Sabtu, 27 Agustus 2016

Buku-Buku Vertigo Kecendekiawanan



Buku-Buku Vertigo Kecendekiawanan

Ditinjau dari sisi spiritualitas, kita mengenal dua macam pengetahuan, yakni pengetahuan lisan yang berdasar pada fakta, data, dan pengetahuan praktis yang ada dalam buku, serta pengetahuan hati yakni pengetahuan yang bertumpu pada kebijaksanaan untuk melihat dan memuliakan Tuhan di segala hal yang kita katakan dan kerjakan (Imam Jamal Rahman. Serambi, 2016; 238). Dua pengetahuan inilah yang kemudian mendasari semua pemikiran dan ide-ide yang dicetuskan dalam beragam tulisan dan  terkompilasi dalam sebuah buku sehingga memudahkan sang pemilik ide untuk menyampaikan gagasannya kepada khalayak.

Buku-buku itu pun kemudian berebut simpati pembeli di jejeran rak-rak toko buku. Dengan daya magisnya, mereka seperti memamerkan akumulasi pengetahuan sang penulis, sehingga kemudian lahirlah para fans, pengagum, atau apa pun namanya yang berujung pada ketakjuban akan pemikiran-pemikiran yang dibawanya. Namun sekali waktu, pernahkan kita berpikir, apa manfaat riilnya buku-buku tersebut bagi kehidupan kita? Dari sini, buku-buku berat semacam buku filsafat dan sastra yang sepi penggemar pun bisa dipersamakan ‘kedudukan’nya dengan buku-buku resep, kriya, kewirausahaan, teknologi, atau cara bercocok tanam yang tepat. Sebab yang kita bahas adalah fungsi guna, bukan isi. Meski tak bisa dimungkiri, bahwa buku-buku ‘berat’ sudah ‘kalah’ sejak dari jumlah penggunanya.
Dari sisi fungsi dan kegunaan inilah kemudian saya mengistilahkan (meminjam istilah yang digunakan Imam Jamal Rahman) akan adanya buku-buku yang lahir dari gejala vertigo kecendekiawanan. Buku-buku semacam ini lahir dari perdebatan-perdebatan, diskusi, atau argumen sengit yang tak perlu, yang dalam realitanya tak membawa pengaruh sama sekali. Ia seolah hanya berdebat dengan para penyamun di belantara ide itu sendiri, tanpa memedulikan untuk siapa ia menang. Seolah ia berkeinginan menang hanya untuk dirinya sendiri. Oleh ulama sufi Jalaludin Rumi, orang-orang (para penulis: pen) yang memiliki kecenderungan seperti ini diibaratkan seperti seekor burung dara dalam sangkar yang senantiasa memamerkan keahlian aneh; berusaha melepaskan tali yang mengikat kedua kakinya, namun justru kemudian terjebak pada ikatan-ikatan lain yang ia ciptakan sendiri.
Para cendekiawan (penulis) yang mengidap gejala ini, diduga lantaran terpapar kekaguman akan akumulasi pengetahuan yang ia miliki. Ia hanya terus mencari dan mencari, naik dan terus naik, menabung dan terus menabung, menimbun dan terus menimbun, hingga lupa bersedekah, lupa untuk apa ia mencari, hingga akhirnya benar-benar tertimbun.
Taruhlah contoh sebuah buku yang isinya adalah upaya-upaya untuk menghidupkan gunung-gunung yang mati. Namun di luar isi buku tersebut, sang penulis itu sendiri tak pernah benar-benar melakukan tindakan nyata untuk menghidupkan gunung yang mati. Tak ada kesesuaian dengan ilmu dan laku, sehingga buku yang ia hasilkan pun terkungkung oleh tembok teori-teori itu sendiri. Apakah gejala ini riil? Ini bisa Anda buktikan ketika berada di toko buku. Coba peganglah sebuah buku, kemudian tanyakan kepada diri Anda sendiri, kepada buku itu, atau bahkan kalau perlu kepada penulisnya langsung, apakah yang kau tawarkan itu ada gunanya? Ataukah kau datang hanya untuk sekadar meramaikan?
Vertigo kecendekiawanan akan selalu muncul dari pendidikan yang sistemnya tak mengindahkan fungsi guna. Sekolah hanya mengajari teori tanpa menunjukkan untuk apa teori itu harus digarisbawahi atau dihafal luar kepala. Teori-teori yang diajarkan  tidak dijelaskan secara mapan apa fungsi gunanya. Teori-teori hanya semacam pelajaran yang syukur-syukur bisa ditemukan oleh siswa sendiri apa fungsi gunanya kelak di kemudian hari. Maka tak heran, ketika mereka bisa menghafal banyak teori, gejala vertigo kecendekiawanan pun muncul sejak dini. Sekolah hanya menjadi penghasil mesin-mesin penghafal teori-teori.
Dengan berpikir dan berteori, kita memang akan bisa memahami segala sesuatu tentang pengetahuan. Namun jika kegiatan berpikir dan berteori tak menemukan tujuan yang tepat, kita sungguh seperti tengah berputar-putar di dalam sangkar dengan kaki terikat. Ada analogi menarik lagi dari Jalaluddin Rumi; seorang intelektual ingin mengumpulkan data dan menghubungkan data-data tersebut, sementara pencari ilmu yang berbekal hati akan meletakkan kepalanya ke dada seseorang dan ‘tenggelam dalam jawaban’.
Seperti demikian pulalah perbandingan antara buku-buku yang benar-benar bermanfaat dengan buku-buku yang hanya hasil vertigo kecendekiawanan.*

(Dimuat Harian Jawa Pos, Minggu 14 Agustus 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar