Senin, 06 Juli 2015

Tujuan Hidup Tak Sekadar Uang



Tujuan Hidup Tak Sekadar Uang
(Versi 1)



Judul Buku  :  I Love Monday
Penulis        :  Arvan Pradiansyah
Penerbit       :  Penerbit Kaifa
Cetakan       :  Pertama,  Maret 2015
Tebal           :  299 halaman
ISBN           :  978-602-7870-43-7


Agar bisa bahagia dengan apa pun pekerjaan kita, Arvan memberikan saran untuk merevisi total pandangan kita terhadap pekerjaan, merevolusi paradigma kita terhadap pekerjaan. Berhentilah mencari uang. Semangat yang tercipta karena uang tak akan bertahan lama. Setelah uang habis, kebahagiaan pun turut habis. Orang-orang yang bekerja karena uang harus membayar pendapatan mereka yang tak seberapa itu dengan kerja keras yang membuat lelah lahir batin. Kita sudah terlalu lama mencari uang, dan ternyata uang yang kita kumpulkan selalu tak cukup. Kita senantiasa bersaing dengan biaya dan inflasi. Demi uang, kita bekerja keras, mengorbankan waktu dan kesehatan, bertahan dalam pekerjaan yang membosankan, yang merendahkan harga diri, yang tidak sesuai keahlian dan minatnya, yang tidak membuatnya menjadi orang yang lebih pandai (hal. 84).
Menurut Arvan, tujuan hidup kita bukanlah untuk mendapatkan uang. Tujuan hidup kita adalah untuk melayani orang lain. Mungkin Anda langsung berpikir, apakah itu tidak salah? Bukankah bisnis senantiasa bersifat mementingkan diri sendiri? Bila Anda mengatakan demikian, berarti Anda belum memahami hakikat bisnis sesungguhnya. Bisnis yang mementingkan dirinya sendiri, akan hancur. Hakikat bisnis sesungguhnya adalah mementingkan orang lain. Bisnis sejati haruslah dilandaskan pada spiritualitas dan akan menghasilkan tingkat spiritualitas yang lebih tinggi, baik bagi para pelaku maupun para pelanggannya. Pernahkah Anda bertemu dengan wiraniaga yang terus-menerus memengaruhi bahkan memaksa Anda untuk membeli produknya? Mereka bahkan tak peduli apakah Anda betul-betul membutuhkan produk tersebut. Kira-kira bagaimana reaksi Anda terhadap wiraniaga tersebut? (hal. 94)
Melalui buku ini, Arvan mengingatkan bahwa esensi dan hakikat pekerjaan apa pun yang kita lakukan di dunia ini adalah untuk melayani orang lain. Melayani yang berarti ibadah. Ada pemahaman yang salah ketika orang tak bisa melihat bahwa bekerja sejatinya adalah ibadah. Pertama, banyak orang yang tak memahami bahwa ibadah sebenarnya memiliki makna yang amat luas. Semua tindakan kebaikan atas nama Tuhan sebenarnya bisa dimasukkan dalam definisi ibadah. Dan bukankah tindakan kebaikan itulah yang kita sebut bekerja? Jumlah waktu yang kita luangkan untuk kerja ini bahkan lebih besar daripada waktu yang kita gunakan untuk berdoa dan sembahyang. Kedua, ibadah sering kali dikaitkan hanya dengan hubungan vertikal, padahal hakikat hidup adalah untuk berhubungan baik dengan setiap manusia. Ketiga, ketika berbicara mengenai ibadah, orang sering kali hanya mengaitkannya dengan tempat ibadah. Paradigma yang salah inilah yang sering membuat orang ingat kepada Tuhan hanya di tempat-tempat ibadah, dan begitu mereka memasuki tempat kerja, maka perilaku mereka akan berubah. Keempat, banyak orang yang merasa bekerja itu bukanlah beribadah, karena ketika bekerja mereka dibayar; sementara ketika beribadah tidak demikian. Padahal, jika direnungkan; tidak dibayar saja kita mau melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh, apalagi jika dibayar. Bayaran, sebenarnya hanyalah konsekuensi atas segala yang telah kita kerjakan. Ketika kita menganggap bahwa bekerja itu tak sama dengan beribadah, sesungguhnya kita telah kehilangan ruh pekerjaan itu sendiri. Ketika kita tak lagi membedakan antara beribadah dan bekerja, sesungguhnya kita telah berubah dari seorang sekuler menjadi manusia spiritual. Nah, bagi orang spiritual semacam ini, tempat kerja sama sucinya dengan tempat ibadah (hal. 188).
Jadi jelas sudah, bahwa tugas kita bukanlah sekadar hidup, melainkan membuat kehidupan. Alasan kita dilahirkan ke dunia ini sejatinya adalah untuk bekerja. Dengan bekerja, kita akan menemukan bakat, potensi, dan jati diri kita yang terdalam. Dengan bekerja, kita akan menemukan keunikan kita, sesuatu yang membedakan kita dengan orang lain. Setelah membaca dan merenungi buku ini, kita pun kemudian akan mengerti, apakah yang selama ini kita lakukan hanya sekadar ‘bekerja untuk hidup’, ataukah sudah hidup untuk bekerja’.*

(Nur Hadi, Radar Surabaya, Minggu 14 Juni 2015)




Mengubah Paradigma Hari Senin
(Versi 2)



Seandainya Anda mendapatkan rezeki nomplok yang bisa menjamin kehidupan Anda sampai tua, apa yang kira-kira akan Anda lakukan? Dari pertanyaan ini, ada tiga kelompok jawaban sebagai berikut; Pertama, mereka yang mengatakan akan berhenti bekerja dan memilih menikmati hidup. Jawaban ini mengandung kemungkinan dia tidak bahagia dengan pekerjaannya, atau karena yang dia cari hanyalah uang. Kedua, mereka yang mengatakan akan menjalani profesi lain, atau menjadi pengusaha dan membuka lapangan kerja bagi orang lain. Jawaban ini mengandung kemungkinan dia tidak membenci pekerjaannya tapi tidak pula benar-benar mencintainya, atau dia ingin berubah kuadran dari karyawan menjadi pengusaha. Namun, hal ini harus ditunjukkan dengan kesamaan antara bidang yang ditekuni ketika menjadi karyawan dan rencana menjadi pengusaha. Jika bidangnya sama, berarti dia memang mencintai bidang tersebut dan sudah menemukan calling dan passion di sana. Jika bidang yang ingin digeluti itu berbeda, ini menunjukkan bahwa dia belum melakukan pekerjaan yang sesuai dengan passionnya. Dia tak bisa keluar dari situasi itu lantaran terbelenggu ketakutan akan kehilangan mata pencaharian. Jawaban ketiga, mereka yang memilih tetap menjalankan pekerjaan yang mereka jalani. Dan jawaban inilah yang menurut Arvan sangat inspiratif, lantaran merekalah yang selalu datang ke kantor dengan penuh semangat dan gairah besar, serta tujuan kerja mereka bukanlah uang melainkan karena ingin membantu, melayani, dan memudahkan pekerjaan orang lain (hal. XXiV). Dari sinilah kekeliruan cara pandang mengenai pekerjaan mulai terlihat. Betapa banyak orang yang menganggap pekerjaan justru sebagai siksaan. Senin, yang notabene hari permulaan menyambut jam kerja yang panjang, dianggap sebagai hari penuh tekanan dan kecemasan.
Dalam beberapa lagu, Senin bahkan digambarkan sebagai hari muram dan penuh kegalauan. Tengok saja “Monday, monday” dari The Mamas & The papas, “Rainy Days and Mondays” dari Carpenters dan terutama “I Don’t Like Mondays” dari Bob Geldof & The Boomtown Rats. Lagu-lagu tersebut tanpa disadari turut membentuk stigma kita mengenai buruknya hari Senin, yang sudah kita rasakan sejak Minggu malam. Buntutnya, tak aneh jika berbagai penyakit muncul sebagai efek dari ‘I hate Mondays’. British Medical Journal bahkan melaporkan serangan jantung yang meningkat 20% pada hari Senin, yakni hari pertama dimulainya rutinitas kerja yang oleh sebagian orang dianggap hari pertama dimulainya teror.
Buku ini mengajak Anda membuka sisi-sisi indah pekerjaan apa pun jenisnya. Menurutnya, yang membuat orang tidak bahagia, sesungguhnya bukanlah pekerjaan itu sendiri, melainkan paradigma kita terhadap pekerjaan (hal. XXViii). Arvan ingin mengajak Anda untuk menemukan panggilan jiwa dalam pekerjaan, menghidupkan semangat yang sempat hilang.
Ada empat faktor yang menurut Arvan berpengaruh langsung terhadap daya kinerja seseorang (hal. 57). Pertama adalah uang, yang bisa menjadi motivator  menggembirakan dan bersemangat. Namun, menurut penelitian Tim Kasser dan Richard Ryan, orang yang menempatkan uang dalam daftar utama prioritas mereka, sangat berisiko menderita depresi, kecemasan, dan rendahnya harga diri. Kepuasan yang ditimbulkan hanya bersifat sementara. Kedua, adalah hubungan dengan rekan-rekan sekantor (relationship). Penelitian yang dilakukan Randstad Work Watch menguatkan pandangan ini, bahwa 67% responden mengatakan bahwa persahabatan di tempat kerja membuat pekerjaan menjadi lebih menyenangkan. Ketiga, bertumbuh (growing). Semangat akan tumbuh ketika Anda bisa melihat bahwa skenario yang Anda jalankan sendiri mampu memberikan peluang untuk menjemput mimpi menjadi seseorang yang lebih baik lagi. Keempat, melayani orang lain (servive). Dibayar, adalah konsekuensi dari pelayanan yang kita berikan. Keuntungan terbesar dari bekerja justru dari munculnya perasaan berharga, bermakna, dan berguna bagi orang lain (hal. 260). Buku ini mengajak Anda untuk melihat pekerjaan dari sudut pandang lain yang tak biasa, yang menjadikan Anda bahagia.*

(Nur Hadi, Tribun Jateng, Minggu 18 Oktober 2015)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar