Monokromania
Kata
Bunda, kedua mataku memang sudah mengalami kelainan sedari kecil. Saat
teman-temanku dengan riang bisa menyebutkan aneka warna pelangi, dengan sedih
aku hanya bisa menyebut, “Hitam… hitam… hampir putih… putih.”
Sebagian
teman-temanku tertawa. Tapi aku tak peduli. Aku pernah ngotot menyebut kuning,
merah, hijau, dan merah, pada kombinasi warna-warna tertentu sesuai petunjuk
Bunda. Tapi hitam selalu lebih dominan di mataku. Dan hanya warna itulah yang
bisa kukenali dengan amat sempurna.
“Kalau
yang seperti ini, hitam. Sedang yang seperti itu, putih,” ujar seorang terapis
yang takkan pernah kulupa, meski kejadiannya telah bertahun silam. Hari pertama
ketika aku diajari tentang warna-warna dengan cara profesional, yang sama
sekali beda dengan cara-cara Bundaku.
Satu-satunya
warna yang dapat dengan mudah kukenali adalah warna cahaya dan warna putih
terang, tentu saja selain hitam. Warna yang kata teman-teman adalah muasal
tempat setan-setan muncul!
* * *
Cahaya
pagi menyapaku hangat. Tirai jendela kamar sengaja kubuka lebar-lebar agar ia
bisa mengubah warna semua penghuni kamar menjadi pemandangan yang menyenangkan
buatku.
Di
ruang tengah, TV sudah riuh mengabarkan apa yang Ayah sukai. Berita
politik—tentang orang-orang yang adu bicara setiap hari. Seolah mereka tak
punya rasa capek. Setelah itu biasanya beliau akan sibuk buka-buka koran,
sampai kami siap masuk mobil berangkat sekolah. Berita tentang pengadilan
adalah favoritnya, tentu saja, lantaran itu berhubungan dengan profesinya
sebagai pengacara.
Kedua
mataku tak menemukan Dina di ruang tengah, padahal Mbok Yem sudah mengangkuti
semua masakannya. Dina masih tidur, sahut Ayah kemudian. Sedang Bunda masih
terdengar keberadaannya di dalam kamar mandi.
Aku
kembali terkenang percakapanku dengan Dina semalam. Aku merasa kedua mataku
semakin bertambah parah. Ketika Dina mengetesku dengan warna baju yang ia
kenakan, warna hijau sudah semakin tak kukenali. Dina membujukku agar cerita ke
Ayah. Siapa tahu kali ini penyakit itu sudah amat membahayakan buatku. Siapa
tahu penyakit itu berhubungan dengan kanker, paru, jantung, atau entah apa
lagi. Siapa tahu. Meski aku tak merasa kesakitan.
“Mungkin
karena aku kecapekan,” kuhibur diri sendiri. Dan Dina hanya mengangguk.
Kumaklumi itu, dia baru delapan tahun.
* * *
Napasku
rasanya sudah hampir habis. Aku turun dari sepeda dan kemudian menuntunnya,
menyusuri jalanan yang entah, tak kukenali namanya. Aku berusaha menemukan
huruf-huruf pada papan nama, atau apa pun yang bisa dibaca. Tapi ternyata aku
tak bisa, membuatku ingin menangis. Apalagi ketika sadar aku tak bawa telepon
genggam.
Kukayuh
saja sepedaku, menyusuri ulang alur jalan yang tadi kulalui. Aku sadar, aku
tersesat. Aku terduduk di sebuah halte, menahan diri untuk bertanya kepada
siapa pun lantaran coba memahami keadaanku. Rasanya aku ingin teriak memanggil
Ayah atau Bunda. Warna hitam ini, sampai kapan kah akan berubah menjadi
warna-warni yang menyenangkan? Aku sering merasa bahwa ini adalah kutukan,
meski Bunda melarangku mengatakan itu.
“Adek
harus bersyukur. Meski hanya ada hitam dan putih, tapi setidaknya Adek masih
bisa melihat. Adek tidak buta,” tutur Bunda.
Di
tengah rasa frustasi, aku coba mendekati seorang perempuan paruh baya. Bertanya
tentang seberapa jauh aku tersesat. Beliau tahu di mana kawasan rumahku berada.
Tapi aku masih saja kebingungan mendengarkan penjelasannya. Dalam umur yang
hampir dua belas ini, aku memang belum pernah tersesat sejauh ini. Kondisi Ayah
yang sering pindah-pindah rumah mengikuti pekerjaan membuatku selalu malas
mengenal lingkungan sekitar. Akibatnya, jumlah orang yang kukenal pun terbatas,
dan terutama daerah jelajah yang kuketahui juga terbatas.
Jadilah
di sepanjang jalan aku bertanya dan terus bertanya. Aku mulai diliputi
ketakutan ketika tak juga berhasil menemukan kawasan tempat rumahku berada. Takut
ketika teringat Ayah cerita soal penculikan-penculikan akibat dendam atas kasus
yang telah masuk pengadilan. Kedua mataku sepertinya sudah tak tertolong lagi.
Sudah tiga kali aku berhenti demi menenangkan diri. Semoga saja Ayah atau Bunda
sudah bergerak mencariku.
“Tersesat?”
lelaki itu menatapku serius. Orang-orang yang riuh di depan rumahnya juga
tampak serius mendengarkan ceritaku. Aku bersyukur ketika tak seorang pun
menertawaiku. Salah seorang dari mereka bahkan berinisiatif mengantarkanku
pulang.
Langit
terlihat semakin menghitam. Meski matahari baru saja condong dari atas kepala.
* * *
Aku
menonton televisi di ruang tengah. Sementara percakapan Ayah terjadi di ruang
tamu. Televisi tak menjadi perhatian utamaku, lantaran gambarnya yang tak lagi
sedap dipandang. Suaranya juga tak lagi menyita perhatianku. Sayangnya aku tak
bisa memanggil Bunda untuk turut menemaniku, mendengarkan percakapan Ayah yang
terdengar aneh dan sedikit membuatku penasaran.
Aku
mendengar ‘rekening gendut’, ‘akan dibibitkan’, ‘semoga saja masih bisa
bertemu’, ‘perjuangan’, ‘koruptor’, ‘cicak melawan buaya’, dengan nada bicara
yang terdengar serius. Bagaimana bisa cicak melawan buaya? Suara mereka timbul
tenggelam bersaing dengan suara televisi. Lantaran bosan, kumatikan televisi
dan kemudian pindah ke dalam kamar, berharap percakapan itu akan terdengar
lebih jelas lantaran kamarku berbatasan langsung dengan ruang tamu. Tapi
ternyata aku keliru. Di dalam kamar, suara Ayah justru menghilang. Akhirnya aku
terjebak dalam kesendirian.
Komik
Tintin sempat menyita perhatianku. Lampu baca sudah kunyalakan. Tapi mataku
hanya bertahan sebentar. Aku tertidur kemudian.
Aku
terbangun ketika seseorang mematikan lampu baca di samping pembaringanku. Aku
sempat kaget saat menyadari bahwa yang menyapaku adalah Ayah. Aku merajuk.
“Ada apa? Kok kayak anak
kecil saja?” Ayah akan berujar seperti itu jika menginginkan aku bersikap tak
‘ke-Dina-dinaan’.
Aku
hanya ingin Ayah mengurut keningku sebentar, agar mataku terasa nyaman. Setelah
beliau meninggalkanku, semalaman aku tak bisa tidur. Hingga kedua mataku
kecapekan. Dan tahu-tahu geliat pagi telah membangunkanku dari tidur.
Pagi
harinya, dengan perasaan yang terasa aneh, aku merengek di hadapan Ayah.
Kubilang berkali-kali kapankah kedua mataku diperiksakan lagi? Aku sedikit
merasa diperhatikan ketika Bunda menyanggupi permintaanku sore harinya.
Sayangnya,
penjelasan dari dokter mata malah justru membuatku semakin tak puas.
“Sehat-sehat saja kok. Mengenai kelainan yang itu, memang harus belajar
menyesuaikan diri dengan keadaan. Coba istirahatnya diperbanyak, dan gizi buat
matanya diperbanyak.”
“Hitam
semuanya!” pekikku kalap saat dalam perjalanan pulang. Hingga Bunda menangis,
dan bilang bahwa aku tak boleh menyalahkan siapa pun, termasuk Tuhan yang sudah
memberiku kehidupan.
Aku
memang pernah mendengar Bunda yang meratapi kelainanku ini, bahwa cobaanku
lebih berat ketimbang harus menghadapi para koruptor yang kasusnya sedang
ditangani Ayah.
* * *
Ini
sungguh tak menyenangkan. Tapi aku harus membiasakan diri. Meski kadang aku
lama terpaku di hadapan sesuatu yang warnanya berubah total. Untuk sekadar
menyantap dendeng ikan saja, aku harus meyakinkan diri bahwa yang masuk dalam
mulutku memang benar ikan. Aku begitu takut andai terjatuh dalam jurang
kebutaan yang konon hanya berisi kegelapan, penuh warna hitam. Aku tak bisa
membayangkannya.
Tatapan
mataku yang terus tertuju kepada Ayah membuat lelaki itu merasa aneh denganku.
Hari ini aku terpaksa berangkat juga ke sekolah lantaran masa izin dari dokter
sudah habis.
Perasaan
tak enak terus saja menggangguku sedari tadi. Celoteh Dina masuk telinga kanan
keluar telinga kiriku. Aku merasa ada yang terus membuntuti kami. Seperti
sebuah firasat.
“Kita
akan kedatangan tamu, Dek.”
Aku
mengikuti isyarat Ayah, melihat kaca spion. Ada sebuah mobil warna hitam (atau warna
entah) yang sepertinya memang mengikuti mobil kami. Apakah mobil itu yang
membuatku merasa tak enak sedari tadi? Sepertinya tidak. Perasaanku menjawab,
ada hal lain. Entah apa.
Gelisah
itu semakin terasa memelukku setelah Dina melambaikan tangan dan kemudian
hilang ditelan keramaian kawan-kawannya. Kulihat Ayah juga menampakkan gelagat
yang sama.
Beberapa
menit kemudian terjadilah kejadian itu. Hanya dalam hitungan detik. Mobil kami
tiba-tiba saja sudah terkepung. Orang-orang entah memaksa ayahku keluar mobil.
Dengan bentakan, dengan nada memaksa, dan dengan senjata api yang terarah tepat
ke wajahnya, seolah ayahku adalah seorang penjahat.
Rupanya
inilah yang membuatku dikuntit gelisah sedari tadi. Betapa terkejutnya aku
setelah turut keluar dari mobil. Orang-orang asing itu, tak seperti orang
kebanyakan. Tubuh mereka legam, selegam malam dan hanya menyisakan sepasang
mata dengan sorot merah mengerikan. Apakah… setan-setan itu mulai keluar dari
dalam hitam? Tapi kenapa ayahku yang mereka sasar?
Entah
dari mana keberanian itu datang. Padahal biasanya aku selalu segan dengan
mereka yang memakai seragam polisi. Tanpa perhitungan, kubentak mereka dengan berang,
“Lepaskan ayahku, Setan!!”*
Kalinyamatan
– Jepara 2015.
(Adi Zamzam, Harian Suara NTB, Minggu 6
November 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar