Siri[1]
Sejak
lelaki itu tak tercium baunya lagi, kulihat Mbak Yuni jadi seperti pohon yang
meranggas. Sering kulihat ia menangis dalam kesunyiannya sendiri.
Semuanya
dimulai tiga tahun silam. Pak Darji lah yang mengenalkan lelaki itu ke Bapak.
Lelaki dari Semarang. Ia punya dua petak sawah di Sugihmanik sini. pak Darji
adalah orang yang dipercaya menggarap sawah itu dengan sistim paroan[2].
Kukira
sejak semula Mbak Yuni memang tak suka-suka amat dengan lelaki itu. Mungkin
karena cara lelaki itu menawarkan, memperlihatkan sekaligus memamerkan diri,
Mbak Yuni jadi seperti tak punya pilihan lain.
Saat
pertama kali Pak Darji menanyakan Mbak Yuni kepada Bapak, dia membawa sekardus
oleh-oleh untuk kami berlima. Lalu setelah Bapak semakin ramah kepada Pak
Darji, dia pun jadi semakin sering datang dengan bermacam-macam oleh-oleh. Dari
berkaleng-kaleng biskuit, pakaian, TV, bahkan juga berkarung-karung beras hasil
sawahnya.
Aku
tak pernah mendengar Mbak Yuni mengangguk ‘ya’ dalam kemantapan saat ditanya
Bapak perihal perjodohan itu. mabak Yuni selalu saja menunduk dalam-dalam
menyembunyikan ekspresi. Kupikir Mbak Yuni bingung mau memberi jawab apa untuk
perjodohan yang aneh itu. bagaimana tidak aneh? Kami tidak pernah mengenal
siapa lelaki itu. kami hanya mengenal baunya dari Pak Darji. Menikah dengan
orang yang tak dikenal, bukankah itu hal yang sulit? Mungkin karena melihat
kondisi Emak Bapak dan keempat adiknya. Mbak Yuni akhirnya mengiyakan
pernikahan itu.
Dan
tersematlah cincin, gelang, giwang, dan kalung emas dari lelaki itu di tubuh
Mbak Yuniku. Padahal kami belum pernah melihat rupa lelaki kaya itu. Yang kami
tahu, konon lelaki itu seorang direktur, punya banyak tanah di mana-amana,
punya sebuah perusahaan besar di semarang, dan satu lagi, kereta Pandanwangi
yang sering melintasi desa kami itu katanya seringmengangkuti barang-barang
pabriknya Pak Saipul yang dikirim ke Solo dan sekitarnya.
Kami
baru melihat rupa lelaki itu seminggu menjelang akad. Hanya ada upacara yang
sangat sederhana untuk acara suci tersebut. Mbak Yuni memang tak menginginkan
sebuah acara besar-besaran yang merepotkan Bapak. Cuma, yang membuatku sedikit mrengkel[3]
adalah kedatangan lelaki itu yang hanya seorang diri tanpa seorang sanak
saudara pun. Padahal aku, Emak, Bapak, apalagi Mbak Yuni, ingin sekali mereka
tahu bahwa kini kami telah menjadi bagian dari keluarga besar mereka. Meski
kami ini orang miskin.
Jujur,
ada sedikit ketakutanku saat itu. jangan-jangan keluarga Mas Saipul tak
mengetahui pernikahan ini. Jangan-jangan keluarga Mas Saipul malah tak
menyetujui pernikahan ini. Entahlah. Entahlah dengan persaan Emap bapak.
Entahlah dengan perasaan Mbak Yuni.
Tanpa
acara mewah pun peristiwa itu segera menjadi berita besar di Sugihmanik.
Beberapa tetangga sering menggodaku bahwa sekarang aku punya kakak ipar seorang
jutawan. Mereka sering memintaku untuk menanyakan lowongan pekerjaan. Maklum,
di sini adanya cuma pekerjaan Lumpur. Tapi buat apa kutanggapi orang-orang
iseng itu? aku tahu, dalam setiap pergunjingan di warung-warung, mereka sering
memperolok kebodohan Mbak Yuni yang mau saja dijadikan istri kedua (menurut
tebakan mereka).
Bagiku
semua itu tak mengapa. Meski lelaki itu cuma menginap dua hari dalam seminggu,
yang penting adalah mbakyuku bahagia.
Sejak
saat itu kehidupan kami memang berubah. Dinding gedhek dan papan triplek lalu
diganti batu bata dan semen. Aku pun tak perlu lagi menyipitkanmata
bersusah-susah untuk membaca karena balon lampu lima watt lalu diganti lampu
neon dua puluh watt. Kami akhirnya mampu pasang listrik sendiri. Setiap pagi
buta pun Emak tak perlu lagi bersusah-susah mengayuh lori menuju hutan di
tepian desa untuk mengambil rumput dan mengumpulkan kayu baker, karena di rumah
sudah ada warung yang harus ia tunggui. Dan yang paling penting, Mbak Yuni
terlihat semakin cantik.
Sepuluh
bulan kemudian, rumah kami semakin bertambah ramai dengan kehadiran seorang
bayi lelaki montok. Mbak Yuni membarinya nama Bagus Prayogo. Bocah itu tampan
menuruni bapaknya.
Memang
banyak yang termakan iri dengan kebahagiaan kami. Nada omongan mereka sering
terdengar memojokkan dan berbau tak sedap. Ada yang bilang Mbak Yuni punya
dukun pellet, ada yang mengatai Mbak Yuni mata duitan, bahkan ada yang sampai
hati menyebarkan isu bahwa Bapaklah yang sebenarnya talah menawarkan Mbak Yuni
ke lelaki kaya itu.
Mas
Saipul tak pernah tahu bau busuk di sekitarnya. Kamilah yang menghirupnya
sendiri dan mengendapkannya dalan diam.
Lalu
tiba-tiba saja lelaki itu menghilang. Emak dan Bapak sebenarnya sudah pernah
berprasangka bahwa Mas Saipul sudah beristri meski Pak darji selalu ngotot
menjawab belum. Kami tak pernah menyinggung perkara itu di depan Mas saipul,
karena lelaki itu terlampau baik hati kepada kami. Bahkan Mbak Yuni sekalipun
tak pernah menyinggung hal itu. meski Mbak Yuni cuma diberi dua hari, bukankah
sudah cukup kalau semua sudah bahagia?
Semula
kami mengira lelaki itu cuma ditelan kesibukan di Semarang. Tapi pikiran kami
jadi tumbuh keburukan saat kami tahu bahwa tanah yang disewa Pak Darji telah
dijual semua dengan harga yang kabarnya hampir dua kali lipat.
“Pak
Saipul cuma bilang sahamnya jatuh. Jadi beliau butuh modal yang banyak,” itulah
jawaban Pak Darji saat kami tanya perihal kebenaran kabar. Lalu…
“Yaa…
setahuku rumahnya di Semarang. Embuh[4]
alamatnya di mana. Ketemuku dengan beliau saat di Klewer. Aku jadi mandor yang
disuruh mencari kuli angkut. Lah sekarang saja beliau tak pernah kirim barang
lagi ke Solo. Embuh apa pabriknya
bangkrut atau bagaimana. Saat itu beliau cuma bilang sahamnya jatuh. Itu saja.”
Lalu…
“Masih
sendiri, bener! Wong aku dengar dengan telingaku sendiri kok. Setiap beliau
bergurau dengan teman-temannya yang bos-bos itu, beliau selalu disindir untuk
cepat-cepat cari istri. Mungkin yang lima hari itu beliau sibuk dengan
pekerjaan, tak sempat pulang.” Lalu…
“Yaa…saat
itu beliau tanya, apa di kampung Pak darji ada gadis cantik yang mau dijadikan
istinya? Beliau menyuruhku mencari yang masih muda, karena kalau pabriknya
sudah bertambah, istrinya itu bisa diajarinya untuk mengurus usaha. Kamu
seharusnya bersyukur Karen akau memilihkan anakmu. Hidup kamu sekarang sudah
berubah enak to?” Lalu…
“Keluarganya?
Embuh, aku tak kenal keluarganya.”
Lalu…
“Sabar
dulu kenapa sih? Siapa tahu beliau sekarang sedang pontang-panting. Kan beliau
sudah bilang, sahamnya jatuh. Nanti kalau sahamnya sudah erdiri lagi, pasti
beliau akan ke sini lagi. Kan beliau sudah punya anak dari anakmu?!”
* * *
Sejak
kepergian lelaki itu mbakyuku jadi seperti jati di musim kemarau. Daun
kebahagiaannya gugur satu demi satu. Ia enggan lagi bersua dengan dunia luar.
Mungkin ia sudah tahu bahwa ia telah menjadi menu utama dalam setiap
pergunjingan. Hari-harinya hanya berisi lamunan. Ia bahkan kehilangan selera
menyentuh Bagus. Kami tak tahu mesti dengan apa menghiburnya.
Bapak
marah besar kepada Pak Darji. Bapak lalu meminta lelaki makelar itu untuk
melacak alamat Mas Saipul.
Di
Klewer, Bapak dan pak darji mendapatkan nama sebuah pabrik besar di semarang.
Namun yang sungguh tak terduga adalah, pabrik itu ternyata sudah gulung tikar.
Dan akhirnya, semua cerita itu hanya berhenti sampai di sini.
Para
tetangga bilang ini semua karena kesalahan Bapak, Emak, dan terutama Mbak Yuni
sendiri. Salah siapa mau dibeli dengan harta?
Ah,
orang-orang. Mereka selalu saja egois, hanya memandang dari tembok luar saja.
Coba kalau mereka berada dalam posisi Mbak Yuni. Siapa yang tak bahagia jika
adik-adiknya bisa hidup layak? Siapa yang tak bahagia jika kedua orangtuanya
bisa hidup nyaman? Aku perempuan. Aku bisa merasai luka Mbak Yuni. Apalagi umurku
hanya selisih lima belas menitan dengannya.
Ah,
persetan dengan lelaki bermental saham itu! semoga saja nanti akan datang
seorang lelaki pengganti yang benar-benar lelaki sejati. Meski sekarang Mbak
Yuniku janda beranak satu, tapi ia masih sangat cantik. Umurnya baru enam belas.*****
(Adi Zamzam, REPUBLIKA, Minggu 31
Juli 2011).
[1] Secara
bahasa berarti tersembunyi. Pernikahan sirri dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, tanpa adanya pengakuan dari KUA.
[2] Bagi
hasil
[3]
Mengganjal di hati
[4] Tak tahu
Gambar diambil dari; https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcDOTM-uUYlXsW0GeJy1fj7NTl2xmUeTooJIIxEmT0uWYDUIjQQTDr8be5eL-DZ8G6Un4y_f6o1obGBve9MTwEVXxiAhMNRX0p1cjCLxwnQgh9rOfjvHaCUIhEv2YCGJA5Wjv-nJVfDvbL/s1600/cincin-perkahwinan1.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar