Sabtu, 26 Juli 2014
Irigasi di Rejosari
Sempat tidak percaya ketika istri saya bilang bahwa irigasi ini berasal dari Kedungombo yang fenomenal itu (fenomenal yang saya maksud di sini karena kasus-kasus yang melingkupi asal-muasal pembuatannya benar-benar membuat rasa kemanusiaan teriris). Kira-kira, berapa kota yang harus dilaluinya? Berapa lama penggarapannya? Bagaimana perasaan para korban penggusuran waduk Kedungombo saat mengetahui bahwa ternyata pengorbanan mereka juga menghidupi banyak(ribuan jiwa) petani? Bahkan, kebanyakan petani di Rejosari menggantungkan hidupnya dari sektor ini, dan mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi. (Pada kesempatan lain saya juga bertanya-tanya--ketika tahu bahwa hasil dari bertani ternyata lumayan--mengapa Demak bisa dikategorikan sebagai daerah tertinggal-dengan indikasi upah UMR yang rendah?)
Saya baru percaya bahwa irigasi ini ada sangkut-pautnya dengan Kedungombo ketika mertua saya menyebut-nyebut itu, dan kepala desanya membenarkan. Betapa ajaibnya! pikir saya.
Gara-gara frame inilah, tanpa sengaja saya 'terhamili' sebuah ide untuk cerpen dengan judul "Jauh Hingga Kedungombo". Hmmm...
Nasionalisme di Negeri Paman Sam
Nasionalisme di Negeri Paman Sam
Judul Buku : Kopi
Sumatera di Amerika
Penulis :
Yusran Darmawan
Penerbit :
Penerbit Noura Books
Cetakan :
Cetakan Pertama, Desember 2013
Tebal :
XIII + 251 halaman
ISBN :
978-602-1606-08-7
Kita semua tentu sudah mafhum, bahwa Amerika Serikat adalah sebuah negara
yang sudah mendapatkan cap keadidayaan dalam segala hal, baik ekonomi, budaya, terutama
dalam kekuatan militer. Melalui buku bergaya catatan harian karya Yusran
Darmawan, tak berlebihan rasanya jika Pepih Nugraha, yang seorang jurnalis
senior itu berkata bahwa catatan ini ibarat mata, telinga, dan hati anak bangsa
Indonesia di Amerika. Sebab, saat Anda menamatkan baca buku ini, tahulah bahwa
di balik keadidayaan Amerika itu ternyata menyimpan banyak kelemahan yang patut
pula dijadikan pelajaran.
Buku ini terbagi lima
bagian, di mana penulis mengelompokkan catatan-catatannya berdasarkan kesamaan
tema. Yang paling menarik, salah satunya adalah pada bagian ketiga, di mana
penulis bercerita perihal beberapa borok Amerika. Tengok saja ketika Yusran
bercerita tentang gerakan Occupy Washington oleh kaum yang menamakan dirinya
sebagai kaum 99%, simbolisasi bahwa mereka berasal dari kelompok mayoritas negeri
itu yang menuntut haknya atas golongan 1% yang menguasai ekonomi. Saat melintas
di depan Ronald Reagan World
Center, ia terheran-heran
dengan banyaknya tenda yang berisi kaum jembel (halaman 114). Hal itu menjadi
seperti daki kota yang mengingatkan dengan Jakarta. Banyak pula
pengemis (yang tak hanya berkulit hitam) berkeliaran di ibukota negara, dengan
menggunakan beragam cara. Kependudukan, sepertinya selalu menjadi masalah yang
sama bagi semua ibukota negara-negara berpenduduk besar. Apa yang disebut
ekonom WW Rostow (1916-2003) high mass
consumption, yakni masyarakat yang memiliki tingkat konsumsi tinggi karena
berkecukupan, adalah ide yang tampaknya sulit untuk dibuktikan. Kenyataan ini
membuat pandangan Yusran berubah total, dari mengira bahwa Amerika adalah
seperti yang tergambar pada apa yang ia saksikan dalam film-film Hollywood. Kemudian ia
(baru) tahu kalau ternyata Amerika pun sedang berjuang mengatasi masalah homeless yang jumlahnya terus
membengkak. Pada tahun 1980-an, dari yang jumlahnya mereka hanya sekitar 200
hingga 500 ribu orang, namun di tahun 2009 naik menjadi 1,56 juta orang
(halaman 136).
Tak hanya itu. Penulis kemudian juga menangkap kesedihan lain yang
dialami bangsa Indian yang terdengar lirih karena ketergusuran mereka. Banyak
ritual dan warisan kebudayaan leluhur bangsa yang merupakan penduduk asli benua
itu mengalami penciutan makna hanya menjadi sekadar komoditas festival (halaman
150). Tanpa disadari penghapusan entitas kebudayaan tampaknya tengah terjadi,
modernitaslah pelakunya. Gejala ini, kelihatannya akan menjadi masalah yang
juga akan dihadapi oleh semua negara majemuk yang memiliki beragam etnis suku
bangsa.
Mengapa buku ini mengambil judul Kopi Sumatera di Amerika pun perlahan
mulai terpahami. Tampaknya, penulis menginginkan
bangsa Indonesia
tak terlalu memelihara sikap inferior ketika berhadapan dengan segala yang
berbau Amerika. Saat berkunjung ke Walmart, raksasa ritel di AS, penulis sempat
menemukan beberpa jaket berlabel Made in Indonesia.
Ia juga menjumpai kopi racikan khas Sumatera yang turut terpajang di jajaran
rak kopi terbaik. Kopi-kopi itu juga ia jumpai di sebuah kedai kopi di tepi
Court Street di Athens (halaman 71). Pada bagian kedua buku ini, penulis
sengaja merangkum beberapa hasil budaya Indonesia yang justru membuat
orang-orang Amerika merasa kagum padanya. Hasil budaya itu mampu memberikan
perspektif baru mereka pada negara-negara lain. Batik, wayang kulit, angklung,
adalah beberapa contoh hasil kebudayaan Indonesia yang berhasil mencuri
simpati warga Amerika.
Namun penulis juga tak lupa menyajikan beberapa hal yang bisa kita ambil
contoh dari Amerika. Di tanah air, ujian akhir sering menjadi ajang
‘pembantaian’, yang bertujuan mencari sebanyak mungkin kesalahan si anak didik.
Ujian tak dijadikan sebagai arena untuk menemukan inspirasi dari pengalaman
seorang mahasiswa yang sedang belajar menemukan dirinya di tengah kehidupan
yang demikian sulit. Anda mungkin akan sedikit terkejut ketika mengetahui bahwa
di tingkat sarjana dan magister di AS, ujian bukanlah hal wajib. Mahasiswa
memiliki kebebasan memilih antara; (1) ujian skripsi atau tesis, (2) proyek
profesional bisa dalam bentuk film dokumenter, tulisan jurnal, presenstasi
ilmiah, dll (3) ujian komprehensif dalam bentuk tulisan (halaman 24). Maka, tak
heran kalau kita sering mendapati skripsi hasil jiplakan atau bikinan jasa pembuat
skripsi, dari para sarjana kita.***
(Nur Hadi, Koran Muria, Minggu... 2014)
Berkelana ke Dunia Enigma
Berkelana ke Dunia Enigma
Judul Buku : Enigma
Penulis :
SAM
Penerbit :
PT. Tangga Pustaka
Cetakan :
Pertama, Maret 2013
Tebal :
286 halaman
Bagi Anda yang menggemari hal-hal berbau misteri, sepertinya Anda harus
berkenalan dengan buku Enigma—“Menguak Fakta-fakta Misterius Paling Fenomenal
di Dunia” ini. Buku ini menyajikan fenomena-fenomena berbau misteri yang pernah
meng’gempar’kan
khalayak dengan lumayan detail plus dengan gambar pendukung, meski penulisnya
hanya berburu data-data lewat dunia maya. Semua Daftar Pustaka yang diambilnya berasal
dari data-data dunia maya. Namun jangan kira bahwa semua isu yang disajikan
tampil dengan setengah-setengah.
Tentang fenomena Crop Circle
misalnya. Sam, penulis blog Enigma yang akhirnya menjelma buku ini, memberikan
data komplit untuk dijadikan petunjuk. Sejarah Crop Circle
bisa dilacak dari tahun 1678. Pada tahun tersebut, muncul cerita ‘Mowing Devil’
yang menggambarkan iblis sedang menggambar desain oval di sebuah ladang gandum.
Kisahnya berbau mistik. Sang petani yang menolak tuntutan pekerjaan sang
majikan mengatakan bahwa lebih baik iblis saja yang mengerjakan tugasnya. Pada
malam itu juga, ladang gandum tersebut terbakar api. Paginya lingkaran misterius
berbentuk oval muncul di ladang tersebut. Entah kisah ini nyata atau tidak.
(hal. 22)
Dengan berurutan Sam kemudian menunjukkan kasus-kasus Crop Circle lain
yang bisa dibuktikan secara nyata, berikut juga bukti-bukti ilmiah yang bisa
diendus. Kemudian dia juga menunjukkan kasus-kasus Crop Circle ‘gadungan’ alias
buatan, yang dibuat oleh kreatornya dengan maksud menandingi bahwa Crop Circle
sebenarnya bisa dibuat oleh manusia/bukan alien. Kemudian Sam juga menunjukkan
data-data lain terkait kelemahan atau perbedaan antara Crop Circle asli maupun yang buatan. Sam
seperti mengajak Anda menjadi seorang detektif yang jeli. Kita pun kemudian
dibiarkannya menebak-nebak sendiri antara mana yang benar misteri dan mana yang
‘imitasi’.
Terkadang Sam juga ‘berlagak’ seperti seorang fisikawan sejati dengan data-data empiris yang diungkapnya.
Baca saja pada saat ia mengungkap misteri Ice Circle—lingkaran es unik di permukaan
sungai, fenomena Matahari Kembar Sun Dog dan Parhelic Circle, ketika langit
terbelah dua (Anticrepuscular Ray), suara dengung bumi yang membingungkan, urin
astronot dan cahaya indah di langit, dll. Ketika mengungkap tentang Misteri
Ledakan Tunguska misalnya (hal. 39), penulis buku ini juga terlihat ingin lepas
dari teori-teori yang ada sebelumnya dan berusaha berdiri dengan pendapatnya
sendiri(tentu saja berdasar data yang ia kumpulkan). Ia mendapat angin segar
karena telah berhasil ‘keluar’ dari kalangan pengikut teori konspirasi dan para
pengagum UFO. Ia beruntung karena dilahirkan di abad belakangan, sehingga
data-data yang ia dapat lebih banyak dan bisa diperbandingkan.
Lihat juga ketika ia ‘mengusili’ misteri ukiran helikopter di dinding
Kuil Abydos (hal. 106) dan ukiran alien bermata besar di Mastaba Ptah Hotep—yang
kemudian diadopsi Steven Spielberg di film Transformer (hal. 113). Dengan
manisnya ia bilang sorry kepada para
penganut teori UFO setelah menjabarkan penjelasan-penjelasan ilmiah yang ia
dapat. Ternyata, ‘keriuhan’ kecil yang terjadi di seputar dua misteri itu hanya
disebabkan kekurangtelitian saja. Bahkan Tip-X dan bunga teratai pun bisa
membocorkan rahasia sebuah misteri!
Adakalanya Sam juga mengajak kita berpikir perihal teknologi masa lampau
yang patut diacungi jempol ketika dia ‘membuka kasus’ misteri Stonehenge (hal.
158), atau ketika dia coba membuka kembali kenangan Anda terhadap negeri
Atlantis (hal. 183). Teknologi seperti apakah yang digunakan untuk membangun
monumen Stonehenge? Benarkah negeri sehebat
Atlantis pernah ada di dunia ini?
Baca juga ketika fenomena Sleep Paralysis (tindihan), Déjà vu, listrik statis
dalam tubuh manusia, dan bagaimana bisa terjadi pembakaran spontan manusia,
dihidangkan kepada kita. Sam seolah tak lupa mengingatkan kita bahwa di dalam
tubuh kita pun ternyata tersimpan banyak misteri.
Yang tak kalah penting adalah ketika Sam menunjukkan bagaimana hoax
(kebohongan di dunia maya) direkonstruksi untuk keperluan dunia bisnis. Untuk
Anda yang awam dengan teknologi photoshop dan strategi bisnis sebuah perusahaan
game online, jangan lewatkan pula
untuk membaca ulasan Sam tentang penemuan kerangka manusia raksasa dan penemuan
fosil raksasa Jebal Barez di buku ini. Tentu saja, agar Anda semakin mengerti
seluk-beluk dunia enigma yang dalam bahasa Latin berarti teka-teki.***
(Nur Hadi, Koran Jakarta, 10 Mei 2013)
Minggu, 20 Juli 2014
Ketika Si Raksasa Sakit
KETIKA "SI
RAKSASA" SAKIT
(3)
“Banguuun, ayo cepat banguuun!”
Joko Thole langsung terlonjak dari mimpi indahnya.
“Gempa, Mak, gempa. Ayo, selamatkan nyawa!” Thole menarik tangan emaknya yang
terlihat mematung.
Klothak!
“Aduh! Emak, ada bencana begini kok masih sempat
kepikiran menjitak anak sendiri,” Thole mengelus kepalanya yang
berdenyut-denyut.
“Kebiasaanmu itulah yang sebenarnya bencana.
Emaknya saja pagi-pagi sudah jalan kaki ribuan meter keliling kampung. Eh, anak
lekakinya di rumah kok malah masih molor. Coba pikir, apa itu bukan bencana
buat si emak ?!”
“Emaknya siapa sih Mak, yang nasibnya malang
begitu ?”
Klothak! Sebuah jitakan sukses mendarat di kepala
Thole lagi.
“Emak puasa kan?” meringis kesakitan.
“Cari kerja, Le, cari kerja!”
“Bukannya kemarin Emak baru saja terima bantuan
tunai langsung dariku?”
“Le, Le, memangnya uang seratus ribumu bisa sampai
mana?”
“Ya Allah, Mak, uang seratus ribu bisa sampai
Yogya lho. Masak baru tiga hari sudah krisis lagi?”
“Lha memangnya yang kemarin-kemarin itu kamu makan
apa? Batu? Tinggal ambil di jalan begitu? Coba dengar, Hermanto sekolah
itu pakai apa?”
“Ya baju, Mak. Masak
telanjang?” potong Thole cepat.
Klotak!
“Lampu nyala juga harus pakai apa? Tempe tahu yang
sering kamu omeli tiap hari itu belinya pakai apa? Nasi bisa matang pakai apa?
Kayu kan? Zaman sekarang kayu aja harus beli, Le, Thole.”
“Thole jadi lapar setelah
dengar pidato Emak,” Thole melangkah gontai. Bibirnya langsung manyun saat
mendapati gentong beras yang kosong melompong. “Emak nggak punya beras?”
“Pikiranmu hanya
Emak, Emak, Emak. Kalau Emak mati, bisa-bisa kamu jadi gelandangan,
Le,” Mak Fatmah terus saja nyerocos sambil menghitung penghasilan hari ini.
“Aku kan cuma tanya, Emak nggak punya beras?”
tiba-tiba ada yang terasa sakit dalam dada Thole.
“Tahumu cuma ada beras atau nggak. Cepat minta
beras sana!”
”Yaah, kok minta sih, Mak?” dengan raut penuh
penderitaan.
Tangan Mak Fatmah telah siap dengan jitakan,
ketika akhirnya Thole akhirnya menuruti perintahnya.
* * *
Baru saja beberapa meter meninggalkan sarang,
Thole mendengar suara marah-marah dari arah dapurnya Pak Suparman.
“Tempe tahu tempe tahu, kalau kamu bisa cari ayam,
sana beli ayam! Bisanya jangan cuma mengeluh melulu.” Lalu terdengar
suara piring dilempar.
“Aku kan cuma bilang bosan, Mak. Mbok ya kadang diganti apa begitu,” itu
suara Slamet. Thole geleng-geleng kepala. Ternyata bukan cuma dia saja yang
mengalami krisis pangan.
Thole meneruskan
perjalanannya dengan banyak berpikir. Tentang dirinya sendiri. Tentang umurnya
yang sudah hampir seperempat abad. Sudah
dapat apa ia selama seperempat abad? Kebahagiaan Emak? Tak ada. Cuma ijazah
yang kini terjepit di tumpukan pakaian dalam lemari. Apa yang ia dapat dari
sekolah itu?
Kadang Thole berpikir, mungkin masalahnya adalah
ia lahir di tempat yang salah. Ijazah benar-benar hampir tak ada gunanya
di daerah sini. Sangat tidak lucu kalau Thole harus menyertakan Ijazahnya kalau
hanya untuk menyiangi rumput di sawahnya Pak Thio.
Bahkan Pak Thio yang
borjuis itu pun cuma lulusan madrasah
tsanawiyah. Semua orang di sini
kebanyakan bekerja mengandalkan balas jasa dari anak-anak mereka. Mungkin
itulah sebabnya kenapa Emak begitu ngebet ingin Thole lekas bekerja. Tapi kerja
apa? Di daerah sini memang adanya cuma kerja musiman.
Thole lalu mendata para tetangga berikut
pekerjaanya. Pak Suparman, dia benar-benar manusia super penggali pasir di Kali
Gede. Jika musim penghujan biasanya dia pindah profesi jadi buruh tani. Pak RT,
benar-benar murni seorang petani. Kehidupannya lumayan layak karena sang istri
turut membantu sebagai penjual segala macam pisang di pasar. Pak Darto, buruh
karung goni. Kang Razak, tukang sayur. Pak Thio cuma seorang penunggu
toko. Nasibnya mujur karena toko itu adalah yang terbesar dan terlengkap di
desa ini. Ahh, benar-benar tempat yang bermasa depan suram!
Ataukah…ia yang terlalu
gengsi? Terlalu pilih-pilih
pekerjaan?
Bukk!
Thole terhuyung saat langkahnya tertahan sebuah
pohon mangga. Kutukan melamun.
“Ya Allah, sudah bersakit-sakit dahulu, kok
tokonya malah tutup.” Thole mengetuk-ngetuk semua pintu di rumah Pak Thio. Tapi
tak seorang makhluk pun menyahut.
“Masak hibernasi di musim kemarau begini sih?”
Thole memperkeras ketukannya. “Pak, sudah siang , Pak!” ucap Thole sambil
mengelilingi rumah itu mencari lubang apapun yang sekiranya bisa untuk
memasukan suara. Tapi nihil.
Thole memijiti dahinya. “Benar-benar memalukan.
Mau ngutang masak harus mulai dengan kericuhan. PAK, SUDAH SIANG, PAK!”
Thole berteriak.
Krukruruyuk… Ternyata
malah perut Thole sendiri yang menyahut.
“Hhhh, benar-benar apes.”
* * *
“Siapa suruh ke warungnya
Pak Thio?”
“Lah bukannya Emak kalau belanja memang ke situ?”
“Ke warungnya Mbok Kus, Le!”
“Ngutang beras sampai ke ujung dunia sana?”
“Lha memangnya kenapa? Yang bakal melunasi kan
Emak, bukan kamu.”
“Malu, Mak. Ngutang sih ngutang, tapi mbok ya ke Pak Thio saja, Mak.”
“Kamu mau mati kelaparan?”
Garuk-garuk kepala, “Setahuku Pak Thio bukan orang
pelit. Emaknya Slamet setahuku juga terlibat kredit macet dengan Pak
Thio.”
“Dua hari yang lalu dia masuk rumah sakit, Le.
Kamu mau makan sampai dia sudah sembuh?”
“Innalilahi,
sakit? Sakit apa, Mak? Dua hari yang lalu katanya beliau masih sempat ke Demak
kok?”
Saat itulah Mak Siyah
datang sambil membawa muka susah. Gelagat
seperti ini pasti pertanda sedang ada musibah. Apalagi tadi perempuan itu baru
saja manghadiahi anak sulungnya dengan amarah. Masalah gerangan apakah ? Semoga
bukan untuk pinjam duit. Kenapa ya, setiap orang sepertinya jatuh cinta dengan
’utang’? Mentang-mentang negaranya negara yang hobi utang.
“Mak Fatmah mau ikut doa
bersama nggak?”
“Doa bersama?” kening Joko
Thole berkerut. “Doa bersama apaan, Mak?”
“Pak RT sudah setuju
kalau warga RT sebelas RW tiga mengadakan do’a bersama untuk Pak Thio. Cuma
Kang Razak yang katanya absen. Soalnya Pak Thio kan memang saingan beratnya.”
“Di mana tempatnya?” Mak Fatmah mendekat.
Kening Joko Thole jadi
tambah berkerut, mirip tumpukan wafer. Apalagi kulitnya memang coklat manis.
“Di rumahnya Pak Thio,
Mak. Acara akan dipimpin oleh Haji Budiman dan diikuti oleh seluruh mereka yang
punya utang kepada Pak Thio.”
“Haaa?” mulut Joko Thole menganga menunggu mangsa.
“Kapan?”
“Secepatnya lah, Mak. Kalau sakitnya Pak Thio
kelamaan, kan kita juga ikut sengsara. Mana mungkin Cik Mumun bersedia menjual
perhiasannya untuk biaya suaminya. Pasti kita-kita yang akan kena cambuk
melunasi hutang.”
“Iya, kapan?”
“Nanti malam, habis salat Magrib.”
Akhirnya kerutan di dahi Joko Thole menghilang
sebelum Mak Siyah menangkap tumpukan wafer betulan dan berniat mengambilnya.
Joko Thole mulai paham duduk perkaranya. Ini adalah persekongkolan orang-orang
miskin untuk mendukung kekayaan Pak Thio.
Di balik kekayaan Pak Thio ternyata tersimpan nadi
kehidupan mereka. Benarlah apa yang pernah dikhotbahkan Haji Budiman saat salat
Jumat itu. Bahwa di sebagian kekayaan orang-orang kaya ada hak orang-orang
miskin. Orang miskin akan turut menyangga kekayaan orang kaya dengan doa,
selama si kaya tersebut tidak ingkar atas hak orang-orang miskin. Alias pelit
bin medit.
* * *
Dua hari kemudian doa itu terkabul. Pak Thio
diperbolehkan pulang dari rumah sakit, tapi masih harus menjalani obat jalan,
berobat sambil jalan-jalan. Maksudnya jika obat Pak Thio habis, maka dia harus
jalan menemui Dokter Surash sampai ia betul-betul divonis sehat.
Dokter Surash adalah
dokter spesialis penyakit syaraf di Kudus. Pak Thio terkena gejala stroke. Tak dinyana dua hari kemudian musibah di
rumah Pak Thio merembet ke rumah Joko Thole. Mak Fatmah sakit. Meski bukan
stroke, tapi perempuan kepala empat itu tak bisa lagi mengedarkan tempe. Mak Fatmah
kini terbujur kaku dengan wajah sendu dan sering mengeluh ngilu-ngilu berharap
dibelikan jamu. Apalagi jika melihat kelakuan anak sulungnya, hatinya semangkin
bertambah pilu.
“Thok, nanti habis salat Magrib
kita berdo’a bersama ya? Gudel juga harus ikut.”
“Doa bersama ?” yang dipanggil Thok menoleh dari
televisi.
“Seperti yang
dirumahnya Pak Thio itu loh. Kita berdoa supaya Emak lekas sembuh. Kalau Emak sembuh, kan kita bisa makan
enak lagi, nggak lauk lidah terus. Kamu juga pasti akan dapat uang saku
lagi Thok.”
Mbeek!
“Bagus. Semoga Emak lekas
sehat! Semoga Emak jaya! Semoga rezeki Emak tetap lancar sampai tua! Semoga
Gudel nanti beranak tiga!” Thole mengepalkan tangan.
Sementara itu di
pembaringannya, Mak Fatmah menangis tersedu-sedu. Tetapi bukan karena terharu.***
Kesaksian Seorang Pakar Forensik
Kesaksian Seorang Pakar Forensik
Judul Buku :
Indonesia X - Files
Penulis :
dr. Abdul Mun’im Idries, Sp.F
Penerbit :
Penerbit Noura Books
Cetakan :
Cetakan Pertama, Juni 2013
Tebal :
XXIII + 334 halaman
ISBN :
978-602-7816-60-2
Buku ini adalah kumpulan kesaksian seorang ahli forensik yang patut
mendapatkan apresiasi. Mengingat hasil otopsi adalah sangat penting dan
merupakan bukti yang menentukan (a determinant proof), dia bisa menjadi
kunci dari kasus yang kadang sengaja ditutup-tutupi, sekaligus membuka
perspektif baru atas sebuah perkara.
Pada judul pertama Bab I misalnya, ketika dipanggil untuk menangani
jenazah korban tragedi Trisakti, Mei 1998. Dengan gaya seperti orang bercerita Penulis
menuturkan tentang pengalaman yang dirasakannya amat mencekam namun sedikit ‘aneh’
ketika mendapatkan panggilan itu. Belakangan Dr. Mun’im baru mengetahui bahwa
pada insiden yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti tersebut banyak satuan-satuan
atau unit-unit aparat keamanan yang hadir “terlibat”(halaman 5). Apalagi
setelah melakukan visum dan mendapatkan kepastian sendiri bahwa keempat
mahasiswa tersebut mendapatkan luka tembak pada daerah yang mematikan, bukan
untuk melumpuhkan (halaman 7). Ditambah lagi dengan perkataan Kasat Serse
Polres Metro Jakarta kepadanya, yang dalam perkataannya seolah telah mengetahui
ada oknum besar yang sebenarnya menjadi pemain utama dalam insiden tersebut
(halaman 13).
Dalam kasus ini, beliau berada di pihak yang justru mendapatkan tekanan. Tudingan
negatif atas kelambanan kinerja para penyidik yang membuat situasi jadi tak enak, membuatnya
sengaja menyelipkan pembelaan diri dalam catatan ini, bahwa proses penegakan
hukum dan keadilan itu merupakan upaya ilmiah, bukan sekadar common sense,
non-scientific belaka (halaman 20). Dibutuhkan pengetahuan, ketelitian
tinggi, banyak menyita waktu, dan ketekunan para penyidik. Sangat tidak
bijaksana bila ada pihak-pihak yang terburu menjatuhkan vonis bahwa penyidik
tidak becus, tidak profesional, atau bekerja setengah hati (halaman 23).
Pentingnya data-data forensik dapat kita ketahui dalam ‘Kejanggalan
Kematian Marsinah’ (halaman 25 dan 301). Ketika terjadi perbedaan antara bukti
forensik dengan kesaksian para pelaku, tak pelak keamanan ahli forensik yang
menanganinya pun turut dipertaruhkan. “Kamu gila. Ngelawan arus. Pulang
tinggal nama entar,” begitu yang terlontar dari kolega dr. Mun’im ketika
menjadi saksi ahli kasus pembunuhan yang kontroversial itu (halaman 28). Dalam
persidangan sebelumnya, terbukti 3 orang menusuk kemaluan korban dalam waktu
berbeda., tapi dalam visum hanya ditemukan satu luka pada labia minora. Hal
tersebut hanya mungkin terjadi bila alat yang dipakai tidak dicabut, tapi
menempel. Kejanggalan makin jelas ketika barang bukti yang dipakai untuk
menusuk kemaluan korban ternyata lebih besar dari ukuran luka yang terdapat di
tubuh koraban. Visum yang dibuat 6 bulan selanjutnya kemudian turut
memperjelas, ditemukan resapan darah di daerah belakang pelipis kanan sebagai
akibat persentuhan dengan benda tumpul, ditemukan patah tulang kemaluan, tulang
usus kanan, dan tulang kelangkang sebagai akibat kekerasan benda tumpul.
Kekerasan tersebut dimulai dari sebelah kiri, kemudian setelah membentur tulang
usus kanan lalu memantul ke tulang kelangkang. Dengan tegas dr. Mun’im pun
berpendapat bahwa kematian itu disebabkan oleh luka tembak. Meski kesaksiannya
kemudian dianggap konyol oleh sebagian teman (halaman 29-31)..
Dalam bab ’30 Menit Kematian Menjemput Munir’, sekali lagi menunjukkan
betapa pentingnya posisi seorang ahli forensik (halaman 81). Kita diajak dr.
Mun’im membanding-bandingkan sendiri antara alibi para tersangka dengan
temuan-temuan beliau, untuk kemudian menyimpulkan perspektif sendiri. Hanya
sayangnya, keterbatasan seorang ahli forensik sering hanya mampu mengantarkan
pada kesimpulan akhir berdasar temuan ilmiah. Sementara motif pelaku atau
bahkan siapa pelaku sering masih menjadi misteri tersendiri.
Tak hanya diajak meninjau kembali kasus-kasus besar yang bahkan sampai
saat ini belum terungkap dalangnya, dalam buku ini dr. Mun’im juga memberikan
beragam pengalamannya selama menjalani a sacred callingnya sebagai ahli
forensik. Tak berlebihan rasanya jika O.C. Kaligis menggambarkannya sebagai
seorang yang memiliki pandangan seperti Aristoteles terhadap Plato, “Amicus
Plato, sed magis amica veritas” –Plato adalah sahabat saya, tetapi saya lebih
bersahabat dengan kebenaran. Kebenaran itulah yang diutamakan.***
(Nur Hadi, Koran Jakarta,...)
Langganan:
Postingan (Atom)