Kehidupan Sosial Dalam Penjara
Judul Buku : Negeri Harapan
Penulis :
Gayatri, Winny Erwindia, Conie Pakuan, dkk.
Penerbit :
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan :
Pertama, 2016
Tebal : 193
halaman
ISBN :
978-602-03-3103-4
Lembaga Pemasyarakatan
sejatinya bukanlah tempat yang untuk membelenggu orang-orang bersalah. Lebih
dari itu, Lapas merupakan tempat yang turut berperan aktif dalam membangun
karakter dan meningkatkan ketrampilan para warga binaannya sehingga mereka
mampu menambah bekal tambahan untuk menempuh masa depan.
Bagi mereka yang
mendapatkan vonis seumur hidup pun, beragam ketrampilan dan pembekalan yang
diberikan Lapas, setidaknya akan memberi bekal mental tersendiri dalam mengarungi
hari-hari kelabu di balik teralis besi. Poin ini bisa Anda tengok dalam cerita
“Ekstrak Jahe Teh Rani” yang mengisahkan perjuangan seorang Rani dalam
mendulang grasi dari presiden atas vonis mati yang harus dihadapinya atas
tuduhan sebagai bandar narkoba (hal. 126). Ketika semua permohonannya mentok
pada kata penolakan, ia pun akhirnya memilih jalan lain demi menunjukkan bakti
terakhir kepada ayah yang akan menjalani operasi katarak di luar sana, yakni
dengan berjualan minuman jahe di dalam penjara. Ia pun memperkuat mental
rohaninya dengan pendekatan beragam amal ibadah keagamaan, sehingga ia menjadi
lebih siap sebelum kemudian berakhir di hadapan tim regu tembak.
Tentu saja buku ini bukanlah
upaya pencitraan pihak Lapas semata. Kisah-kisah gelap pun dihadirkan dengan
porsi proporsional. Humor gelap, kelakuan licik yang masih mendominasi, tempat
‘becek’, bahkan kasus bunuh diri pun diceritakan dengan gamblang.
Ya, pembinaan dalam LP
pun ternyata tak mampu menjamin mengubah tabiat para penghuninya. Justru, di
dalam penjara mereka akan mengalami sebuah gejala baru lagi. Berbagai perilaku dan gejala yang muncul,
seringkali merupakan respons atas derita akibat kehilangan kemerdekaan
bergerak. Bahkan kasta pun bisa terbentuk lantaran kelas sosial yang berbeda-beda.
Sebut saja golongan
‘korpe’, yang merupakan kepanjangan dari korban perasaan. Kasta ini merupakan
golongan mereka dengan kondisi ekonomi paling rendah, sehingga menyediakan diri
untuk membantu sesama penduduk lapas yang kesulitan melakukan pekerjaan
sehari-hari, atau memang malas mengerjakannya, dengan bayaran berdasar
kesepakatan dua belah pihak. Mereka yang memiliki status sosial tinggi, konon
bahkan masih bisa mendapatkan bantuan dan penghormatan dari sahabat dan saudara
di luar sana (hal. 156). Maka tak heran jika ada residivis kambuhan lantaran
pembinaan yang terjadi bergantung juga pada faktor masing-masing individu.*
Nur Hadi, Kedaulatan Rakyat, Sabtu 7 Januari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar