Selasa, 10 Mei 2016

Tan Malaka Vs Soekarno dalam Revolusi Indonesia



Tan Malaka Vs Soekarno dalam Revolusi Indonesia



Judul Buku :  Dari Penjara ke Penjara
Penulis       :  Abraham Ali Fakih
Penerbit     :  Penerbit PALAPA
Cetakan     :  Cetakan Pertama, 2015
Tebal         :  296 halaman
ISBN         :  978-602-255-735-7


“Buku ini saya beri nama Dari Penjara ke Penjara. Memang saya rasa ada hubungan antara penjara dengan kemerdekaan sejati. Barang siapa menghendaki kemerdekaan buat umum, maka ia harus sedia ikhlas untuk menderita kehilangan kemerdekaan diri-(nya) sendiri”. Masa kecilnya dipanggil Ibrahim, Tan Malaka dilahirkan pada 14 Oktober di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat. Harry A. Poeze—pengarang biografi terlengkap Tan Malaka, cenderung menyebut 1897 sebagai tahun kelahiran tokoh ini berdasar asumsi bahwa ia sudah masuk sekolah rendah pada  1903, yang diperkirakan menerima murid baru pada usia enam.
Secara sadar Tan Malaka mengakui bahwa pengembaraan ideologinya dimulai ketika menyambangi Negeri Kincir Angin. Di negeri itulah ia ‘berkenalan’ dengan  Karl Marx, Hegel, Engels, dan diam-diam ‘mencatat’ tentang segala pergolakan revolusi yang terjadi di Eropa. Kesadarannya semakin tergugah tatkala pulang ke Deli dan menyaksikan ketidakadilan yang menimpa kaum pribumi. Tanah emas, surga buat kaum kapitalis, tetapi neraka buat kaum proletar, tulisnya (hal. 31). Tan Malaka menyadari bahwa yang menjadi jurang pemisah antara kaumnya dengan kaum penjajah adalah fondasi pendidikan. Lalu mulailah ia merintis sekolah rakyat yang perlahan tapi pasti jumlah muridnya bertambah dari kota ke kota.
Meski semula tak berniat terjun ke ranah politik, panggilan itu akhirnya datang juga ketika ia diutus menghadiri rapat Serikat Islam di Surabaya. Tan Malaka pun menjadi daya tarik tersendiri sehingga beberapa orang SI mulai terpikat menghadiri Kongres PKI di Semarang (hal. 42). Ia resmi jadi musuh Pemerintah Belanda ketika ambil bagian dalam gerakan mogok kaum buruh, Januari 1922. Sejak itulah hidupnya selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain demi menyelamatkan pemikiran yang revolusioner.
Buku yang Anda baca ini merupakan studi komprehensif Penulis atas buku karangan Tan Malaka ‘Dari Penjara ke Penjara’. Sebuah buku yang berisi perjalanan Tan Malaka semasa dalam pelarian dari pemerintah kolonial dan catatan-catatan kritis pasca kemerdekaan. Ia bahkan terang-terangan menuding Soekarno-Hatta lebih percaya kepada Jepang dibanding kekuatan rakyat Indonesia. Paham Massa-Aksi yang bertahun lamanya digembar-gemborkan Soekarno beterbangan oleh kibaran bendera Hinomaru. Jika para pemuda Rengasdengklok saat itu menurut kepada Soekarno-Hatta, maka kemerdekaan Indonesia adalah ciptaan Jepang, dan Sekutu 100% berhak mewarisi Indonesia sebagai rampasan perang (hal. 211-217).
Tan Malaka juga dikenal tajam dalam menilai pendirian Sukarno-Hatta. “Soekarno punya sikap terbuka, mudah percaya, dan mudah memperoleh kepercayaan rakyat. Ia tahu akan jiwa rakyat Indonesia dan mahir memakai perkataan. Andai dia punya filsafat revolusi tegas, tujuan jelas, di samping hati teguh, dengan segala macam bantuan yang sudah diperolehnya mungkin seharusnya ia sudah menjadi liberator, atau gugur sebagai pahlawan nasional. Tapi Soekarno tak punya tujuan nyata karena tak mempergunakan cara berpikir revolusioner dan filsafat revolusi yang tepat. Soekarno cocok dengan sifat borjuis kecil dalam tiap-tiap revolusi…Sementara Hatta adalah ahli apal, bukan pembaca kritis. Di waktu damai bisa melambung ke atas, tapi dalam revolusi cuma dapat melalui jalan yang paling sedikit membahayakan.” (hal. 236).
Pertentangan Tan Malaka dengan Soekarno juga terbaca jelas ketika terjadi pergolakan di beberapa daerah yang menuntut jalan kekerasan. Tan Malaka menyangsikan kesanggupan Soekarno memimpin revolusi, ditambah lagi dengan sikap Hatta yang menurutnya terlalu memihak asing (hal. 223). Lantaran sikap kerasnya itu, sejumlah fitnah pun dituduhkan untuk mengubah pendiriannya. Ia dituduh memimpin pemberontakan di Surabaya (Oktober 1945) padahal sedang menghadiri pertemuan Partai Sosialis di Yogyakarta. Terjadi ‘main mata’ antara kaum moderat Indonesia dengan Pemerintah Belanda untuk menindas kaum extremis.
 Juga patut digarisbawahi ketika Tan Malaka mengeluarkan pendapat mengenai Perjanjian Linggarjati dan Renville. Tulisnya, “Perjanjian ini mengurangi kemerdekaan Indonesia dalam hal urusan luar negeri, kemiliteran, keuangan, perekonomian, dan kebudayaan, entah sampai berapa % dan menguntungkan Belanda…” Alangkah kritisnya!*

(Nur Hadi, Majalah Gatra, 24-30 Maret 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar