Jumat, 27 Januari 2017

Monokromania



Monokromania




Kata Bunda, kedua mataku memang sudah mengalami kelainan sedari kecil. Saat teman-temanku dengan riang bisa menyebutkan aneka warna pelangi, dengan sedih aku hanya bisa menyebut, “Hitam… hitam… hampir putih… putih.”
Sebagian teman-temanku tertawa. Tapi aku tak peduli. Aku pernah ngotot menyebut kuning, merah, hijau, dan merah, pada kombinasi warna-warna tertentu sesuai petunjuk Bunda. Tapi hitam selalu lebih dominan di mataku. Dan hanya warna itulah yang bisa kukenali dengan amat sempurna.

“Kalau yang seperti ini, hitam. Sedang yang seperti itu, putih,” ujar seorang terapis yang takkan pernah kulupa, meski kejadiannya telah bertahun silam. Hari pertama ketika aku diajari tentang warna-warna dengan cara profesional, yang sama sekali beda dengan cara-cara Bundaku.
Satu-satunya warna yang dapat dengan mudah kukenali adalah warna cahaya dan warna putih terang, tentu saja selain hitam. Warna yang kata teman-teman adalah muasal tempat setan-setan muncul!
*          *          *

Cahaya pagi menyapaku hangat. Tirai jendela kamar sengaja kubuka lebar-lebar agar ia bisa mengubah warna semua penghuni kamar menjadi pemandangan yang menyenangkan buatku.
Di ruang tengah, TV sudah riuh mengabarkan apa yang Ayah sukai. Berita politik—tentang orang-orang yang adu bicara setiap hari. Seolah mereka tak punya rasa capek. Setelah itu biasanya beliau akan sibuk buka-buka koran, sampai kami siap masuk mobil berangkat sekolah. Berita tentang pengadilan adalah favoritnya, tentu saja, lantaran itu berhubungan dengan profesinya sebagai pengacara.
Kedua mataku tak menemukan Dina di ruang tengah, padahal Mbok Yem sudah mengangkuti semua masakannya. Dina masih tidur, sahut Ayah kemudian. Sedang Bunda masih terdengar keberadaannya di dalam kamar mandi.
Aku kembali terkenang percakapanku dengan Dina semalam. Aku merasa kedua mataku semakin bertambah parah. Ketika Dina mengetesku dengan warna baju yang ia kenakan, warna hijau sudah semakin tak kukenali. Dina membujukku agar cerita ke Ayah. Siapa tahu kali ini penyakit itu sudah amat membahayakan buatku. Siapa tahu penyakit itu berhubungan dengan kanker, paru, jantung, atau entah apa lagi. Siapa tahu. Meski aku tak merasa kesakitan.
“Mungkin karena aku kecapekan,” kuhibur diri sendiri. Dan Dina hanya mengangguk. Kumaklumi itu, dia baru delapan tahun.
*          *          *

Napasku rasanya sudah hampir habis. Aku turun dari sepeda dan kemudian menuntunnya, menyusuri jalanan yang entah, tak kukenali namanya. Aku berusaha menemukan huruf-huruf pada papan nama, atau apa pun yang bisa dibaca. Tapi ternyata aku tak bisa, membuatku ingin menangis. Apalagi ketika sadar aku tak bawa telepon genggam.
Kukayuh saja sepedaku, menyusuri ulang alur jalan yang tadi kulalui. Aku sadar, aku tersesat. Aku terduduk di sebuah halte, menahan diri untuk bertanya kepada siapa pun lantaran coba memahami keadaanku. Rasanya aku ingin teriak memanggil Ayah atau Bunda. Warna hitam ini, sampai kapan kah akan berubah menjadi warna-warni yang menyenangkan? Aku sering merasa bahwa ini adalah kutukan, meski Bunda melarangku mengatakan itu.
“Adek harus bersyukur. Meski hanya ada hitam dan putih, tapi setidaknya Adek masih bisa melihat. Adek tidak buta,” tutur Bunda.
Di tengah rasa frustasi, aku coba mendekati seorang perempuan paruh baya. Bertanya tentang seberapa jauh aku tersesat. Beliau tahu di mana kawasan rumahku berada. Tapi aku masih saja kebingungan mendengarkan penjelasannya. Dalam umur yang hampir dua belas ini, aku memang belum pernah tersesat sejauh ini. Kondisi Ayah yang sering pindah-pindah rumah mengikuti pekerjaan membuatku selalu malas mengenal lingkungan sekitar. Akibatnya, jumlah orang yang kukenal pun terbatas, dan terutama daerah jelajah yang kuketahui juga terbatas.
Jadilah di sepanjang jalan aku bertanya dan terus bertanya. Aku mulai diliputi ketakutan ketika tak juga berhasil menemukan kawasan tempat rumahku berada. Takut ketika teringat Ayah cerita soal penculikan-penculikan akibat dendam atas kasus yang telah masuk pengadilan. Kedua mataku sepertinya sudah tak tertolong lagi. Sudah tiga kali aku berhenti demi menenangkan diri. Semoga saja Ayah atau Bunda sudah bergerak mencariku.
“Tersesat?” lelaki itu menatapku serius. Orang-orang yang riuh di depan rumahnya juga tampak serius mendengarkan ceritaku. Aku bersyukur ketika tak seorang pun menertawaiku. Salah seorang dari mereka bahkan berinisiatif mengantarkanku pulang.
Langit terlihat semakin menghitam. Meski matahari baru saja condong dari atas kepala.
*          *          *

Aku menonton televisi di ruang tengah. Sementara percakapan Ayah terjadi di ruang tamu. Televisi tak menjadi perhatian utamaku, lantaran gambarnya yang tak lagi sedap dipandang. Suaranya juga tak lagi menyita perhatianku. Sayangnya aku tak bisa memanggil Bunda untuk turut menemaniku, mendengarkan percakapan Ayah yang terdengar aneh dan sedikit membuatku penasaran.
Aku mendengar ‘rekening gendut’, ‘akan dibibitkan’, ‘semoga saja masih bisa bertemu’, ‘perjuangan’, ‘koruptor’, ‘cicak melawan buaya’, dengan nada bicara yang terdengar serius. Bagaimana bisa cicak melawan buaya? Suara mereka timbul tenggelam bersaing dengan suara televisi. Lantaran bosan, kumatikan televisi dan kemudian pindah ke dalam kamar, berharap percakapan itu akan terdengar lebih jelas lantaran kamarku berbatasan langsung dengan ruang tamu. Tapi ternyata aku keliru. Di dalam kamar, suara Ayah justru menghilang. Akhirnya aku terjebak dalam kesendirian.
Komik Tintin sempat menyita perhatianku. Lampu baca sudah kunyalakan. Tapi mataku hanya bertahan sebentar. Aku tertidur kemudian.
Aku terbangun ketika seseorang mematikan lampu baca di samping pembaringanku. Aku sempat kaget saat menyadari bahwa yang menyapaku adalah Ayah. Aku merajuk.
“Ada apa? Kok kayak anak kecil saja?” Ayah akan berujar seperti itu jika menginginkan aku bersikap tak ‘ke-Dina-dinaan’.
Aku hanya ingin Ayah mengurut keningku sebentar, agar mataku terasa nyaman. Setelah beliau meninggalkanku, semalaman aku tak bisa tidur. Hingga kedua mataku kecapekan. Dan tahu-tahu geliat pagi telah membangunkanku dari tidur.
Pagi harinya, dengan perasaan yang terasa aneh, aku merengek di hadapan Ayah. Kubilang berkali-kali kapankah kedua mataku diperiksakan lagi? Aku sedikit merasa diperhatikan ketika Bunda menyanggupi permintaanku sore harinya.
Sayangnya, penjelasan dari dokter mata malah justru membuatku semakin tak puas. “Sehat-sehat saja kok. Mengenai kelainan yang itu, memang harus belajar menyesuaikan diri dengan keadaan. Coba istirahatnya diperbanyak, dan gizi buat matanya diperbanyak.”
“Hitam semuanya!” pekikku kalap saat dalam perjalanan pulang. Hingga Bunda menangis, dan bilang bahwa aku tak boleh menyalahkan siapa pun, termasuk Tuhan yang sudah memberiku kehidupan.
Aku memang pernah mendengar Bunda yang meratapi kelainanku ini, bahwa cobaanku lebih berat ketimbang harus menghadapi para koruptor yang kasusnya sedang ditangani Ayah.
*          *          *

Ini sungguh tak menyenangkan. Tapi aku harus membiasakan diri. Meski kadang aku lama terpaku di hadapan sesuatu yang warnanya berubah total. Untuk sekadar menyantap dendeng ikan saja, aku harus meyakinkan diri bahwa yang masuk dalam mulutku memang benar ikan. Aku begitu takut andai terjatuh dalam jurang kebutaan yang konon hanya berisi kegelapan, penuh warna hitam. Aku tak bisa membayangkannya.
Tatapan mataku yang terus tertuju kepada Ayah membuat lelaki itu merasa aneh denganku. Hari ini aku terpaksa berangkat juga ke sekolah lantaran masa izin dari dokter sudah habis.
Perasaan tak enak terus saja menggangguku sedari tadi. Celoteh Dina masuk telinga kanan keluar telinga kiriku. Aku merasa ada yang terus membuntuti kami. Seperti sebuah firasat.
“Kita akan kedatangan tamu, Dek.”
Aku mengikuti isyarat Ayah, melihat kaca spion. Ada sebuah mobil warna hitam (atau warna entah) yang sepertinya memang mengikuti mobil kami. Apakah mobil itu yang membuatku merasa tak enak sedari tadi? Sepertinya tidak. Perasaanku menjawab, ada hal lain. Entah apa.
Gelisah itu semakin terasa memelukku setelah Dina melambaikan tangan dan kemudian hilang ditelan keramaian kawan-kawannya. Kulihat Ayah juga menampakkan gelagat yang sama.
Beberapa menit kemudian terjadilah kejadian itu. Hanya dalam hitungan detik. Mobil kami tiba-tiba saja sudah terkepung. Orang-orang entah memaksa ayahku keluar mobil. Dengan bentakan, dengan nada memaksa, dan dengan senjata api yang terarah tepat ke wajahnya, seolah ayahku adalah seorang penjahat.
Rupanya inilah yang membuatku dikuntit gelisah sedari tadi. Betapa terkejutnya aku setelah turut keluar dari mobil. Orang-orang asing itu, tak seperti orang kebanyakan. Tubuh mereka legam, selegam malam dan hanya menyisakan sepasang mata dengan sorot merah mengerikan. Apakah… setan-setan itu mulai keluar dari dalam hitam? Tapi kenapa ayahku yang mereka sasar?
Entah dari mana keberanian itu datang. Padahal biasanya aku selalu segan dengan mereka yang memakai seragam polisi. Tanpa perhitungan, kubentak mereka dengan berang, “Lepaskan ayahku, Setan!!”*

Kalinyamatan – Jepara 2015.


(Adi Zamzam, Harian Suara NTB, Minggu 6 November 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar