Surat Terbuka untuk Geraha yang Rajin
Membaca
Dear Sobatku Geraha yang rajin membaca, apa kabarmu? Sehatkah? Selama
dirimu masih doyan baca, aku yakin kau sehat-sehat saja, karena membaca adalah
asupan gizi penting untuk seorang calon penulis berbakat sepertimu. Selama kau
terus membaca, saya yakin, tulisanmu akan terus lahir, jika kau memang serius
ingin menjadi penulis. Membaca cerpenmu, saya sebagai penikmat sekaligus
penulis fiksi yang ditunjuk untuk mengkritisi karyamu dan juga teman-temanmu
yang lain, jadi amat tergelitik. Tampaknya, kamu penyuka budaya Korea
ya? Itu terlihat dari tulisanmu yang berjudul “BUDAYAKU BERHARGA DI NEGERI
TETANGGA” yang seharusnya ditulis “Budayaku Berharga di Negeri Tetangga”.
Cerpenmu mengalir lancar, membuat saya lumayan bisa menikmatinya dengan
nyaman. Bahkan, jika digarap dengan serius, saya percaya cerpenmu ini bisa
mejeng dengan manis di halaman fiksi salah satu majalah remaja, entah itu HAI,
STORY, GADIS, KaWanku, dan lain-lain yang bergaya pop. Serius bagaimana sih
maksudnya? Baiklah, saya kupas satu per satu ya…
1). Dari penulisan judul. Mengapa judul itu amat penting? Sebab judul
adalah etalase tulisan yang berfungsi sebagai daya pikat pertama selain
paragraf pembuka. Judul yang romantis, yang misterius, yang lucu, atau bahkan
yang horor, akan lebih memikat pembaca ketimbang judul yang baku namun kaku. Beberapa temanmu telah
berhasil melakukan itu, semisal dalam ‘Restui Aing, Biung!’, ‘Ketika Jauhari
Memanggil’, ‘Bangsaku di Ambang Batas’, atau ‘In My Dream’. Judul-judul itu jelas terlihat lebih memikat
ketimbang ‘Kenali Budayaku’, ‘Indahnya Tarian Budaya Daerah’, atau ‘Perayaan
Hari Obor’, yang sungguh, seperti judul esai saja. Maka, meskipun ceritamu ini
lebih unggul dibanding judul-judul tadi, tapi judulmu terasa ‘garing’
kehilangan daya pikat.
2). EyD. Apa sih pentingnya EyD? Pemakaian EyD yang tepat dan teliti, menandakan
bahwa penulisnya tahu betul akan kaidah kepenulisan. Saya amat takjub ketika
membaca semua karya yang disodorkan oleh Panitia, bahwa ternyata tak satu pun
dari teman-temanmu yang memiliki kecakapan EyD dalam menulis. Di samping ini
berarti menjadi tugas ekstra bagi guru Bahasa Indonesia kalian, dibutuhkan
kesabaran lagi jika kalian ingin menjadi penulis yang karyanya bisa mejeng di
halaman fiksi media cetak nasional. Saya petikkan dari karyamu ya…
“tok…tok…tok” viska memberanikan diri mengetuk pintu.
Media, akan lebih menerima jika kalimat itu ditulis begini à
“Tok…tok…tok,” Viska memberanikan
diri mengetuk pintu.
Nah, coba amati di mana letak perbedaannya. Oya, saya kasih tips mengenai
cara belajar EyD yang cepat dan gampang. Membaca. Perbanyak saja membaca
berita, atau tulisan apa saja yang disajikan koran-koran nasional (semisal
KOMPAS, Jawa Pos, dll). Amati pemakaian huruf besar kecilnya bagaimana dan
bagaimana. Amati pemakaian tanda petik tanda komanya. Bagaimana pula caranya
membuat sebuah paragraf yang benar. Niscaya, dua tahun mendatang, kau pun akan
tahu cara penulisan yang sesuai kaidah EyD yang berlaku.
Sekali lagi, apa sih pentingnya EyD? Pstt, saya kasih tahu ya, Redaktur
media (koran/majalah), seringkali akan langsung mendelete file yang kau
kirimkan ke mereka saat melihat EyD-mu yang amburadul. Cara cepat ini digunakan
para Redaktur mengingat jumlah pengirim tulisan yang bisa mencapai ratusan
karya per minggunya.
3). Isi. Nah, inilah bagian menarik yang menjadikan karyamu lebih unggul
dibanding yang lain. Referensimu tentang Korea membuat ceritamu ini lebih
berisi ketimbang cerita-cerita kawanmu yang menjadikan budaya/kesenian lokal
hanya sebatas dalam percakapan slapstick/tampak
luar saja. Isi atau nilai-nilai yang terkandung dalam budaya tersebut tak
terjelaskan dan hanya menjadi pembicaraan antar tokoh. Misalkan saja dalam
‘Perayaan Hari Obor’, yang saya sempat berharap lebih terhadap karya ini ketika
pertama kali membacanya. Namun, tentang detail, nilai-nilai, plus apa
urgensinya Perayaan Obor itu tak terjelaskan dalam cerita. Dan memang, butuh
jam terbang yang lama untuk bisa menulis sebaik itu. Maka saya berharap
kepadamu, Geraha, kapan kau mau menulis tentang budayamu sendiri? Bukankah
lebih membanggakan jika kau tahu tentang detail rumahmu ketimbang rumah orang
lain?
4). Logika cerita. Selain pemakaian gaya
bahasa, logika adalah hal penting lainnya yang kerap menjadi batu sandungan
bagi penulis pemula. Dan hampir semua cerpen yang diserahkan kepada saya itu,
terjungkal pada masalah logika. Apa sih logika cerita itu?
Dalam ilmu jurnalistik, kalian pasti sudah mengenal konsep 5W+1H. Nah,
dalam cerita fiksi pun sebenarnya tetap memakai konsep itu. Mengapa si tokoh
bisa begini begitu. Kapan si tokoh melakukan ini itu dan lalu tertimpa masalah
anu dan anu. Semuanya harus tergambar dengan jelas, sehingga pembaca tak
merasakan ada kejanggalan/kekurangan dalam ceritamu. Dalam ‘Dalang Solo’ misalnya,
jalan cerita yang menjadikan tokoh secara tiba-tiba menjadi dalang, tak
digambarkan penulisnya. Semuanya terjadi dengan begitu tiba-tiba. Tahu-tahu
tokohnya sudah jadi dalang.
Saat kau menggarap cerita seorang maling yang sudah tobat, benang cerita
tentang pertobatannya harus kau kisahkan, agar tak ada tanda tanya dalam benak
pembaca. Benang cerita itu bisa berisi sebab-sebab mengapa ia bisa tobat,
kejadian apa yang membuatnya bisa tobat, dsb. Demikian juga ketika si tokoh
menjadi dalang, mengapa ia ingin menjadi dalang, peristiwa apa yang kemudian
menuntunnya ke arah profesi dalang, dsb. Semua itu, kemudian boleh diletakkan
dalam percakapan yang alami, atau dalam narasi yang penuh gaya bahasa memikat.
Sebelum saya ucapkan selamat kepada para juara, ada baiknya saya
sampaikan hal ini terlebih dahulu. Tetaplah bangga terhadap hasil karya
sendiri. Jangan sampai melakukan plagiat/penjiplakan terhadap karya orang lain,
sebab hal itu sama saja dengan kalian membohongi diri sendiri. Selamat menulis!
Selamat teruntuk:
Tak ada juara 1, mengingat semua karya masih banyak kesalahan elementer
yakni pada bangunan logika (sebab akibat), dan terutama EyD.
Juara 2, Budayaku Berharga di
Negeri Tetangga, karya Geraha. Cerpen ini berkisah tentang Viska yang
mendapatkan beasiswa ke Korea.
Di sana dia
bertemu dengan Min Hyuk yang kemudian tertarik dengan budaya Jawa. Ending
terlihat alami, tak dipaksakan, di mana cinta keduanya tak bertemu. Dibutuhkan
referensi yang lumayan untuk membuat cerpen seperti ini. Dan andainya Geraha
mau lebih bersabar menggali budaya Jawa apa yang ditekuni Min Hyuk dan suasana Korea
dibangun dengan lebih matang lagi, cerpen ini pasti akan lebih memikat. Yang
membuat cerpen ini lemah adalah bagian awalnya yang terkesan bertele-tele,
bagian wisuda yang digambarkan secara gampangan, serta tak terdefinisikannya
budaya Jawa yang membuat hati Min Hyuk tertambat akan Indonesia, sehingga terkesan
menggampangkan logika cerita.
Juara 3, Restui Aing, Biung!
karya Dilla Maliyya Hilmi. Bercerita tentang Gendhis, gadis berdarah Jawa/Sunda
yang memendam keinginan menjadi sindhen. Sisipan-sisipan tembang Jawa serta
percakapan berbahasa Jawa dan Sunda menguarkan aroma lokalitas serta seolah
menjadi ruh bagi setiap adegan. Sayangnya penulis tak memahami bagaimana kaidah
menulis bahasa lokal dalam karya (lagi-lagi soal EyD). Bagaimana tentang dunia
sindhen juga tak terjabarkan, sehingga hal ini justru menunjukkan bahwa
penulisnya terlihat kurang paham akan realitas dunia sindhen.
Juara Harapan Utama, Bangsaku di
Ambang Batas, karya Geranat Mahaba. Bercerita tentang Pak Rahmat yang
menceritakan beberapa kisah inspiratif kepada orang-orang desanya. Cara
bercerita yang masih kaku serta perpindahan paragraf yang kurang lincah membuat
cerpen ini kurang bisa dinikmati dengan nyaman. Sehingga potongan-potongan
kisah yang diberikan Pak Rahmat justru bisa membuat pembaca kebingungan, sebab
kisah-kisah pendek itu tak terhubung sempurna dengan kisah utama. Kalimat
semacam ‘Mahasuci Allah…’ yang peletakannya kurang tepat juga amat mengganggu
jalannya cerita, padahal tanpa kalimat itu pun cerita masih bisa berjalan. Yang
patut diapresiasi dari cerita ini adalah eksplorasi cara bercerita yang lain
dari yang lain, menyelipkan cerita dalam cerita, serta wawasan penulis yang
lumayan memadai.
Ada lagi
satu cerpen yang menarik yang sebenarnya berpeluang menjadi calon juara,
berjudul Hari Kartini, karya Esti Nurul Fatimah. Cerpen ini digarap dengan menggunakan spirit humor. Menggunakan
bahasa santai. Pemberian judul benar-benar tepat, di mana segala kesialan
(berbau humor) Kartini terjadi tepat di hari perayaan hari Kartini. Tak mudah
menulis cerita humor. Sayangnya penulis terlihat tak tahu bagaimana cara
menulis paragraf yang baik. Di samping EyD yang juga masih amburadul.
Selamat kepada para pemenang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar