Minggu, 08 Januari 2017

Kehidupan Sosial di dalam Penjara



Kehidupan Sosial Dalam Penjara


Judul Buku  : Negeri Harapan
Penulis        :  Gayatri, Winny Erwindia, Conie Pakuan, dkk.
Penerbit       :  Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan       :  Pertama, 2016
Tebal           :  193 halaman
ISBN          :  978-602-03-3103-4


Lembaga Pemasyarakatan sejatinya bukanlah tempat yang untuk membelenggu orang-orang bersalah. Lebih dari itu, Lapas merupakan tempat yang turut berperan aktif dalam membangun karakter dan meningkatkan ketrampilan para warga binaannya sehingga mereka mampu menambah bekal tambahan untuk menempuh masa depan.
Bagi mereka yang mendapatkan vonis seumur hidup pun, beragam ketrampilan dan pembekalan yang diberikan Lapas, setidaknya akan memberi bekal mental tersendiri dalam mengarungi hari-hari kelabu di balik teralis besi. Poin ini bisa Anda tengok dalam cerita “Ekstrak Jahe Teh Rani” yang mengisahkan perjuangan seorang Rani dalam mendulang grasi dari presiden atas vonis mati yang harus dihadapinya atas tuduhan sebagai bandar narkoba (hal. 126). Ketika semua permohonannya mentok pada kata penolakan, ia pun akhirnya memilih jalan lain demi menunjukkan bakti terakhir kepada ayah yang akan menjalani operasi katarak di luar sana, yakni dengan berjualan minuman jahe di dalam penjara. Ia pun memperkuat mental rohaninya dengan pendekatan beragam amal ibadah keagamaan, sehingga ia menjadi lebih siap sebelum kemudian berakhir di hadapan tim regu tembak.
Tentu saja buku ini bukanlah upaya pencitraan pihak Lapas semata. Kisah-kisah gelap pun dihadirkan dengan porsi proporsional. Humor gelap, kelakuan licik yang masih mendominasi, tempat ‘becek’, bahkan kasus bunuh diri pun diceritakan dengan gamblang.
Ya, pembinaan dalam LP pun ternyata tak mampu menjamin mengubah tabiat para penghuninya. Justru, di dalam penjara mereka akan mengalami sebuah gejala baru lagi.  Berbagai perilaku dan gejala yang muncul, seringkali merupakan respons atas derita akibat kehilangan kemerdekaan bergerak. Bahkan kasta pun bisa terbentuk lantaran kelas sosial yang berbeda-beda.
Sebut saja golongan ‘korpe’, yang merupakan kepanjangan dari korban perasaan. Kasta ini merupakan golongan mereka dengan kondisi ekonomi paling rendah, sehingga menyediakan diri untuk membantu sesama penduduk lapas yang kesulitan melakukan pekerjaan sehari-hari, atau memang malas mengerjakannya, dengan bayaran berdasar kesepakatan dua belah pihak. Mereka yang memiliki status sosial tinggi, konon bahkan masih bisa mendapatkan bantuan dan penghormatan dari sahabat dan saudara di luar sana (hal. 156). Maka tak heran jika ada residivis kambuhan lantaran pembinaan yang terjadi bergantung juga pada faktor masing-masing individu.*

Nur Hadi, Kedaulatan Rakyat, Sabtu 7 Januari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar