Dia Telah Meninggalkan Tubuhnya
Jangan
kira di bangku bawah pohon mangga di taman kota yang sering kalian kunjungi itu kosong.
Sebenarnya ada seseorang di situ. Seseorang yang tak bisa kalian lihat. Namun
ia bisa melihat semua kalian dari tempat duduknya. Seperti sekarang.
Hari
masih berselimut dingin embun pagi. Kicau seekor burung pipit yang terdengar
murung di telinga seolah mengabarkan dirinya yang kesepian. Rerumputan masih basah. Beberapa
orang terlihat lari pagi. Dua petugas kebersihan terlihat sibuk melaksanakan
tugas hariannya. Sepasang muda-mudi tampak bercakap riang di bawah rindang
akasia. Semua itu berganti-ganti menjadi pemandangan yang dilihat oleh sesosok
di bangku taman itu. Sesosok yang tengah menikmati ketenangannya sendiri, yang
banyak hari di belakang tak pernah ia dapati.
Kini,
puaslah ia melihat dunia yang tak lagi hirau padanya. Tersenyum-senyumlah ia
mengenang rentetan peristiwa dalam kepalanya. Tak seperti dulu, ketika ia masih
memakai pakaian gemerlapan itu. Bahkan untuk sekedar membunuh jenuh ke mall
saja, ia langsung diburu.
Ia
jatuhkan tubuhnya di atas sofa. Meski kepalanya masih terasa berat, tapi ia
harus menonton televisi pagi ini. Tengah malam lebih tadi malam ia berada di
pertunjukan akbar itu. Dan kini…
“Kau
harus nonton gosip pagi ini,” sebuah SMS yang membangunkannya tadi, dari kakak
sekaligus manajernya.
Kejadian
yang dikhawatirkan kakaknya semalam, benar-benar nyata buntutnya. Penampilan
tak lazim yang dikenakannya semalam dikunyah habis-habisan oleh semua acara
gosip. Dari atas sampai bawah, dari mulai gaya
rambut sampai model sepatu.
Tapi
sungguh, ia suka dengan ini. Dan memang beginilah yang diingininya. Jadi tak
sabar ia menunggu hari-hari berikutnya di mana…
Akhirnya
dugaannya terbukti. Gaya
rambutnya di malam itu kini bisa ia temukan dengan mudah di mana-mana. Menjadi
gandrungan anak-anak muda baru gede. Bahkan
ibu-ibu berjiwa muda pun tak segan-segan meniru. Gaya rambutnya di malam itu, menjadi tren nomor
satu di salon-salon kecantikan dari mulai kelas profesional sampai kelas
kampung.
Dan
model pakaian. Meski ketika itu sempat dipandang aneh oleh sesama teman
seprofesi, bahkan juga oleh beberapa pengamat fashion, tapi toh kini model pakaian itu merajalela di berbagai
tempat, dari mulai butik-butik yang memajang pakaian merek kelas atas hingga
pasar-pasar tradisional di pelbagai pelosok kampung. Bahkan model pakaian itu
juga telah beranak-pinak, menurunkan model-model pakaian baru yang tak kalah
digandrungi. Toko sepatu yang menjadi langganannya pun kebanjiran order!
“Tampaknya
kamu memang harus tampil lain dari yang lain,” ujar sang kakak akhirnya.
Orang
paling berjasa dalam hidupnya itu turut menjadi pemandunya dalam berpenampilan.
Ia menjadi tukang kritik pertama ketika dirinya bosan dari gaya lama. Namun ia dan kakaknya amat
berbeda. Ia lebih cenderung memilih kenyamanan diri sendiri meskipun di mata
banyak orang terlihat aneh. Sementara kakaknya lebih suka berkompromi dengan
pandangan umum ketimbang seleranya sendiri.
Seiring
dengan angin yang terus membawanya naik ke atas, dirinya pun semakin dihargai
mahal. Harga sewa tubuhnya untuk memeragakan model busana terbaru mencapai
puluhan juta. Tarif untuk memanggil kehadirannya di sebuah acara tertentu,
memanggil decak banyak orang. Film, sinetron, dan video clip yang menjual aktingnya selalu laris-manis di pasaran.
Keberadaannya tak pernah sepi dari buruan wartawan gosip. Segala tentang
dirinya mendadak menjadi lebih penting daripada ulah pejabat nakal.
Mulanya
ia amat menikmati itu, karena ketenaran adalah puncak yang memang diburunya
sejak dulu. Teringat masa lalunya yang kelam, di mana kedua orangtuanya telah
pisah sejak ia umur tujuh. Ibunda tercintanya kemudian membawanya berkelana
dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lainnya. Berkelahi karena
dilecehkan teman, dipukuli karena mengutil di pasar, berdamai dengan lapar saat
ibunya sakit, menangis sendirian saat semua masalahnya tak terbagi dengan
siapapun, kemiskinan telah menjadi teman akrab yang memuakkan sejak ia masih
kanak. Dan semua kenangan itu, kini telah ia pigura dan ia tempelkan di dinding
hati. Saat sewaktu-waktu ia butuh pemicu untuk melecut kemalasannya, tinggallah
ia duduk-duduk memerhatikan semua kenangan menyakitkan itu. Dendamnya terhadap
masa lalu itu pun seolah terbalas.
* * *
Ia
merasa ada yang salah. Perasaan tak tenanglah yang bilang kepada hatinya, bahwa
ada yang salah selama ini.
Lama-lama
ia merasa tak nyaman dengan popularitas yang ia peroleh. Kadang muak sekali ia
dengan kelakuan media yang membesar-besarkan hal kecil tentang dirinya.
Ujung-ujungnya, mereka hanya ambil untung saja dengan gosip-gosip seputar
dirinya. Menggaet iklan.
Semuanya
mereka curi dan mereka pajang di depan umum. Dari mulai caranya menghibur diri
dari rasa jenuh sampai jatuh bangun kisah asmaranya yang sebenarnya ingin ia
simpan sendiri dalam hati. Tak ada lagi tempat nyaman untuk hindar dari mata
publik. Kamera-kamera itu berjaga siang malam mengintai keberadaannya.
Sering
ia melamun-lamun sendiri, apa sebenarnya yang jadi penyebab rasa tak nyaman
yang belakangan hari terasa semakin menyiksa. Apa ia telah salah langkah?
“Ya
wajar lah. Kamu kan
sudah jadi figur publik sekarang,” komentar kakaknya sewaktu ia buka hati.
“Ambil yang positif-positifnya saja. Jangan sampai terpancing dengan negatifnya
karena akan merugikan karirmu sendiri.”
Apakah
figur publik itu berarti dirinya telah menjadi milik umum sampai ke bilik-bilik
hatinya?
Ia
tidak setuju dengan yang seperti itu. Seharusnya mereka juga menyisakan ruang
untuk bisa dinikmatinya sendiri. Sebab itulah beberapa hari kemudian ia sempat
bersitegang dengan dua orang wartawan yang begitu kurang ajar membuntutinya
seharian penuh. Buntutnya, dirinya pun menjadi menu utama lagi di setiap
berita.
* * *
Kini,
di kursi taman itu ia tersenyum-senyum sendiri melihat dunia yang acuh
terhadapnya. Tak perlu khawatir lagi dikejar-kejar paparazi. Tak perlu pusing
lagi dengan penampilan. Tak perlu galau lagi dengan omongan orang-orang. Ada banyak waktu untuk
menikmati hari hanya dengan dirinya sendiri.
Telah
lama ia memikirkan hal itu. Apa yang sebenarnya menjadikan dirinya
diincar-incar banyak mata dan mulut. Hingga akhirnya ia memutuskan pergi
meninggalkan tubuhnya itu. Ia berpikir, mungkin karena ia punya tubuh yang
memiliki banyak pangkat. Cantik, cerdas, punya aura yang memikat banyak mata,
menyandang banyak penghargaan dari berbagai ajang kompetisi, dan masih banyak
lagi keistimewaan yang tak dimiliki oleh tubuh orang lain.
Malam
itu, malam di mana keputusan telah masak di dalam kepalanya, ia pun pergi
meninggalkan tubuh itu. Seperti duri yang dicabut paksa dari daging.
Menyakitkan di awal, namun terasa ringan di akhir. Tubuh yang amat disayanginya
itu pun tergolek tanpa daya seperti baju yang dilepaskan oleh pemakainya. Kini
ia pun merasa seringan udara, serasa tanpa memikul aneka beban lagi.
Yang
paling terpukul dengan keputusannya itu adalah kakak lelakinya. Ia maklum,
sebab lelaki itulah yang menjaga dan merawatnya sejak ibu mereka tiada. Lelaki
itu adalah ayah sekaligus ibu, juga merangkap sebagai sahabatnya.
Dan
yang sudah ia duga jauh hari sebelumnya, semua media yang dulu selalu
mengejar-ngejar dirinya pun tak kalah heboh mengumbar berita duka. Seolah
mereka benar-benar merasa kehilangan. Padahal, kelakuan merekalah yang dulu
paling menyiksa. Kelakuan mereka benar-benar membingungkan. Saat tubuh yang
sekarang telah ia tinggalkan itu masih memancarkan aura, mereka memburu tanpa
memedulikan perasaannya. Kini setelah tubuh itu tergeletak kehilangan daya,
mereka berduka seolah benar-benar merasa kehilangan. Sandiwara macam apa itu?
Yang
masih harus dikerjakannya sekarang adalah menemui kakaknya untuk memohon maaf
karena keputusan ini ia ambil tanpa meminta persetujuannya dahulu. Semoga saja
lelaki itu sudah bisa menenangkan diri. Semoga saja lelaki itu mau memahami
keputusannya. Semoga saja lelaki itu masih bisa melihatnya meski ia tak
mengenakan pakaian gemerlapan.*****
Kalinyamatan
– Jepara, 2012
(Adi Zamzam, Jurnal Nasional, 2 Desember 2012)
Gambar diambil dari vivanews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar