Politik Teror dalam Pengamatan Chomsky
(Versi 1)
Judul Buku : How
The World Works
Penulis :
Noam Chomsky
Penerbit :
Penerbit Bentang (PT Bentang Pustaka)
Cetakan : Pertama, Februari 2015
Tebal : xi + 443 halaman
ISBN :
978-602-291-059-6
Buku ini merupakan hasil perbincangan dan wawancara dengan Chomsky pada
era 1990-an. Analisis-analisisnya mengenai diskriminasi, perdamaian dunia, dan
ketidakadilan di negara-negara dunia ketiga terasa mendalam dan melampaui
zamannya. Teori-teorinya seakan menjadi ramalan jitu, bahwa beginilah cara
dunia bekerja.
Amerika menjadi sorotan utama Chomsky, lantaran arus besar perubahan
dunia tampaknya memang dipengaruhi oleh beberapa kebijakan dalam dan luar
negeri negara adidaya ini. Salah satu dokumen yang bisa dibaca jika ingin
memahami AS, adalah Policy Planning Study
23 yang ditulis George Kennan, pemimpin garis liberal yang mengepalai staf
perencanaan Deplu hingga 1950. Dalam sebuah briefing
bagi para duta besar AS untuk negara-negara Amerika Latin (1950), Kennan
mengamati bahwa perhatian utama dalam kebijakan luar negeri AS mestinya adalah
‘perlindungan untuk nilai-nilai dasar (Amerika Latin)’. Karenanya, AS
harus memerangi pembelot berbahaya yang telah menyebarkan gagasan bahwa
pemerintahlah yang semestinya bertanggung jawab langsung atas kesejahteraan
rakyat. Para perencana AS menyebut gagasan itu
sebagai komunisme, tak peduli apa pun pandangan politik yang sesungguhnya
dianut para pembela gagasan itu. Mereka menolak untuk memegang peranan sebagai
pelengkap ekonomi industrial ala Barat (hal. 6). Konsekuensinya, bisa kita
lihat pada sejumlah intervensi AS pada sejumlah negara dunia ketiga di Asia dan
Amerika Latin.
Dalam pengamatan Chomsky, penggunaan cara teror tanpa disadari sebenarnya
telah mengakar dalam karakter Amerika (hal. 26). Pada 1818, John Quincy Adams
memuji ‘khasiat yang bermanfaat’ dari teror dalam menghadapi ‘gerombolan orang
Indian dan Negro yang tak mengenal hukum’. Adams membenarkan itu sebagai pembenaran
atas penyerbuan Andrew Jackson terhadap penduduk asli Indian di Florida.
Argumen Adams membuat Thomas Jefferson dan lainnya terkesan pada
kebijaksanaannya. Penggunaan polisi dibutuhkan lantaran mereka dapat mendeteksi
ancaman ketidakpuasan lebih awal dan melenyapkannya sebelum ‘pembedahan utama’.
Jika ‘pembedahan utama’ diperlukan, AS kemudian akan mengandalkan cara-cara
militer. Jalinan hubungan militer dengan negara lain dijadikan cara untuk
menumbangkan pemerintahan yang keluar jalur. Itulah basis kudeta militer di
Indonesia pada 1965 dan di Cile pada 1973. Sebelum terjadi kudeta, AS sangat
memusuhi pemerintahan Cile dan Indonesia, tetapi terus-menerus mengirimkan
senjata. Jagalah hubungan baik dengan para pejabat sayap kanan dan mereka akan
menumbangkan pemerintahan untuk Anda. Chomsky, menyebut ini dengan kebijakan
‘tetangga baik’, yang sekarang tampaknya masih diadopsi dengan sempurna.
Kontrol militer secara menyeluruh tak lagi diperlukan saat alat baru telah
tersedia—sebagai misal kontrol yang dijalankan melalui IMF (International
Monetary Fund).
Sebagai prasyarat pemberian
pinjaman, IMF mendesakkan agenda ‘liberalisasi’; ekonomi yang terbuka pada
penetrasi dan kontrol asing, pengurangan layanan sosial untuk masyarakat, dll.
Langkah ini menempatkan kekuatan yang lebih nyata lagi di tangan golongan kaya
dan investor asing (‘stabilitas’) dan menegaskan keberadaan dua kelas
bertingkat pada masyarakat Dunia Ketiga—segelintir orang superkaya (beserta
para profesional yang melayani kepentingan mereka) dan mayoritas rakyat yang
miskin dan menderita. Utang dan kekacauan ekonomi yang ditinggalkan militer
menjamin bahwa aturan-aturan IMF akan dipatuhi—kecuali jika ada kekuatan
kerakyatan yang coba memasuki arena politik, maka dalam kasus ini militer harus
menegakkan kembali ‘stabilitas’. Kasus Brasil menjadi contoh nyata (hal. 28).
Analisa yang disuguhkan Chomsky, hampir selalu ‘menggigit’ sehingga menempatkannya
sebagai kritikus sosial paling penting di seluruh dunia. Dalam bab ‘Rahasia,
Kebohongan, dan Demokrasi’ misalnya, Chomsky tak tanggung-tanggung menguliti
Amerika dalam hal penegakan demokrasi yang cacat (dalam beberapa kebijakan yang
dijalankan hanya menguntungkan golongan tertentu). Dalam semua wawancaranya,
analogi-analogi yang diberikannya selalu dibarengi dengan kasus-kasus nyata.*
(Nur Hadi, Koran Jakarta, Kamis 9 Juli 2015)
http://koran-jakarta.com/?32984-politik%20teror%20dalam%20pengamatan%20chomsky
(Nur Hadi, Koran TEMPO, Minggu 26 Juli 2015)
Pola Kerja Dunia dalam Pandangan Chomsky
(Versi 2)
Membaca sekumpulan pemikiran Noam Chomsky yang telah dibukukan ini, kita
akan mendapatkan sejumlah cetak biru tentang peta politik yang memengaruhi
tatanan dunia. Buku ini merupakan kolaborasi dari empat seri buku-buku Chomsky,
yang kemudian dipadatkan dalam empat bab pokok; ‘Apa yang Sesungguhnya
Diinginkan Paman Sam’, ‘Yang Kaya Sedikit dan yang Gelisah Banyak’, ‘Rahasia,
Kebohongan, dan Demokrasi’, serta ‘Kebaikan Umum’.
Pada bagian pertama, pembaca disuguhi berbagai wacana kebijakan luar
negeri Amerika Serikat. Para pembuat kebijakan di AS menyadari dengan baik
bahwa AS muncul dari Perang Dunia II sebagai kekuasaan global pertama dalam
sejarah. Selama dan setelah perang, dengan hati-hati mereka merencanakan cara
membentuk dunia pasca perang. Tujuan dari beberapa kebijakan tersebut dapat
terbaca dalam pola kerja mereka. Kita bisa melihat bahwa semasa Presiden
Woodrow Wilson, AS sudah menunjukkan makna operatif Doktrin Monroe untuk
mempertimbangkan kepentingannya sendiri. Integritas bangsa-bangsa selain
Amerika adalah sebuah proses, bukan tujuan. Berdasar pemikiran ini AS pun
kemudian memerangi para pembelot berbahaya yang, seperti dilaporkan intelijen,
telah menyebarkan ‘gagasan bahwa pemerintah bertanggung jawab langsung atas
kesejahteraan rakyat’. Para perencana AS menyebut gagasan itu sebagai
komunisme, tak peduli apa pun pandangan politik yang sesungguhnya dianut para
pembela gagasan tersebut, dan tentu saja harus dijinakkan (hal. 6).
Banyak sisi gelap dalam diri AS yang kemudian diungkap Chomsky secara
blak-blakan. Misalnya saja ketika ekses militer Keynesian diterapkan Presiden
Reagan. Transfer sumber daya ke kelompok minoritas kaya dan beberapa kebijakan
lain pemerintah menimbulkan gelombang manipulasi finansial dan pesta pora
konsumsi. Hanya ada sedikit investasi produktif dan negara dibebani utang yang
sangat besar. Masyarakat AS bergerak menuju pola Dunia Ketiga: pulau-pulau yang
dihuni orang kaya dengan berbagai keistimewaan di tengah samudera kesengsaraan dan
penderitaan. Pemerintah pun kemudian menemukan cara untuk mengalihkan perhatian
masyarakat agar mereka tidak memperhatikan apa yang sedang terjadi. Cara paling
standar adalah dengan menebarkan ketakutan bahwa musuh tengah mengepung dan
hanya para pemimpin agung yang bisa menjadi juru selamat (hal. 72).
Namun dalam sistem ekonomi global baru, Chomsky melihat gejala lain. Ketika
terjadi perubahan besar saat Presiden Richard Nixon menyatakan bahwa dominasi
AS terhadap sistem global telah berkurang, dan dalam tatanan dunia ‘tripolar’
(dengan Jepang dan Eropa yang berbasis di Jerman memainkan peran lebih besar),
AS tak lagi bisa berperan sebagai banker dunia. Ekses akhirnya adalah
terjadinya akselerasi dengan apa yang disebut sebagai globalisasi ekonomi, yakni
cara halus untuk mengatakan proses ekspor pekerjaan ke wilayah-wilayah dengan
tingkat penindasan tinggi dan upah rendah—sekaligus mengurangi lapangan kerja
bagi tenaga produktif dalam negeri.
Ada dua konsekuensi penting dari globalisasi. Pertama, ia memperluas
penerapan model Dunia Ketiga ke negara-negara industri. Di Dunia Ketiga, ada
dua tingkatan masyarakat—kelompok yang kaya raya dan mendapat perlakuan
istimewa, dan kelompok yang papa. Jurang perbedaan antara dua kelompok itu
semakin dalam akibat kebijakan yang didiktekan Barat. Barat mendesakkan sistem
‘pasar bebas’ neoliberal yang menggelontorkan sumber daya kepada kelompok kaya
dan para investor asing, dengan gagasan bahwa sumber daya itu akan menetes ke
lapisan bawah dengan sendirinya, tak lama setelah kehadiran Sang Juru Selamat.
Kedua, struktur pemerintahan yang cenderung akan berkoalisi dengan bentuk
kekuasaan ekonomi. Maka jika Anda menguasai ekonomi nasional, Anda telah
menguasai negara. Mengutip media bisnis, Chomsky bilang kita sedang menciptakan
‘zaman imperial baru’ dengan ‘pemerintahan dunia de facto’. Ia mempunyai
institusi tersendiri—seperti IMF dan Bank Dunia, struktur-struktur perdagangan
seperti NAFTA dan GATT, serta pertemuan para eksekutif seperti G-7. Seluruh
struktur pembuat kebijakan ini pada dasarnya menjawab kebutuhan korporasi
transnasional, bank internasional, dll., yang juga merupakan pukulan telak bagi
demokrasi (hal. 94). Dalam bab ‘Rahasia, Kebohongan, dan Demokrasi’ misalnya,
Chomsky tak tanggung-tanggung menguliti Amerika dalam hal penegakan demokrasi
yang cacat (dalam beberapa kebijakan yang dijalankan hanya menguntungkan
golongan tertentu).*
(Nur Hadi, Koran TEMPO, Minggu 26 Juli 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar