Sabtu, 06 September 2014

Siri



Siri[1]



Sejak lelaki itu tak tercium baunya lagi, kulihat Mbak Yuni jadi seperti pohon yang meranggas. Sering kulihat ia menangis dalam kesunyiannya sendiri.
Semuanya dimulai tiga tahun silam. Pak Darji lah yang mengenalkan lelaki itu ke Bapak. Lelaki dari Semarang. Ia punya dua petak sawah di Sugihmanik sini. pak Darji adalah orang yang dipercaya menggarap sawah itu dengan sistim paroan[2].
Kukira sejak semula Mbak Yuni memang tak suka-suka amat dengan lelaki itu. Mungkin karena cara lelaki itu menawarkan, memperlihatkan sekaligus memamerkan diri, Mbak Yuni jadi seperti tak punya pilihan lain.
Saat pertama kali Pak Darji menanyakan Mbak Yuni kepada Bapak, dia membawa sekardus oleh-oleh untuk kami berlima. Lalu setelah Bapak semakin ramah kepada Pak Darji, dia pun jadi semakin sering datang dengan bermacam-macam oleh-oleh. Dari berkaleng-kaleng biskuit, pakaian, TV, bahkan juga berkarung-karung beras hasil sawahnya.
Aku tak pernah mendengar Mbak Yuni mengangguk ‘ya’ dalam kemantapan saat ditanya Bapak perihal perjodohan itu. mabak Yuni selalu saja menunduk dalam-dalam menyembunyikan ekspresi. Kupikir Mbak Yuni bingung mau memberi jawab apa untuk perjodohan yang aneh itu. bagaimana tidak aneh? Kami tidak pernah mengenal siapa lelaki itu. kami hanya mengenal baunya dari Pak Darji. Menikah dengan orang yang tak dikenal, bukankah itu hal yang sulit? Mungkin karena melihat kondisi Emak Bapak dan keempat adiknya. Mbak Yuni akhirnya mengiyakan pernikahan itu.
Dan tersematlah cincin, gelang, giwang, dan kalung emas dari lelaki itu di tubuh Mbak Yuniku. Padahal kami belum pernah melihat rupa lelaki kaya itu. Yang kami tahu, konon lelaki itu seorang direktur, punya banyak tanah di mana-amana, punya sebuah perusahaan besar di semarang, dan satu lagi, kereta Pandanwangi yang sering melintasi desa kami itu katanya seringmengangkuti barang-barang pabriknya Pak Saipul yang dikirim ke Solo dan sekitarnya.
Kami baru melihat rupa lelaki itu seminggu menjelang akad. Hanya ada upacara yang sangat sederhana untuk acara suci tersebut. Mbak Yuni memang tak menginginkan sebuah acara besar-besaran yang merepotkan Bapak. Cuma, yang membuatku sedikit mrengkel[3] adalah kedatangan lelaki itu yang hanya seorang diri tanpa seorang sanak saudara pun. Padahal aku, Emak, Bapak, apalagi Mbak Yuni, ingin sekali mereka tahu bahwa kini kami telah menjadi bagian dari keluarga besar mereka. Meski kami ini orang miskin.
Jujur, ada sedikit ketakutanku saat itu. jangan-jangan keluarga Mas Saipul tak mengetahui pernikahan ini. Jangan-jangan keluarga Mas Saipul malah tak menyetujui pernikahan ini. Entahlah. Entahlah dengan persaan Emap bapak. Entahlah dengan perasaan Mbak Yuni.
Tanpa acara mewah pun peristiwa itu segera menjadi berita besar di Sugihmanik. Beberapa tetangga sering menggodaku bahwa sekarang aku punya kakak ipar seorang jutawan. Mereka sering memintaku untuk menanyakan lowongan pekerjaan. Maklum, di sini adanya cuma pekerjaan Lumpur. Tapi buat apa kutanggapi orang-orang iseng itu? aku tahu, dalam setiap pergunjingan di warung-warung, mereka sering memperolok kebodohan Mbak Yuni yang mau saja dijadikan istri kedua (menurut tebakan mereka).
Bagiku semua itu tak mengapa. Meski lelaki itu cuma menginap dua hari dalam seminggu, yang penting adalah mbakyuku bahagia.
Sejak saat itu kehidupan kami memang berubah. Dinding gedhek dan papan triplek lalu diganti batu bata dan semen. Aku pun tak perlu lagi menyipitkanmata bersusah-susah untuk membaca karena balon lampu lima watt lalu diganti lampu neon dua puluh watt. Kami akhirnya mampu pasang listrik sendiri. Setiap pagi buta pun Emak tak perlu lagi bersusah-susah mengayuh lori menuju hutan di tepian desa untuk mengambil rumput dan mengumpulkan kayu baker, karena di rumah sudah ada warung yang harus ia tunggui. Dan yang paling penting, Mbak Yuni terlihat semakin cantik.
Sepuluh bulan kemudian, rumah kami semakin bertambah ramai dengan kehadiran seorang bayi lelaki montok. Mbak Yuni membarinya nama Bagus Prayogo. Bocah itu tampan menuruni bapaknya.
Memang banyak yang termakan iri dengan kebahagiaan kami. Nada omongan mereka sering terdengar memojokkan dan berbau tak sedap. Ada yang bilang Mbak Yuni punya dukun pellet, ada yang mengatai Mbak Yuni mata duitan, bahkan ada yang sampai hati menyebarkan isu bahwa Bapaklah yang sebenarnya talah menawarkan Mbak Yuni ke lelaki kaya itu.
Mas Saipul tak pernah tahu bau busuk di sekitarnya. Kamilah yang menghirupnya sendiri dan mengendapkannya dalan diam.
Lalu tiba-tiba saja lelaki itu menghilang. Emak dan Bapak sebenarnya sudah pernah berprasangka bahwa Mas Saipul sudah beristri meski Pak darji selalu ngotot menjawab belum. Kami tak pernah menyinggung perkara itu di depan Mas saipul, karena lelaki itu terlampau baik hati kepada kami. Bahkan Mbak Yuni sekalipun tak pernah menyinggung hal itu. meski Mbak Yuni cuma diberi dua hari, bukankah sudah cukup kalau semua sudah bahagia?
Semula kami mengira lelaki itu cuma ditelan kesibukan di Semarang. Tapi pikiran kami jadi tumbuh keburukan saat kami tahu bahwa tanah yang disewa Pak Darji telah dijual semua dengan harga yang kabarnya hampir dua kali lipat.
“Pak Saipul cuma bilang sahamnya jatuh. Jadi beliau butuh modal yang banyak,” itulah jawaban Pak Darji saat kami tanya perihal kebenaran kabar. Lalu…
“Yaa… setahuku rumahnya di Semarang. Embuh[4] alamatnya di mana. Ketemuku dengan beliau saat di Klewer. Aku jadi mandor yang disuruh mencari kuli angkut. Lah sekarang saja beliau tak pernah kirim barang lagi ke Solo. Embuh apa pabriknya bangkrut atau bagaimana. Saat itu beliau cuma bilang sahamnya jatuh. Itu saja.” Lalu…
“Masih sendiri, bener! Wong aku dengar dengan telingaku sendiri kok. Setiap beliau bergurau dengan teman-temannya yang bos-bos itu, beliau selalu disindir untuk cepat-cepat cari istri. Mungkin yang lima hari itu beliau sibuk dengan pekerjaan, tak sempat pulang.” Lalu…
“Yaa…saat itu beliau tanya, apa di kampung Pak darji ada gadis cantik yang mau dijadikan istinya? Beliau menyuruhku mencari yang masih muda, karena kalau pabriknya sudah bertambah, istrinya itu bisa diajarinya untuk mengurus usaha. Kamu seharusnya bersyukur Karen akau memilihkan anakmu. Hidup kamu sekarang sudah berubah enak to?” Lalu…
“Keluarganya? Embuh, aku tak kenal keluarganya.” Lalu…
“Sabar dulu kenapa sih? Siapa tahu beliau sekarang sedang pontang-panting. Kan beliau sudah bilang, sahamnya jatuh. Nanti kalau sahamnya sudah erdiri lagi, pasti beliau akan ke sini lagi. Kan beliau sudah punya anak dari anakmu?!”
*          *          *

Sejak kepergian lelaki itu mbakyuku jadi seperti jati di musim kemarau. Daun kebahagiaannya gugur satu demi satu. Ia enggan lagi bersua dengan dunia luar. Mungkin ia sudah tahu bahwa ia telah menjadi menu utama dalam setiap pergunjingan. Hari-harinya hanya berisi lamunan. Ia bahkan kehilangan selera menyentuh Bagus. Kami tak tahu mesti dengan apa menghiburnya.
Bapak marah besar kepada Pak Darji. Bapak lalu meminta lelaki makelar itu untuk melacak alamat Mas Saipul.
Di Klewer, Bapak dan pak darji mendapatkan nama sebuah pabrik besar di semarang. Namun yang sungguh tak terduga adalah, pabrik itu ternyata sudah gulung tikar. Dan akhirnya, semua cerita itu hanya berhenti sampai di sini.
Para tetangga bilang ini semua karena kesalahan Bapak, Emak, dan terutama Mbak Yuni sendiri. Salah siapa mau dibeli dengan harta?
Ah, orang-orang. Mereka selalu saja egois, hanya memandang dari tembok luar saja. Coba kalau mereka berada dalam posisi Mbak Yuni. Siapa yang tak bahagia jika adik-adiknya bisa hidup layak? Siapa yang tak bahagia jika kedua orangtuanya bisa hidup nyaman? Aku perempuan. Aku bisa merasai luka Mbak Yuni. Apalagi umurku hanya selisih lima belas menitan dengannya.
Ah, persetan dengan lelaki bermental saham itu! semoga saja nanti akan datang seorang lelaki pengganti yang benar-benar lelaki sejati. Meski sekarang Mbak Yuniku janda beranak satu, tapi ia masih sangat cantik. Umurnya baru enam belas.*****



(Adi Zamzam, REPUBLIKA, Minggu 31 Juli 2011).


[1] Secara bahasa berarti tersembunyi. Pernikahan sirri dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tanpa adanya pengakuan dari KUA.
[2] Bagi hasil
[3] Mengganjal di hati
[4] Tak tahu

Gambar diambil dari; http://2.bp.blogspot.com/-k29Fpo-1ZVA/T7NxLeKrVmI/AAAAAAAAAaU/pIxp9N90Hbg/s1600/cincin-perkahwinan1.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar