Tan Malaka Vs Soekarno dalam Revolusi
Indonesia
Judul Buku
: Dari Penjara ke Penjara
Penulis :
Abraham Ali Fakih
Penerbit :
Penerbit PALAPA
Cetakan :
Cetakan Pertama, 2015
Tebal :
296 halaman
ISBN : 978-602-255-735-7
“Buku
ini saya beri nama Dari Penjara ke Penjara. Memang saya rasa ada hubungan
antara penjara dengan kemerdekaan sejati. Barang siapa menghendaki kemerdekaan
buat umum, maka ia harus sedia ikhlas untuk menderita kehilangan kemerdekaan diri-(nya)
sendiri”. Masa kecilnya dipanggil Ibrahim, Tan Malaka dilahirkan pada 14 Oktober
di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat. Harry A. Poeze—pengarang
biografi terlengkap Tan Malaka, cenderung menyebut 1897 sebagai tahun kelahiran
tokoh ini berdasar asumsi bahwa ia sudah masuk sekolah rendah pada 1903, yang diperkirakan menerima murid baru
pada usia enam.
Secara
sadar Tan Malaka mengakui bahwa pengembaraan ideologinya dimulai ketika menyambangi
Negeri Kincir Angin. Di negeri itulah ia ‘berkenalan’ dengan Karl Marx, Hegel, Engels, dan diam-diam ‘mencatat’
tentang segala pergolakan revolusi yang terjadi di Eropa. Kesadarannya semakin
tergugah tatkala pulang ke Deli dan menyaksikan ketidakadilan yang menimpa kaum
pribumi. Tanah emas, surga buat kaum kapitalis, tetapi neraka buat kaum
proletar, tulisnya (hal. 31). Tan Malaka menyadari bahwa yang menjadi jurang
pemisah antara kaumnya dengan kaum penjajah adalah fondasi pendidikan. Lalu mulailah
ia merintis sekolah rakyat yang perlahan tapi pasti jumlah muridnya bertambah
dari kota ke kota.
Meski
semula tak berniat terjun ke ranah politik, panggilan itu akhirnya datang juga
ketika ia diutus menghadiri rapat Serikat Islam di Surabaya. Tan Malaka pun
menjadi daya tarik tersendiri sehingga beberapa orang SI mulai terpikat
menghadiri Kongres PKI di Semarang (hal. 42). Ia resmi jadi musuh Pemerintah
Belanda ketika ambil bagian dalam gerakan mogok kaum buruh, Januari 1922. Sejak
itulah hidupnya selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain demi menyelamatkan
pemikiran yang revolusioner.
Buku
yang Anda baca ini merupakan studi komprehensif Penulis atas buku karangan Tan
Malaka ‘Dari Penjara ke Penjara’. Sebuah buku yang berisi perjalanan Tan Malaka
semasa dalam pelarian dari pemerintah kolonial dan catatan-catatan kritis pasca
kemerdekaan. Ia bahkan terang-terangan menuding Soekarno-Hatta lebih percaya
kepada Jepang dibanding kekuatan rakyat Indonesia. Paham Massa-Aksi yang
bertahun lamanya digembar-gemborkan Soekarno beterbangan oleh kibaran bendera
Hinomaru. Jika para pemuda Rengasdengklok saat itu menurut kepada
Soekarno-Hatta, maka kemerdekaan Indonesia adalah ciptaan Jepang, dan Sekutu
100% berhak mewarisi Indonesia sebagai rampasan perang (hal. 211-217).
Tan
Malaka juga dikenal tajam dalam menilai pendirian Sukarno-Hatta. “Soekarno punya
sikap terbuka, mudah percaya, dan mudah memperoleh kepercayaan rakyat. Ia tahu
akan jiwa rakyat Indonesia dan mahir memakai perkataan. Andai dia punya
filsafat revolusi tegas, tujuan jelas, di samping hati teguh, dengan segala
macam bantuan yang sudah diperolehnya mungkin seharusnya ia sudah menjadi
liberator, atau gugur sebagai pahlawan nasional. Tapi Soekarno tak punya tujuan
nyata karena tak mempergunakan cara berpikir revolusioner dan filsafat revolusi
yang tepat. Soekarno cocok dengan sifat borjuis kecil dalam tiap-tiap revolusi…Sementara
Hatta adalah ahli apal, bukan pembaca kritis. Di waktu damai bisa melambung ke
atas, tapi dalam revolusi cuma dapat melalui jalan yang paling sedikit
membahayakan.” (hal. 236).
Pertentangan
Tan Malaka dengan Soekarno juga terbaca jelas ketika terjadi pergolakan di
beberapa daerah yang menuntut jalan kekerasan. Tan Malaka menyangsikan
kesanggupan Soekarno memimpin revolusi, ditambah lagi dengan sikap Hatta yang
menurutnya terlalu memihak asing (hal. 223). Lantaran sikap kerasnya itu,
sejumlah fitnah pun dituduhkan untuk mengubah pendiriannya. Ia dituduh memimpin
pemberontakan di Surabaya (Oktober 1945) padahal sedang menghadiri pertemuan
Partai Sosialis di Yogyakarta. Terjadi ‘main mata’ antara kaum moderat
Indonesia dengan Pemerintah Belanda untuk menindas kaum extremis.
Juga patut digarisbawahi ketika Tan Malaka
mengeluarkan pendapat mengenai Perjanjian Linggarjati dan Renville. Tulisnya,
“Perjanjian ini mengurangi kemerdekaan Indonesia dalam hal urusan luar negeri,
kemiliteran, keuangan, perekonomian, dan kebudayaan, entah sampai berapa % dan
menguntungkan Belanda…” Alangkah kritisnya!*
(Nur Hadi,
Majalah Gatra, 24-30 Maret 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar