Al Quran di Atas Kepala
Kejadian Pertama
Pagi-pagi
benar. Cahaya bahkan belum menampakkan diri di ufuk timur. Tanah becek sisa
hujan semalam. Mendung masih bersekongkol mericuhi langit.
Anak
itu mendongak. Cahyo berkali meyakinkan diri, bahwa mendung tak selalu pertanda
akan segera turun hujan. Ini penting, sebab nanti ia mesti direpotkan dengan
sekantung plastik tempe
yang akan ia ambil dari rumah Pak Taha. Emaknya hari ini sakit, tak bisa
beraktivitas seperti biasa. Karena itulah Cahyo tak membawa payung, lantaran
tangan kirinya sudah mendapatkan jatah membawa Al Quran.
Sepanjang
perjalanan batin Cahyo berdoa, semoga hujan tidak turun pagi itu. Agar tugasnya
bisa selesai tepat waktu. Ia tahu betul, para pelanggan warung emaknya hanya
akan datang pagi-pagi, sebelum anak-anak mereka berangkat sekolah. Jika telat, kesempatan
akhir untuk membuang dagangan hanya sisa di siang harinya, sebelum kemudian
akan menjadi tempe
wayu
atau dimakan sendiri jika tak juga laku. Kadang Cahyo sampai ingin muntah
setiap kali lauk tempe
tahu, meskipun emaknya pandai membuat aneka olahan.
Sepulangnya
mengaji Cahyo mesti berlari-lari kecil mengejar waktu. Kiai Ridwan sungguh
menyebalkan sekali, tak mau memahami gelagat isyarat, bahwa ia sedang
terburu. Antre tetaplah antre. Cahyo
sampai hampir membatalkan niat mengaji lantaran tak sabar menunggu. Meski ia
sedikit tertolong dengan kemalangan Amin yang sedang bermasalah dengan perut,
sehingga ia bisa sedikit maju dari waktu semestinya.
Prokk!