Cirakalasupta
Sebenarnya sudah sejak dari pertapaan Goharna aku melihat kejanggalan itu. Tentang siapa
sebenarnya yang dianugerahi cirakalasupta oleh Sang Brahma. Meski awal mulanya
aku sangat tidak menduganya karena lelaki itulah orang yang pertama kali
mentertawakan permintaanku yang tak kusengaja.
“Kamu ini memang adikku yang paling lugu, Kumbakarna. Kenapa kau minta
anugerah kesaktian untuk tidur? Cobalah pikir, apa faedahnya untukmu? Kalau
hanya untuk tidur, siapapun bisa melakukannya. Dan kalaupun kau menginginkan
untuk tidur seribu tahun, aku bisa menjamin bahwa siapapun takkan berani
mengganggu tidurmu.”
Aku memang termangu-mangu saat menyadari ketololanku itu. Bagaimana aku
bisa mengucap cirakalasupta untuk susah payahku selama sepuluh ribu tahun?
Padahal sebelumnya aku sudah merencanakan permintaan seruntut mungkin.
Ketika aku menoleh ke Wibisana, adikku itu berkata dengan lembut seolah
tahu dan ingin menenteramkan kegalauanku, “Kanda tak usah berpikir yang
macam-macam atas apa yang sudah terjadi. Dewata tahu apa yang terbaik buat
kita.”
Itulah adik bungsuku itu. Padahal aku ingin bercerita bahwa cirakalasupta
benar-benar sebuah kecelakaan lidah. Seperti ada yang mengendalikan lidahku
saat Sang Brahma menawarkan kemurahan untukku. Seperti ada yang tidak rela jika
sesuatu yang telah kutanam dalam hati ingin kunyatakan. Tapi entahlah, mungkin
Wibisana benar. Dewata tahu apa yang terbaik untukku.
* * *
Hari berjalan bulan, bulan berjalan tahun, aku masih bertanya-tanya
tentang cirakalasupta. Jika aku sudah berpolah sepuluh hari, pasti aku akan
tertidur minimal sepuluh hari. Jika aku bertahan membuka mata selama seratus
hari, maka pasti cirakalasupta akan menebusnya minimal seratus hari pula. Apa
yang dikehendaki Dewata sebenarnya? Apa salah kalau aku marah karena merasa
telah dipermainkan?
“Kanda jangan berburuk sangka. Buruk sangka adalah awal segala
keburukan,” nasihat Wibisana lagi ketika mendengar keluhku.
“Aku tidak berburuk sangka. Aku melihat berdasar kenyataan. Bukankah kau
sudah melihatnya sendiri? Jadi apa aku sekarang ini?!”
“Kanda hanya belum bisa melihat sisi baiknya. Setiap keburukan pun selalu
ada sisi baiknya.”
Baiklah, akan aku ceritakan peristiwa-peristiwa lain yang semakin menguatkan
prasangkaku bahwa sebenarnya ada yang aneh dengan cirakalasupta itu …
Kakak sulungku, Dasamuka, adalah seorang raja pilih tanding yang
memimpin Alengka. Negeri indah dan
makmur, tapi selalu menjadi bahan pertikaian sesama keturunan Malyawan, Mali, dan
Sumali(pendiri Alengka). Kakakku sendiri mendapatkannya setelah menggugat pergi
Danaraja(saudara kami lain ibu). Namun rupanya Danaraja tidak ingin benar-benar
pergi dari Alengka. Meski kemudian ia mendirikan kerajaan Lokapala di dermaga
Mandakini dekat Gunung Kelasa, ia masih saja mengawasi Alengka.
Suatu ketika kakakku tak kuasa lagi menahan kejengkelannya terhadap
Danaraja yang sering melontarkan kritikan. Oleh kakakku, surat terakhir yang
dihaturkan Gohmuka dianggap sebagai tantangan perang. Tak puas meski telah
membunuh Gohmuka, kakakku bahkan menyiapkan beribu-ribu pasukan untuk
menggencet Lokapala agar Danaraja diam selama-lamanya.
Yang
mula mencegah kakakku adalah Wibisana. Adikku bilang, itu bukanlah perang suci
melainkan perang angkara. Adikku bahkan mengempesi semangat para prajurit bahwa
jika sampai mereka gugur dalam peperangan ini, maka mereka mati sia-sia.
“Apa kau akan terus saja diam saat negerimu dihina orang lain? Kau selama
ini hidup di mana?! Siapa yang selama ini menghidupimu?! Apa kau akan diam saja
saat saudaramu dihina orang?!”
Kakakku seperti mengarahkan ribuan panah ke arahku. Ke kanan ke kiri
salah, ke belakang salah, bahkan diam pun salah. Hanya ada jalan untuk maju.
Maka dengan setengah hati aku ikut mengobrak-abrik Lokapala. Hanya dalam
hitungan hari negeri kecil itu pun poranda.
Dan, semua musibah itu berlanjut kemudian. Sepulang dari perang, tiba-tiba
saja dia sering bercerita tentang gadis cantik jelita titisan Dewi Sri, yang
dia lihat tak sengaja saat menghancurkan Lokapala. Namanya Widawati, anak
Begawan Wrehaspati. Sarpakenaka mengumpat-umpat saat kakakku cerita bahwa gadis
itu telah menolak lamarannya. Dan yang semakin membuat kami termangu adalah
putri cantik itu sampai meleburkan diri ke dalam api demi menolak keinginan
kakak kami!
* * *
Setiap kali kakakku bercerita tentang Widawati, saat itu juga kami merasa
bahwa dia sedang tertidur dan mengigau. Ia tak pernah henti memikirkan gadis
itu. Paman Prahasta yang prihatin dengan semua itu lantas berinisiatif mengajak
kakakku menemui Begawan Maruta yang tersohor kewaskitaannya.
Oleh Begawan Maruta, mereka diberitahu bahwa Dewi Widawati akan
dilahirkan kembali dalam tubuh empat putri jelita yaitu; Dewi Citrawati putri Prabu Citradarma raja
Magada, Dewi Ragu putri Prabu Banatmaja raja Ayodya, Dewi Sinta putri Prabu
Janaka raja Mantili, dan Dewi Sumbadra putri Prabu Basudewa raja Mandura. Namun
keempat putri itu belum diketahui keberadaannya.
Berbilang tahun kemudian pencarian itu akhirnya menemukan muara.
Terdengar kabar bahwa di Negeri Ayodya ada seorang putri jelita bernama Dewi
Ragu. Kakakku yang kesepuluh kepalanya hanya berisi Dewi Widawati, segera
terbangun dan menyiapkan ribuan bala tentaranya. Ternyata Dewi Ragu telah
menjadi tunangan Begawan Rawatmaja. O, pantaslah kakakku mempersiapkan
taringnya.
Kakakku akhirnya berhasil memboyong Dewi Ragu dengan cara paksa. Yah,
Dewi Ragu berhasil diboyong setelah kakakku melangkahi mayat Prabu Banatmaja
dan Begawan Rawatmaja. Ayodya poranda dalam sekejap mata.
Aku merasa, yang dirasa kakakku sebenarnya bukanlah cinta. Dan seperti
yang sering diucapkan Wibisana, kurasa Kanda Rahwana memang sedang terbelit
nafsu. Karena, beginilah yang terjadi selanjutnya. Dewi Ragu hanya berumur
sehari di istana. Putri rupawan itu meninggal oleh suatu penyakit aneh yang
bahkan tak tertangani para tabib istana. Ia marah besar atas semua kemalangan
itu dan menimpakan semua kesalahan kepada para dewa. Sungguh tak kami sangka
bahwa akhirnya kakakku segera menyiapkan beribu pasukan untuk membuat
perhitungan ke Indraloka.
“Lelaki itu sedang tertidur,” ucap Wibisana.
“Tidur?” kening Paman Prahasta berkerut, bergantian menatap kami berdua.
Mungkin dia teringat cirakalasupta yang menyungkupiku.
“Dan sekarang ia sedang bermimpi,” lanjut Wibisana. “Bayangkanlah jika
raja kita sedang tertidur dan bermimpi di atas singgasananya. Negara kita jelas
akan menemui kehancuran. Tugas kita adalah membangunkannya, Paman.”
“Cirakalasupta,” desis Paman Prahasta.
“Maksud Paman?”
“Tubuh cirakalasupta berada pada Kumbakarna, sedang ruhnya bersemayam
pada kanda kalian,” lelaki sepuh itu menjelaskan. Aku masih tak mengerti. Kutatap
Wibisana berharap ia mau berbaik hati menjelaskan.
“Aku masih belum mengerti, Paman?” ternyata Wibisana pun kesulitan
menjangkau.
Terdengar helaan nafas Paman Prahasta, “ Jika tubuh yang tertidur kita
masih bisa membangunkannya. Tapi jika ruh…,” kalimat itu seolah sengaja
digantung.
“Apakah ini berarti akan ada musibah besar yang menimpa negeri kita,
Paman? Akan ada guncangan hebat untuk membangunkan jiwa raja kita, Paman?”
Paman Prahasta terdiam.
“Tak adakah cara lain untuk membangunkan Kanda Rahwana, Paman?”
Sepertinya Paman Prahasta mulai kehilangan selera meneruskan percakapan.
* * *
Sebenarnya sudah sejak dari Pertapaan Goharna aku melihat kejanggalan
itu. Kenapa aku bisa sampai mengucap cirakalasupta untuk imbalan tapa brataku.
Sang Brahma seperti telah merencanakan sesuatu. Dan hari demi hari aku
benar-benar terus berpikir tentang rahasia apa di balik semua ini?
Sampai masa kemudian datanglah Sang Avatara Wisnu—Rama Wijaya, satria
dari Ayodya, yang menuntut pengembalian istrinya dari tangan kotor kakakku yang
telah menculiknya. Yang mengejutkanku, ternyata satria muda ini adalah
keturunan Dewi Ragu yang masih hidup dan telah dipersunting oleh Prabu
Dasarata! Dewi Ragu yang dulu sempat diboyong oleh Kanda Rahwana ternyata
adalah tipu muslihat Begawan Rawatmaja yang tak rela jika kekasih jiwanya
direbut paksa.
“Kenapa para dewa tega membuat putaran nasib seperti ini?” tanyaku kepada
satria muda itu, ketika kami bertemu tanding dalam laga yang tak terelakkan.
“Para dewa menginginkan ketentraman kahyangan,” wajahnya terlihat tenang.
“Jika Sang Brahma tidak membantu mengalihkan mimpi kakakmu ke perempuan, maka
singgasana kahyangan akan selalu guncang olehnya. Sejak kakakmu ingin meminta
tak bisa mati oleh dewa, Brahma telah tahu bahwa ia telah dikuasai iblis.”
Aku tercenung memikirkan ucapan itu.
“Bagaimana? Apa kau masih ingin membela orang yang telah dikendalikan nafsu?”
“Aku berdiri di tempatku sekarang bukanlah tersebab membela kakakku. Aku
berdiri di sini karena aku membentengi tanah kelahiranku yang hendak kalian
kotori dengan darah peperangan.”
Satria muda itu tersenyum, “Kau seorang yang lurus. Niatmu benar, tapi
niatku juga benar. Takdirlah yang telah mempertemukan agar kita melaksanakan
peran masing-masing,” ia mulai kembali ke keadaan siaga.
Aku menatapnya tajam. Mungkin memang dialah yang diutus untuk
membangunkan kakakku, sehingga Wibisana lebih memilih menyeberang kepadanya.
Tiba-tiba aku mendapatkan sebuah ilham, tentang cirakalasupta. Sepertinya
itu adalah cara Brahma mengajariku sesuatu. Tapi masih ada satu hal yang hingga
kini masih belum kumengerti, bagaimana cirakalasupta bisa terpecah pada kami
berdua? Ataukah jangan-jangan cirakalasupta itu sebenarnya …
Mungkinkah Kanda Rahwana yang sebenarnya meminta cirakalasupta itu tanpa
ia sadari sebelumnya?
* * *
Kalinyamatan
– Jepara, 2011.
(Nur Hadi,
Suara Merdeka, Minggu 23 Oktober 2011)
Gambar diambil dari; https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEim-fOm94R4ZzcSbTodBAYgUPbBCx5iaeKT9p2FnvlYowiz5cHM71nL0Hcu3ai-5P6_QNrcY49VzzMWoItxfqKvv4CWRKhfqp1AATfCnvAWESf2iuZzbFioINmtcBOa0NW1gKvA_MtU_PE/s1600/Aura+%281%29.jpeg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar