Minggu, 28 September 2014

Sastra Bonsai



Sastra Bonsai



Setali dengan pendapat Gilles Deleuze dalam Nietzsche and Philosophy (1962) dalam soal kritik, bahwa inti kritik sebenarnya bukanlah pembenaran (bukan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah), namun hanya merupakan cara pandang yang berbeda dalam merasakan. Pendek kata, kritik adalah sensibilitas lain. Maka tak heran jika kritik antara satu orang dengan yang lainnya bisa berbeda meski obyek yang menjadi sumber kritik satu sama. Karena sensibilitas tiap individu tentulah akan berbeda-beda tergantung pengalaman yang telah tertabung dalam otak dan hatinya.
Hal ini kemudian akan menimbulkan masalah jika dua orang pengkritik saling ngotot perihal kefasihan kritik yang telah disampaikan. Apalagi jika dua orang tersebut sama-sama menganggap dirinya ‘paling’ dibanding yang lain. Sementara obyek yang menjadi sasaran kritik atau sasaran pembanding terhadap obyek itu, hampir tiada cacat cela yang begitu berarti. Mungkin itu sebabnya dalam suatu lomba, terutama menulis, sering didapati pasal persyaratan; Keputusan juri bersifat final, alias tidak dapat diganggu gugat.
Tentu saja bahwa dalam setiap penilaian ada kriteria tertentu yang dijadikan patokan. Saya ambil contoh dalah beberapa perlombaan karya sastra, pastilah dewan juri telah memakai patokan sesuai garis-garis yang disediakan penyelenggara. Tak cuma soal leliku unsur intrinsik, sejauh mana karya itu nantinya akan membawa pengaruh terhadap realita, sumbangsihnya terhadap realitas, atau apa pengaruhnya karya itu terhadap perkembangan karya sastra, tentu menjadi pertimbangan tersendiri. Maka ketika ada seseorang yang dengan hebohnya menyatakan bahwa juri telah salah pilih, juri ngawur, dsb., penyatuan akan persepsi masing-masing menjadi sesuatu yang tak akan ada ujungnya. Penilaian yang telah dilakukan para dewan juri hingga memakan waktu hingga berbilang bulan seakan menjadi tak berarti ketika dihadapkan dengan cericit para kritikus yang menilai berdasarkan persepsi, penilaian, masing-masing. Begitulah ketika berurusan dengan makhluk yang bernama persepsi. Kejenuhan atau bahkan kemuakan (jika sudah akut) akan selalu menjadi ujung ketika dua persepsi tak dapat dipertemukan. Maka, yang ada hanya jalan buntu di depan. Lantas, bagaimana jalan keluar terbaiknya?
Tunggu dulu, saya sebenarnya tak hendak mencari jalan keluar dari permasalahan perihal beda persepsi ini. Percuma! Amat menyebalkan sekali rasanya jika sastra dikerdilkan hanya sebatas keunggulan unsur intrinsik belaka, sementara apa tujuan dari diciptakannya karya itu dinomorduakan atau bahkan diabaikan. Sebab, kelakuan seperti ini seolah memperlakukan sastra sebagai alat bedah yang tak dipakai untuk membedah pasien yang sudah berada di ruang operasi. Terlihat tajam dan kuat, tapi lama-lama akan karatan karena tak terpakai. Seperti penyair yang lupa akan syair-syair yang pernah ditulisnya sendiri. Sastra yang seperti ini akan tak berguna dan hanya menjadi makanan kutu buku di sebuah perpustakaan sepi pengunjung. Patutlah diapresiasi jika ada  komunitas kepenulisan yang dalam asas AD/ARTnya lebih mementingkan apa fungsi ditulisnya karya tulis itu ketimbang berniat menjadi pabrik penulis handal yang gagap dengan realita sosial. Kita berlindung dari organisasi para penulis yang justru menjadi sarang para ‘penjahat intelektual’, perusak moral, atau peniup kesesatan.
HB. Jassin pernah bilang bahwa ia amat senang dengan tema cerita yang menimbulkan pertikaian pendapat, sebab pembaca diajak kreatif, berpikir, merasa ragu-ragu, mengemukakan bantahan, penuh harapan, kecewa, lalu mengajukan kesimpulan sendiri. Menurutnya, alangkah membosankannya sebuah cerita yang hanya sekadar mengisahkan kejadian-kejadian dan gagasan-gagasan yang biasa-biasa saja, yang semua orang sudah tahu. Cerita demikian layaknya air yang tenang-tenang saja, tanpa riak. Ucapan Jassin ini menegaskan bahwa kritik atau perbedaan persepsi amatlah penting. Namun, mau sampai kapan perbedaan dan kritik-mengkritik itu akan terus dikibarkan?
Sastra bonsai, mungkin istilah ini cukup pas. Terlihat indah, namun hanya berfungsi sebagai hiasan di teras rumah saja. Dibutuhkan ketelatenan dalam merawatnya, namun tak menghasilkan apa-apa selain keindahan di mata. Terlihat megah di mulut para pelaku sastra, namun mereka layuh kaki ketika berhadapan dengan problematika realita. Pernahkah kita dengar (lagi) gerakan masif para sastra(wan/wati) melawan pengrusakan hutan, menentang pelecehan para pahlawan devisa, menghijaukan kembali gunung yang telanjur diterowongi di sana-sini, atau melawan korupsi para pejabat, selain lewat tulisan belaka? Rindu sekali saya mendengar kabar-kabar seperti itu. Sastra tanpa pencapaian kemanusiaan ibarat seperti macan ompong. Menghidupkan kembali fungsi sosial sastra, dan menempatkan secara proporsional sastra sebagai ‘kesenangan dalam kamar’ akan menjadikan sastra tak lagi tumbuh kerdil. Soal persepsi, adalah ‘kesenangan dalam kamar’. Hal itu bersifat individual. Namun fungsi sosialnya, mau tak mau semua pelaku sastra harus bersatu dalam sebuah kesepakatan. Lawan! Pekik Wiji Thukul. Namun, tulisan ini akan saya akhiri dengan petuah YB. Mangun Wijaya saja, bahwa sastra dimulai dari personal menuju sosial. Mari!***

(Nur Hadi, Riau Pos, Minggu 1 Juni 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar