Rabu, 02 September 2015

Nasihat Pertama untuk Calon Sastrawan



Nasihat Pertama untuk Calon Sastrawan



Rasa jengkel benar-benar telah meracuni kesabaranku dengan angkutan kota yang saat ini memenjarakan tubuhku dalam perutnya. Di samping hidungku harus dilecehkan dengan aneka bebauan yang campur-baur tak karuan; dari mulai keringat, minyak angin, amis ikan, asap rokok, sampai parfum murahan, waktu juga seakan bukan barang berharga bagi mereka. Seenak udelnya lambat merayap demi mencari tambahan penumpang.
Andai saja aku tipe tak punya malu dan tak jijik melewati para laki-laki bertampang kasar yang berjubel di perut bus trans ini, pastilah aku sudah turun sedari tadi. Harus kukunyah mentah- mentah kejengkelan ini.

Mas Anton punya andil juga atas kesialanku kali ini. Salah suamiku itu, karena percaya dengan bengkel mobil tak profesional. Meski bengkel itu terkenal dan banyak pelanggan, tapi jika tak bisa menepati janji sendiri, bukankah lebih baik ke tempat lain saja?
Tapi jika dipikir-pikir, semenjak memiliki mobil itu, sepertinya banyak sekali kesialan yang kami alami. Telah tiga kali Mas Anton menyebabkan pengendara sepeda motor masuk rumah sakit, telah dua kali Mas Anton terperosok selokan pinggir jalan, juga beberapa kecelakaan kecil lainnya yang tak kalah menanggung gerutu. Padahal, sewaktu kami masih pakai mobil yang pertama dulu, frekuensi kesialan Mas Anton tak sebesar ini.
“Butuh penyesuaian, Dik,” kilah Mas Anton sewaktu menabrak akasia di pinggir jalan kemarin. Membuatku sering menyesali kenapa juga kami mengambil mobil mewah ini dengan cara ‘berdarah-darah’ karena aku terpaksa harus pinjam uang ke kantorku dulu. Yah, semua hanya demi membeli gengsi karena Mas Anton yang sudah seorang pemimpin perusahaan yang baru saja ia rintis bersama teman-temannya. Sebuah CV yang sering terikat kontrak pengadaan barang dengan Pemkot.
Ah, baru kusadari bahwa di sampingku adalah seorang pemuda yang kelihatannya bisa diajak kerjasama untuk membunuh bosan. Dari tampang dan sikapnya, kelihatan bahwa ia adalah orang terpelajar.
“Kuliah, Dik?”
Memeluk erat tasnya yang gembung, entah berisi apa, “Nagih uang Bapak, Mbak.”
“Hutang?”
Pemuda itu mengangguk sambil tersenyum, “Sebenarnya dulu lancar-lancar saja, Mbak. Entah mengapa setahun belakangan ini mereka seolah cuci tangan dengan kewajibannya. Telah tiga kali saya menelpon, tapi mereka selalu saja ingkar janji. Bilangnya tiga hari lagi akan diproses, lalu seminggu lagi, sepuluh hari lagi, sampai-sampai saya malu untuk menelpon lagi.”
“Tabiat kebanyakan orang memang begitu, Dik. Saat pinjam, semangatnya bukan main sampai kadang setengah maksa. Namun saat giliran mengembalikan, ada saja alasan untuk menunda.”
“Bapak sebenarnya enggak mau nagih, Mbak. Kami anak-anaknyalah yang selalu ngotot agar Bapak mengambil hak beliau. Apalagi beliau sekarang di rumah sakit. Kami sangat butuh biaya tambahan. Jadi, mau tak mau nanti aku harus dapat uang.”
“Rumah sakit mana, Dik?”
Pemuda itu menyebut nama sebuah rumah sakit daerah luar propinsi ini. Ternyata ia berasal dari sebuah kota kecil di luar propinsi. Aku mulai bisa mengira-ngira apa isi tasnya yang gemuk itu. Pasti bekal perjalanan.
Saat arloji di tanganku menunjuk pukul sembilan, rasa jengkel benar-benar memuncak. Entah mengapa bus keparat ini malah semakin melambat.
”Turun di mana, Dik?”
Belum sempat mendapat jawab, tiba-tiba saja bus yang kami tumpangi terhenti. Terdengar ribut-ribut. Beberapa penumpang berhamburan keluar. Kukira telah terjadi kesalahan serius yang kiranya dapat membahayakan keselamatan para penumpang. Karena itulah aku pun turut  bergegas keluar bus.
Aku masih juga belum paham dengan apa yang sebenarnya terjadi ketika sebagian penumpang kulihat mengejar-ngejar seseorang. Baru kemudian aku mendengar…
“Bus rongsokan… keneknya melarikan diri tuh…!”
Beberapa penumpang lain—yang terlihat kecewa—langsung ngetem di pinggir jalan, menunggu bus lainnya lagi tanpa berusaha menagih uangnya kembali. Pemuda di sampingku tadi juga. Kulihat ia tengah berbicara dengan seseorang dalam handphone. Kuhampiri saja dia. Entah mengapa aku merasa yakin bahwa pemuda itu akan butuh bantuanku.
“Itulah mengapa fakultas sastra banyak bangku kosongnya, Rul. Bagaimana tidak? Apa sih yang bisa diharapkan dari sastra? Apa Andrea dan Abik itu lulusan sastra? Apa Taufik Ismail, Danarto, Hamsad Rangkuti itu lulusan sastra? Paham kan kalau para sastrawan negeri ini kebanyakan bukan sarjana sastra? Sastra itu cuma pekerjaan pengisi waktu senggang…”
Seperti sangkaku, ia seorang mahasiswa. Sepertinya anak sastra. Percakapannya itu lumayan menggelitik rasa ingin tahuku. Sebab, tujuh tahun silam, aku pun adalah mahasiswa sastra. Dan memang benar perkataan yang kudengar itu, lulusan sastra masa depannya bagai tak punya kompas penunjuk arah. Pernah kutawarkan ijazahku ke berbagai perusahaan favorit. Tapi ujung-ujungnya hanyalah parkir sebagai tukang ketik di sebuah kantor notaris. Jika bukan karena suamiku yang dulunya adalah wartawan senior, mana bisa sekarang aku menjadi penjaga gawang ruang para sastrawan memamerkan buah pemikirannya di sebuah harian lokal.
“Alangkah menyedihkannya menjadi seorang penulis di negeri ini. Aku benar-benar tak paham apa maunya media-media barbar itu memberikan ruang sastra tiap hari Minggu. Kalau untuk menaikkan oplah, sepertinya tidak, karena berapalah jumlah para penggemar sejati sastra itu. Pasti motifnya hanya ikut-ikutan. Gengsi, takut dibilang media yang tak menghargai budaya. Tapi apa ya mesti dengan mengorbankan para sastrawan?”
Aku terhenyak. Urung menyapanya. Ada yang sedikit tersengat dalam dadaku.
“Mungkin itu sebabnya Bapak lebih menyuruhku masuk ke jurusan ekonomi meski kau tahu sendiri, aku menyukai sastra, Rul. Sastra tak ada baunya di negeri ini.”
Entah apa yang diperbincangkannya itu.
Beberapa orang memanggilku untuk turut menuntut balik uang angkot yang dibawa lari si kenek. Lelaki nakal itu telah tertangkap. Ribut sekali orang-orang yang mengerumuninya. Tapi aku tak akan melakukan itu. Sebuah bus lain yang setujuan denganku telah terlihat di ujung pandangan. Aku sudah terlambat masuk kantor gara-gara bus keparat tadi.
*          *          *

Teguran Moko—sang Pemimpin Redaksi—langsung menyambutku tatkala baru saja kurasakan nyamannya duduk. Aku bahkan dikira melupakan jadwal bahwa hari ini ada rapat koordinasi bulanan. Meski telah kuceritakan pengalaman buruk yang baru saja kualami tadi.
“Kenapa tak pakai taksi?” lelaki tambun pendek itu berhasil membuatku mati kutu.
Tapi untunglah baru sekali aku mengalami kesialan seperti ini. Dan rapat penting yang lebih penting dari emosiku itu pun kembali mengalir. Yah, tentu saja. Mereka bahkan telah memutuskan tugas baruku tanpa aku tahu bagaimana prosesnya tadi. Jatah sastra akan dikurangi—cukup dua kali dalam sebulan. Untuk mengisi kekosongan, aku ditugaskan untuk meliput berita-berita humaniora.
Entah mengapa wajah pemuda dalam bus itu melintas dalam benakku. Semua perkataannya—yang tanpa sengaja terekam dalam ingatanku, kini kembali terngiang-ngiang.
“Kalau jatah sastra dikurangi, apa tak menimbulkan kontra, Pak?”
“Kontranya siapa? Sastrawan-sastrawati?  Pendapatan iklan kita sedang meningkat, tapi tiras kita di hari Minggu belum pernah kulihat ada perubahan. Rubrik-rubrik kita di hari Minggu kalah bersaing dengan berita tabloid dan majalah, Mbak Rina.”
“Tapi kenapa sastra yang harus dikorbankan, Pak? Kenapa tak berita lain saja, seperti berita seleb atau…”
“Berita seleb kadarnya hampir setara dengan berita utama lho. Efeknya bagus. Itulah kenapa setiap hari kita menyelipkannya di kamar akhir.”
“Sport dan seleb itu sudah menjadi kebutuhan pokok. Koran-koran lain juga melakukan hal serupa. Kita lihat saja, Mbak, perbandingan antara tiras media-media yang mengutamakan seleb dan sport sebagai sajian utama dengan media sastra?”
Sebenarnya masih ada banyak ganjalan yang ingin kulempar keluar. Tapi adakah gunanya? Tentu saja, bahwa semua sudah mafhum apa itu sastra.
*          *          *

“Saya benar-benar lupa, Bu. Apa Ibu tega menyuruh saya pulang kembali tanpa sepeser uang pun?”
“Tapi memang begitulah persyaratannya, Mas. Semua itu demi  menghindari penipuan.”
Aku melihat keributan kecil itu di ruang Tata Usaha. Kulihat pemuda yang tadi menjadi teman percakapanku dalam bus. Raut kecewa jelas terbias dari wajahnya. Keningnya berkerut saat kusapa.
“Ibu juga ambil honor ke sini?”
“Saya kerja di sini, Mas. Ada masalah apa ya? Bisa saya Bantu?”
Pemuda itu menjelaskan detail. Sesekali menoleh tak suka dengan Aida, penjaga gawang Bagian Keuangan. Ia lupa tak membawa KTP bapaknya. Ia juga tak membawa surat kuasa bermaterai yang berisikan mandat asli dari bapaknya. Semua keteledorannya itu terjadi karena ia memang benar-benar belum tahu.
Kutanya siapa nama bapaknya. Ia menyebut sebuah nama yang memang tak asing lagi bagi ingatanku. Aku langsung beranjak ke arah Aida. Kami disibukkan mencari tanda bukti persetujuan honor kemudian.
“Ada perubahan kebijakan di kantor kami, Mas. Honor sastra sekarang turun, tapi cuma sepuluh persen kok. Kami juga tak bisa lagi mengirimkan honor lewat wesel,” kusorongkan beberapa lembar uang ke pemuda itu. Lima kali pemuatan cerpen dan puisi bapaknya.
“Ah, Ibu ini juga cuma cari alasan. Kemarin sewaktu kutelpon, sudah berulang-ulang kusebutkan nomer rekeningku. Tapi ingatan Ibu Bagian Keuangan memang payah,” pemuda itupun membalikkan tubuh. Tanpa ujar terima kasih sedikitpun.
“Sepertinya masih banyak yang belum dibayarkan ya, Mbak?” aku menoleh ke Aida lagi.
“Pusing aku, Bu. Hampir semua wartawan punya kredit macet denganku,” sahutnya. Membuat dadaku sedikit tertonjok.
Mobil yang sekarang kubengkelkan, dananya juga berasal dari situ. Jangan-jangan… apakah semua kesialan kami sebenarnya bermuara dari dosa?*****

(Adi Zamzam, Radar Surabaya, Minggu 4 Maret 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar