Jumat, 03 Juli 2015

Laporan Pertanggungjawaban Lomba Menulis Cerpen MA. Hasyim Asy'ari Bangsri Jepara (18 Mei 2014)



Surat Terbuka untuk Geraha yang Rajin Membaca


Dear Sobatku Geraha yang rajin membaca, apa kabarmu? Sehatkah? Selama dirimu masih doyan baca, aku yakin kau sehat-sehat saja, karena membaca adalah asupan gizi penting untuk seorang calon penulis berbakat sepertimu. Selama kau terus membaca, saya yakin, tulisanmu akan terus lahir, jika kau memang serius ingin menjadi penulis. Membaca cerpenmu, saya sebagai penikmat sekaligus penulis fiksi yang ditunjuk untuk mengkritisi karyamu dan juga teman-temanmu yang lain, jadi amat tergelitik. Tampaknya, kamu penyuka budaya Korea ya? Itu terlihat dari tulisanmu yang berjudul “BUDAYAKU BERHARGA DI NEGERI TETANGGA” yang seharusnya ditulis “Budayaku Berharga di Negeri Tetangga”.

Cerpenmu mengalir lancar, membuat saya lumayan bisa menikmatinya dengan nyaman. Bahkan, jika digarap dengan serius, saya percaya cerpenmu ini bisa mejeng dengan manis di halaman fiksi salah satu majalah remaja, entah itu HAI, STORY, GADIS, KaWanku, dan lain-lain yang bergaya pop. Serius bagaimana sih maksudnya? Baiklah, saya kupas satu per satu ya…
1). Dari penulisan judul. Mengapa judul itu amat penting? Sebab judul adalah etalase tulisan yang berfungsi sebagai daya pikat pertama selain paragraf pembuka. Judul yang romantis, yang misterius, yang lucu, atau bahkan yang horor, akan lebih memikat pembaca ketimbang judul yang baku namun kaku. Beberapa temanmu telah berhasil melakukan itu, semisal dalam ‘Restui Aing, Biung!’, ‘Ketika Jauhari Memanggil’, ‘Bangsaku di Ambang Batas’, atau ‘In My Dream’. Judul-judul itu jelas terlihat lebih memikat ketimbang ‘Kenali Budayaku’, ‘Indahnya Tarian Budaya Daerah’, atau ‘Perayaan Hari Obor’, yang sungguh, seperti judul esai saja. Maka, meskipun ceritamu ini lebih unggul dibanding judul-judul tadi, tapi judulmu terasa ‘garing’ kehilangan daya pikat.
2). EyD. Apa sih pentingnya EyD? Pemakaian EyD yang tepat dan teliti, menandakan bahwa penulisnya tahu betul akan kaidah kepenulisan. Saya amat takjub ketika membaca semua karya yang disodorkan oleh Panitia, bahwa ternyata tak satu pun dari teman-temanmu yang memiliki kecakapan EyD dalam menulis. Di samping ini berarti menjadi tugas ekstra bagi guru Bahasa Indonesia kalian, dibutuhkan kesabaran lagi jika kalian ingin menjadi penulis yang karyanya bisa mejeng di halaman fiksi media cetak nasional. Saya petikkan dari karyamu ya…
“tok…tok…tok” viska memberanikan diri mengetuk pintu.
Media, akan lebih menerima jika kalimat itu ditulis begini àTok…tok…tok,Viska memberanikan diri mengetuk pintu.
Nah, coba amati di mana letak perbedaannya. Oya, saya kasih tips mengenai cara belajar EyD yang cepat dan gampang. Membaca. Perbanyak saja membaca berita, atau tulisan apa saja yang disajikan koran-koran nasional (semisal KOMPAS, Jawa Pos, dll). Amati pemakaian huruf besar kecilnya bagaimana dan bagaimana. Amati pemakaian tanda petik tanda komanya. Bagaimana pula caranya membuat sebuah paragraf yang benar. Niscaya, dua tahun mendatang, kau pun akan tahu cara penulisan yang sesuai kaidah EyD yang berlaku.
Sekali lagi, apa sih pentingnya EyD? Pstt, saya kasih tahu ya, Redaktur media (koran/majalah), seringkali akan langsung mendelete file yang kau kirimkan ke mereka saat melihat EyD-mu yang amburadul. Cara cepat ini digunakan para Redaktur mengingat jumlah pengirim tulisan yang bisa mencapai ratusan karya per minggunya.
3). Isi. Nah, inilah bagian menarik yang menjadikan karyamu lebih unggul dibanding yang lain. Referensimu tentang Korea membuat ceritamu ini lebih berisi ketimbang cerita-cerita kawanmu yang menjadikan budaya/kesenian lokal hanya sebatas dalam percakapan slapstick/tampak luar saja. Isi atau nilai-nilai yang terkandung dalam budaya tersebut tak terjelaskan dan hanya menjadi pembicaraan antar tokoh. Misalkan saja dalam ‘Perayaan Hari Obor’, yang saya sempat berharap lebih terhadap karya ini ketika pertama kali membacanya. Namun, tentang detail, nilai-nilai, plus apa urgensinya Perayaan Obor itu tak terjelaskan dalam cerita. Dan memang, butuh jam terbang yang lama untuk bisa menulis sebaik itu. Maka saya berharap kepadamu, Geraha, kapan kau mau menulis tentang budayamu sendiri? Bukankah lebih membanggakan jika kau tahu tentang detail rumahmu ketimbang rumah orang lain?
4). Logika cerita. Selain pemakaian gaya bahasa, logika adalah hal penting lainnya yang kerap menjadi batu sandungan bagi penulis pemula. Dan hampir semua cerpen yang diserahkan kepada saya itu, terjungkal pada masalah logika. Apa sih logika cerita itu?
Dalam ilmu jurnalistik, kalian pasti sudah mengenal konsep 5W+1H. Nah, dalam cerita fiksi pun sebenarnya tetap memakai konsep itu. Mengapa si tokoh bisa begini begitu. Kapan si tokoh melakukan ini itu dan lalu tertimpa masalah anu dan anu. Semuanya harus tergambar dengan jelas, sehingga pembaca tak merasakan ada kejanggalan/kekurangan dalam ceritamu. Dalam ‘Dalang Solo’ misalnya, jalan cerita yang menjadikan tokoh secara tiba-tiba menjadi dalang, tak digambarkan penulisnya. Semuanya terjadi dengan begitu tiba-tiba. Tahu-tahu tokohnya sudah jadi dalang.
Saat kau menggarap cerita seorang maling yang sudah tobat, benang cerita tentang pertobatannya harus kau kisahkan, agar tak ada tanda tanya dalam benak pembaca. Benang cerita itu bisa berisi sebab-sebab mengapa ia bisa tobat, kejadian apa yang membuatnya bisa tobat, dsb. Demikian juga ketika si tokoh menjadi dalang, mengapa ia ingin menjadi dalang, peristiwa apa yang kemudian menuntunnya ke arah profesi dalang, dsb. Semua itu, kemudian boleh diletakkan dalam percakapan yang alami, atau dalam narasi yang penuh gaya bahasa memikat.
Sebelum saya ucapkan selamat kepada para juara, ada baiknya saya sampaikan hal ini terlebih dahulu. Tetaplah bangga terhadap hasil karya sendiri. Jangan sampai melakukan plagiat/penjiplakan terhadap karya orang lain, sebab hal itu sama saja dengan kalian membohongi diri sendiri. Selamat menulis!
Selamat teruntuk:
Tak ada juara 1, mengingat semua karya masih banyak kesalahan elementer yakni pada bangunan logika (sebab akibat), dan terutama EyD.
Juara 2, Budayaku Berharga di Negeri Tetangga, karya Geraha. Cerpen ini berkisah tentang Viska yang mendapatkan beasiswa ke Korea. Di sana dia bertemu dengan Min Hyuk yang kemudian tertarik dengan budaya Jawa. Ending terlihat alami, tak dipaksakan, di mana cinta keduanya tak bertemu. Dibutuhkan referensi yang lumayan untuk membuat cerpen seperti ini. Dan andainya Geraha mau lebih bersabar menggali budaya Jawa apa yang ditekuni Min Hyuk dan suasana Korea dibangun dengan lebih matang lagi, cerpen ini pasti akan lebih memikat. Yang membuat cerpen ini lemah adalah bagian awalnya yang terkesan bertele-tele, bagian wisuda yang digambarkan secara gampangan, serta tak terdefinisikannya budaya Jawa yang membuat hati Min Hyuk tertambat akan Indonesia, sehingga terkesan menggampangkan logika cerita.
Juara 3, Restui Aing, Biung! karya Dilla Maliyya Hilmi. Bercerita tentang Gendhis, gadis berdarah Jawa/Sunda yang memendam keinginan menjadi sindhen. Sisipan-sisipan tembang Jawa serta percakapan berbahasa Jawa dan Sunda menguarkan aroma lokalitas serta seolah menjadi ruh bagi setiap adegan. Sayangnya penulis tak memahami bagaimana kaidah menulis bahasa lokal dalam karya (lagi-lagi soal EyD). Bagaimana tentang dunia sindhen juga tak terjabarkan, sehingga hal ini justru menunjukkan bahwa penulisnya terlihat kurang paham akan realitas dunia sindhen.
Juara Harapan Utama, Bangsaku di Ambang Batas, karya Geranat Mahaba. Bercerita tentang Pak Rahmat yang menceritakan beberapa kisah inspiratif kepada orang-orang desanya. Cara bercerita yang masih kaku serta perpindahan paragraf yang kurang lincah membuat cerpen ini kurang bisa dinikmati dengan nyaman. Sehingga potongan-potongan kisah yang diberikan Pak Rahmat justru bisa membuat pembaca kebingungan, sebab kisah-kisah pendek itu tak terhubung sempurna dengan kisah utama. Kalimat semacam ‘Mahasuci Allah…’ yang peletakannya kurang tepat juga amat mengganggu jalannya cerita, padahal tanpa kalimat itu pun cerita masih bisa berjalan. Yang patut diapresiasi dari cerita ini adalah eksplorasi cara bercerita yang lain dari yang lain, menyelipkan cerita dalam cerita, serta wawasan penulis yang lumayan memadai.
Ada lagi satu cerpen yang menarik yang sebenarnya berpeluang menjadi calon juara, berjudul Hari Kartini, karya Esti Nurul Fatimah. Cerpen ini digarap dengan menggunakan spirit humor. Menggunakan bahasa santai. Pemberian judul benar-benar tepat, di mana segala kesialan (berbau humor) Kartini terjadi tepat di hari perayaan hari Kartini. Tak mudah menulis cerita humor. Sayangnya penulis terlihat tak tahu bagaimana cara menulis paragraf yang baik. Di samping EyD yang juga masih amburadul.
Selamat kepada para pemenang!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar