Senin, 09 Januari 2017

Dampak Teknologi Bagi Anak




Dampak Kemajuan Teknologi Bagi Anak-Anak




Judul Buku :  Happy Lucky Traveler: Kehidupan Adalah Perjalanan
Penulis       :  Tatty Elmir
Penerbit     :  Penerbit Qanita
Cetakan     :  Cetakan Pertama, Maret 2016
Tebal         :  238 halaman
ISBN         :  978-602-402-002-6


Masih ingatkah Anda dengan ramalan sosiolog Alvin Toffler dalam buku Future Shock yang menggegerkan dunia pada 1970-an? Ketika teknologi mekanik beralih ke sistem elektronik analog, zaman pun bergerak ke arah era informasi. Revolusi digital tak hanya mengubah cara pandang seseorang dalam menjalani kehidupan, tapi juga membuat perubahan besar dalam membentuk perilaku. Ikatan positif kultural, sosial, dan spiritual berupa hubungan kemanusiaan, persahabatan, persaudaraan, kasih sayang, dan kekeluargaan, yang menjadi perekat kehidupan berbangsa, berganti dengan hubungan transaksional. Nilai-nilai berganti angka-angka. Kontradiksi pun terjadi. Kecanggihan teknologi digital, tidak saja kian memudahkan manusia, namun juga memperbesar tantangan dan mudharatnya. Sekat-sekat terhilangkan. Semua serba transparan. Informasi apa pun kian mudah diakses. Rahasia negara sekaliber Amerika bahkan bisa dibobol oleh Wikileaks.
Di Indonesia, liberalisasi media berembus sejak era reformasi bergulir (1998). Televisi dan internet menggantikan peran guru yang bijak. Hanya sekali klik, ‘guru serba bisa dan serba cepat’ ini mampu mengajarkan segenap potensi yang tak hanya bernilai kebaikan, namun juga kekerasan baik secara fisik maupun simbolik. Terstruktur maupun tanpa atur. Dan sayangnya, anak-anaklah yang (selalu) menjadi korban terdepan.
Komnas Perlindungan Anak pada 2012 lalu mencatat 1.494 kasus kekerasan yang memaksa anak berhadapan dengan hukum. Unicef bahkan memotret negeri ini dengan 150.000 pekerja seks komersial yang 30%nya adalah pelacuran anak. Itu belum ditambah dengan kasus-kasus video porno yang pelaku sekaligus korbannya adalah dari kalangan anak-anak sendiri. Tak aneh jika Indonesia tercatat sebagai pengkonsumsi pornografi nomor satu di dunia (Search Engine, 2012). Akibatnya, angka perkosaan dan seks pranikah pun meningkat.
Aborsi sebagai rantai akhir dari pornografi dan provokasi seks bebas di media, setiap tahun menunjukkan tren peningkatan rata-rata 15%. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), diperkirakan jumlah aborsi di Indonesia mencapai 2,4 juta per tahun, dan 800 ribu di antaranya dilakukan kaum remaja (hal 36-39).
Meski sikap skpetis di antara berbagai permasalahan tersebut menggunung, harus ada sekelompok masyarakat ‘waras’ yang awas membuat gerakan tandingan. Inilah yang dinamakan countercultures movement, menghadang berbagai tindak destruktif karena upaya untuk membangun bangsa selalu berkejaran dengan berbagai tindak penghancuran. Gerakan tandingan ini mungkin tak serta-merta melenyapkan kekacauan tersebut, namun setidaknya dapat mengontrol atau menghambat laju kerusakan. Inilah yang menjadi latar belakang Tatty bersama kawan-kawannya di Forum Indonesia Muda dan ASA tak malu-malu ikut berjuang mengadakan tindakan tandingan ketika menemukan ‘Delto’ (nama samaran), yang dahulunya merupakan siswa cemerlang di sekolah menengah, namun kemudian harus mengubur masa depannya di balik kehidupan jeruji besi lantaran tersandung kasus asusila (hal. 55).
Buku ini adalah kumpulan catatan perjalanan yang mengingatkan kita tentang cara menjadi manusia dengan mendahulukan hati dalam pergaulan. Aneka cerita dipilah-pilah baik dan buruknya. Penglihatannya dalam menganalisa hal remeh dan yang kadang luput dari mata-mata orang biasa menjadikannya kekayaan tersendiri bagi kita yang mau mengambil hikmahnya. Saat mengamati diaspora pemuda Indonesia di luar negeri misalnya, berbagai nilai positifnya pun segera dapat ia tangkap dan simpan untuk kemudian dibagi-bagi kepada kita. Ketangguhan dan kemandirian orang-orang Minang dalam membangun usaha di tanah rantau menjadi catatan tersendiri baginya. Bahwa merantau bukanlah sekadar mencari kenyamanan untuk diri sendiri, sekarang atau nanti, tapi ada tanggungjawab lain yang seharusnya tak boleh dilupa, yakni membangun tempat pulang kita kelak setelah proses merantau itu membuat ‘kenyang’.
Di zaman yang segala sesuatunya mudah hadir dan mudah sirna ini, Tatty berusaha mengingatkan kita untuk senantiasa membangun karakter yang tangguh dan tak mudah terjerumus ilusi kemajuan teknologi.*


Nur Hadi, Koran Sindo, Minggu 25 September 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar