Minggu, 12 Juli 2015

Politik Teror dalam Pengamatan Chomsky



Politik Teror dalam Pengamatan Chomsky
(Versi 1)





Judul Buku  :  How The World Works
Penulis        :  Noam Chomsky
Penerbit       :  Penerbit Bentang (PT Bentang Pustaka)
Cetakan       : Pertama, Februari 2015
Tebal           : xi + 443 halaman
ISBN           :  978-602-291-059-6


Buku ini merupakan hasil perbincangan dan wawancara dengan Chomsky pada era 1990-an. Analisis-analisisnya mengenai diskriminasi, perdamaian dunia, dan ketidakadilan di negara-negara dunia ketiga terasa mendalam dan melampaui zamannya. Teori-teorinya seakan menjadi ramalan jitu, bahwa beginilah cara dunia bekerja.
Amerika menjadi sorotan utama Chomsky, lantaran arus besar perubahan dunia tampaknya memang dipengaruhi oleh beberapa kebijakan dalam dan luar negeri negara adidaya ini. Salah satu dokumen yang bisa dibaca jika ingin memahami AS, adalah Policy Planning Study 23 yang ditulis George Kennan, pemimpin garis liberal yang mengepalai staf perencanaan Deplu hingga 1950. Dalam sebuah briefing bagi para duta besar AS untuk negara-negara Amerika Latin (1950), Kennan mengamati bahwa perhatian utama dalam kebijakan luar negeri AS mestinya adalah ‘perlindungan untuk nilai-nilai dasar (Amerika Latin)’. Karenanya, AS harus memerangi pembelot berbahaya yang telah menyebarkan gagasan bahwa pemerintahlah yang semestinya bertanggung jawab langsung atas kesejahteraan rakyat. Para perencana AS menyebut gagasan itu sebagai komunisme, tak peduli apa pun pandangan politik yang sesungguhnya dianut para pembela gagasan itu. Mereka menolak untuk memegang peranan sebagai pelengkap ekonomi industrial ala Barat (hal. 6). Konsekuensinya, bisa kita lihat pada sejumlah intervensi AS pada sejumlah negara dunia ketiga di Asia dan Amerika Latin.
Dalam pengamatan Chomsky, penggunaan cara teror tanpa disadari sebenarnya telah mengakar dalam karakter Amerika (hal. 26). Pada 1818, John Quincy Adams memuji ‘khasiat yang bermanfaat’ dari teror dalam menghadapi ‘gerombolan orang Indian dan Negro yang tak mengenal hukum’. Adams membenarkan itu sebagai pembenaran atas penyerbuan Andrew Jackson terhadap penduduk asli Indian di Florida. Argumen Adams membuat Thomas Jefferson dan lainnya terkesan pada kebijaksanaannya. Penggunaan polisi dibutuhkan lantaran mereka dapat mendeteksi ancaman ketidakpuasan lebih awal dan melenyapkannya sebelum ‘pembedahan utama’. Jika ‘pembedahan utama’ diperlukan, AS kemudian akan mengandalkan cara-cara militer. Jalinan hubungan militer dengan negara lain dijadikan cara untuk menumbangkan pemerintahan yang keluar jalur. Itulah basis kudeta militer di Indonesia pada 1965 dan di Cile pada 1973. Sebelum terjadi kudeta, AS sangat memusuhi pemerintahan Cile dan Indonesia, tetapi terus-menerus mengirimkan senjata. Jagalah hubungan baik dengan para pejabat sayap kanan dan mereka akan menumbangkan pemerintahan untuk Anda. Chomsky, menyebut ini dengan kebijakan ‘tetangga baik’, yang sekarang tampaknya masih diadopsi dengan sempurna. Kontrol militer secara menyeluruh tak lagi diperlukan saat alat baru telah tersedia—sebagai misal kontrol yang dijalankan melalui IMF (International Monetary Fund).
 Sebagai prasyarat pemberian pinjaman, IMF mendesakkan agenda ‘liberalisasi’; ekonomi yang terbuka pada penetrasi dan kontrol asing, pengurangan layanan sosial untuk masyarakat, dll. Langkah ini menempatkan kekuatan yang lebih nyata lagi di tangan golongan kaya dan investor asing (‘stabilitas’) dan menegaskan keberadaan dua kelas bertingkat pada masyarakat Dunia Ketiga—segelintir orang superkaya (beserta para profesional yang melayani kepentingan mereka) dan mayoritas rakyat yang miskin dan menderita. Utang dan kekacauan ekonomi yang ditinggalkan militer menjamin bahwa aturan-aturan IMF akan dipatuhi—kecuali jika ada kekuatan kerakyatan yang coba memasuki arena politik, maka dalam kasus ini militer harus menegakkan kembali ‘stabilitas’. Kasus Brasil menjadi contoh nyata (hal. 28).
Analisa yang disuguhkan Chomsky, hampir selalu ‘menggigit’ sehingga menempatkannya sebagai kritikus sosial paling penting di seluruh dunia. Dalam bab ‘Rahasia, Kebohongan, dan Demokrasi’ misalnya, Chomsky tak tanggung-tanggung menguliti Amerika dalam hal penegakan demokrasi yang cacat (dalam beberapa kebijakan yang dijalankan hanya menguntungkan golongan tertentu). Dalam semua wawancaranya, analogi-analogi yang diberikannya selalu dibarengi dengan kasus-kasus nyata.*

(Nur Hadi, Koran Jakarta, Kamis 9 Juli 2015)
http://koran-jakarta.com/?32984-politik%20teror%20dalam%20pengamatan%20chomsky



Pola Kerja Dunia dalam Pandangan Chomsky
(Versi 2)


Membaca sekumpulan pemikiran Noam Chomsky yang telah dibukukan ini, kita akan mendapatkan sejumlah cetak biru tentang peta politik yang memengaruhi tatanan dunia. Buku ini merupakan kolaborasi dari empat seri buku-buku Chomsky, yang kemudian dipadatkan dalam empat bab pokok; ‘Apa yang Sesungguhnya Diinginkan Paman Sam’, ‘Yang Kaya Sedikit dan yang Gelisah Banyak’, ‘Rahasia, Kebohongan, dan Demokrasi’, serta ‘Kebaikan Umum’.
Pada bagian pertama, pembaca disuguhi berbagai wacana kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Para pembuat kebijakan di AS menyadari dengan baik bahwa AS muncul dari Perang Dunia II sebagai kekuasaan global pertama dalam sejarah. Selama dan setelah perang, dengan hati-hati mereka merencanakan cara membentuk dunia pasca perang. Tujuan dari beberapa kebijakan tersebut dapat terbaca dalam pola kerja mereka. Kita bisa melihat bahwa semasa Presiden Woodrow Wilson, AS sudah menunjukkan makna operatif Doktrin Monroe untuk mempertimbangkan kepentingannya sendiri. Integritas bangsa-bangsa selain Amerika adalah sebuah proses, bukan tujuan. Berdasar pemikiran ini AS pun kemudian memerangi para pembelot berbahaya yang, seperti dilaporkan intelijen, telah menyebarkan ‘gagasan bahwa pemerintah bertanggung jawab langsung atas kesejahteraan rakyat’. Para perencana AS menyebut gagasan itu sebagai komunisme, tak peduli apa pun pandangan politik yang sesungguhnya dianut para pembela gagasan tersebut, dan tentu saja harus dijinakkan (hal. 6).
Banyak sisi gelap dalam diri AS yang kemudian diungkap Chomsky secara blak-blakan. Misalnya saja ketika ekses militer Keynesian diterapkan Presiden Reagan. Transfer sumber daya ke kelompok minoritas kaya dan beberapa kebijakan lain pemerintah menimbulkan gelombang manipulasi finansial dan pesta pora konsumsi. Hanya ada sedikit investasi produktif dan negara dibebani utang yang sangat besar. Masyarakat AS bergerak menuju pola Dunia Ketiga: pulau-pulau yang dihuni orang kaya dengan berbagai keistimewaan di tengah samudera kesengsaraan dan penderitaan. Pemerintah pun kemudian menemukan cara untuk mengalihkan perhatian masyarakat agar mereka tidak memperhatikan apa yang sedang terjadi. Cara paling standar adalah dengan menebarkan ketakutan bahwa musuh tengah mengepung dan hanya para pemimpin agung yang bisa menjadi juru selamat (hal. 72).
Namun dalam sistem ekonomi global baru, Chomsky melihat gejala lain. Ketika terjadi perubahan besar saat Presiden Richard Nixon menyatakan bahwa dominasi AS terhadap sistem global telah berkurang, dan dalam tatanan dunia ‘tripolar’ (dengan Jepang dan Eropa yang berbasis di Jerman memainkan peran lebih besar), AS tak lagi bisa berperan sebagai banker dunia. Ekses akhirnya adalah terjadinya akselerasi dengan apa yang disebut sebagai globalisasi ekonomi, yakni cara halus untuk mengatakan proses ekspor pekerjaan ke wilayah-wilayah dengan tingkat penindasan tinggi dan upah rendah—sekaligus mengurangi lapangan kerja bagi tenaga produktif dalam negeri.
Ada dua konsekuensi penting dari globalisasi. Pertama, ia memperluas penerapan model Dunia Ketiga ke negara-negara industri. Di Dunia Ketiga, ada dua tingkatan masyarakat—kelompok yang kaya raya dan mendapat perlakuan istimewa, dan kelompok yang papa. Jurang perbedaan antara dua kelompok itu semakin dalam akibat kebijakan yang didiktekan Barat. Barat mendesakkan sistem ‘pasar bebas’ neoliberal yang menggelontorkan sumber daya kepada kelompok kaya dan para investor asing, dengan gagasan bahwa sumber daya itu akan menetes ke lapisan bawah dengan sendirinya, tak lama setelah kehadiran Sang Juru Selamat. Kedua, struktur pemerintahan yang cenderung akan berkoalisi dengan bentuk kekuasaan ekonomi. Maka jika Anda menguasai ekonomi nasional, Anda telah menguasai negara. Mengutip media bisnis, Chomsky bilang kita sedang menciptakan ‘zaman imperial baru’ dengan ‘pemerintahan dunia de facto’. Ia mempunyai institusi tersendiri—seperti IMF dan Bank Dunia, struktur-struktur perdagangan seperti NAFTA dan GATT, serta pertemuan para eksekutif seperti G-7. Seluruh struktur pembuat kebijakan ini pada dasarnya menjawab kebutuhan korporasi transnasional, bank internasional, dll., yang juga merupakan pukulan telak bagi demokrasi (hal. 94). Dalam bab ‘Rahasia, Kebohongan, dan Demokrasi’ misalnya, Chomsky tak tanggung-tanggung menguliti Amerika dalam hal penegakan demokrasi yang cacat (dalam beberapa kebijakan yang dijalankan hanya menguntungkan golongan tertentu).*
 
(Nur Hadi, Koran TEMPO, Minggu 26 Juli 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar