Dampak Kemajuan Teknologi Bagi Anak-Anak
Judul Buku : Happy Lucky Traveler: Kehidupan Adalah
Perjalanan
Penulis : Tatty
Elmir
Penerbit :
Penerbit Qanita
Cetakan :
Cetakan Pertama, Maret 2016
Tebal :
238 halaman
ISBN :
978-602-402-002-6
Masih
ingatkah Anda dengan ramalan sosiolog Alvin Toffler dalam buku Future Shock yang menggegerkan dunia
pada 1970-an? Ketika teknologi mekanik beralih ke sistem elektronik analog,
zaman pun bergerak ke arah era informasi. Revolusi digital tak hanya mengubah
cara pandang seseorang dalam menjalani kehidupan, tapi juga membuat perubahan
besar dalam membentuk perilaku. Ikatan positif kultural, sosial, dan spiritual
berupa hubungan kemanusiaan, persahabatan, persaudaraan, kasih sayang, dan
kekeluargaan, yang menjadi perekat kehidupan berbangsa, berganti dengan
hubungan transaksional. Nilai-nilai berganti angka-angka. Kontradiksi pun
terjadi. Kecanggihan teknologi digital, tidak saja kian memudahkan manusia,
namun juga memperbesar tantangan dan mudharatnya. Sekat-sekat terhilangkan. Semua
serba transparan. Informasi apa pun kian mudah diakses. Rahasia negara
sekaliber Amerika bahkan bisa dibobol oleh Wikileaks.
Di
Indonesia, liberalisasi media berembus sejak era reformasi bergulir (1998).
Televisi dan internet menggantikan peran guru yang bijak. Hanya sekali klik, ‘guru
serba bisa dan serba cepat’ ini mampu mengajarkan segenap potensi yang tak
hanya bernilai kebaikan, namun juga kekerasan baik secara fisik maupun
simbolik. Terstruktur maupun tanpa atur. Dan sayangnya, anak-anaklah yang
(selalu) menjadi korban terdepan.
Komnas
Perlindungan Anak pada 2012 lalu mencatat 1.494 kasus kekerasan yang memaksa
anak berhadapan dengan hukum. Unicef bahkan memotret negeri ini dengan 150.000
pekerja seks komersial yang 30%nya adalah pelacuran anak. Itu belum ditambah
dengan kasus-kasus video porno yang pelaku sekaligus korbannya adalah dari
kalangan anak-anak sendiri. Tak aneh jika Indonesia tercatat sebagai
pengkonsumsi pornografi nomor satu di dunia (Search Engine, 2012). Akibatnya, angka
perkosaan dan seks pranikah pun meningkat.
Aborsi
sebagai rantai akhir dari pornografi dan provokasi seks bebas di media, setiap
tahun menunjukkan tren peningkatan rata-rata 15%. Menurut Badan Kependudukan
dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), diperkirakan jumlah aborsi di
Indonesia mencapai 2,4 juta per tahun, dan 800 ribu di antaranya dilakukan kaum
remaja (hal 36-39).
Meski
sikap skpetis di antara berbagai permasalahan tersebut menggunung, harus ada
sekelompok masyarakat ‘waras’ yang awas membuat gerakan tandingan. Inilah yang
dinamakan countercultures movement,
menghadang berbagai tindak destruktif karena upaya untuk membangun bangsa
selalu berkejaran dengan berbagai tindak penghancuran. Gerakan tandingan ini
mungkin tak serta-merta melenyapkan kekacauan tersebut, namun setidaknya dapat
mengontrol atau menghambat laju kerusakan. Inilah yang menjadi latar belakang
Tatty bersama kawan-kawannya di Forum Indonesia Muda dan ASA tak malu-malu ikut
berjuang mengadakan tindakan tandingan ketika menemukan ‘Delto’ (nama samaran),
yang dahulunya merupakan siswa cemerlang di sekolah menengah, namun kemudian
harus mengubur masa depannya di balik kehidupan jeruji besi lantaran tersandung
kasus asusila (hal. 55).
Buku
ini adalah kumpulan catatan perjalanan yang mengingatkan kita tentang cara
menjadi manusia dengan mendahulukan hati dalam pergaulan. Aneka cerita
dipilah-pilah baik dan buruknya. Penglihatannya dalam menganalisa hal remeh dan
yang kadang luput dari mata-mata orang biasa menjadikannya kekayaan tersendiri
bagi kita yang mau mengambil hikmahnya. Saat mengamati diaspora pemuda
Indonesia di luar negeri misalnya, berbagai nilai positifnya pun segera dapat
ia tangkap dan simpan untuk kemudian dibagi-bagi kepada kita. Ketangguhan dan
kemandirian orang-orang Minang dalam membangun usaha di tanah rantau menjadi
catatan tersendiri baginya. Bahwa merantau bukanlah sekadar mencari kenyamanan
untuk diri sendiri, sekarang atau nanti, tapi ada tanggungjawab lain yang seharusnya
tak boleh dilupa, yakni membangun tempat pulang kita kelak setelah proses
merantau itu membuat ‘kenyang’.
Di zaman yang segala sesuatunya mudah hadir dan mudah
sirna ini, Tatty berusaha mengingatkan kita untuk senantiasa membangun karakter
yang tangguh dan tak mudah terjerumus ilusi kemajuan teknologi.*Nur Hadi, Koran Sindo, Minggu 25 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar