Tujuan Hidup Tak Sekadar Uang
(Versi 1)
(Versi 1)
Judul Buku : I
Love Monday
Penulis :
Arvan Pradiansyah
Penerbit :
Penerbit Kaifa
Cetakan :
Pertama, Maret 2015
Tebal :
299 halaman
ISBN :
978-602-7870-43-7
Agar bisa bahagia dengan apa pun pekerjaan kita, Arvan memberikan
saran untuk merevisi total pandangan kita terhadap pekerjaan, merevolusi
paradigma kita terhadap pekerjaan. Berhentilah mencari uang. Semangat yang
tercipta karena uang tak akan bertahan lama. Setelah uang habis, kebahagiaan
pun turut habis. Orang-orang yang bekerja karena uang harus membayar pendapatan
mereka yang tak seberapa itu dengan kerja keras yang membuat lelah lahir batin.
Kita sudah terlalu lama mencari uang, dan ternyata uang yang kita kumpulkan
selalu tak cukup. Kita senantiasa bersaing dengan biaya dan inflasi. Demi uang,
kita bekerja keras, mengorbankan waktu dan kesehatan, bertahan dalam pekerjaan
yang membosankan, yang merendahkan harga diri, yang tidak sesuai keahlian dan
minatnya, yang tidak membuatnya menjadi orang yang lebih pandai (hal. 84).
Menurut Arvan, tujuan hidup kita bukanlah untuk
mendapatkan uang. Tujuan hidup kita adalah untuk melayani orang lain. Mungkin
Anda langsung berpikir, apakah itu tidak salah? Bukankah bisnis senantiasa
bersifat mementingkan diri sendiri? Bila Anda mengatakan demikian, berarti Anda
belum memahami hakikat bisnis sesungguhnya. Bisnis yang mementingkan dirinya
sendiri, akan hancur. Hakikat bisnis sesungguhnya adalah mementingkan orang
lain. Bisnis sejati haruslah dilandaskan pada spiritualitas dan akan
menghasilkan tingkat spiritualitas yang lebih tinggi, baik bagi para pelaku
maupun para pelanggannya. Pernahkah Anda bertemu dengan wiraniaga yang
terus-menerus memengaruhi bahkan memaksa Anda untuk membeli produknya? Mereka
bahkan tak peduli apakah Anda betul-betul membutuhkan produk tersebut.
Kira-kira bagaimana reaksi Anda terhadap wiraniaga tersebut? (hal. 94)
Melalui buku ini, Arvan mengingatkan bahwa esensi dan
hakikat pekerjaan apa pun yang kita lakukan di dunia ini adalah untuk melayani
orang lain. Melayani yang berarti ibadah. Ada
pemahaman yang salah ketika orang tak bisa melihat bahwa bekerja sejatinya
adalah ibadah. Pertama, banyak orang yang tak memahami bahwa ibadah sebenarnya
memiliki makna yang amat luas. Semua tindakan kebaikan atas nama Tuhan
sebenarnya bisa dimasukkan dalam definisi ibadah. Dan bukankah tindakan
kebaikan itulah yang kita sebut bekerja? Jumlah waktu yang kita luangkan untuk
kerja ini bahkan lebih besar daripada waktu yang kita gunakan untuk berdoa dan
sembahyang. Kedua, ibadah sering kali dikaitkan hanya dengan hubungan vertikal,
padahal hakikat hidup adalah untuk berhubungan baik dengan setiap manusia.
Ketiga, ketika berbicara mengenai ibadah, orang sering kali hanya mengaitkannya
dengan tempat ibadah. Paradigma yang salah inilah yang sering membuat orang
ingat kepada Tuhan hanya di tempat-tempat ibadah, dan begitu mereka memasuki
tempat kerja, maka perilaku mereka akan berubah. Keempat, banyak orang yang
merasa bekerja itu bukanlah beribadah, karena ketika bekerja mereka dibayar;
sementara ketika beribadah tidak demikian. Padahal, jika direnungkan; tidak
dibayar saja kita mau melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh, apalagi jika
dibayar. Bayaran, sebenarnya hanyalah konsekuensi atas segala yang telah kita
kerjakan. Ketika kita menganggap bahwa bekerja itu tak sama dengan beribadah,
sesungguhnya kita telah kehilangan ruh pekerjaan itu sendiri. Ketika kita tak
lagi membedakan antara beribadah dan bekerja, sesungguhnya kita telah berubah
dari seorang sekuler menjadi manusia spiritual. Nah, bagi orang spiritual
semacam ini, tempat kerja sama sucinya dengan tempat ibadah (hal. 188).
Jadi jelas sudah, bahwa tugas kita bukanlah sekadar
hidup, melainkan membuat kehidupan. Alasan kita dilahirkan ke dunia ini
sejatinya adalah untuk bekerja. Dengan bekerja, kita akan menemukan bakat,
potensi, dan jati diri kita yang terdalam. Dengan bekerja, kita akan menemukan
keunikan kita, sesuatu yang membedakan kita dengan orang lain. Setelah membaca
dan merenungi buku ini, kita pun kemudian akan mengerti, apakah yang selama ini
kita lakukan hanya sekadar ‘bekerja untuk hidup’, ataukah sudah hidup untuk
bekerja’.*
(Nur Hadi, Radar Surabaya, Minggu 14 Juni 2015)
Mengubah Paradigma Hari Senin
(Versi 2)
Seandainya Anda mendapatkan rezeki nomplok yang bisa
menjamin kehidupan Anda sampai tua, apa yang kira-kira akan Anda lakukan? Dari
pertanyaan ini, ada tiga kelompok jawaban sebagai berikut; Pertama, mereka yang
mengatakan akan berhenti bekerja dan memilih menikmati hidup. Jawaban ini
mengandung kemungkinan dia tidak bahagia dengan pekerjaannya, atau karena yang
dia cari hanyalah uang. Kedua, mereka yang mengatakan akan menjalani profesi
lain, atau menjadi pengusaha dan membuka lapangan kerja bagi orang lain.
Jawaban ini mengandung kemungkinan dia tidak membenci pekerjaannya tapi tidak
pula benar-benar mencintainya, atau dia ingin berubah kuadran dari karyawan
menjadi pengusaha. Namun, hal ini harus ditunjukkan dengan kesamaan antara
bidang yang ditekuni ketika menjadi karyawan dan rencana menjadi pengusaha.
Jika bidangnya sama, berarti dia memang mencintai bidang tersebut dan sudah
menemukan calling dan passion di sana. Jika bidang yang ingin digeluti itu
berbeda, ini menunjukkan bahwa dia belum melakukan pekerjaan yang sesuai dengan
passionnya. Dia tak bisa keluar dari
situasi itu lantaran terbelenggu ketakutan akan kehilangan mata pencaharian.
Jawaban ketiga, mereka yang memilih tetap menjalankan pekerjaan yang mereka
jalani. Dan jawaban inilah yang menurut Arvan sangat inspiratif, lantaran
merekalah yang selalu datang ke kantor dengan penuh semangat dan gairah besar,
serta tujuan kerja mereka bukanlah uang melainkan karena ingin membantu,
melayani, dan memudahkan pekerjaan orang lain (hal. XXiV). Dari sinilah
kekeliruan cara pandang mengenai pekerjaan mulai terlihat. Betapa banyak orang
yang menganggap pekerjaan justru sebagai siksaan. Senin, yang notabene hari
permulaan menyambut jam kerja yang panjang, dianggap sebagai hari penuh tekanan
dan kecemasan.
Dalam beberapa lagu, Senin bahkan digambarkan
sebagai hari muram dan penuh kegalauan. Tengok saja “Monday, monday” dari The
Mamas & The papas, “Rainy Days and Mondays” dari Carpenters dan terutama “I
Don’t Like Mondays” dari Bob Geldof & The Boomtown Rats. Lagu-lagu tersebut
tanpa disadari turut membentuk stigma kita mengenai buruknya hari Senin, yang
sudah kita rasakan sejak Minggu malam. Buntutnya, tak aneh jika berbagai
penyakit muncul sebagai efek dari ‘I hate
Mondays’. British Medical Journal bahkan melaporkan serangan jantung yang
meningkat 20% pada hari Senin, yakni hari pertama dimulainya rutinitas kerja
yang oleh sebagian orang dianggap hari pertama dimulainya teror.
Buku ini mengajak Anda membuka sisi-sisi indah
pekerjaan apa pun jenisnya. Menurutnya, yang membuat orang tidak bahagia,
sesungguhnya bukanlah pekerjaan itu sendiri, melainkan paradigma kita terhadap
pekerjaan (hal. XXViii). Arvan ingin mengajak Anda untuk menemukan panggilan
jiwa dalam pekerjaan, menghidupkan semangat yang sempat hilang.
Ada
empat faktor yang menurut Arvan berpengaruh langsung terhadap daya kinerja
seseorang (hal. 57). Pertama adalah uang, yang bisa menjadi motivator menggembirakan dan bersemangat. Namun,
menurut penelitian Tim Kasser dan Richard Ryan, orang yang menempatkan uang
dalam daftar utama prioritas mereka, sangat berisiko menderita depresi,
kecemasan, dan rendahnya harga diri. Kepuasan yang ditimbulkan hanya bersifat
sementara. Kedua, adalah hubungan dengan rekan-rekan sekantor (relationship). Penelitian yang dilakukan
Randstad Work Watch menguatkan pandangan ini, bahwa 67% responden mengatakan
bahwa persahabatan di tempat kerja membuat pekerjaan menjadi lebih
menyenangkan. Ketiga, bertumbuh (growing).
Semangat akan tumbuh ketika Anda bisa melihat bahwa skenario yang Anda jalankan
sendiri mampu memberikan peluang untuk menjemput mimpi menjadi seseorang yang
lebih baik lagi. Keempat, melayani orang lain (servive). Dibayar, adalah konsekuensi dari pelayanan yang kita
berikan. Keuntungan terbesar dari bekerja justru dari munculnya perasaan
berharga, bermakna, dan berguna bagi orang lain (hal. 260). Buku ini mengajak
Anda untuk melihat pekerjaan dari sudut pandang lain yang tak biasa, yang
menjadikan Anda bahagia.*
(Nur Hadi, Tribun Jateng, Minggu 18 Oktober 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar