Sufisme Tidak Bertentangan dengan
Kehidupan Sosial
Judul Buku : Al
Hikam Al Islamiyyah
Penulis :
Imam Jamal Rahman
Penerbit :
Penerbit Serambi
Cetakan :
Pertama, Juni 2016
Tebal :
330 halaman
ISBN :
978-602-290-067-2
Pada masanya, Imam Al Ghazali pernah dituduh menjadi
salah satu penyebab kemunduran pemikiran Islam lantaran ajaran-ajarannya yang
dinilai hanya menitikberatkan pada lema kehidupan setelah kematian (ukhrowi) melalui jalan tasawuf. Kaum
sufi pun mulai mendapatkan stempel keekslusifan lantaran enggan memberikan
kontribusi nyata terhadap kehidupan sosial. Egosentrisme mereka menyebabkan
kebekuan pemikiran di semua bidang lantaran dianggap berat sebelah. Sebelum
kemudian muncullah gelombang pemikiran baru dengan apa yang diistilahkan
sebagai tasawuf modern yang dinilai lebih lunak terhadap kehidupan sosial.
Dari sinilah diperlukan adanya jembatan pemikiran yang
mampu memberikan penghubung antara dua dunia yang tampak berseberangan. Bahwa
keberangkatan menuju jalan kesempurnaan juga bisa dimulai dari dunia fana.
Dunia memiliki persediaan luas pengetahuan meskipun tidak begitu banyak
memiliki persediaan luas kebijaksanaan (hal. 238). Kepindahan kaum sufi dari
pengetahuan lisan (fakta, data, dan pengetahuan praktis yang ada dalam buku)
menuju pengetahuan hati (kebijaksanaan untuk melihat dan memuliakan Tuhan di
segala hal yang kita katakan dan kerjakan) bisa dimanfaatkan justru sebagai air
yang mendinginkan segala yang api dari mereka yang begitu terobsesi
keduniawian. Kontradiksi kesufian dengan mental pembangunan sebenarnya hanyalah
‘kekuranggaulan’ dengan ego itu sendiri. Ilmu tasawuf sebenarnya juga bisa
dimanfaatkan untuk memajukan kehidupan sosial.
Yang pertama-tama ditekankan adalah manajemen ego. Dalam
sebuah satire-nya, Jalaluddin Rumi—guru sufi paling terkenal, memperingatkan
akan adanya ‘vertigo kecendekiawanan’. Kita terlibat dalam diskusi dan argumen
sengit yang tak perlu, kita terpesona dengan tingginya akumulasi pengetahuan
kita sendiri, seperti seekor burung yang belajar untuk mengikat dan melepaskan
ikatan tali di kakinya. Namun secara berulang-ulang, sang burung justru
menciptakan ikatan kian rumit di sekitar kakinya dan dengan cerdas berusaha
melepasnya guna memamerkan keahlian anehnya. Ia melupakan bahwa tujuan
pengetahuan adalah untuk menikmati ‘kebahagiaan mengarungi udara gunung dan
menikmati manisnya padang rumput yang tinggi’. Sebuah metafor bahwa seorang
individu tak sepatutnya menarik diri dari fungsi sosial, dan seharusnya
memberikan kontribusi sesuai posisi yang ia miliki.
Memang, dalam tataran awalnya, buku ini akan mengajak
kita untuk mengenal konsep-konsep manajemen ego guna persiapan sebuah
perjalanan spiritual yang berliku dan penuh aral. Fariduddin Attar menggambarkannya
dengan sangat cantik dalam sebuah kisah berwujud puisi alegoris sepanjang
kira-kira 4.500 kata dengan judul “Musyawarah Burung”—sebuah kitab klasik yang
banyak dipuji lantaran lapis-lapis makna yang terkandung di dalamnya. Dalam
kitab itu digambarkan secara singkat tentang burung-burung di seluruh dunia
yang berkumpul dalam pertemuan dan berbicara soal hidup yang penuh kegundahan.
Meski dunia ini menawarkan momen-momen kebahagiaan, namun jauh dalam lubuk hati
mereka merasakan kepedihan dan ketidakpuasan ganjil, yang lantas berujung pada
keinginan mencari ‘Raja’, sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka
sendiri. Banyak burung enggan melakukan perjalanan ini dengan berbagai macam
alasan yang memberatkan mereka, dan hanya burung-burung bertekad paling kuatlah
yang berangkat. Perjalanan besar itu pun kemudian berakhir pada kegembiraan
menemukan diri mereka sendiri yang unik (hal. 87).
Setelah menyadari dengan baik akan misteri tujuan hidup, memahami
olah spiritual guna mentransformasi ego, merindukan olah batin dengan segala
praktiknya, kita kemudian akan diajak untuk menyadari pentingnya amal saleh,
menciptakan keadilan, menjaga keseimbangan, merayakan kemajemukan, mengenal
pihak liyan, seraya memperdalam keimanan. Rumi mendesak kita untuk mengarahkan
energi sebanyak mungkin ke dunia ghaib sebagaimana kita mengerahkan energi ke
dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan dalam epitaf makamnya, Rumi pun tetap ingin
memperingatkan kita; Saat kita wafat,
janganlah mencari makam kita di Bumi, tapi carilah di hati para manusia.
Jadi, kesufian jelas bukanlah perkara mementingkan ego
sendiri.*
Nur Hadi, Lampung Post, Jum'at 25 November 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar