Mengulik Keunggulan Pendidikan Jepang dan Tiongkok
Judul Buku : Metode Mengajar ala Tiongkok dan Jepang
Penulis :
Nikola Dickyandi
Penerbit :
Penerbit DIVA Press
Cetakan :
Pertama, April 2016
Tebal : 191
halaman
ISBN :
978-602-391-123-3
Tiongkok dan Jepang
adalah dua macan Asia yang telah dikenal mumpuni dalam melejitkan daya
pertumbuhan ekonomi. Hal itu tentu saja tak bisa lepas dari peran sektor
pendidikan. Dengan didukung faktor sejarah dan kultur yang amat mendukung,
melalui buku ini kita akan diajak untuk mengulik beberapa langkah yang telah
mereka ambil sehingga pendidikan merupakan sektor yang amat menentukan
keberhasilan dalam menyokong sektor-sektor lainnya.
Tiongkok yang menjunjung
tinggi filsafat sebagai pandangan hidup, menjadikan pendidikan sebagai penopang
utamanya. Keselarasan antara pendidikan dengan filsafat telah memberikan
perkembangan yang cukup signifikan terhadap pendidikan. Dalam ajaran Konfusius,
pendidikan merupakan sesuatu yang harus dikendalikan oleh manusia. Pendidikan
adalah mesin yang mengarahkan dunia pada kebenaran sehingga harus terus dikejar
sampai mati. Maka tak heran, jika sejak masa Dinasti Han berkuasa, tahapan
ujian demi mendapatkan calon pegawai kerajaan yang berkualitas pun dilaksanakan
sebegitu ketatnya. Sebab, pendidikan ini juga mencakup mental dan kejiwaan
(hal. 30).
Dalam mengajar, beberapa
prinsip diterapkan dengan penuh kesungguhan oleh para pengajar di sana;
kedisiplinan, spesifikasi yang jelas, target yang jelas, serta sistem
kompetisi. Metode pembelajaran yang telah digodok, diterapkan sesuai dengan
kultur masyarakatnya. Jam belajar yang panjang, pengasramaan peserta didik,
frekuensi Pekerjaan Rumah yang tinggi, serta tempat pembelajaran yang variatif,
mendorong siswa untuk dapat lebih menguasai materi, konsep, serta keterampilan.
Kebijakan unik semacam tidur siang (Wu Jiao)
di sekolah bahkan sudah dibudayakan dan diwajibkan di beberapa sekolahan,
semisal di Gaoxin Number 1 Primary School yang terletak di Xi’an. Tidur siang
menjadi hal wajib dan dikategorikan dalam kegiatan sekolah yang didukung dengan
amat tegas oleh para gurunya demi meningkatkan daya konsentrasi murid-muridnya
(hal. 116). Maka tak heran jika dalam ajang-ajang olimpiade matematika, maupun
fisika, para siswa mereka sering menjadi langganan juara.
Sejak terjadinya
Restorasi Meiji (1866-1869), Jepang pun mulai memberikan porsi perhatian yang
cukup terhadap pendidikan. Secara gencar, Pemerintah menerbitkan dan
menerjemahkan berbagai buku terbitan asing dan mengirimkan pelajar ke berbagai
negara untuk mendalami dan menyempurnakan berbagai bidang ilmu. Gerak nyata itu
juga terekam ketika Jepang mengalami kelumpuhan pasca bom atom di Hiroshima dan
Nagasaki. Langkah pertama yang mereka lakukan adalah memerintahkan menteri
pendidikan untuk menghitung jumlah guru yang masih hidup. Kaisar Hirohito
bergerilya dan mendatangi guru-guru yang tersisa guna memberi perintah dan
arahan. Hasilnya, hanya dalam tempo 50 tahun peningkatan melek huruf pun mampu
mencapai 99,8% pada tahun 1990 dan meningkat 100% pada tahun 2000 (hal. 34).
Tak jauh beda dengan
Tiongkok, berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan Programme for International Student Assesment (PISA 2009),
kedisiplinan murid-murid Jepang menempati urutan teratas. Berdasar laporan
forum kerja sama ekonomi (OECD), Jepang juga menempati peringkat atas dengan
siswa penurut dan tak banyak tingkah saat mengikuti pelajaran. Pendidikan
sekolah mereka dirancang untuk kebutuhan industri dengan sistem pembelajaran
kontekstual, yakni suatu proses belajar yang dilakukan secara holistik dengan
tujuan membangkitkan motivasi murid untuk memahami makna materi pelajaran yang
dipelajari (hal. 143). Komponen-komponen utamanya mencakup; hubungan bermakna
antara guru dan murid, belajar diatur sendiri, bekerja sama, berpikir kritis
dan kreatif, mengasuh kepribadian siswa, dengan tujuan utama standar
pengetahuan akademik yang tinggi.
Budaya membaca masyarakat
Jepang juga dikenal mengagumkan, yang bisa diulik lewat empat budaya khasnya;
membaca 10 menit setiap hari di sekolah, membaca di sarana transportasi umum, tachiyomi (membaca gratis yang dilakukan
di toko buku sambil berdiri), serta sekiguchi
(promosi buku yang dilakukan para artis atau pelawak di sebuah acara televisi).*
Nur Hadi, Harian Analisa, Rabu 11 Januari 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar