Sabtu, 28 Januari 2017

Al Qur'an di Atas Kepala



Al Quran di Atas Kepala



 

Kejadian Pertama
Pagi-pagi benar. Cahaya bahkan belum menampakkan diri di ufuk timur. Tanah becek sisa hujan semalam. Mendung masih bersekongkol mericuhi langit.
Anak itu mendongak. Cahyo berkali meyakinkan diri, bahwa mendung tak selalu pertanda akan segera turun hujan. Ini penting, sebab nanti ia mesti direpotkan dengan sekantung plastik tempe yang akan ia ambil dari rumah Pak Taha. Emaknya hari ini sakit, tak bisa beraktivitas seperti biasa. Karena itulah Cahyo tak membawa payung, lantaran tangan kirinya sudah mendapatkan jatah membawa Al Quran.
Sepanjang perjalanan batin Cahyo berdoa, semoga hujan tidak turun pagi itu. Agar tugasnya bisa selesai tepat waktu. Ia tahu betul, para pelanggan warung emaknya hanya akan datang pagi-pagi, sebelum anak-anak mereka berangkat sekolah. Jika telat, kesempatan akhir untuk membuang dagangan hanya sisa di siang harinya, sebelum kemudian akan menjadi tempe wayu[1] atau dimakan sendiri jika tak juga laku. Kadang Cahyo sampai ingin muntah setiap kali lauk tempe tahu, meskipun emaknya pandai membuat aneka olahan.
Sepulangnya mengaji Cahyo mesti berlari-lari kecil mengejar waktu. Kiai Ridwan sungguh menyebalkan sekali, tak mau memahami gelagat isyarat, bahwa ia sedang terburu.  Antre tetaplah antre. Cahyo sampai hampir membatalkan niat mengaji lantaran tak sabar menunggu. Meski ia sedikit tertolong dengan kemalangan Amin yang sedang bermasalah dengan perut, sehingga ia bisa sedikit maju dari waktu semestinya.
Prokk!

Cahyo terkejut ketika benda dalam dekapannya terlepas dari tangan. Hampir terpeleset. Kedua tangannya refleks membuka.
Cahyo buru-buru mengambil dan membersihkannya dari tanah. Menoleh kanan-kiri sejenak sebelum akhirnya meletakkan Al Qurannya di atas kepala dan lalu meneruskan langkah.
Ada perasaan tak enak yang menyelinap dalam dada Cahyo. Tapi ia tak tahu persis apa penyebabnya. Apakah lantaran ia baru saja menjatuhkan Al Quran, apakah lantaran teringat emaknya yang sakit, atau entah apakah lantaran kesaklek[2]an Kiai Ridwan yang tak mau mendahulukannya, semua perasaan tak enak itu semakin nyata saat ia melihat cahaya terang yang sesekali membelah langit.
Itu petir, batin Cahyo, dan hawa dingin ini sepertinya memang akan membawa kabar hujan. Seperti yang pernah diucapkan Kiai Ridwan, mungkin ada Malaikat yang sedang mengejar-ngejar Setan dengan cambuknya. Seperti ada yang meremang di atas kepalanya.
Dhuarrr!!
Cahyo tersentak. Peristiwa itu membuatnya mematung di tempat. Ia juga mendengar suara kaca pecah yang disusul teriakan entah siapa. Tapi pemandangan inilah yang membuat Cahyo tertegun. Beberapa kembang di atas gapura pagar rumah Pak Taha telah terbakar. Dedaun pohon sirsak yang berada di dekatnya berguguran, dengan warna yang telah coklat kehitaman. Sementara antena televisi yang tadinya bertengger di atasnya telah jatuh ke tanah, mengepulkan asap. Tak lama kemudian Cahyo melihat Pak Taha yang gegas keluar rumah dan sedang menuju ke arahnya.
Nang…, beja apa nyawamu iku mau[3]?” desis lelaki itu saat menggandeng Cahyo ke dalam rumahnya.
Persis setelah itu, hujan turun dengan derasnya. Tak peduli dengan kegamangan Cahyo atas pesan emaknya.

Kejadian kedua
Seperti hari kemarin, Cahyo masih mendapatkan tugas mengambil tempe. Pak Taha sempat melontarkan kekhawatirannya, separah apa sakit emaknya kok sampai menyuruh lagi anaknya yang kemarin hampir celaka? Tapi lelaki itu kemudian menyusuli kalimatnya dengan janji bahwa ia akan menengok emaknya Cahyo.
Seperti kemarin, pagi itu mendung masih senang mericuhi langit. Semalam air juga seperti ditumpahkan sehabis-habisnya dari langit. Embun belum sempat beranjak pergi dari rerumputan. Kaki Cahyo senang berkipat-kipat[4] membersihkan diri dari tanah yang menempel padanya.
Cahyo masih terbayang-bayang dengan insiden kemarin. Keluarga Pak Taha sampai begitu hebohnya. Ia menjadi pusat perhatian mereka. Bahkan sampai disuguhi teh hangat dan gethuk goreng yang enak betul. Berulang-ulang ia disebut ‘beja’, lantaran televisi yang berada di dalam rumah pun turut meledak.
Di tempat mengaji tadi Cahyo juga menjadi menu keriuhan teman-temannya. Ia ditanya tentang kronologi kejadian berulang-ulang. Dua temannya sampai sengaja meniru-niru menyunggi Al Quran demi memeragakan kejadiannya. Keriuhan itu baru henti tatkala Kiai Ridwan menegur mereka semua. Meski toh akhirnya beliau malah bertanya juga tentang detail kejadian itu.
Apakah yang ia alami kemarin adalah hal yang luar biasa? Cahyo bahkan tak bisa mengingat bagaimana perasaannya saat itu. Ia memang sempat melihat pohon sirsak yang langsung mati setelah tersambar petir. Apakah mungkin ia juga akan langsung mati setelah tersambar petir? Apakah kematian itu terasa begitu hebatnya sehingga orang-orang begitu heboh setelah tahu bahwa ia baru saja lolos dari maut?
Prokk!
Cahyo kaget saat menyadari ada yang terlepas dari pegangannya. Ia buru-buru memungutnya lagi dan langsung meletakkannya di atas kepala. Alangkah cerobohnya ia.
“Jangan sampai jatuh. Kalau sampai jatuh, lekas ambil dan letakkan di atas kepala. Mengerti?” pesan emaknya mengiang.
“Memangnya kenapa, Mak?” tanya Cahyo.
“Pokoknya letakkan di atas kepala. Jangan sampai kotor apalagi sampai terinjak oleh kakimu sendiri,” jawab emaknya.
“Mungkin karena ada Al Quran di atas kepalamu,” suara Yayan menggeser suara emaknya. Dia termasuk salah seorang teman yang paling antusias mengulang cerita kemarin pagi.
“Kata emakku, Al Quran memang bisa menyelamatkan siapa pun yang menjaganya,” terang Yayan.
Nang…, beja apa nyawamu iku mau?” suara Yayan kemudian terusir oleh suara Pak Taha.
Langit masih diselimuti mendung. Angin dingin bertiup membangunkan bulu kuduk. Orang-orang di sepanjang jalan terlihat bergegas. Entah mengapa Cahyo merasa seperti tengah dibuntuti perasaan sepi. Persis sebelum…
Brukk!!
Dentuman besar mengaum tak jauh di belakang Cahyo. Sebuah pohon waru yang sebelumnya memang sudah doyong terlihat tersungkur ke tanah. Dada Cahyo berdebar kencang.
*          *          *

“Mas, dipanggil Emak,” ujaran istriku membuyarkan lamun. Bau pesing turut menyeruak saat ia keluar dari kamar Emak. Tugas rutin pasca beliau tak lagi bisa mengurus diri sendiri.
“Letakkan saja di bawah pancuran samping rumah. Sampai pesingnya hilang,” akupun beranjak dari kursi.
“Awan belum pulang kan, Mas?” tanya istriku sekembalinya dari luar. Wajahnya tersaput cemas saat aku menggeleng. Suara guntur baru saja menggema.
Aku masuk kamar dengan perasaan sedih. Tapi perempuan itu menyambutku dengan wajah gembira. Selalu begitu. Dulu, hampir setiap hari beliau menasihatiku untuk bersabar. Pernah aku sampai membayangkan kapan perempuan itu mati. Agar aku bisa lepas dari orangtua yang sudah sering sakit-sakitan dan hanya merepotkan. Saat hati capek, berbuat baik kadang bisa terasa begitu hambar. Sialnya aku ini anak semata wayang.
Dengan suara lembut—dan lemah perempuan itu bertanya tentang kesehatanku, pekerjaanku, dan segala tentang anakku setelah bercerita bahwa kehamilan istriku sehat dan baik adanya. Seolah ia memastikan bahwa doanya telah dikabulkan Tuhan.
Aku hanya diam mendengarkan. Sebagian hatiku tengah berjalan sendiri, menyusuri sejarah hidup, mencari pembenaran atas segala ucapan perempuan itu. Bahwa keberadaanku memang dimaksudkan untuk menjaga dirinya.
“Kau ingat petir yang sungkan mengunyahmu dulu?” Emak pun lantas kembali meneruskan kalimatnya. Sementara sebagian hatiku justru menyangkal serta mereka-reka andai ketika itu nyawaku diambil petir. Betapa Emak senang sekali merangkai-rangkai setiap episode yang telah kami lalui sebagai sesuatu yang telah terencana.
Saat keluar kamar sebagian diriku masih terus mencari dan merangkai keterkaitan antara satu episode dengan episode lain. Hingga anakku pulang, dengan membawa sebuah keributan kecil.
Ia pulang dengan membawa banyak pengawal. Teman-temannya cerita bahwa Awan baru saja mengalami sebuah keajaiban. Ia selamat dari sebuah kecelakaan beruntun. Sebuah mobil menabrak sebuah sepeda motor yang dengan bodohnya kemudian berbelok ke arah dirinya yang sedang berjalan pulang dari mengaji. Ajaibnya sepeda motor itu kemudian oleng lantaran sebuah batu besar membelokkan roda depan. Awan selamat meski sempat tersenggol. Hanya tersenggol.
“Untung Al Qurannya enggak jatuh lagi, Pak,” senyum Awan kepadaku, yang lalu disusul dengan cerita bahwa ia sempat menjatuhkan Al Quran yang ia bawa sebelumnya.
Mataku langsung terpaku ke arah Al Quran di atas kepala mungil itu. Isi kepalaku coba mereka-reka skenario besar apa yang mungkin akan dipersiapkan untuknya kelak. Tapi gambaran-gambaran itu tersaput gelap.*

Kalinyamatan – Jepara, 2015.

(Dimuat Tribun Jabar, 19 Juni 2016)


[1] Tempe setengah busuk
[2] Keras kepala
[3] Nak, keberuntungan apa yang melindungi nyawamu tadi?
[4] Bergetar agar kotoran yang menempel hilang



Kejadian Pertama
Pagi-pagi benar. Cahaya bahkan belum menampakkan diri di ufuk timur. Tanah becek sisa hujan semalam. Mendung masih bersekongkol mericuhi langit.
Anak itu mendongak. Cahyo berkali meyakinkan diri, bahwa mendung tak selalu pertanda akan segera turun hujan. Ini penting, sebab nanti ia mesti direpotkan dengan sekantung plastik tempe yang akan ia ambil dari rumah Pak Taha. Emaknya hari ini sakit, tak bisa beraktivitas seperti biasa. Karena itulah Cahyo tak membawa payung, lantaran tangan kirinya sudah mendapatkan jatah membawa Al Quran.
Sepanjang perjalanan batin Cahyo berdoa, semoga hujan tidak turun pagi itu. Agar tugasnya bisa selesai tepat waktu. Ia tahu betul, para pelanggan warung emaknya hanya akan datang pagi-pagi, sebelum anak-anak mereka berangkat sekolah. Jika telat, kesempatan akhir untuk membuang dagangan hanya sisa di siang harinya, sebelum kemudian akan menjadi tempe wayu[1] atau dimakan sendiri jika tak juga laku. Kadang Cahyo sampai ingin muntah setiap kali lauk tempe tahu, meskipun emaknya pandai membuat aneka olahan.
Sepulangnya mengaji Cahyo mesti berlari-lari kecil mengejar waktu. Kiai Ridwan sungguh menyebalkan sekali, tak mau memahami gelagat isyarat, bahwa ia sedang terburu.  Antre tetaplah antre. Cahyo sampai hampir membatalkan niat mengaji lantaran tak sabar menunggu. Meski ia sedikit tertolong dengan kemalangan Amin yang sedang bermasalah dengan perut, sehingga ia bisa sedikit maju dari waktu semestinya.
Prokk!
Cahyo terkejut ketika benda dalam dekapannya terlepas dari tangan. Hampir terpeleset. Kedua tangannya refleks membuka.
Cahyo buru-buru mengambil dan membersihkannya dari tanah. Menoleh kanan-kiri sejenak sebelum akhirnya meletakkan Al Qurannya di atas kepala dan lalu meneruskan langkah.
Ada perasaan tak enak yang menyelinap dalam dada Cahyo. Tapi ia tak tahu persis apa penyebabnya. Apakah lantaran ia baru saja menjatuhkan Al Quran, apakah lantaran teringat emaknya yang sakit, atau entah apakah lantaran kesaklek[2]an Kiai Ridwan yang tak mau mendahulukannya, semua perasaan tak enak itu semakin nyata saat ia melihat cahaya terang yang sesekali membelah langit.
Itu petir, batin Cahyo, dan hawa dingin ini sepertinya memang akan membawa kabar hujan. Seperti yang pernah diucapkan Kiai Ridwan, mungkin ada Malaikat yang sedang mengejar-ngejar Setan dengan cambuknya. Seperti ada yang meremang di atas kepalanya.
Dhuarrr!!
Cahyo tersentak. Peristiwa itu membuatnya mematung di tempat. Ia juga mendengar suara kaca pecah yang disusul teriakan entah siapa. Tapi pemandangan inilah yang membuat Cahyo tertegun. Beberapa kembang di atas gapura pagar rumah Pak Taha telah terbakar. Dedaun pohon sirsak yang berada di dekatnya berguguran, dengan warna yang telah coklat kehitaman. Sementara antena televisi yang tadinya bertengger di atasnya telah jatuh ke tanah, mengepulkan asap. Tak lama kemudian Cahyo melihat Pak Taha yang gegas keluar rumah dan sedang menuju ke arahnya.
Nang…, beja apa nyawamu iku mau[3]?” desis lelaki itu saat menggandeng Cahyo ke dalam rumahnya.
Persis setelah itu, hujan turun dengan derasnya. Tak peduli dengan kegamangan Cahyo atas pesan emaknya.

Kejadian kedua
Seperti hari kemarin, Cahyo masih mendapatkan tugas mengambil tempe. Pak Taha sempat melontarkan kekhawatirannya, separah apa sakit emaknya kok sampai menyuruh lagi anaknya yang kemarin hampir celaka? Tapi lelaki itu kemudian menyusuli kalimatnya dengan janji bahwa ia akan menengok emaknya Cahyo.
Seperti kemarin, pagi itu mendung masih senang mericuhi langit. Semalam air juga seperti ditumpahkan sehabis-habisnya dari langit. Embun belum sempat beranjak pergi dari rerumputan. Kaki Cahyo senang berkipat-kipat[4] membersihkan diri dari tanah yang menempel padanya.
Cahyo masih terbayang-bayang dengan insiden kemarin. Keluarga Pak Taha sampai begitu hebohnya. Ia menjadi pusat perhatian mereka. Bahkan sampai disuguhi teh hangat dan gethuk goreng yang enak betul. Berulang-ulang ia disebut ‘beja’, lantaran televisi yang berada di dalam rumah pun turut meledak.
Di tempat mengaji tadi Cahyo juga menjadi menu keriuhan teman-temannya. Ia ditanya tentang kronologi kejadian berulang-ulang. Dua temannya sampai sengaja meniru-niru menyunggi Al Quran demi memeragakan kejadiannya. Keriuhan itu baru henti tatkala Kiai Ridwan menegur mereka semua. Meski toh akhirnya beliau malah bertanya juga tentang detail kejadian itu.
Apakah yang ia alami kemarin adalah hal yang luar biasa? Cahyo bahkan tak bisa mengingat bagaimana perasaannya saat itu. Ia memang sempat melihat pohon sirsak yang langsung mati setelah tersambar petir. Apakah mungkin ia juga akan langsung mati setelah tersambar petir? Apakah kematian itu terasa begitu hebatnya sehingga orang-orang begitu heboh setelah tahu bahwa ia baru saja lolos dari maut?
Prokk!
Cahyo kaget saat menyadari ada yang terlepas dari pegangannya. Ia buru-buru memungutnya lagi dan langsung meletakkannya di atas kepala. Alangkah cerobohnya ia.
“Jangan sampai jatuh. Kalau sampai jatuh, lekas ambil dan letakkan di atas kepala. Mengerti?” pesan emaknya mengiang.
“Memangnya kenapa, Mak?” tanya Cahyo.
“Pokoknya letakkan di atas kepala. Jangan sampai kotor apalagi sampai terinjak oleh kakimu sendiri,” jawab emaknya.
“Mungkin karena ada Al Quran di atas kepalamu,” suara Yayan menggeser suara emaknya. Dia termasuk salah seorang teman yang paling antusias mengulang cerita kemarin pagi.
“Kata emakku, Al Quran memang bisa menyelamatkan siapa pun yang menjaganya,” terang Yayan.
Nang…, beja apa nyawamu iku mau?” suara Yayan kemudian terusir oleh suara Pak Taha.
Langit masih diselimuti mendung. Angin dingin bertiup membangunkan bulu kuduk. Orang-orang di sepanjang jalan terlihat bergegas. Entah mengapa Cahyo merasa seperti tengah dibuntuti perasaan sepi. Persis sebelum…
Brukk!!
Dentuman besar mengaum tak jauh di belakang Cahyo. Sebuah pohon waru yang sebelumnya memang sudah doyong terlihat tersungkur ke tanah. Dada Cahyo berdebar kencang.
*          *          *

“Mas, dipanggil Emak,” ujaran istriku membuyarkan lamun. Bau pesing turut menyeruak saat ia keluar dari kamar Emak. Tugas rutin pasca beliau tak lagi bisa mengurus diri sendiri.
“Letakkan saja di bawah pancuran samping rumah. Sampai pesingnya hilang,” akupun beranjak dari kursi.
“Awan belum pulang kan, Mas?” tanya istriku sekembalinya dari luar. Wajahnya tersaput cemas saat aku menggeleng. Suara guntur baru saja menggema.
Aku masuk kamar dengan perasaan sedih. Tapi perempuan itu menyambutku dengan wajah gembira. Selalu begitu. Dulu, hampir setiap hari beliau menasihatiku untuk bersabar. Pernah aku sampai membayangkan kapan perempuan itu mati. Agar aku bisa lepas dari orangtua yang sudah sering sakit-sakitan dan hanya merepotkan. Saat hati capek, berbuat baik kadang bisa terasa begitu hambar. Sialnya aku ini anak semata wayang.
Dengan suara lembut—dan lemah perempuan itu bertanya tentang kesehatanku, pekerjaanku, dan segala tentang anakku setelah bercerita bahwa kehamilan istriku sehat dan baik adanya. Seolah ia memastikan bahwa doanya telah dikabulkan Tuhan.
Aku hanya diam mendengarkan. Sebagian hatiku tengah berjalan sendiri, menyusuri sejarah hidup, mencari pembenaran atas segala ucapan perempuan itu. Bahwa keberadaanku memang dimaksudkan untuk menjaga dirinya.
“Kau ingat petir yang sungkan mengunyahmu dulu?” Emak pun lantas kembali meneruskan kalimatnya. Sementara sebagian hatiku justru menyangkal serta mereka-reka andai ketika itu nyawaku diambil petir. Betapa Emak senang sekali merangkai-rangkai setiap episode yang telah kami lalui sebagai sesuatu yang telah terencana.
Saat keluar kamar sebagian diriku masih terus mencari dan merangkai keterkaitan antara satu episode dengan episode lain. Hingga anakku pulang, dengan membawa sebuah keributan kecil.
Ia pulang dengan membawa banyak pengawal. Teman-temannya cerita bahwa Awan baru saja mengalami sebuah keajaiban. Ia selamat dari sebuah kecelakaan beruntun. Sebuah mobil menabrak sebuah sepeda motor yang dengan bodohnya kemudian berbelok ke arah dirinya yang sedang berjalan pulang dari mengaji. Ajaibnya sepeda motor itu kemudian oleng lantaran sebuah batu besar membelokkan roda depan. Awan selamat meski sempat tersenggol. Hanya tersenggol.
“Untung Al Qurannya enggak jatuh lagi, Pak,” senyum Awan kepadaku, yang lalu disusul dengan cerita bahwa ia sempat menjatuhkan Al Quran yang ia bawa sebelumnya.
Mataku langsung terpaku ke arah Al Quran di atas kepala mungil itu. Isi kepalaku coba mereka-reka skenario besar apa yang mungkin akan dipersiapkan untuknya kelak. Tapi gambaran-gambaran itu tersaput gelap.*

Kalinyamatan – Jepara, 2015.

(Adi Zamzam, Tribun Jabar, 19 Juni 2016)


[1] Tempe setengah busuk
[2] Keras kepala
[3] Nak, keberuntungan apa yang melindungi nyawamu tadi?
[4] Bergetar agar kotoran yang menempel hilang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar