Mencari Toilet dalam Kepalamu[1]
Kau menekuri meja kerjamu dengan serius. Kepalamu seolah tenggelam dalam
data-data para pemasang iklan. Tapi aku yakin tidak. Pasti ada sebuah ruang
kosong di mana kau kesepian dan membutuhkan telinga orang lain yang mau diajak
berbagi tentang luka dan harapan setelah kelakuan lelakimu. Pasti ada.
Karena itulah kadang aku bertindak sedikit konyol, mencari-cari kelakuan
apa yang sekiranya bisa mencuri perhatianmu. Seperti tadi pagi misalnya. Aku
sengaja usul membikin rujak, yang aku tahu itu camilan favoritmu. Dengan
sepiring rujak yang berada di meja kerjaku, sebenarnya aku berharap agar kau
jadi sering-sering menoleh ke sini, ke arahku, ke mataku. Agar dapat
kutunjukkan rasa yang tersimpan rapi di dalamku kepadamu.
Namun hingga potongan-potongan nanas, jambu air, belimbing, dan mangga
itu perlahan tandas oleh tangan-tangan lapar teman-teman, kuperhatikan kau
hanya menoleh sekali saja. Padahal betapa ingin aku melihatmu datang kepadaku,
memperlihatkan senyum, keluar dari kesedihan yang mengungkungmu, membuka hati
dan mata, agar bisa melihat bahwa ada cinta lain yang siap menyembuhkan
luka-lukamu.
Apa mungkin karena rujak terlalu sepele untuk sarana menunjukkan rasaku
kepadamu? Mungkin aku harus mencari cara lain untuk bisa lebih dekat denganmu,
agar kau bisa mencium apa yang tersimpan di dalam dadaku.
* * *
Aku melihat gelagat itu lagi. Hidungku langsung mencium bau toilet ketika
kulihat Toto tampak asyik dengan telepon genggamnya. Sesekali dia melempar senyum
ke arah Rani, yang juga terlihat asyik dengan telepon genggamnya dan sesekali
melempar senyum ke arah Toto.
Di liang telingaku langsung berlesatan kalimat-kalimat yang sekarang
mungkin sedang berlari-lari dari Toto ke Rani, dari Rani ke Toto. Kalimat-kalimat
yang menyampaikan apa-apa gejolak dalam dada mereka, yang sekarang terlihat
tanpa malu-malu saling memperlihatkan perasaan masing-masing meski berada di
dalam tempat kerja.
Aku blingsatan. Ada yang mulai memanas di dalam dadaku. Tidak tahu
mengapa, kedua mataku langsung beralih kepadamu. Lalu jari-jemariku rasanya
seperti kerasukan sesuatu. Begitu lincah menekan huruf demi huruf pada telepon
genggam, merangkai kalimat pemberitahuan untukmu.
Kau langsung menoleh ke arahku. Dahimu berkerut, seolah tak percaya
dangan apa yang baru saja kuberitahukan kepadamu. Jujur, aku ingin mendengar
pendapatmu tentang dua sejoli itu. Meskipun Rani adalah iparmu sendiri.
“Kenapa dengan toilet?” pesan pendekmu kemudian, yang langsung membuatku
geleng-geleng kepala. Kau seperti itu, apakah karena memang benar-benar belum
tahu, ataukah karena ingin menutup-nutupi perihal permasalahan rumah tangga
Rani dengan adikmu.
Aku sudah mendengar. Meski kau tak pernah cerita. Aku sudah tahu perihal
Tri, adikmu, yang kini juga mulai dekat dengan perempuan lain. Rumah tangga
mereka mengalami keretakan. Dua buah hatinya konon juga sudah diungsikan ke
rumah kakek-neneknya. Toto yang semula hanya berfungsi sebagai tempat sampah
segala uneg-uneg Rani, perlahan mulai naik pangkat menjadi bahu sandaran yang
mencuri hati.
Untunglah kesadaranku masih penuh, bahwa membuka aib orang di tempat
kerja bukanlah hal terpuji. Apalagi aku kenal baik dengan mereka. Tapi alangkah
lugunya dirimu. Kau mestinya sudah paham sendiri, karena ini sudah menjadi rahasia
umum. Di toilet, yang letaknya di pojok selatan lantai dasar kantor tempat kita
bekerja, di situlah letak segala yang dibungkam rapat dalam mulut semua orang
yang bekerja di sini.
“Aku tidak percaya kalau kau belum tahu,” jawabku balik, melalui pesan
pendek. Kulihat Toto sudah beranjak dari tempat duduknya. Menyusul Rani. Yang
aku yakin ke toilet.
“Tahu apa?” kau menoleh lagi. Membuatku harus menarik napas dalam-dalam.
Baiklah. Sepertinya kau memang belum tahu apa-apa perihal sesuatu yang
kerap terjadi di toilet itu. Yang kerap menimpa orang-orang yang menjalin
hubungan diam-diam dalam kantor ini, dan sekarang tengah menimpa Toto dan Rani.
Jadi biarlah. Akhirnya kualihkan topik pembicaraan ke arah bagaimana tentang kabar
anak dan suamimu. Meski kemudian tak kau gubris.
* * *
“Jadi, sebenarnya kau sudah lama tahu tentang apa yang terjadi antara
Rani dan Toto?” suaramu terdengar lelah. Di hadapan kita, senja terlihat begitu
jingga.
Aku tak menyahut. Aku lebih memilih menikmati sekawanan burung yang pulang
ke rumah matahari terbenam. Sengaja kubiarkan kau tidak mengetahui bahwa ada
sorak yang bergemuruh dalam dadaku. Ketika kulihat seharian tadi kau mengawasi
Rani dan akhirnya kau mengirimkan pesan pendek untuk bertemu di sini, aku harus
berhati-hati dengan mata dan nada suaraku.
Seperti angin senja yang bergerak leluasa di atap gedung kantor ini.
Kubiarkan semua kenangan tentang kita bergerak bebas pula dalam kepalaku.
Tentang perkenalan kita di masa putih abu-abu. Tentang kisah merah jambu kita
di bangku kuliah. Tentang kedua orangtuamu yang lebih memilih hubungan
pertemanan dan kekayaan sebagai pertimbangan dalam hal jodohmu. Tentang sebuah
kisah yang berakhir ketika tiba-tiba kau lebih memilih menyetujui keinginan
orangtuamu. Tentang seorang pemuda yang kemudian berusaha menyembuhkan
luka-luka hatinya sendiri. Hingga akhirnya luka yang hampir sembuh itu tertoreh
lagi setelah pertemuan tak disengaja di sebuah kantor stasiun televisi. Dan aku
tahu bahwa ternyata kini kau tersakiti justru oleh pilihan orangtuamu sendiri.
“Bagaimana kabar anak-anakmu?”
Terdengar helaan napasmu, “Jangan mengalihkan pembicaraan. Ini masalah serius.
Aku tidak mau termakan gosip.”
“Bertahan dalam sebuah rumah yang hampir roboh siapapun tahu bahwa itu
adalah kebodohan.”
“Aku mengajakmu ke sini bukan untuk menguliti diriku. Carilah kesempatan
lain untuk balas dendam. Aku mau bersusah-susah ke sini karena suami Rani
adalah adikku,” bau amarah dalam kalimatmu itu membuatku tergelitik. Membuat
sebuah ide tumbuh tiba-tiba.
“Jadi kemarin kau sudah menguntit mereka ke toilet?”
“Enggak,” jawabmu tanpa menoleh.
“Kenapa enggak?”
“Aku yakin kau sudah tahu banyak tentang mereka. Sekarang mana bukti yang
kau punya? Aku butuh bukti, bukan gosip.”
“Kau masih percaya kepadaku?” aku menoleh ke arahmu.
“Jangan berbelit. Apa kau tak lihat bahwa hari sudah mulai gelap?”
Kau benar. Dan saat-saat untuk menikmati kebersamaan ini memang sudah
habis. Senja yang selalu penuh dengan kenangan hampir sempurna tertutup jelaga.
“Besok-besok, kalau aku menyuruhmu ke toilet, segeralah beranjak ke
toilet.” Aku pun segera beranjak meninggalkanmu. Tak kupeduli bagaimana
reaksimu saat masih mematung di tempatmu berdiri.
* * *
Satu kali…
Kau masih tak mau menuruti perintahku. Padahal ketika melihat raut Rani
dan Toto saat susul-menyusul beranjak dari meja kerjanya, aku yakin kau pun
sudah bisa merasakan sinyal-sinyal buruk itu.
Dua kali…
Kenapa kau masih mengingkari kenyataan yang ada? Aku hanya ingin kau
pergi ke toilet sejenak demi membuktikan prasangkaku yang (mungkin) kau anggap
terlalu keji itu. Apakah karena kita bukan sepasang kekasih lagi? Mata,
telinga, dan mulutku pun lantas tak layak untuk kau percaya lagi? Semua orang
kantor bahkan sudah tahu akan rahasia umum itu. Bahwa toilet adalah tempat transaksi
hubungan gelap semacam itu.
Tiga kali…
Baiklah. Akhirnya aku pun memutuskan ini. Sepertinya aku harus membuat
matamu kelilipan dengan bukti nyata.
Namun betapa terkejutnya aku saat itu. Hatiku langsung bersorak ketika
tiba-tiba dan tanpa kunyana tangan kananmu menahan tangan kiriku ketika aku
beranjak dari meja kerja demi membuktikan tuduhanku kepada Toto dan Rani.
“Aku ikut,” ujarmu, yang langsung saja membuat warna-warni bunga
bermekaran dalam dadaku. Padahal di luar, kemarau sedang melayukan semua yang
tumbuh.
Ketika semua mata dalam ruang kerja memperhatikan kita dengan pandangan
seolah tak percaya, aku malah justru menikmatinya. Sebuah rencana kusadari
telah tumbuh dan bercecabang dalam kepalaku. Kita sejoli yang sedang menuju
toilet sekarang.
* * *
Senja kesekian ketika kau menumpahkan semua yang menyesaki dada dan
kepalamu. Atap gedung serasa menjelma taman yang begitu menyejukkan mata.
Segala gosip tentang kita yang terus mengiang di liang telinga dan tatapan
menuduh dari teman sekantor dengan ajaibnya berubah menjadi sesuatu yang menyejukkan
dalam dadaku.
Aku menikmati ini. Meski ini belumlah ujung dari rencana panjangku.
Ketika kau bercerita tentang penyesalanmu akan masa lalu—bahwa kaulah yang dulu
menjodohkan adikmu dengan Rani. Tentang kondisi Tri, adikmu, yang semakin
‘menggila’. Tentang dua anak mereka yang jadi telantar. Jujur saja, sebenarnya
aku tak begitu peduli dengan semua itu. Yang aku tuju adalah dirimu. Hanya
dirimu.
Maka sedikit demi sedikit aku berusaha masuk ke dalam hatimu lagi. Ketika
akhirnya aku tahu semua masalah yang membuatmu jauh dengan Hendra, suamimu,
dengan perlahan aku pun berusaha menjadi langit yang seolah-olah bisa
menaungimu.
Sehalus mungkin aku berusaha menyusup ke dalam hatimu. Mencari tempat.
Mencari posisi strategis yang kiranya nanti bisa menggeser posisi Hendra dari
dalam hatimu. Dan setiap kali sedikit demi sedikit kau mulai membagi
permasalahan tentang hubunganmu dengan Hendra yang telah retak, suara Toto
semakin jelas mengiang di liang telingaku.
“Ketika perempuan tengah mengalami masalah dalam hubungan percintaan
mereka, sebenarnya ada masanya juga mereka rindu dengan masa lalu. Karena
terhalang karut-marut permasalahan yang tengah mendera, kerinduan itupun jadi
terpendam di alam bawah sadar. Nah, inilah yang mesti dimanfaatkan oleh para
mantan seperti kita. Carilah tempat yang nyaman agar mereka bisa meluapkan
kerinduan yang bisa kita curi itu. Carilah toilet dalam kepala mereka,”
ujar Toto panjang lebar, ketika bercerita kepadaku bahwa antara dia dan Rani
sebenarnya pernah terjalin kisah merah jambu beberapa tahun sebelum pertemuan
Rani dengan Tri.
Aku mulai mengerti. Aku mulai paham. Inilah saatnya aku harus mencari
toilet dalam kepalamu.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar