Buku-Buku Vertigo Kecendekiawanan
Ditinjau
dari sisi spiritualitas, kita mengenal dua macam pengetahuan, yakni pengetahuan
lisan yang berdasar pada fakta, data, dan pengetahuan praktis yang ada dalam
buku, serta pengetahuan hati yakni pengetahuan yang bertumpu pada kebijaksanaan
untuk melihat dan memuliakan Tuhan di segala hal yang kita katakan dan kerjakan
(Imam Jamal Rahman. Serambi, 2016; 238). Dua pengetahuan inilah yang kemudian
mendasari semua pemikiran dan ide-ide yang dicetuskan dalam beragam tulisan
dan terkompilasi dalam sebuah buku
sehingga memudahkan sang pemilik ide untuk menyampaikan gagasannya kepada
khalayak.
Buku-buku
itu pun kemudian berebut simpati pembeli di jejeran rak-rak toko buku. Dengan
daya magisnya, mereka seperti memamerkan akumulasi pengetahuan sang penulis,
sehingga kemudian lahirlah para fans, pengagum, atau apa pun namanya yang
berujung pada ketakjuban akan pemikiran-pemikiran yang dibawanya. Namun sekali
waktu, pernahkan kita berpikir, apa manfaat riilnya buku-buku tersebut bagi
kehidupan kita? Dari sini, buku-buku berat semacam buku filsafat dan sastra
yang sepi penggemar pun bisa dipersamakan ‘kedudukan’nya dengan buku-buku
resep, kriya, kewirausahaan, teknologi, atau cara bercocok tanam yang tepat. Sebab
yang kita bahas adalah fungsi guna, bukan isi. Meski tak bisa dimungkiri, bahwa
buku-buku ‘berat’ sudah ‘kalah’ sejak dari jumlah penggunanya.
Dari
sisi fungsi dan kegunaan inilah kemudian saya mengistilahkan (meminjam istilah
yang digunakan Imam Jamal Rahman) akan adanya buku-buku yang lahir dari gejala
vertigo kecendekiawanan. Buku-buku semacam ini lahir dari
perdebatan-perdebatan, diskusi, atau argumen sengit yang tak perlu, yang dalam
realitanya tak membawa pengaruh sama sekali. Ia seolah hanya berdebat dengan
para penyamun di belantara ide itu sendiri, tanpa memedulikan untuk siapa ia
menang. Seolah ia berkeinginan menang hanya untuk dirinya sendiri. Oleh ulama
sufi Jalaludin Rumi, orang-orang (para penulis: pen) yang memiliki
kecenderungan seperti ini diibaratkan seperti seekor burung dara dalam sangkar
yang senantiasa memamerkan keahlian aneh; berusaha melepaskan tali yang
mengikat kedua kakinya, namun justru kemudian terjebak pada ikatan-ikatan lain
yang ia ciptakan sendiri.
Para
cendekiawan (penulis) yang mengidap gejala ini, diduga lantaran terpapar
kekaguman akan akumulasi pengetahuan yang ia miliki. Ia hanya terus mencari dan
mencari, naik dan terus naik, menabung dan terus menabung, menimbun dan terus
menimbun, hingga lupa bersedekah, lupa untuk apa ia mencari, hingga akhirnya
benar-benar tertimbun.
Taruhlah
contoh sebuah buku yang isinya adalah upaya-upaya untuk menghidupkan
gunung-gunung yang mati. Namun di luar isi buku tersebut, sang penulis itu
sendiri tak pernah benar-benar melakukan tindakan nyata untuk menghidupkan
gunung yang mati. Tak ada kesesuaian dengan ilmu dan laku, sehingga buku yang
ia hasilkan pun terkungkung oleh tembok teori-teori itu sendiri. Apakah gejala
ini riil? Ini bisa Anda buktikan ketika berada di toko buku. Coba peganglah
sebuah buku, kemudian tanyakan kepada diri Anda sendiri, kepada buku itu, atau
bahkan kalau perlu kepada penulisnya langsung, apakah yang kau tawarkan itu ada
gunanya? Ataukah kau datang hanya untuk sekadar meramaikan?
Vertigo
kecendekiawanan akan selalu muncul dari pendidikan yang sistemnya tak
mengindahkan fungsi guna. Sekolah hanya mengajari teori tanpa menunjukkan untuk
apa teori itu harus digarisbawahi atau dihafal luar kepala. Teori-teori yang
diajarkan tidak dijelaskan secara mapan apa
fungsi gunanya. Teori-teori hanya semacam pelajaran yang syukur-syukur bisa
ditemukan oleh siswa sendiri apa fungsi gunanya kelak di kemudian hari. Maka
tak heran, ketika mereka bisa menghafal banyak teori, gejala vertigo
kecendekiawanan pun muncul sejak dini. Sekolah hanya menjadi penghasil
mesin-mesin penghafal teori-teori.
Dengan
berpikir dan berteori, kita memang akan bisa memahami segala sesuatu tentang
pengetahuan. Namun jika kegiatan berpikir dan berteori tak menemukan tujuan
yang tepat, kita sungguh seperti tengah berputar-putar di dalam sangkar dengan
kaki terikat. Ada analogi menarik lagi dari Jalaluddin Rumi; seorang
intelektual ingin mengumpulkan data dan menghubungkan data-data tersebut,
sementara pencari ilmu yang berbekal hati akan meletakkan kepalanya ke dada
seseorang dan ‘tenggelam dalam jawaban’.
Seperti
demikian pulalah perbandingan antara buku-buku yang benar-benar bermanfaat
dengan buku-buku yang hanya hasil vertigo kecendekiawanan.*
(Dimuat
Harian Jawa Pos, Minggu 14 Agustus 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar