Sabtu, 17 Desember 2016

Sufisme Tidak Bertentangan dengan Kehidupan Sosial



Sufisme Tidak Bertentangan dengan Kehidupan Sosial





Judul Buku  :  Al Hikam Al Islamiyyah
Penulis        :  Imam Jamal Rahman
Penerbit      :  Penerbit Serambi
Cetakan      :  Pertama, Juni 2016
Tebal          :  330 halaman
ISBN          :  978-602-290-067-2


Pada masanya, Imam Al Ghazali pernah dituduh menjadi salah satu penyebab kemunduran pemikiran Islam lantaran ajaran-ajarannya yang dinilai hanya menitikberatkan pada lema kehidupan setelah kematian (ukhrowi) melalui jalan tasawuf. Kaum sufi pun mulai mendapatkan stempel keekslusifan lantaran enggan memberikan kontribusi nyata terhadap kehidupan sosial. Egosentrisme mereka menyebabkan kebekuan pemikiran di semua bidang lantaran dianggap berat sebelah. Sebelum kemudian muncullah gelombang pemikiran baru dengan apa yang diistilahkan sebagai tasawuf modern yang dinilai lebih lunak terhadap kehidupan sosial.
Dari sinilah diperlukan adanya jembatan pemikiran yang mampu memberikan penghubung antara dua dunia yang tampak berseberangan. Bahwa keberangkatan menuju jalan kesempurnaan juga bisa dimulai dari dunia fana. Dunia memiliki persediaan luas pengetahuan meskipun tidak begitu banyak memiliki persediaan luas kebijaksanaan (hal. 238). Kepindahan kaum sufi dari pengetahuan lisan (fakta, data, dan pengetahuan praktis yang ada dalam buku) menuju pengetahuan hati (kebijaksanaan untuk melihat dan memuliakan Tuhan di segala hal yang kita katakan dan kerjakan) bisa dimanfaatkan justru sebagai air yang mendinginkan segala yang api dari mereka yang begitu terobsesi keduniawian. Kontradiksi kesufian dengan mental pembangunan sebenarnya hanyalah ‘kekuranggaulan’ dengan ego itu sendiri. Ilmu tasawuf sebenarnya juga bisa dimanfaatkan untuk memajukan kehidupan sosial.
Yang pertama-tama ditekankan adalah manajemen ego. Dalam sebuah satire-nya, Jalaluddin Rumi—guru sufi paling terkenal, memperingatkan akan adanya ‘vertigo kecendekiawanan’. Kita terlibat dalam diskusi dan argumen sengit yang tak perlu, kita terpesona dengan tingginya akumulasi pengetahuan kita sendiri, seperti seekor burung yang belajar untuk mengikat dan melepaskan ikatan tali di kakinya. Namun secara berulang-ulang, sang burung justru menciptakan ikatan kian rumit di sekitar kakinya dan dengan cerdas berusaha melepasnya guna memamerkan keahlian anehnya. Ia melupakan bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk menikmati ‘kebahagiaan mengarungi udara gunung dan menikmati manisnya padang rumput yang tinggi’. Sebuah metafor bahwa seorang individu tak sepatutnya menarik diri dari fungsi sosial, dan seharusnya memberikan kontribusi sesuai posisi yang ia miliki.
Memang, dalam tataran awalnya, buku ini akan mengajak kita untuk mengenal konsep-konsep manajemen ego guna persiapan sebuah perjalanan spiritual yang berliku dan penuh aral. Fariduddin Attar menggambarkannya dengan sangat cantik dalam sebuah kisah berwujud puisi alegoris sepanjang kira-kira 4.500 kata dengan judul “Musyawarah Burung”—sebuah kitab klasik yang banyak dipuji lantaran lapis-lapis makna yang terkandung di dalamnya. Dalam kitab itu digambarkan secara singkat tentang burung-burung di seluruh dunia yang berkumpul dalam pertemuan dan berbicara soal hidup yang penuh kegundahan. Meski dunia ini menawarkan momen-momen kebahagiaan, namun jauh dalam lubuk hati mereka merasakan kepedihan dan ketidakpuasan ganjil, yang lantas berujung pada keinginan mencari ‘Raja’, sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka sendiri. Banyak burung enggan melakukan perjalanan ini dengan berbagai macam alasan yang memberatkan mereka, dan hanya burung-burung bertekad paling kuatlah yang berangkat. Perjalanan besar itu pun kemudian berakhir pada kegembiraan menemukan diri mereka sendiri yang unik (hal. 87).
Setelah menyadari dengan baik akan misteri tujuan hidup, memahami olah spiritual guna mentransformasi ego, merindukan olah batin dengan segala praktiknya, kita kemudian akan diajak untuk menyadari pentingnya amal saleh, menciptakan keadilan, menjaga keseimbangan, merayakan kemajemukan, mengenal pihak liyan, seraya memperdalam keimanan. Rumi mendesak kita untuk mengarahkan energi sebanyak mungkin ke dunia ghaib sebagaimana kita mengerahkan energi ke dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan dalam epitaf makamnya, Rumi pun tetap ingin memperingatkan kita; Saat kita wafat, janganlah mencari makam kita di Bumi, tapi carilah di hati para manusia.
Jadi, kesufian jelas bukanlah perkara mementingkan ego sendiri.*

Nur Hadi, Lampung Post, Jum'at 25 November 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar