Sastra Bonsai
Setali dengan pendapat Gilles Deleuze dalam Nietzsche and Philosophy
(1962) dalam soal kritik, bahwa inti kritik sebenarnya bukanlah pembenaran
(bukan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah), namun hanya merupakan cara
pandang yang berbeda dalam merasakan. Pendek kata, kritik adalah sensibilitas
lain. Maka tak heran jika kritik antara satu orang dengan yang lainnya bisa
berbeda meski obyek yang menjadi sumber kritik satu sama. Karena sensibilitas
tiap individu tentulah akan berbeda-beda tergantung pengalaman yang telah
tertabung dalam otak dan hatinya.
Hal ini kemudian akan menimbulkan masalah jika dua orang pengkritik
saling ngotot perihal kefasihan kritik yang telah disampaikan. Apalagi jika dua
orang tersebut sama-sama menganggap dirinya ‘paling’ dibanding yang lain.
Sementara obyek yang menjadi sasaran kritik atau sasaran pembanding terhadap
obyek itu, hampir tiada cacat cela yang begitu berarti. Mungkin itu sebabnya
dalam suatu lomba, terutama menulis, sering didapati pasal persyaratan;
Keputusan juri bersifat final, alias tidak dapat diganggu gugat.
Tentu saja bahwa dalam setiap penilaian ada kriteria tertentu yang
dijadikan patokan. Saya ambil contoh dalah beberapa perlombaan karya sastra,
pastilah dewan juri telah memakai patokan sesuai garis-garis yang disediakan
penyelenggara. Tak cuma soal leliku unsur intrinsik, sejauh mana karya itu
nantinya akan membawa pengaruh terhadap realita, sumbangsihnya terhadap
realitas, atau apa pengaruhnya karya itu terhadap perkembangan karya sastra,
tentu menjadi pertimbangan tersendiri. Maka ketika ada seseorang yang dengan
hebohnya menyatakan bahwa juri telah salah pilih, juri ngawur, dsb., penyatuan
akan persepsi masing-masing menjadi sesuatu yang tak akan ada ujungnya. Penilaian
yang telah dilakukan para dewan juri hingga memakan waktu hingga berbilang
bulan seakan menjadi tak berarti ketika dihadapkan dengan cericit para kritikus
yang menilai berdasarkan persepsi, penilaian, masing-masing. Begitulah ketika
berurusan dengan makhluk yang bernama persepsi. Kejenuhan atau bahkan kemuakan
(jika sudah akut) akan selalu menjadi ujung ketika dua persepsi tak dapat
dipertemukan. Maka, yang ada hanya jalan buntu di depan. Lantas, bagaimana
jalan keluar terbaiknya?
Tunggu dulu, saya sebenarnya tak hendak mencari jalan keluar dari permasalahan
perihal beda persepsi ini. Percuma! Amat menyebalkan sekali rasanya jika sastra
dikerdilkan hanya sebatas keunggulan unsur intrinsik belaka, sementara apa
tujuan dari diciptakannya karya itu dinomorduakan atau bahkan diabaikan. Sebab,
kelakuan seperti ini seolah memperlakukan sastra sebagai alat bedah yang tak
dipakai untuk membedah pasien yang sudah berada di ruang operasi. Terlihat
tajam dan kuat, tapi lama-lama akan karatan karena tak terpakai. Seperti
penyair yang lupa akan syair-syair yang pernah ditulisnya sendiri. Sastra yang
seperti ini akan tak berguna dan hanya menjadi makanan kutu buku di sebuah
perpustakaan sepi pengunjung. Patutlah diapresiasi jika ada komunitas kepenulisan yang dalam asas
AD/ARTnya lebih mementingkan apa fungsi ditulisnya karya tulis itu ketimbang
berniat menjadi pabrik penulis handal yang gagap dengan realita sosial. Kita
berlindung dari organisasi para penulis yang justru menjadi sarang para
‘penjahat intelektual’, perusak moral, atau peniup kesesatan.
HB. Jassin pernah bilang bahwa ia amat senang dengan tema cerita yang
menimbulkan pertikaian pendapat, sebab pembaca diajak kreatif, berpikir, merasa
ragu-ragu, mengemukakan bantahan, penuh harapan, kecewa, lalu mengajukan
kesimpulan sendiri. Menurutnya, alangkah membosankannya sebuah cerita yang
hanya sekadar mengisahkan kejadian-kejadian dan gagasan-gagasan yang biasa-biasa
saja, yang semua orang sudah tahu. Cerita demikian layaknya air yang
tenang-tenang saja, tanpa riak. Ucapan Jassin ini menegaskan bahwa kritik atau
perbedaan persepsi amatlah penting. Namun, mau sampai kapan perbedaan dan
kritik-mengkritik itu akan terus dikibarkan?
Sastra bonsai, mungkin istilah ini cukup pas. Terlihat indah, namun hanya
berfungsi sebagai hiasan di teras rumah saja. Dibutuhkan ketelatenan dalam
merawatnya, namun tak menghasilkan apa-apa selain keindahan di mata. Terlihat
megah di mulut para pelaku sastra, namun mereka layuh kaki ketika berhadapan
dengan problematika realita. Pernahkah kita dengar (lagi) gerakan masif para
sastra(wan/wati) melawan pengrusakan hutan, menentang pelecehan para pahlawan
devisa, menghijaukan kembali gunung yang telanjur diterowongi di sana-sini,
atau melawan korupsi para pejabat, selain lewat tulisan belaka? Rindu sekali
saya mendengar kabar-kabar seperti itu. Sastra tanpa pencapaian kemanusiaan
ibarat seperti macan ompong. Menghidupkan kembali fungsi sosial sastra, dan
menempatkan secara proporsional sastra sebagai ‘kesenangan dalam kamar’ akan
menjadikan sastra tak lagi tumbuh kerdil. Soal persepsi, adalah ‘kesenangan
dalam kamar’. Hal itu bersifat individual. Namun fungsi sosialnya, mau tak mau
semua pelaku sastra harus bersatu dalam sebuah kesepakatan. Lawan! Pekik Wiji
Thukul. Namun, tulisan ini akan saya akhiri dengan petuah YB. Mangun Wijaya
saja, bahwa sastra dimulai dari personal menuju sosial. Mari!***
(Nur Hadi, Riau Pos, Minggu 1 Juni 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar