Sabtu, 14 Januari 2017

Mengulik Keunggulan Pendidikan Jepang dan Tiongkok



Mengulik Keunggulan Pendidikan Jepang dan Tiongkok



Judul Buku  : Metode Mengajar ala Tiongkok dan Jepang
Penulis        :  Nikola Dickyandi
Penerbit       :  Penerbit DIVA Press
Cetakan       :  Pertama, April 2016
Tebal           :  191 halaman
ISBN           :  978-602-391-123-3


Tiongkok dan Jepang adalah dua macan Asia yang telah dikenal mumpuni dalam melejitkan daya pertumbuhan ekonomi. Hal itu tentu saja tak bisa lepas dari peran sektor pendidikan. Dengan didukung faktor sejarah dan kultur yang amat mendukung, melalui buku ini kita akan diajak untuk mengulik beberapa langkah yang telah mereka ambil sehingga pendidikan merupakan sektor yang amat menentukan keberhasilan dalam menyokong sektor-sektor lainnya.
Tiongkok yang menjunjung tinggi filsafat sebagai pandangan hidup, menjadikan pendidikan sebagai penopang utamanya. Keselarasan antara pendidikan dengan filsafat telah memberikan perkembangan yang cukup signifikan terhadap pendidikan. Dalam ajaran Konfusius, pendidikan merupakan sesuatu yang harus dikendalikan oleh manusia. Pendidikan adalah mesin yang mengarahkan dunia pada kebenaran sehingga harus terus dikejar sampai mati. Maka tak heran, jika sejak masa Dinasti Han berkuasa, tahapan ujian demi mendapatkan calon pegawai kerajaan yang berkualitas pun dilaksanakan sebegitu ketatnya. Sebab, pendidikan ini juga mencakup mental dan kejiwaan (hal. 30).
Dalam mengajar, beberapa prinsip diterapkan dengan penuh kesungguhan oleh para pengajar di sana; kedisiplinan, spesifikasi yang jelas, target yang jelas, serta sistem kompetisi. Metode pembelajaran yang telah digodok, diterapkan sesuai dengan kultur masyarakatnya. Jam belajar yang panjang, pengasramaan peserta didik, frekuensi Pekerjaan Rumah yang tinggi, serta tempat pembelajaran yang variatif, mendorong siswa untuk dapat lebih menguasai materi, konsep, serta keterampilan. Kebijakan unik semacam tidur siang (Wu Jiao) di sekolah bahkan sudah dibudayakan dan diwajibkan di beberapa sekolahan, semisal di Gaoxin Number 1 Primary School yang terletak di Xi’an. Tidur siang menjadi hal wajib dan dikategorikan dalam kegiatan sekolah yang didukung dengan amat tegas oleh para gurunya demi meningkatkan daya konsentrasi murid-muridnya (hal. 116). Maka tak heran jika dalam ajang-ajang olimpiade matematika, maupun fisika, para siswa mereka sering menjadi langganan juara.
Sejak terjadinya Restorasi Meiji (1866-1869), Jepang pun mulai memberikan porsi perhatian yang cukup terhadap pendidikan. Secara gencar, Pemerintah menerbitkan dan menerjemahkan berbagai buku terbitan asing dan mengirimkan pelajar ke berbagai negara untuk mendalami dan menyempurnakan berbagai bidang ilmu. Gerak nyata itu juga terekam ketika Jepang mengalami kelumpuhan pasca bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Langkah pertama yang mereka lakukan adalah memerintahkan menteri pendidikan untuk menghitung jumlah guru yang masih hidup. Kaisar Hirohito bergerilya dan mendatangi guru-guru yang tersisa guna memberi perintah dan arahan. Hasilnya, hanya dalam tempo 50 tahun peningkatan melek huruf pun mampu mencapai 99,8% pada tahun 1990 dan meningkat 100% pada tahun 2000 (hal. 34).
Tak jauh beda dengan Tiongkok, berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan Programme for International Student Assesment (PISA 2009), kedisiplinan murid-murid Jepang menempati urutan teratas. Berdasar laporan forum kerja sama ekonomi (OECD), Jepang juga menempati peringkat atas dengan siswa penurut dan tak banyak tingkah saat mengikuti pelajaran. Pendidikan sekolah mereka dirancang untuk kebutuhan industri dengan sistem pembelajaran kontekstual, yakni suatu proses belajar yang dilakukan secara holistik dengan tujuan membangkitkan motivasi murid untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajari (hal. 143). Komponen-komponen utamanya mencakup; hubungan bermakna antara guru dan murid, belajar diatur sendiri, bekerja sama, berpikir kritis dan kreatif, mengasuh kepribadian siswa, dengan tujuan utama standar pengetahuan akademik yang tinggi.
Budaya membaca masyarakat Jepang juga dikenal mengagumkan, yang bisa diulik lewat empat budaya khasnya; membaca 10 menit setiap hari di sekolah, membaca di sarana transportasi umum, tachiyomi (membaca gratis yang dilakukan di toko buku sambil berdiri), serta sekiguchi (promosi buku yang dilakukan para artis atau pelawak di sebuah acara televisi).*

Nur Hadi, Harian Analisa, Rabu 11 Januari 2017.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar