinggir jalan, menunggu bus lainnya lagi tanpa berusaha
menagih uangnya kembali. Pemuda di sampingku tadi juga. Kulihat ia tengah
berbicara dengan seseorang dalam handphone. Kuhampiri saja dia. Entah mengapa
aku merasa yakin bahwa pemuda itu akan butuh bantuanku.
“Itulah
mengapa fakultas sastra banyak bangku kosongnya, Rul. Bagaimana tidak? Apa sih
yang bisa diharapkan dari sastra? Apa Andrea dan Abik itu lulusan sastra? Apa
Taufik Ismail, Danarto, Hamsad Rangkuti itu lulusan sastra? Paham kan kalau para sastrawan
negeri ini kebanyakan bukan sarjana sastra? Sastra itu cuma pekerjaan pengisi
waktu senggang…”
Seperti
sangkaku, ia seorang mahasiswa. Sepertinya anak sastra. Percakapannya itu
lumayan menggelitik rasa ingin tahuku. Sebab, tujuh tahun silam, aku pun adalah
mahasiswa sastra. Dan memang benar perkataan yang kudengar itu, lulusan sastra
masa depannya bagai tak punya kompas penunjuk arah. Pernah kutawarkan ijazahku
ke berbagai perusahaan favorit. Tapi ujung-ujungnya hanyalah parkir sebagai
tukang ketik di sebuah kantor notaris. Jika bukan karena suamiku yang dulunya
adalah wartawan senior, mana bisa sekarang aku menjadi penjaga gawang ruang
para sastrawan memamerkan buah pemikirannya di sebuah harian lokal.
“Alangkah
menyedihkannya menjadi seorang penulis di negeri ini. Aku benar-benar tak paham
apa maunya media-media barbar itu memberikan ruang sastra tiap hari Minggu.
Kalau untuk menaikkan oplah, sepertinya tidak, karena berapalah jumlah para
penggemar sejati sastra itu. Pasti motifnya hanya ikut-ikutan. Gengsi, takut
dibilang media yang tak menghargai budaya. Tapi apa ya mesti dengan
mengorbankan para sastrawan?”
Aku
terhenyak. Urung menyapanya. Ada
yang sedikit tersengat dalam dadaku.
“Mungkin
itu sebabnya Bapak lebih menyuruhku masuk ke jurusan ekonomi meski kau tahu
sendiri, aku menyukai sastra, Rul. Sastra tak ada baunya di negeri ini.”
Entah
apa yang diperbincangkannya itu.
Beberapa
orang memanggilku untuk turut menuntut balik uang angkot yang dibawa lari si
kenek. Lelaki nakal itu telah tertangkap. Ribut sekali orang-orang yang
mengerumuninya. Tapi aku tak akan melakukan itu. Sebuah bus lain yang setujuan
denganku telah terlihat di ujung pandangan. Aku sudah terlambat masuk kantor
gara-gara bus keparat tadi.
* * *
Teguran
Moko—sang Pemimpin Redaksi—langsung menyambutku tatkala baru saja kurasakan
nyamannya duduk. Aku bahkan dikira melupakan jadwal bahwa hari ini ada rapat
koordinasi bulanan. Meski telah kuceritakan pengalaman buruk yang baru saja
kualami tadi.
“Kenapa
tak pakai taksi?” lelaki tambun pendek itu berhasil membuatku mati kutu.
Tapi
untunglah baru sekali aku mengalami kesialan seperti ini. Dan rapat penting
yang lebih penting dari emosiku itu pun kembali mengalir. Yah, tentu saja.
Mereka bahkan telah memutuskan tugas baruku tanpa aku tahu bagaimana prosesnya
tadi. Jatah sastra akan dikurangi—cukup dua kali dalam sebulan. Untuk mengisi
kekosongan, aku ditugaskan untuk meliput berita-berita humaniora.
Entah
mengapa wajah pemuda dalam bus itu melintas dalam benakku. Semua
perkataannya—yang tanpa sengaja terekam dalam ingatanku, kini kembali
terngiang-ngiang.
“Kalau
jatah sastra dikurangi, apa tak menimbulkan kontra, Pak?”
“Kontranya
siapa? Sastrawan-sastrawati? Pendapatan
iklan kita sedang meningkat, tapi tiras kita di hari Minggu belum pernah
kulihat ada perubahan. Rubrik-rubrik kita di hari Minggu kalah bersaing dengan
berita tabloid dan majalah, Mbak Rina.”
“Tapi
kenapa sastra yang harus dikorbankan, Pak? Kenapa tak berita lain saja, seperti
berita seleb atau…”
“Berita
seleb kadarnya hampir setara dengan berita utama lho. Efeknya bagus. Itulah
kenapa setiap hari kita menyelipkannya di kamar akhir.”
“Sport
dan seleb itu sudah menjadi kebutuhan pokok. Koran-koran lain juga melakukan
hal serupa. Kita lihat saja, Mbak, perbandingan antara tiras media-media yang
mengutamakan seleb dan sport sebagai sajian utama dengan media sastra?”
Sebenarnya
masih ada banyak ganjalan yang ingin kulempar keluar. Tapi adakah gunanya?
Tentu saja, bahwa semua sudah mafhum apa itu sastra.
* * *
“Saya
benar-benar lupa, Bu. Apa Ibu tega menyuruh saya pulang kembali tanpa sepeser
uang pun?”
“Tapi
memang begitulah persyaratannya, Mas. Semua itu demi menghindari penipuan.”
Aku
melihat keributan kecil itu di ruang Tata Usaha. Kulihat pemuda yang tadi
menjadi teman percakapanku dalam bus. Raut kecewa jelas terbias dari wajahnya.
Keningnya berkerut saat kusapa.
“Ibu
juga ambil honor ke sini?”
“Saya
kerja di sini, Mas. Ada
masalah apa ya? Bisa saya Bantu?”
Pemuda
itu menjelaskan detail. Sesekali menoleh tak suka dengan Aida, penjaga gawang
Bagian Keuangan. Ia lupa tak membawa KTP bapaknya. Ia juga tak membawa surat kuasa bermaterai
yang berisikan mandat asli dari bapaknya. Semua keteledorannya itu terjadi
karena ia memang benar-benar belum tahu.
Kutanya
siapa nama bapaknya. Ia menyebut sebuah nama yang memang tak asing lagi bagi
ingatanku. Aku langsung beranjak ke arah Aida. Kami disibukkan mencari tanda
bukti persetujuan honor kemudian.
“Ada perubahan kebijakan di
kantor kami, Mas. Honor sastra sekarang turun, tapi cuma sepuluh persen kok.
Kami juga tak bisa lagi mengirimkan honor lewat wesel,” kusorongkan beberapa lembar uang ke
pemuda itu. Lima
kali pemuatan cerpen dan puisi bapaknya.
“Ah,
Ibu ini juga cuma cari alasan. Kemarin sewaktu kutelpon, sudah berulang-ulang
kusebutkan nomer rekeningku. Tapi ingatan Ibu Bagian Keuangan memang payah,”
pemuda itupun membalikkan tubuh. Tanpa ujar terima kasih sedikitpun.
“Sepertinya
masih banyak yang belum dibayarkan ya, Mbak?” aku menoleh ke Aida lagi.
“Pusing
aku, Bu. Hampir semua wartawan punya kredit macet denganku,” sahutnya. Membuat
dadaku sedikit tertonjok.
Mobil
yang sekarang kubengkelkan, dananya juga berasal dari situ. Jangan-jangan…
apakah semua kesialan kami sebenarnya bermuara dari dosa?*****
(Adi Zamzam, Radar Surabaya, Minggu 4 Maret 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar